Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PATOFISIOLOGI

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS ( ISPA )


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

Apelia Candra Rini

260110090007

Miski Aghnia

260110090008

Nicky Niken L

260110090009

M. Irfan

260110090010

Ratna Ayu Suminar

260110090012

Diastry Winanda

260110090013

Ismil Imama

260110090014

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional


pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan antara usaha
peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa modal
kesehatan

niscaya akan gagal pula pembangunan kita.

Usaha peningkatan

kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan


telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, dimana penyakit
yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu
ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta anak bawah lima tahun.
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan
bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu
penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang
maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk
rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran
pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada,masa dewasa. dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya
Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit
ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.
Kematian yangterbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan. Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat
masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang
untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan
kurang gizi.
1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka penulis ingin


mencoba untuk mengemukakan terminology, epidemiologi, etiologi, pathogenesis,
prognosis, dan patofisiologis dari penyakit-penyakit ISPA yaitu Otititis Media,
Sinusitis, dan Faringitis.

BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi ISPA


ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang
benar ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA
meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah.
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang
dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai
gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga
tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya
bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini
tidak

diobati

dengan

antibiotic

dapat

mengakibat

kematian.

Program

Pemberantasan Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu


pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya
penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek
seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya
digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit
jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik.
Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut
harus mendapat antibiotic. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin,
udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat
kesaluran pernapasannya.
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan
bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup
besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama
yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada
bulan-bulan musim dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering
terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi
dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada
anak-anak

karena

meningkatnya

kemungkinan

infeksi

silang,

beban

immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing,

serta

tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotic. Tanda-tanda

bahaya pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan


keluhankeluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit
mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh
dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam
kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit,
meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang
ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan
tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan. Tanda-tanda bahaya dapat
dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tandatanda laboratoris.
Tanda-tanda klinis

Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea),


retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah

atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.


Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi,

hypotensi dan cardiac arrest.


Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala,

bingung, papil bendung, kejang dan coma.


Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

Tanda-tanda laboratoris

hypoxemia,
hypercapnia dan
acydosis (metabolik dan atau respiratorik)

Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah:
tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan
tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa
minum (kemampuan minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume
yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam
dan dingin.

BAB III
ISI

OTITIS MEDIA
2.1 Terminologi

Otitis media adalah infeksi atau inflamasi (inflamasi: peradangan) di


telinga tengah. Telinga sendiri terbagi menjadi tiga bagian: telinga luar, telinga
tengah, dan telinga dalam. Telinga tengah adalah daerah yang dibatasi dengan
dunia luar oleh gendang telinga. Daerah ini menghubungkan suara dengan alat
pendengaran di telinga dalam. Selain itu di daerah ini terdapat saluran Eustachius
yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga hidung belakang dan
tenggorokan bagian atas. Guna saluran ini adalah:

menjaga

keseimbangan

tekanan

udara

di

dalam

telinga

dan

menyesuaikannya dengan tekanan udara di dunia luar.

mengalirkan sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga


tengah ke bagian belakang hidung ( Itqiyah, 2007).
Otitis media adalah peradangan pada telinga tengah dan sistem sel udara

mastoid. Otitis media dibagi menjadi 3 yaitu :

Otitis media efusi (OME) adalah peradangan telinga tengah dan mastoid
yang ditandai dengan akumulasi cairan di telinga tengah tanpa disertai tanda
atau gejala infeksi akut.

Otitis media akut (OMA) adalah proses infeksi yang ditentukan oleh adanya
cairan di telinga tengah dan disertai tanda dan gejala seperti nyeri telinga
(otalgia), rasa penuh di telinga atau gangguan dengar, serta gejala penyerta
lainnya tergantung berat ringannya penyakit, antara lain: demam, iritabilitas,
letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga perforasi membrana timpani,
yang dapat diikuti dengan drainase purulen.

Otitis media kronik (OMK) adalah proses peradangan di telinga tengah dan
mastoid yang menetap > 12 minggu.
Otitis media efusi (OME)
Penyakit ini dikenal pula dengan serous otitis media, glue ear, dan non

purulen otitis media. OME adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi
pada anak. Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan shortterm menyertai suatu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), ataupun sebagai

proses kronis yang disertai gangguan dengar berat, keterlambatan perkembangan


bicara dan bahasa, gangguan keseimbangan, hingga perubahan struktur membrana
timpani dan tulang pendengaran
(Haryanto,2010)
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu
episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka
mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami
minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun.4 Di negara tersebut otitis media
paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun( Itqiyah, 2007).
2.3 Etiologi
Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun
bakteri. 4,5 Pada 25% pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi telinga tengah bersama
bakteri. Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella cattarhalis. Yang perlu diingat
pada OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri, hanya sedikit
kasus yang membutuhkan antibiotik. Hal ini dimungkinkan karena tanpa
antibiotik pun saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga bakteri akan
tersingkir bersama aliran lendir ( Itqiyah, 2007).
2.4 Patogenesis
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan
infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran,
tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri.
Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu

pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang


dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun
cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45
desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri dan
yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek
gendang telinga karena tekanannya ( Itqiyah, 2007).
2.5 Prognosis
Otitis media kronik ditandai dengan riwayat keluarnya cairan secara
kronik dari satu atau dua telinga. Jika gendang telinga telah pecah lebih dari 2
minggu, risiko infeksi menjadi sangat umum. Umumnya penanganan yang
dilakukan adalah mencuci telinga dan mengeringkannya selama beberapa minggu
hingga cairan tidak lagi keluar.
Otitis media yang tidak diobati dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga
tengah, termasuk otak. Namun komplikasi ini umumnya jarang terjadi. Salah
satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000 anak dengan OMA yang tidakdiobati.
Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
permanen. Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi
pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan
bahasa. Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga
tengah selama 3 bulan atau lebih( Itqiyah, 2007).
2.6 Patofisiologi
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut :

Penyakitnya muncul mendadak (akut)

Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga


tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di
antara tanda berikut:

menggembungnya gendang telinga

terbatas atau tidak adanya gerakan gendang telinga

adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga

cairan yang keluar dari telinga

Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan


adanya salah satu di antara tanda berikut:

kemerahan pada gendang telinga

nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal


Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat

menarik-narik daun telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga,


berkurangnya pendengaran, demam, sulit makan, mual dan muntah, serta rewel.
Namun gejala-gejala ini (kecuali keluarnya cairan dari telinga) tidak spesifik
untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat
semata.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa
liang dan gendang telinga dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya
gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga
menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi
pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga
yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang
telinga terhadap perubahan tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang
berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya
diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa. Efusi telinga tengah
juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap gendang
telinga). Namun timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak.
Indikasi perlunya timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah

usia enam minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak
dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak memberi respon pada
beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi.
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai
OMA. Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.

Gejala dan tanda


Nyeri telinga, demam, rewel
Efusi telinga tengah
Gendang telinga suram
Gendang yang menggembung
Gerakan gendang berkurang
Berkurangnya pendengaran

OMA
+
+
+
+/+
+

Otitis media
dengan efusi
+
+/+
+
( Itqiyah, 2007)

SINUSITIS
2.1 Terminologi
Sinusitis adalah penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus sendiri adalah
rongga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi
dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan menjaga
pertukaran udara di daerah hidung. Sinusitis dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu :

Sinusitis akut : gejala dirasakan selama 2-8 minggu.

Sinusitis kronik : biasanya gejala dirasakan lebih dari 8 minggu.


Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat

infeksi atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri atau virus ( Bekti, 2009).
2.2 Epidemiologi

Angka kejadian sinusitis di Indonesia belum diketahui secara pasti. Tetapi


diperkirakan cukup tinggi karena masih tingginya kejadian infeksi saluran napas
atas, yang merupakan salah satu penyebab terbesar terjadinya sinusitis. Di Eropa
angka kejadian sinusitis sekitar 10% - 30% populasi, di Amerika sekitar 135 per
1000 populasi (Sari,2009)
Di dunia, sinusitis kronik dapat dijumpai hampir di seluruh negara,
terutama dengan kadar polusi udara yang relatif tinggi, seperti di Indonesia. Iklim
dan kelembaban udara juga memegang peranan penting dalam menyebabkan
sinusitis.

Di

belahan

bumi

utara,

sinusitis

biasanya

terjadi

akibat

konsentrasi pollen di udara. Seperti penyakit lainnya, sinusitis yang menjadi


kronis

akan

meningkatkan

morbiditas

bahkan

mortalitas.

Penyebaran

perkontinuitatum sinusitis mampu mengakibatkan komplikasi hingga menjadi


meningitis dan abses otak. Selain itu sinusitis yang kronis juga memicu
eksaserbasi asma bagi para pengidapnya( Muhammad,2008).
2.3 Etiologi
Sinus paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lendir yang
dialirkan ke dalam hidung, untuk selanjutnya dialirkan ke belakang, ke arah
tenggorokan untuk ditelan ke saluran pencernaan. Semua keadaan yang
mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan
menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2
macam, yaitu :

Faktor lokal
Faktor lokal adalah semua kelainan pada hidung yang dapat

mengakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain infeksi, alergi, kelainan anatomi,


tumor, benda asing, iritasi polutan dan gangguan pada mukosilia (rambut halus
pada selaput lendir).

Faktor sistemik.
Faktor sistemik adalah keadaan di luar hidung yang dapat menyebabkan
sinusitis; antara lain gangguan daya tahan tubuh (diabetes, AIDS),

penggunaan obat-obat yang dapat mengakibatkan sumbatan hidung ( Sari,


2009).
Penyebab sinusitis sampai saat ini akibat bakteri patogen yang memulai
infeksi sinusitis akut, yakni Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae, serta Moraxella catarrhalis. Dari endoskopi atau punksi sinus,
bakteri tersebut juga sering menyebabkan kelanjutan menjadi sinusitis
kronik. Selain itu, pada sinusitis yang kronik terdapat pula flora normal
dan beberapa patogen lain, misalnya Staphylococcus aureus, stafilokokus
koagulase negatif, Streptococcus viridans, Streptococcus intermedius,
Pseudomonas aeruginosa, serta spesies Nocardia dan bakteri anaerob.
Sedangkan jamur yang sering ditemukan pada sinusitis kronis ialah
spesies Aspergillus, Cryptococcus neoformans, Candida sp., Sporothrix
schenkii, dan spesies Alternatia. Selain akibat ulah kuman-kuman
tersebut, sinusitis yang kronik disebabkan oleh obstruksi osteometal yang
permanen, alergi, polip, atau status imunodefisiensi ( Muhammad,2008).
2.4 Patogenesis
Ketika sinusitis terjadi karena infeksi bakteri ataupun virus,maka akan
terjadi infeksi pada rongga sinus. Kadangkala infeksi sinus terjadi setelah kita
mengalami flu. Virus flu akan menyerang lapisan rongga sinus menyebabkan
lapisan sinus bengkak dan rongga sinus menjadi mengecil. Tubuh bereaksi
terhadap virus tersebut dengan memproduksi lebih banyak lendir. Tetapi karena
rongga sinus mengecil maka lendir terperangkap di dalam rongga sinus dan
menjadi tempat tumbuhnya bakteri. Bakteri tersebutlah yang menyebabkan infeksi
sinus( Bekti, 2009).
2.5 Prognosis
Seperti halnya penyakit-penyakit yang lain, sinusitis juga dapat
menyebabkan komplikasi. Komplikasi sinusitis di antaranya:

Otak (infeksi pada otak atau timbunan nanah pada otak)

Mata (infeksi pada jaringan di sekitar bola mata, infeksi bola mata,
pecahnya bola mata)

Infeksi tulang sekitar sinus (dapat terjadi kebocoran nanah keluar dari
wajah, perubahan bentuk wajah/menonjol/membengkak)

Radang tenggorok yang sering kambuh

Radang amandel

Radang pita suara (sering batuk atau serak)

Sesak napas atau asma

Gangguan pencernaan (sering sakit perut, mual, muntah, diare)


( Sari, 2009 )

2.6 Patofisiologi
Setiap orang dapat melakukan diagnosis pada dirinya sendiri apakah
terkena sinusitis atau tidak. Untuk memudahkan diagnosis sinusitis dapat
berpatokan pada The Task Force on Rhinosinusitis of The American Assosiation of
Otolaryngology Head and Neck Surgery, dengan menggunakan gejala mayor dan
minor
GEJALA MAYOR

GEJALA MINOR

-Nyeri / berat / tertekan pada wajah

-Nyeri kepala

-Hidung buntu

-Napas bau

-Lendir / ingus kekuningan / kehijauan

-Nyeri gigi

-Gangguan membau

-Batuk

-Panas

-Nyeri / berat / tertekan

pada telinga
Sangkaan sinusitis apabila terdapat
-

minimal 2 gejala mayor atau

1 gejala mayor disertai dengan minimal 2 gejala minor

Apabila seorang penderita merasa dirinya memenuhi kriteria diagnosis


seperti yang tersebut di atas, maka yang bersangkutan perlu segera memeriksakan
dirinya ke dokter spesialis THT untuk medapatkan penanganan lebih lanjut, agar
dapat dicegah komplikasi akibat penyakit ini. Diagnosis pasti sinusitis ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto Rontgen, CT Scan, Endoskopi,
biakan dan uji kepekaan kuman. Kesemuanya itu tergantung pada kondisi
penderita dan fasilitas yang tersedia ( Sari,2009).
FARINGITIS
2.1 Terminologi
Radang Tenggorokan atau Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis),
adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring. Kadang
juga disebut sebagai radang tenggorok. Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau
kuman, disebabkan daya tahan yang lemah. Dalam terminologi kesehatan, radang
tenggorokan biasa disebut dengan sore throat atau faringitis. Keluhan yang
muncul bervariasi, dari sekadar rasa gatal di tenggorokan sampai nyeri berat
sehingga menelan ludah pun terasa menyakitkan. Tidak sampai di situ saja, stres
dan kerja berlebihan dapat memperlemah sistem pertahanan tubuh dan memicu
infeksi tenggorokan. Pengobatan dengan antibiotika hanya efektif apabila karena
terkena kuman. Kadangkala makan makanan yang sehat dengan buah-buahan
yang banyak, disertai dengan vitamin bisa menolong. Gejala radang tenggorokan
seringkali merupakan pratanda penyakit flu atau pilek.
Faringitis ada yang akut dan kronis,
* Faringitis akut, radang tenggorok yang masih baru, dengan gejala nyeri
tenggorok dan kadang disertai demam dan batuk.
* Faringitis kronis, radang tenggorok yang sudah berlangsung dalam waktu yang
lama, biasanya tidak disertai nyeri menelan, cuma terasa ada sesuatu yang
mengganjal di tenggorok( Judarwanto,2010).
2.2 Epidemiologi

Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis
kelamin, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak.
Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya
meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut
sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang
diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi
penyakit ini ( Hudachairi,2009).
2.3 Etiologi
Radang tenggorokan bisa disebabkan bermacam-macam penyebab, bisa
karena infeksi virus, infeksi bakteri,infeksi fungal hingga alergi dan iritasi,di
antaranya adalah:

Virus,

80

% sakit

tenggorokan disebabkan

oleh

virus,

dapat

menyebabkan demam .

Batuk dan pilek, dimana batuk dan lendir (ingus) dapat membuat
tenggorokan teriritasi.

Virus coxsackie (hand, foot, and mouth disease).

Alergi.
Alergi dapat menyebabkan iritasi tenggorokan ringan yang bersifat
kronis (menetap).

Bakteri streptokokus, dipastikan dengan Kultur tenggorok. Tes ini


umumnya dilakukan di laboratorium menggunakan hasil usap
tenggorok pasien. Dapat ditemukan gejala klasik dari kuman
streptokokus seperti nyeri hebat saat menelan, terlihat bintik-bintik
putih, muntah muntah, bernanah pada kelenjar amandelnya, disertai
pembesaran kelenjar amandel.

Difteri

Merokok.

Dari berbagai penyebab tersebut, penyebab tersering adalah infeksi virus.


Adapun bakteri yang paling sering menyebabkan radang tenggorokan adalah
bakteri streptococcus sekitar 15-30 persen kasus ( Zoomyadam,2009).
Kebanyakan radang tenggorokan disebabkan oleh dua jenis infeksi yaitu
virus dan bakteri. Sekitar 80% radang tenggorokan disebabkan oleh virus dan
hanya sekitar 10-20% yang disebabkan bakteri. Untuk dapat mengatasinya,
penting untuk mengetahui infeksi yang dialami disebabkan oleh virus atau bakteri
streptokokus. Infeksi virus biasanya merupakan penyebab selesma (pilek) dan
influenza yang kemudian mengakibatkan terjadinya radang tenggorokan. Selesma
biasanya sembuh sendiri sekitar 1 minnu begitu tubuh Anda membentuk antibodi
melawan virus tersebut ( Judarwanto,2010).
2.4 Patogenesis
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang
relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan
disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada
tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa
satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari
ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya
sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang
dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langitlangit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada
folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari
eksudat-eksudat yang

ditemukan

pada penyakit

yang

disebabkan oleh

streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar,


berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring
sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru
jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu
jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear
menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut.
Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan

penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh masa sakit dapat
berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari
5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun,
seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan
muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya
demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu
tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan
awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga
penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem
faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit
hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar
menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema
tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi.
Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus
kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari;
pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu.
Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan
penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjarkelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya
limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering
ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat
diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang
disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi
pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau
lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada
diagnosis infeksi virus( Hudachairi,2009).
2.5 Prognosis
Nyeri tenggorokan cenderung diabaikan, karena memang pada umumnya
ringan. Padahal pada sebagian kasus sekitar 10 -20% jika dibiarkan berlarut-larut,

radang ini bisa memicu munculnya penyakit lain. Hampir semua orang pernah
mengalami nyeri tenggorokan. Namun, belum banyak yang mau memeriksakan
diri ke dokter sebelum nyeri tenggorokannya menjadi lebih parah. Bahkan,
mereka biasanya baru pergi ke dokter saat radang parah, nyaris tidak sanggup lagi
menelan makanan. Radang tenggorokan sesungguhnya bukanlah nama penyakit.
Ia hanyalah gejala dari berbagai penyakit yang muncul. Dalam terminologi
kesehatan, radang tenggorokan biasa disebut dengan sore throat atau faringitis.
Keluhan yang muncul bervariasi, dari sekadar rasa gatal di tenggorokan sampai
nyeri berat sehingga menelan ludah pun terasa menyakitkan. Tidak sampai di situ
saja, stres dan kerja berlebihan dapat memperlemah sistem pertahanan tubuh dan
memicu infeksi tenggorokan. Penyebab radang atau sore throat bermacammacam. Bisa karena infeksi virus, infeksi bakteri, hingga alergi dan iritasi.
Seluruhnya dapat ditularkan melalui ludah, yang keluar saat batuk,atau
yang terdapat pada tangan atau barang pribadi penderita infeksi. Rata-rata masa
inkubasi radang tenggorokan antara dua hingga lima hari. Namun bila disebabkan
virus, masa inkubasinya berkisar antara tiga hari hingga dua minggu. Infeksi yang
disebabkan virus influenza bersifat menular dan sangat mudah tersebar. Pada
kondisi ini, peradangan berlangsung sekitar tiga sampai sepuluh hari. Umumnya,
peradangan terasa lebih berat pada pagi hari dan akan membaik seiring
berjalannya hari.
Biasanya disertai rasa lemas, menurunnya nafsu makan, demam, dan
batuk. Sakit tenggorokan juga ditemukan pada infeksi virus lainnya seperti bisul
dan campak. Tubuh memerlukan satu minggu untuk membangun antibodi untuk
menghancurkan virus-virus tersebut. Infeksi mononucleosis, atau yang umumnya
disebut Mono disebabkan virus Epstein Barr,dan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk sembuh.Virus ini memengaruhi sistem limpa sehingga menyebabkan
pembesaran pada amandel dan muncul bercak putih pada permukaannya. Selain
itu, juga terjadi pembengkakan pada pembuluh di leher.
Infeksi seperti ini biasanya menimbulkan sakit tenggorokan yang parah,
sehingga membuat si penderita kesulitan bernapas. Virus ini juga menyebabkan
kelelahan luar biasa yang dapat berlangsung lebih dari enam minggu. Terkadang

virus ini juga menyerang hati dan menyebabkan sakit kuning. Walaupun Mono
diberi nama panggilan Kissing Disease, ia tidak hanya bisa ditularkan melalui
ludah. Penularan juga dapat terjadi dari mulut ke tangan, kemudian dari tangan ke
mulut atau dari penggunaan handuk atau alat-alat makan bersama.
Untuk bakteri, yang paling umum dan paling serius dalam hal komplikasi
adalah grup A betahemolitis streptococcus. Bakteri ini menyebabkan penyakit
strep throat dan diasosiasikan dengan kerusakan klep di jantung (demam rematik)
dan ginjal (nephritis), tonsillitis, radang paru, sinusitis, dan infeksi telinga.
Penyebab sakit tenggorokan yang lain adalah laryngo-pharyngeal reflux (LPR).
Pada penderita alergi biasanya mengalami sakit di tenggorokan pada pagi hari saat
asam lambung naik ke atas dan masuk bagian belakang tenggorokan. Pada
tenggorokan terasa ada benjolan dan berasa asam. Penderita sering mengeluarkan
dahak untuk membersihkan tenggorokan (Judarwanto,2010).
2.6 Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium
awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering
dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding
faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi
meradang dan membengkak (Hudachairi,2009).
Gejala umum radang tenggorokan akibat infeksi virus sebagai berikut:

Rasa pedih atau gatal dan kering.

Batuk dan bersin.

Sedikit demam atau tanpa demam.

Suara serak atau parau.

Hidung meler dan adanya cairan di belakang hidung.

Infeksi bakteri memang tidak sesering infeksi virus, tetapi dampaknya bisa
lebih serius. Umumnya, radang tenggorokan diakibatkan oleh bakteri jenis
streptokokus sehingga disebut radang streptokokus. Seringkali seseorang
menderita infeksi streptokokus karena tertular orang lain yang telah menderita
radang 2-7 hari sebelumnya. Radang ini ditularkan melalui sekresi hidung atau
tenggorokan.
Gejala umum radang streptokokus berikut:

Tonsil dan kelenjar leher membengkak

bagian belakang tenggorokan berwarana merah cerah dengan bercakbercak putih.

demam seringkali lebih tinggi dari 38 derajat celsius dan sering disertai
rasa menggigil

sakit waktu menelan.

Radang streptokokus memerlukan bantuan dokter karena bila penyebabnya


adalah kuman streptokokus dan tidak mendapat antibiotik yang memadai maka
penyakit akan bertambah parah dan kuman dapat menyerang katup jantung
sehingga menimbulkan penyakit Demam Rhematik ( Judarwanto,2010).

DAFTAR PUSTAKA

Bekti.

2009.

Sinusitis

Available

online

at

http://medicastore.com/artikel/280/index.html (diakses tanggal 18 Mei


2011)
Haryanto,Hary.

2010.

Otitis

media

efusi.

Available

online

at

http://craizes456.blogspot.com/2010/10/otitis-media-efusi-ome.html
(diakses tanggal 18 Mei 2011)
Hudachairi.

2009.

Faringitis.

Available

online

at

http://hudachairi.multiply.com/journal/item/14/Faringitis (diakses tanggal


18 Mei 2011).
Itqiyah,

Nurul.

2007.

Otitis

Media.

Available

online

at

http://puyer.wordpress.com/category/guidelines/ (diakses tanggal 18 Mei


2011)
Judarwanto,Widodo.

2010.

Radang

Tenggorok.

Available

online

at

http://goib.wordpress.com/2010/11/07/radang-tenggorok-tidak-harusdiberi-antibiotika/?like=1 (diakses tanggal 18 Mei 2011)


Muhammad,Hary Utomo. 2008. Manajemen multiaspek sinusitis kronik.
Available online at : http://orie1284.multiply.com/journal (diakses tanggal
18 Mei 2011).
Sari.

2009.

Sinusitis.

Available

online

at

http://majalahkasih.pantiwilasa.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=88&Itemid=74 (diakses tanggal 18
Mei 2011).
Zoomyadam. 2009. Radang tenggorokan. Available online at : http://artikel-infokesehatan.blogspot.com/2009_09_01_archive.html (diakses tanggal 18
Mei 2011).

Anda mungkin juga menyukai