Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus varisela
zoster yang sifatnya localized, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri khas
berupa nyeri radikuler, unilateral dan vesikel yang bergerombol yang tersebar
sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion saraf sensoris (Murtiastutik
D, 2005). Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster laten (Handoko R,
2009).
Herpes zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu vesikelvesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai
peta dermatom (Siregar R.S, 2004).

1.2 Epidemiologi
Herpes zoster biasanya mengenai orang dewasa, kadang-kadang juga pada
anak-anak. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari
1000, semakin meningkat pada usia lebih tua (Jamez WD,2011). Insiden pada
pria dan wanita sama banyaknya. iklim dan suhu tidak mempengaruhi. Faktor
predisposisi terjadinya herpes zoster yaitu usia tua, keganasan,radioterapi,
pengobatan imunosupresi (Siregar R.S, 2004).

Insiden terjadinya herpes zoster berdasarkan usia


(Sumber: Fitzpatrick)
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada
perbedaan morbiditas antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan
meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika,
penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun
sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% per tahun. Herpes zoster terjadi
pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya. Setelah sembuh
dari varisela,virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam
keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun.
Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20
tahun (Siregar R.S, 2004).
Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien
imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes
zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama.
Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari

herpes zoster termasuk human immunodeficiency virus (HIV),


transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan
kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster
adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi
dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun.
Zoster mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit
AIDS pada individual dengan resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV
harus dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zoster (Wolff,
2008).
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster
termasuk jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang
terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi
diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah
dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes
zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang
imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita
lebih

dari

satu

episode

mungkin

immunocompromised.

Pasien

imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster


yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV)
yang berulang (Habif, 2011).
1.3 Etiologi
Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis
utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes
zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada
individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela
zoster dapat

mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang

dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles (Siregar R.S, 2004).
Disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster (VZV), kelompok
virus herpes

termasuk virus berukuran 140-200 dan berinti DNA.

Virus ini menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivitas
virus yang terjadi setelah infeksi primer (Handoko R, 2009).
Herpes Zoster disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Virus
Varicella Zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran
140-200nm yang termasuk sub family alfa herpes viridae. Berdasarkan
sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel
tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 sub family, yaitu alfa, beta,
dan gamma. VZV dalam subfamilia mempunyai sifat khas menyebabkan
infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya
setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap
dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten inipada
saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodic. Secara in vitro
virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relative luas dengan
siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting
untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik
deoxypiridine (thymidine) kinase yang di sintesis didalam sel yang
terinfeksi (Brown, 2005).
1.4 Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di
dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion
spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster
merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong
virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat

dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan
keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam
pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika
virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan
motoric (Siregar R.S, 2004).
Virus Varisela zoster masuk melalui mukosa dan saluran nafas atas. Setelah
masuk virus tersebut berkembang biak serta disebarkan ke berbagai organ
terutama ke kulit dan selaput mukosa melalui sistem peredaran darah. Saat
pertama virus masuk ke dalam tubuh, terjadi infeksi primer pada kulit dan selaput
mukosa, gejala yang tampak pada kulit sering disebut sebagai cacar air atau
varisela. Setelah infeksi primer mereda, virus tidak hilang dari tubuh, melainkan
masuk ke ujung saraf sensoris dan menuju ke ganglion dorsalis saraf tepi dan
bersembunyi di sana dalam jangka waktu yang sangat lama. Pada saat ini orang
immunokompeten yang pernah mengalami cacar air menjadi kebal terhadap
serangan cacar air untuk kali yang kedua. Namun bila kekebalan tubuh kita
menurun maka virus ini mengalami reaktivasi. Virus varisela zoster berkembang
biak, merusak, menyebabkan peradangan dan kemudian menyebar menuju kulit
serta menimbulkan gangguan kulit yang lebih parah. Kondisi ini dikategorikan
sebagai herpes zoster. Alasan pasti mengapa VZV bisa reaktivasi kembali dari fase
latennya masih belum dimengerti sepenuhnya. Namun, dikatakan bahwa VZVcell mediated specific memiliki faktor mayor dalam kaitannya dengan reaktivasi
VZV. Cell mediated VZV specific menurun seiring umur dan pasien dengan
keganansan. Kelompok ini memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap herpes
zoster (Handoko R, 2009).

1.5 Gejala klinis


Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:
1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.
2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.

(sekelompok vesikel vesikel dalam bentuk bervariasi)

(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)

(sekelompok vesikel vesikel pada kasus inflamasi berat)

(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi scar atau jaringan
parut jika inflamasi berat)
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran

mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan stadium prodromal selama 2-4
hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal,
pegal) (Handoko R, 2009).
Setelah itu, pada stadium erupsi akan timbul eritema yang berubah menjadi
vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel
tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan
krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika
disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder Masa tunas
dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul,
berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu (Handoko R,
2009).
Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.
Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang
paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1,
dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada
saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.
Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena. Frekuensi herpes
zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial
(20%), lumbal (15%), dan sakral (5%) (Straus SE, 2014).
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan
kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat
gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan
menyebar ke bawah. Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil
yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai tetesan embun pada

kelopak mawar ( dew drop on rose petal ). Setelah vesikel matang, pecah
membentuk krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik
dari varisela (Schalock, 2011). Nyeri prodormal : lamanya kira kira 2 3 hari,
namun dapat lebih lama (Mandal, 2008).
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali
dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3
minggu sebelum muncul lesi kulit (Daili, 2002).
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa (Schalock,
2011).
Hari ke-1

Hari ke-2

Hari ke-5

Hari ke-6

Perkembangan rash pada herpes zoster

1.6 Klasifikasi Herpes Zoster


Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
a. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

10

Gejala diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai
gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1
sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak keluar air
mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

.
b. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis
(N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

c. Herpes zoster brakialis


Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

11

d. Herpes zoster torakalis


Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

e. Herpes zoster lumbalis


Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

f. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang

12

mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

1.7 Diagnosis
a. Anamnesis :
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan
berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
timbulnya kelainan kulit (Sharlock, 2011). Adakalanya sebelum timbul
kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan
malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian
berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar
dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah
beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika
absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta (Sehgal, 2006).
b. Pemeriksaan fisik
Lokalisasi : bisa disemua tempat, paling sering pada servikal IV dan
lumbal II.
Effloresensi : lesi biasanya berupa kelompok-kelompok vesikel sampai
bula di atas daerah eritematosa. lesi yang khas bersifat unilateral pada
dermatom yang sesuai dengan letak saraf yang terinfeksi virus (Siregar R.S,
2004).
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan
cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang

13

lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota


badan. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk
menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi
saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat
mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom
tertentu (Duus, 2005).

Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus)


c.

Pemeriksaan penunjang
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck
membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti
banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi
dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel
dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi
fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara

14

imunofluoresensi (Sehgal, 2006).


Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus, sehingga
konfirmasi laboratorium biasanya tidak perlu. Pemeriksaan laboratorium
direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang
terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila
lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster
atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari
spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena
membutuhkan waktu 1-2 minggu (Dworkin RH, 2007).
Selain itu pemeriksaan sitologi yaitu Tzanck smear juga dapat
dilakukan untuk menemukan sek raksasa yang multilokuker dan sel-sel
akantolitik dari VVZ. Biasanya digunakan pada tes awal pilihan minggu
(Dworkin RH, 2007).
1.8 Diagnosis banding

Herpes simpleks zosteriform : karena herpes zoster dapat muncul di


daerah genital.

Selulitis.

Erisipelas.

Eritema gangrenosum : bentuk atipikal.

Infeksi jamur diseminata.

Infeksi mikobakterium diseminata.

Dermatitis kontak.

Drug eruptions.

Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada


distribusi dermatomal klasik.

Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan


umbilikasi sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak
dan tidak ada dasar eritem seperti zoster.

15

Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada

dermatom dan mengikuti jaringan laba laba.

Gigitan serangga (Insect bite).

Folikulitis.
1.8 Penatalaksanaan
1. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan
orang dengan defisiensi imun (Schalock, 2011).
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai
baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
(Schalock, 2011).
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena
biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise
atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.

16

Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari selama 7 hari, karena


konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase. Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari
(Schalock, 2011).
A.2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan
oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam
mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri
muncul (Schalock, 2011).
A.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay
Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya
paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 320
mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.
Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus (Schalock,
2011).
B.

Pengobatan topical
Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim
capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow
dapat digunakan untuk kompres basah/ Kompres diletakkan selama 20

17

menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan


serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri.7 Solutio Povidoneiodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul
pada erupsi berat dari orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4
kali sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang
memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek (Schalock, 2011).
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan
terapi kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut (Handoko,
2009) :
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari
pada malam hari
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin
100-300mg per hari
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan
gabapentin atau antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya
dapat menimbulkan sensasi terbakar
1.10 Komplikasi
1. Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia
herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia
herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan
postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit). Postherpetic

18

neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster


akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang
disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam
ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu,
mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang
berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls
abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor
hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls
nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang
hebat (Straus SE, 2007).

2. Herpes Zoster Oftalmikus


Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama
nervus trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga
memengaruhi cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar
terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinsons sign),
maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra
juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah
uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis
optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut (Straus SE, 2007).
3. Paralisis Motorik
Paralisis terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran
virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensirik ke sistem saraf yang
berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan
munculnya lesi. berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya dimuka,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya

19

akan sembuh spontan (Straus SE, 2007).


4. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi
H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel
sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik (Straus SE, 2007)..
5. Sindrom Ramsay Hunt
Terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga
memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang
sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

.
Komplikasi lain dari herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)
1.11 Prognosis
Prognosis pada herpes zoster umumnya baik. Namun, pada herpes
zoster oftalmikus prognosis tergantung pada tindakan perawatan secara
dini (Handoko R, 2009).
1.12 Pencegahan
Herpes zoster dapat dicegah dengan cara pemberian imunisasi aktif
maupun pasif. Imunisasi pasif yang diberikan yaitu VZIG, yang banyak
diberikan pada pasien-pasien dengan imunocompromised, ibu hamil dan bayi

20

baru lahir yang terpajan terhadap varisela ibu. Sedangkan imunisasi aktif
yaitu dengan memberikan vaksin yang berisi

virus varisella Zoster yang

dilemahkan. The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan


anak-anak mendapatkan 2 dosis vaksin varicella. Pertama pada umur 12-15
bulan dan dosis kesua pada umur 4-6 tahun (Fitzpatrick, 2007).

Anda mungkin juga menyukai