Anda di halaman 1dari 8

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

EVALUASI PENERAPAN SISTEM PERTANIAN TERPADU BERBASIS SAPI


POTONG DI DELAPAN LOKASI DENGAN LETAK GEOGRAFIS YANG
BERBEDA
Hardi Julendra, Andi Febrisiantosa, Ema Damayanti, Satriyo Krido Wahono, M. Faiz
Karimy, Lusty Istiqomah, Hendra Herdian
UPT. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), LIPI
Jl. Jogja Wonosari Km. 31, Gading, Playen Gunungkidul, Yogyakarta
Telp/Faks : 0274-392570 / 0274 - 391168
e-mail : julendra2000@yahoo.com
ABSTRAK
Dilakukan evaluasi sistem pertanian terpadu berbasis peternakan yang telah diterapkan di
beberapa lokasi dengan kondisi geografis dan ketersediaan sumber daya alam yang
berbeda. Daerah dataran tinggi bersuhu sejuk (1500- 2500 m dpl) diwakili oleh wilayah
Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah dan Tanah Datar di Sumatera Barat.
Dataran rendah daerah pesisir, bersuhu panas kering diwakili oleh Belu di Nusa
Tenggara Timur, Kaur di Bengkulu, Bantul dan Gunungkidul di D.I.Yogyakarta (0- 600
m dpl), sedangkan dataran sedang bersuhu sedang diwakili oleh Purwokerto (600- 1500
m dpl). Evaluasi dilakukan terhadap keberlangsungan sistem di tempat yang berbeda
secara geografis. Konsep pertanian terpadu yang diterapkan adalah budidaya sapi
pedaging dan bibit, penerapan biogas dari kotoran sapi, pengolahan pupuk organik dari
limbah biogas, budidaya tanaman pangan dan budidaya hijauan sebagai sumber pakan
serta pengawetan pakan melalui teknik silase. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa
terjadi perbedaan produktifitas dari sistem pertanian terpadu yang diterapkan di masing
masing wilayah. Perbedaan tersebut karena ketersediaan sumber pakan, pola beternak
sapi, pola penanganan biogas dan penanganan pupuk organik, sehingga memiliki
keterbatasan yang berbeda dalam produktifitas budidaya sapi. Perbedaan produktifitas
tersebut dengan introduksi beberapa teknologi terkait pertanian terpadu tidak
mempengaruhi keberlangsungan usaha sistim pertanian terpadu. Melalui penerapan
sistem pertanian terpadu berbasis sapi potong, usaha ternak dan tani dapat dilakukan
secara simultan. Efisiensi usaha dapat dilakukan karena memanfaatkan limbah hasil usaha
yang satu untuk digunakan sebagai input bagi usaha yang lain tanpa mengeluarkan biaya
yang tinggi. Penerapan sistem biogas dalam sistem pertanian terpadu dapat menurunkan
tingkat polusi yang dihasilkan dari usaha peternakan (ramah lingkungan) sekaligus
menghasilkan sumber energi yang dapat menunjang kegiatan usaha di sektor yang lain
dalam satu lokasi.
Kata kunci : pertanian terpadu, sapi, biogas, pakan
meningkat dari 2,55 g/kapita pada tahun
2010 (BPS, 2013a). Populasi sapi
potong
juga
meningkat
seiring
kebutuhan yaitu 14,8 juta ekor pada
tahun 2011 meningkat dari 12,2 juta
ekor pada tahun 2008 (BPS, 2013b).
Akan tetapi kondisi terbalik dengan luas
lahan pertanian yang ada di Indonesia.
Luas lahan pertanian RTP (Rumah
Tangga Pertanian) di Indonesia pada
tahun 2013 mengalami penurunan 16,8

PENDAHULUAN
Pertumbuhan
penduduk,
urbanisasi dan kenaikan pendapatan di
Negara

Negara
berkembang
menyebabkan
terjadinya
kenaikan
permintaan sumber pangan asal hewan
seiring dengan terjadinya kompetisi
lahan untuk budidaya tanaman dan
peternakan (IFAD, 2004). Konsumsi
protein daging per kapita di Indonesia
mencapai 3,41 g/kapita pada tahun 2012

104

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

% dibandingkan luas lahan pada tahun


2010 (BPN, 2013). Akibatnya terjadi
krisis pakan ternak di beberapa tempat
wilayah sentra- sentra peternakan di
Indonesia.
Revolusi di dunia peternakan
ditekankan pada peningkatan kapasitas
produksi ternak tetapi mengurangi
seminimal mungkin dampak negative
pada lingkungan. Pertanian konvensial
telah diketahui banyak menyebabkan
penurunan kesuburan tanah karena
pemupukan yang intensif khususnya
pada daerah marginal. Pada saat yang
sama juga diupayakan agar sumber daya
alam tetap lestari. Konsep system
integrasi
tanaman
dan
ternak
memberikan solusi untuk meningkatkan
produktivitas ternak dan tetap menjaga
kelestarian
lingkungan
dengan
meminimalkan penggunaan bahan.
Peningkatan kebutuhan akan lahan dan
kenaikan kebutuhan akan produk ternak
membuat hal itu menjadi makin penting
untuk dapat memastikan penggunaan
sumber pakan yang efektif termasuk
limbah pertanian. Sistem pertanian
terpadu menerapkan seminimal mungkin
penggunaan bahan untuk mendapatkan
keuntungan yang layak dan tinggi dan
level produksi berkelanjutan dengan
meminimalkan efek negative pertanian
dan menjaga lingkungan (IFAD, 2004).
Beberapa petani di Negara
tropis dan sub tropis telah menerapkan
manajemen terpadu budidaya tanaman
dan ternak. Pada system ini limbah
tanaman dimanfaatkan untuk pakan
ternak dan kotoran ternak digunakan
sebagai pupuk tanaman (van Keulen and
Schiere, 2004). Konsep pertanian
terpadu di Indonesia sudah mulai banyak
diterapkan.
UPT
BPPTK
LIPI
Yogyakarta sudah menginisiasi kegiatan
IFS sejak tahun 2006 di beberapa
wilayah yaitu Belu NTT (Julendra dkk.,
2007), Gunungkidul D.I.Yogyakarta
(Febrisiantosa dkk, 2007), Banyumas
Jawa Tengah (Istiqomah dkk., 2010),
Kaur Bengkulu, Tanah Datar Sumatera
Barat dan wilayah lainnnya seperti
Temanggung dan Wonosobo Jawa
Tengah. Konsep yang diterapkan

mengintegrasikan
peternakan
sapi
potong dan sapi bibit dengan pengolahan
kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk
organik. Suplai pakan didapatkan dari
limbah pertanian yang ditingkatkan nilai
nutrisinya dengan proses silase. Kajian
ini bertujuan untuk mengevaluasi
penerapan system pertanian terpadu
yang telah diterapkan di wilayah
wilayah tersebut dengan memperhatikan
faktor faktor yang mungkin
berpengaruh pada keberhasilan maupun
kegagalan penerapan sistem pertanian
terpadu.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan
membangun usaha peternakan dan
pertanian terpadu berkonsep terintegrasi
di beberapa daerah dengan tipologi
geografis yang berbeda di wilayah
Indonesia. Lokasi tersebut adalah
Wonosobo, Temanggung dan Tanah
Datar (wilayah dataran tinggi atau
pegunungan),
Banyumas, Belu dan
Gunungkidul (wilayah dataran sedang),
serta Kaur dan Bantul (wilayah dataran
rendah dan panas). Desain sistem
pertanian terpadu yang dibangun adalah
berbasis
ternak
sapi
potong
diintegrasikan dengan usaha tanaman
pertanian atau perkebunan disesuaikan
dengan potensi lokal daerah tersebut.
Kotoran ternak yang merupakan limbah
hasil usaha peternakan diproses terlebih
dahulu menggunakan teknologi Biogas
guna
menghasilkan pupuk
yang
merupakan input bagi sistem produksi
tanaman pertanian atau perkebunan.
Skala yang dibangun disesuaikan
dengan potensi ternak yang tersedia,
yaitu berkisar antara 5 sampai 200 ekor
ternak sapi potong. Skala unit biogas
yang dibangun disesuaikan dengan
jumlah kotoran yang dihasilkan, yaitu
dengan kapasitas 3 27 meter kubik.
Penerapan sistem pertanian terpadu
berbasis sapi potong di masing masing
wilayah kemudian dikarakterisasi dan
diamati keberlanjutan sistem yang
diterapkan dan usaha yang dijalankan.
Data yang didapat dianalisis secara
deskriptif.

105

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

upaya untuk mewujudkan suatu sistem


pertanian berkelanjutan yang mandiri
dan ramah lingkungan. Salah satu
potensi aplikasi teknologi yang dapat
dimanfaatkan dalam rangkaian sistem
tersebut adalah diimplementasikannya
teknologi biogas. Teknologi ini sudah
dikenal lama dan ramah lingkungan.
Melalui teknologi ini, dalam satu proses
yang berlangsung, limbah hasil kegiatan
beternak dapat dikonversi menjadi gas
metana sebagai sumber energi sekaligus
menghasilkan produk lain yaitu pupuk
organik (Febrisiantosa dkk., 2007). Hasil
samping dari biogas dihasilkan limbah
padat dan limbah cair (sluri), yang
keduanya dapat dimanfaatkan untuk
pupuk organik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsep pertanian terpadu yang
diterapkan ditampilkan pada Gambar 1.
Ternak
yang
dipelihara
adalah
ruminansia besar khususnya sapi. Sapi
yang dipelihara umumnya jenis sapi
lokal (peranakan Ongole dan sapi Bali)
dan
sapi
keturunan
(Simental).
Pemeliharaan
ditujukan
untuk
penggemukan
dan
pembibitan.
Pembibitan umumnya menggunakan
inseminasi buatan yang dilakukan oleh
mantra hewan setempat. Pemeriksaan
dan konsultasi kesehatan umumnya telah
dilakukan oleh mantri hewan di bawah
koordinasi Dinas Peternakan setempat.
Kotoran yang dihasilkan dari ternak sapi
yang umumnya sekitar 10 20 kg
kotoran segar. Penerapan sistem
pertanian terpadu merupakan salah satu

Gambar 1. Konsep pertanian peternakan terpadu yang berbasis ternak sapi

106

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

Hasil
yang
didapat
menunjukkan bahwa produksi biogas
yang dihasilkan dari 2 ekor sapi jenis
Peranakan Ongole adalah rata-rata 201
liter/hari dari total input/hari 30 kg feses.
Jumlah sludge padat dan cair yang
dihasilkan dapat digunakan untuk
keperluan pemupukan organik. Jumlah
sludge (pupuk organik) yang dihasilkan
melalui proses biogas dari dua ekor sapi
adalah 92,5 kg dengan total padatan 7%.
Pupuk organik dibuat dari sludge biogas
yang keluar dalam bentuk lumpur
(slurry), untuk itu dilakukan upaya
untuk mendapatkan pupuk padat dan
cair (Febrisiantosa dkk., 2007). Metoda

yang
dilakukan
adalah
dengan
melaklukan pemisahan sludge antara
padat
dan
cair
dengan
carta
pengendapan dan penyaringan. Padatan
diendapkan satu malam dan cairannya
disaring (Julendra dkk, 2009). Pada
Tabel 1 ditampilkan data penerapan
biogas dalam konsep IFS pada beberapa
lokasi di Indonesia. Besarnya kapasitas
digester biogas disesuaikan dengan
jumlah
dan
jenis
sapi
yang
dibudidayakan. Digester biogas yang
digunakan umumnya tipe floating roof.
Tipe ini dipilih karena lebih mudah
pembuatan dan perawatannya serta lebih
murah biaya pembuatannya.

Tabel 1. Tipe Digester Biogas dibeberapa lokasi IFS


Lokasi

Tipe
biogas

Volume
digester

Volume
gas

Produk pupuk
organik

Jenis Tanaman
Budidaya

Wonosobo,
Jawa Tengah

Floating
Roof

6 m kubik

4000 liter

Langsung ke lahan

Singkong

Temanggung,
Jawa Tengah

Floating
roof

10 m
kubik

Nd

Difermentasi
menjadi pupuk
padat dan cair

Tembakau, padi

Banyumas,
Jawa Tengah

Floating
roof

3 m kubik

Nd

Langsung dialirkan
ke lahan

Sayuran, rumput

Belu, NTT

Floating
roof

27 m
kubik

5,2 liter/
menit

Langsung dialirkan
ke lahan

Palawija

Kaur,
Bengkulu

Floating
roof

3 m kubik

Nd

Langsung dialirkan
ke lahan

Sawit

Tanah Datar,
Sumatera Barat

Fix Dome*

7 m kubik

2
liter/menit

Diproses fermentasi
menjadi pupuk
padat dan pupuk
cair

Rumput, padi,
sayuran

Gunungkidul,
D.I.Yogyakarta

Floating
roof

12 m
kubik

Nd

Langsung dialirkan
ke lahan

Rosella

Bantul,
D.I.Yogyakarta

Tanpa
digester
biogas

Diproses fermentasi
menjadi pupuk
padat

Usaha pupuk
organik dan
kebun
Pisang dan Jati

* Hasil introduksi dari Dinas Pertanian Sumbar


Dari Tabel 1. di atas diketahui
bahwa setiap daerah dengan kondisi
geografis berbeda ternyata disamping

berternak memiliki keinginan yang


berbeda dalam memanfaatkan sistem ini.
Daerah- daerah yang subur cenderung

107

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

memanfaatkan slurry biogas untuk


dijadikan pupuk organik, tetapi daerah
yang kurang subur membuang slurry
biogas langsung kelahan pertaniannya.
Hal ini dilakukan supaya lahan
pertaniannya dapat dialiri sumber pupuk
dan air secara kontiniu. Manajemen
yang lebih tertata telah diterapkan oleh
Kelompok Ternak Ngudi Rejeki Bantul
dimana kotoran sapi yang dikoleksi pada
pagi dan sore hari dikumpulkan dalam
tempat tersendiri dan diformulasi
dengan bahan tambahan untuk dijadikan
pupuk organik siap jual (komunikasi
langsung dengan ketua kelompok). Agak
berbeda dengan UMKM Tanjung Lurah,

Salimpaung, Tanah Datar, Sumatera


Barat proses pembuatan pupuk organik
ditambahkan serbuk gergaji, abu arang
sekam, dedak, kulit kakao, batang pohon
pisang, kapur, daun Titonia dan
inokulum kapang Tricoderma untuk
difermentasi selama 1 minggu. Dalam
satu batch fermentasi diproses sebanyak
4 ton/minggu. Proses fermentasi
berlangsung 3 tahap masing masing
selama 1 minggu dan dilanjutkan proses
penggeringan dan penggilingan serta
pengemasan (komunikasi langsung
dengan Bapak Yon Nasri/ pemilik
usaha).

Tabel 2. Karakteristik konsep pertanian terpadu yang diterapkan di beberapa wilayah


Lokasi

Letak
geografis

Sumber
pakan

Jenis sapi

Wonosobo,
Jawa Tengah

Pegunungan

Rumput
Hijauan

Ongole
dan
Simental

5 10 ekor

Taraf
Pendidikan
SDM
SLTP

Temanggung,
Jawa Tengah

Pegunungan

Hijauan,
ampas bir

Ongole
dan
simental

15 ekor

Sarjana

2009

Banyumas,
Jawa Tengah

Dataran
tinggi

Hijauan,
limbah
pertanian

Ongole
dan
Simental

20 ekor

SMA,
Sarjana

2010

Belu, NTT

Dataran
rendah

Padang
rumput

Sapi Bali

200 ekor

Diploma

2007

Kaur,
Bengkulu

Dataran
rendah

Hijauan dan
pelepah sawit,
alang-alang,
dedak

Ongole

10 ekor

Sarjana

2013

Tanah Datar,
Sumatera Barat

Dataran
tinggi, basah

Hijauan,
jerami, kulit
kakao, dedak

Simental

10

90 ekor

SD - SMA

2013

Berjiharjo,
Gunungkidul

Dataran
tinggi,
kering

Hijauan,
limbah
pertanian
(rending,
jerami)

Peranakan
ongole dan
Simental

5 ekor

Sarjana

2006

Bantul, D.I.Y

Dataran
rendah

Jerami,
rumput,
dedak,
onggok,

Peranakan
Ongole,
Simental

15

50 ekor

SMA

2010

108

Jumlah
peternak

Populasi
sapi

Tahun
Penerapan
IFS
2009

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

Pupuk organik digunakan untuk


berbagai macam tanaman pertanian
seperti ditampilkan pada Tabel 2.
Budidaya
tanaman
hortikultura
(khususnya sayuran organik) dengan
metode vertikultur sangat tepat untuk
menopang kebutuhan sumber pangan
dengan memanfaatkan pupuk cair yang
dihasilkan dari peternakan dan sebagai
upaya efisiensi pertanian pada lahan
yang terbatas (Julendra dan Kali Taek,
2009). Tanaman pertanian yang
dibudidayakan disesuaikan dengan
kebutuhan, lokasi dan kondisi geografis
setempat. Konsep vertikultur yang
lebih tertata telah diterapkan di UMKM
Pondok Pesantren Roudlotul Huda dan
Berkah Farm di Sokaraja, Banyumas
yang memanfaatkan limbah cair dari
proses biogas. Hasil IPTEKDA UPT.

BPPTK LIPI di Sokaraja Banyumas


telah berhasil menerapkan sistem
pertanian
organiuk
dengan
menggunakan
sistem
vertikultur
dengan menggunakan media tanam
berupa tanah, limbah biogas padat,
sekam, dan abu sekam dengan
perbandingan masing-masing 7:7:3:3.
Media
penyiraman
tanaman
menggunakan limbah cair biogas
dengan sistem tetes dari selang
berlubang kecil ke dalam pot tanaman.
Bibit tanaman yang ditanam yaitu sawi,
kangkung, dan seledri dan telah tumbuh
dalam jangka waktu 2 minggu setelah
penyemaian. Lahan pertanian organik
pada tahap awal cukup membutuhkan
lahan berukuran 2x3 m (Istiqomah,
2011).

Gambar 2. Sistem irigasi tetes memanfaatkan limbah cair biogas Istiqomah, 2011)
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi keberhasilan penerapan
IFS diantaranya adalah faktor sumber
daya alam, lingkungan dan sumber daya
manusia. Faktor sumber daya alam yaitu
tersedianya ternak sapi potong sebagai
sumber penghasil kotoran guna diolah
menjadi pupuk bagi pertanian. Sumber
daya manusia yang tersedia sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan
usaha pertanian terpadu ini. Budaya etos
kerja yang tinggi dapat menunjang
keberhasilan penerapan usaha terpadu
ini. Lingkungan memberikan pengaruh
karena dapat mempengaruhi kinerja unit

biogas
yang
dibangun,
kondisi
lingkungan yang mendukung proses
biogas adalah ketersediaan air dan suhu
yang ideal untuk proses fermentasi di
dalam digester biogas.
Beberapa
kajian
memperlihatkan pengaruh SDM pada
keberhasilan
program
introduksi
terknologi.
Hutagalung
(2011)
menyebutkan
bahwa
program
penyuluhan pertanian terkait dengan
karakteristik social ekonomi petani yang
keberhasilannya
dipengaruhi
oleh
tingkat pendidikan, luas lahan dan
produksi, sedangkan lamanya usaha dan

109

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

jumlah tanggungan keluarga tidak


memiliki pengaruh signifikan. Peran
kelembagaan pertanian/peternakan juga
memiliki peran signifikan dalam
menentukan keberhasilkan pertanian /
peternakan. Pada saat penerapan
teknologi sudah diaplikasikan pada
masyarakat, kelembagaan penyuluhan
pertanian memeliki peran. Payung
(2013)
dalam
hasil
surveinya
menyebutkan
bahwa
kelembagaan
pertanian memiliki peran penting dalam
optimalisasi penerapan teknologi di
daerah.
Kondisi geografis juga sangat
mempengaruhi keberhasilan program
IFS. Survei dan pemetaan lokasi
menjadi pada saat sebelum diterapkan
IFS sangat penting sebagai dasar
pemilihan jenis tanaman dan ternak yang
akan dibudidayakan. Sumanto dan
Juarini (2004) menyebutkan bahwa
kesesuaian lahan bagi ternak merupakan
salh satu faktor penting untuk
menunjang keberhasilan peningkatan
produktivitas
ternak,
terutama
ruminansia. Ini berarti bahwa tidak
semua kondisi lahan dipermukaan bumi
ini akan sesuai bagi kehidupan ternak
ruminansia.
Melalui
pendekatan
perpaduan kondisi agroklimat dan
penggunaan lahannya serta produktivitas
tanaman pangan dan hijauan yang ada,
maka kesesuaian lahan dana arah
pengembangan lahan bagi ternak
ruminansia dapat ditentukan.

yang dapat menunjang kegiatan usaha di


sektor yang lain dalam satu lokasi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2013a. Rata-rata Konsumsi Protein
(gram) per Kapita Menurut
Kelompok Makanan 1999, 2002

2012.
http://www.bps.go.id/tab_sub/vie
w.php?kat=1&tabel=1&daftar=1
&id_subyek=05&notab=4
BPS. 2013b. Populasi Ternak (000 ekor)
2000-2011.
http://www.bps.go.id/tab_sub/vie
w.php?kat=3&tabel=1&daftar=1
&id_subyek=24&notab=12.
BPN. 2013. Luas lahan rumah tangga
pertanian Indonesia 2003 2013.
IFAD, 2004. Integrated crop-livestock
farming
systems.
www.ifad.org/lrkm/factsheet/inte
gratedcrop.pdf
van Keulen, H. and H. Schiere. 2004.
Crop-livestock systems: old wine
in new bottles? "New directions
for a diverse planet". Proceedings
of the 4th International Crop
Science Congress, 26 Sep 1 Oct
2004,
Brisbane,
Australia.
Published on CDROM. Web site
www.cropscience.org.au.
Febrisiantosa, A., R. Maryana, P. I.
Pudjiono, H. Herdian. 2007.
Implementasi Teknologi Biogas
Sebagai Penyedia Energi dan
Pupuk Organik Pada Rumah
Tangga Petani di Pedesaan.
Prosiding Seminar Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pemanfaatan
Bahan Baku Lokal, Yogyakarta 5
Desember 2007.
Julendra, H., Putut Irwan Pudjiono,
Roni
Maryana.
2007.
Pemanfaatan
Kotoran
Sapi
sebagai Energi Alternatif dan
Pupuk Organik Dalam Rangka
Pengembangan Sistem Pertanian
Terpadu. Prosiding Nasional
Implementasi Hasil Hasil Riset.

KESIMPULAN DAN SARAN


Melalui
penerapan
sistem
pertanian terpadu berbasis sapi potong,
usaha ternak dan tani dapat dilakukan
secara simultan. Efisiensi usaha dapat
dilakukan karena memanfaatkan limbah
hasil usaha yang satu untuk digunakan
sebagai input bagi usaha yang lain tanpa
mengeluarkan biaya yang tinggi.
Penerapan sistem biogas dalam sistem
pertanian terpadu dapat menurunkan
tingkat polusi yang dihasilkan dari usaha
peternakan
(ramah
lingkungan)
sekaligus menghasilkan sumber energi

110

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

UPT. BPPTK LIPI, BPTP


Yogyakarta dan UGM.
Istiqomah, L. 2011. Laporan Kemajuan
Tahap Akhir. IPTEKDA XIV.
Penguatan Program
Penggemukan Ternak Sapi
Potong Dengan Sistem Kereman
Di Wilayah Kecamatan Sokaraja,
Purwokerto, Jawa Tengah.
Julendra, H. Dan J. Kali Taek. 2009.
Model
Pertanian
Terpadu
Pengembangan Sapi Bali (Bos
taurus) di Lahan Marginal.
Prosiding
Nasional
Implementasiu Hasil Hasil
Riset. UPT. BPPTK LIPI, BPTP
Yogyakarta dan UGM.

Pangan Daerah Di Merauke.


http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/fil
es/4fd787e699e40731ff4b78ace
335d3b7.pdf
Sumanto dan E. Juarni. 2004. Potensi
kesesuaian
lahan
untuk
pengembangan
ternak
ruminansia di propinsi Nusa
Tenggara Timur. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2004.
Hutagalung, R. H. 2011. Evaluasi
terhadap petani peserta program
penyuluhan pertanian SLPHT
(Sekolah
Lapangan
Pengendalian Hama Terpadu).
Skripsi
Program
Studi
Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Payung, M., J. Muhidong dan Daniel.


2013. Peranan Sumber Daya
Manusia Dan Kelembagaan
Penyuluhan Dalam Peningkatan
Produksi Tanaman Pangan
Untuk Keberlanjutan Ketahanan

111

Anda mungkin juga menyukai