Anda di halaman 1dari 1

Dimana Uang Untuk Membayar Bunganya???

Mengungkap Mekanisme Transaksi Kredit


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275)
Jika aku adalah satu-satunya orang kaya yang mencetak sekaligus
meminjamkan uang kepadamu sebesar Rp 1 di dunia ini, sedangkan itu merupakan
satu-satunya persediaan uang yang ada di dalam peredaran, bisakah kamu
mengembalikan uangku tersebut menjadi Rp 100?
Jika harus dibayar dalam sekali pembayaran, secara akal sehat dirasa tidak
lah mungkin. Mustahil bunga sebesar Rp 99 dapat dilunasi. Bahkan mustahil juga
bagi orang waras manapun untuk mengembalikan uang tersebut menjadi Rp 2 jika
persediaan uang dalam peredarannya saja hanya ada Rp 1 di dunia ini. Kecuali jika
saya menyuruh kamu untuk membayar utang berbunga tersebut dengan
pembayaran Rp 1 secara bertahap dalam tempo waktu tertentu. Dengan demikian
maka kita akan menemukan keajaiban di dalam transaksi ini.
Satu-satunya kondisi yang memungkinkan untuk melakukan pembayaran
utang Rp 1 beserta bunga Rp 99 dengan persediaan uang yang hanya ada Rp 1 di
dalam peredaran adalah dengan cara memberimu kesempatan untuk mendapatkan
Rp 1 lainnya dalam bentuk upah. Pertama-tama kamu harus membayar uang Rp 1
yang telahku pinjamkan kepadamu terlebih dahulu, sedangkan untuk membayar
bunganya kamu harus bekerja kepadaku agar bisa mendapatkan upah. Sedangkan
upah yang kamu peroleh itu asalnya dari uang Rp 1 yang telah kamu bayarkan
kepadaku sebelumnya. Dengan kata lain kamu bisa mendapatkan Rp 1 itu lagi
setiap kali kamu membayarkan satu-satunya uang Rp 1 tersebut kepadaku, inilah
yang disebut dengan aliran (flow). Dengan menggunakan aliran, maka Rp 1 yang
sama bisa membayar cicilan kredit berkali-kali, bahkan secara efektif bisa
menjadikannya berlipat ganda.
Semua itu menjadi masuk akal jika kamu mendapatkan upah dalam bentuk
uang setiap kali kamu bekerja kepadaku, dan pekerjaan kamu inilah yang akan
dijadikan sebagai nilai. Dengan kata lain bukan uang itu yang menjadikannya
sebagai tolak ukur daripada nilai dalam transaksi utang berbunga tersebut. Hingga
akhirnya jika kamu sudah tidak sanggup lagi bekerja untuk membayar cicilan
kredit, maka suka tidak suka aku akan menyita aset yang senilai sebagai jaminan
atas pelunasan utang berbunga yang harus kamu tanggung. Jaminan ini juga lah
yang nantinya bisa aku jadikan sebagai uang Rp 1 lainnya di kemudian hari.
Hubungan yang terjadi dalam transaksi ini sangatlah tidak setimpal, karena
aku telah memperbudak seseorang yang jelas-jelas tidak memiliki modal atau
kemampuan untuk membuat uangnya sendiri (Money as Debt III: Evolution Beyond
Money, 2011).
Di kalangan kaum pagan, di zaman Yunani Kuno dahulu riba merupakan
kegiatan yang bukan saja tercela dan dilarang dipraktekan dalam masyarakat,
tetapi juga dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kodrat alam.
Plato dan Aristoteles menyamakan riba sebagai musuh masyarakat karena
menciptakan kelas kreditur kaya dan debitur miskin. Di kalangan umat Kristiani riba
pun dilarang dengan tegas sampai abad pertengahan (Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi:
2007). Bahkan Alkitab pun mewanti-wanti kemungkinan terjadinya hal tersebut di
dalam salah satu ayatnya.
Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari
yang menghutangi. (Amsal 22:7)
Begitu pula di dalam literatur sumber hukum ajaran agama Islam dijelaskan,
bahwa dosa riba merupakan dosa yang paling besar setelah dosa syirik.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba,
yang memberikannya, pencatat, dan kedua saksinya. Beliau bersabda: "Mereka
semua itu sama." (HR. Muslim)

Anda mungkin juga menyukai