Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia.1,2,10
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. Infeksi oportunistik yang paling
sering terjadi adalah Tuberculosis, pneumonia, kandidiasis oral,cryptospirodiosis,
toxoplasmosis.1,2,10
Toxoplasma gondii adalah protozoa dengan penyebaran luas. Infeksi oleh
T.gondii dapat menyebabkan terjadinya toxoplasmosis, infeksi tesebut dapat
terjadi pada hewan dan manusia. Toxoplasma merupakan parasit protozoa dengan
sifat alami, perjalanan penyakitnya dapat bersifat akut atau menahun, simptomatik
maupun asimptomatik.T.gondii mengalami siklus aseksual pada spesies vertebrata
berdarah panas. Penularan pada manusia terjadi dengan cara menelan kista yang
berisi bradizoit yang terdapat pada daging yang terinfeksi, atau secara tidak
sengaja menelan ookista yang terdapat pada kucing.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Defenisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel
darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai
CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau
limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan
semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai Nol)9
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.10
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi
AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan
adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan
infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik.10

b. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4+. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.2
Antibody umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan
infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat
menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada
amplopnya.2
c. Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara
penularan melalui hubungan seksual, melalui jarum suntik atau alat tusuk lainnya,
melalui transfuse darah atau terkena darah positif HIV di tubuh yang luka, dan ibu
hamil dengan HIV positif maka anaknya beresiko terkena HIV.10
Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi
sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti
panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit
tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada
vase ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load
akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada
suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara
perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan
hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan
CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke
stadium AIDS.10
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4.
Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4.
Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag,

Langerhans, sel dendrit, astrosit, microglia. Selanjutnya akan diikuti fase fusi
membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan
terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim
reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah
masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim
reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk
mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim
reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA
yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan
kromosom

host

dengan

perantara

enzim

integrase.

Penggabungan

ini

menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan


translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten.
Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan
memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long
terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen
pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA.
Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari
mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari
keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah
virus non HIV, terutama virus DNA.10
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara
stuktur berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus,
mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan
bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap
virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian
polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti
virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari
sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu
melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.10

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu, sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi biasanya menunjukkan gejala demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelanjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV tanpa gejala, umumnya 8-10 tahun, tapi pada
sekelompok kecil orang perjalanan penyakitnya amat cepat yaitu hanya 2 tahun.2
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari
80% pengguna narkotika terinfeksi virus Hepatitis C. Lamanya penggunaan jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Makin lama
seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia
dan tuberculosis. Infeksi bersamaan ini akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga
dapat menyebabkan reaktivasi virus dalam yang berada dalam Limfosit T,
akibatnya perjalanan penyakit lebih progresif.2
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami
penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme10 :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma
akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA
virus yang tidak terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis
makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi
HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat
menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel
normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan
untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120
dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk
menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan


jumlah limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3
menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut
menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan individu terhadap
mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi oportunistik. Odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, infeksi jamur, batuk lama.2,10
d. Tes HIV
Secara garis besar tes HIV dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologic
unutk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV dan pemeriksaan untuk
mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat
dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi
genetic dalam darah pasien.2
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap
antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzymelinked immunosorbent assay).2
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu
dari 3 strategi pemeriksaan antibody tehadap HIV. Untuk keamanan transfuse dan
transplantasi dan surveillance maka dilakukan strategi I, hanya dilakukan 1 kali
pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus
terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi
HIV. Reagen yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki
sensitivitas yang tinggi (>99%).2
Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif,

maka

dilaporkan

hasil

tesnya

negative.

Pemeriksaan

pertama

menggunakan reagen dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua


dipakai reagen yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari
yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga

reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan
yang kedua adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2
metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.2
Strategi ke III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut
memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai
equivocal dan indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat
pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil
seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan
terhadap HIV atau tidak beresiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif. Pada pemeriksaan ketiga dipakai reagen yang berbeda pada
antigen dan tekniknya, serta memiliki spesifitas yang lebih tinggi.2
e. Diagnosis
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila tanda-tanda klinis ditunjang
dengan hasil pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, dengan metode
pemeriksaan antibody 3 strategi yang dianjurkan WHO dan dengan atau tanpa
pemeriksaan ELISA.2
f. Tatalaksana
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bukti bahwa pengobatan
dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (Obat Anti Retroviral) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV
dicapai melalui pulihnya system kekebalan terhadap infeksi HIV dan mengurangi
kerentanan tubuh terhadap infeksi oportunistik.2
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu :2
1. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung seperti dukungan psikososial,
tidur yang cukup, dan higenitas tubuh.

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker


yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperi jamur, tuberculosis,
hepatitis, toksopasma, limfoma.
3. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
g. Terapi Antiretroviral (ARV)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi lebih
baik. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease, tapi tidak semua ARV
tersedia di Indonesia.2
Nama
Dagang
Duviral

Nama
generic

Stavir
Zerit
Hiviral
3TC

Stavudin
(d4T)
Lamivudine
(3TC)

Golongan

NsRTI
NsRTI

Viramune Nevirapin
Neviral
(NVP)

NNRTI

Retrovir
Adovi
Avirzid
Videx

Zidovudin
(ZDV,AZT)

NsRTI

Didanosin
(dd)

NsRTI

Stocrin

Efavirenz
(EFV,EFZ)

NNRTI

Sediaan

Dosis/hari

Tablet,
kandungan :
zidovin 300
mg,
lamivudine
150 mg
Kapsul
30 mg, 40 mg
Tablet 150 mg

2 1 tablet

> 60 kg 2 40 mg
< 60 kg 2 30 mg
2 150 mg
< 50 kg
2mg/kg, 2/hari
Tablet 200 mg 1 200 mg selama 14
hari dilanjutkan 2
200 mg
Kapsul
100 2 300 mg, atau 2
mg
250
mg
(dosis
alternative)
Tablet
> 60 kg 2 200 mg
kunyah: 100 atau 1 400 mg
mg
< 60 kg 2 125 mg,
atau 1 250 mg
Kapsul
mg

200 1 600 mg malam

Nelvex
Viracept

Nelfinavir
(NFV)

PI

Tablet 250 mg

2 1250 mg

Tabel 1. Obat ARV yang beredar di Indonesia

h. Definisi Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis disebabkan oleh parasite
Toxoplasma Gondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Parasit ini dijumpai secara
kosmopolitan di seluruh dunia. Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia cukup
tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia angka kejadian toxoplasmosis bervariasi
antara 2-51%. 1,3,4,5,6,7,8
Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada
inangnya, penderita seringkali tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi sebab
tidak mengalami tanda - tanda dan gejala-gejala yang jelas, terutama pada
penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan
memberikan kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan
imunitas misalnya pada penderita penyakit keganasan, HIV-AIDS serta penderita
yang

mendapatkan

obat-obat

imunosupresan.

Infeksi

toxoplasma

dapat

menghasilkan kista jaringan, limfadenopati, ensefalitis, miokarditis, dan


pneumonitis. Manifestasi yang paling jelas adalah apabila infeksi ini terjadi pada
masa kehamilan sehingga dapat terjadi abortus, lahir mati, lahir hidup dengan
kecacatan misalnya hydrocephalus maupun microcephalus, gangguan motorik,
kerusakan retina dan otak serta tanda-tanda kelainan jiwa.1,3

10

Gambar 1. Penyakit yang muncul sesuai penurunan CD4

i. Etiologi
Toxoplasma gondii adalah parsit intraseluler yang menginfeksi burung dan
mamalia. Tahap utama daur hidup parasite adalah pada kucing (pejamu defenitif).
Dalam sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur
seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan
bersama tinja.1,3,4,5,6,7,8
j. Epidemiologi
Distribusi geografis dari Toxoplasma gondii ini kosmopolit dengan infeksi
terbanyak pada berbagai jenis hewan yaitu dapat menginfeksi > 200 spesies serta
mamalia termasuk juga manusia. Pada penelitian Hutchison menyatakan bahwa
bila kucing memakan tikus yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii maka infeksi
tersebut dapat ditularkan kembali kepada tikus melalui feces kucing tersebut,
bahkan dapat pula ditransmisikan melalui air serta di dalam air parasit ini akan
bertahan selama setahun atau lebih.1

11

Walaupun transmisi intrauterine secara transplacental sudah diketahui


tetapi baru pada tahun 1970 siklus hidup parasite ini menjadi lebih jelas yaitu
ketika ditemukannya siklus seksualnya pada kucing. Setelah dikembangkannya
test serologis yang sensitive oleh Sabin dan Feldman maka diketahui bahwa zat
anti Toxoplasma gondii dapat ditemukan secara cosmopolitan terutama di daerah
dengan iklim panas dan lembab. Dengan merebaknya kasus penyakit HIV-AIDS,
saat ini toxoplasmosis dihubungkan pula dengan kemampuan untuk memperparah
penyakit HIV-AIDS oleh karena sifat dari parasit ini yang opportunistic.1,3,4,5

Tabel 2. Prevalensi zat anti toxoplasmosis di beberapa Negara

Tabel 3. Prevalensi zat anti toxoplasmosis di Indonesia

12

k. Morfologi dan Siklus Hidup

Gambar 2. Daur hidup T.gondii

Dalam sel epithel usus kecil bangsa kucing dapat berlangsung siklus
asexual (schizogoni) maupun sexual (gametogoni, sporogoni) yang akan
menghasilkan oocyst (ookista). Ookista yang berbentuk oval dengan ukuran 9-11
mikron x 11-14 mikron akan keluar bersama feces. Ookista akan menghasilkan
dua sporokista yang masing masing mengandung empat sporozoite (sporosoit).
Apabila ookista tertelan oleh hospes perantara yaitu mamalia lain (termasuk
manusia) dan golongan burung (aves), maka pada berbagai jaringan dari hospes
perantara ini akan terbentuk kelompok kelompok tropozoite yang membelah
secara aktif dan disebut sebagai tachyzoite yang membelah sangat cepat.
Selanjutnya kecepatan membelah dari tachyzoite akan berkurang secara berangsur
dan akan terbentuk cyst (kista) yang mengandung bradizoite. Masa tersebut adalah
masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten.1,4,8
Pada hospes perantara tidak terdapat stadium sexual melainkan terjadi
stadium istirahat yaitu adanya kista jaringan. Apabila hospes definitive ( bangsa
kucing) memangsa hospes perantara yang terinfeksi, maka akan terbentuk lagi
siklus sexual maupun asexual di dalam ususnya. Masa prepaten ( masa sampai

13

dikeluarkannya ookista dari bangsa kucing) adalah tiga sampai lima hari,
sedangkan apabila bangsa kucing makan tikus yang mengandung tachyzoite
biasanya masa prepaten adalah lima sampai sepuluh hari, tetapi apabila bangsa
kucing langsung menelan ookista maka masa prepatennya adalah dua puluh
sampai dua puluh empat hari. Bangsa kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista
jaringan daripada terinfeksi oleh ookista. Pada berbagai jaringan tubuh bangsa
kucing yang terinfeksi juga dapat diketemukan bentuk tachizoite ( tropozoite) dan
kista jaringan sedangkan pada manusia yang terinfeksi dapat diketemukan adanya
tachizoite pada masa infeksi akut serta tachizoite ini dapat memasuki setiap jenis
sel yang berinti. Bentuk tachizoite menyerupai bulan sabit dengan satu ujungnya
meruncing dan ujung yang lainnya agak membulat dengan ukuran sekitar 4-8
mikron dan mempunyai 1 inti yang terletak kira-kira ditengah. Tachizoite ini
bersifat obligat intraseluler. Tachizoite berkembangbiak dalam sel secara
endodiogeni. Bila sel menjadi penuh dengan adanya tachizoite maka sel tersebut
akan pecah dan tachizoite akan keluar serta memasuki sel sel disekitarnya atau
terjadi fagositosis terhadap tachizoite tersebut oleh makrofag.1,4,5
Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes apabila tachizoite yang
membelah telah membentuk dinding dan kista jaringan ini dapat diketemukan
terutama di dalam jaringan otak, otot jantung dan otot bergaris hospes seumur
hidup (latent). Di otak, kista jaringan akan berbentuk oval sedangkan di sel otot
bentuk kista jaringan akan mengikuti bentuk sel otot. Adapun cara infeksi dari
parasit ini pada manusia dapat melalui berbagai cara yaitu yang pertama
toxoplasmosis congenital, transmisi parasit ini kepada janin terjadi in utero
melalui placenta bila ibunya mendapat infeksi primer pada saat kehamilan ; yang
kedua adalah toxoplasmosis aquisita, infeksi ini dapat terjadi bila makan daging
mentah atau kurang matang yang mengandung kista atau tachizoite parasit ini atau
melalui tertelannya ookista yang dikeluarkan oleh kucing penderita bersama
fecesnya ; kemungkinan yang ketiga adalah infeksi di laboratorium yaitu melalui
jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi oleh parasit ini serta
kemungkinan ke empat adalah melalui transplantasi organ dari donor penderita
toxoplasmosis latent.1,3,7

14

l. Patogenesis dan Manifestasi Klinis


Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti sehingga
dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel darah merah.
Bila terjadi invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan
memasuki sel hospes ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang selamat dari
proses fagositosis akan memasuki sel, berkembangbiak yang selanjutnya akan
menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan parasit akan keluar serta menyerang
sel-sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel makrofag atau sel limfosit
maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh bagian tubuh
menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung selama beberapa
minggu. Kista jaringan akan terbentuk apabila telah ada kekebalan tubuh hospes
terhadap parasit ini. Kista jaringan dapat ditemukan di berbagai organ dan
jaringan dan dapat menjadi laten seumur hidup penderita. Derajat kerusakan yang
terjadi pada jaringan tubuh tergantung pada umur penderita, virulensi strain
parasit ini, jumlah parasit ini dan jenis organ yang diserang. Lesi pada susunan
saraf pusat dan pada mata biasanya bermanifestasi lebih berat dan bersifat
permanent sebab jaringan jaringan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan regenerasi. Kelainan kelainan pada Susunan Saraf Pusat umumnya
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi sedangkan terjadinya
penyumbatan aquaductus sylvii akibat ependymitis dapat mengakibatkan kelainan
berupa hydrocephalus pada bayi. Infeksi yang bersifat akut pada retina akan
mengakibatkan reaksi peradangan fokal dengan oedema dan infiltrasi leucocyte
yang dapat menyebabkan kerusakan total pada mata serta pada proses
penyembuhannya akan terjadi cicatrix. Akibat dari pembentukan cicatrix ini maka
akan dapat terjadi atrophi retina dan coroid disertai pigmentasi.1
Pada toxoplasmosis aquisita, infeksi pada orang dewasa biasanya tidak
diketahui sebab jarang menimbulkan gejala, tetapi bila infeksi primer terjadi pada
masa kehamilan maka akan terjadi toxoplasmosis congenital pada bayinya.
Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada toxoplasmosis aquisita adalah
limfadenopati, rasa lelah, demam dan sakit kepala dan gejala ini mirip dengan
mononucleosis infeksiosa, kadang-kadang dapat terjadi eksantema.1

15

Toxoplasmosis sistemik pada penderita dengan imunitas yang normal


dapat bermanifestasi dalam bentuk hepatitis, pericarditis dan meningoencephalitis.
Penyakit ini dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Pada
penderita dengan keadaan immunocompromised misalnya pada penderita
HIV/AIDS atau pada orang-orang yang mengkonsumsi imunosupresan, infeksi
oleh parasit ini mungkin dapat meluas yang ditandai dengan ditemukannya
proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata, paru, hepar, jantung dan organ-organ
lainnya sehingga dapat berakibat fatal.1
Apabila infeksi oleh parasit ini tidak diobati dengan baik dan penderita
masih tetap hidup, maka penyakit ini akan memasuki fase kronik yang ditandai
dengan terbentuknya kista jaringan yang berisi bradizoite dan ini terutama
didapatkan di jaringan otak serta kadang kadang tidak memberikan gejala klinik
yang jelas. Fase kronik ini dapat berlangsung lama selama bertahun- tahun bahkan
dapat berlangsung seumur hidup.1
Pada pasien HIV/AIDS, terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang
disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari subset
limfosit T yaitu T Helper. Subset T ini digambarkan secara fenotip oleh ekspresi
pada permukaan CD4, jumlah CD4 yang < 100/ml mengakibatkan pasien sangat
rentan terhadap infeksi oportunistik,salah satunya toxoplasma. Manifestasi yang
paling

sering

muncul

pada

pasien

HIV/AIDS

adalah

ensefalitis

dan

meningoensefalitis. Kista yang dalam bentuk bradizoit (membelah perlahan)


hanya menyebabkan inflamasi pada tahap awal perkembangan. Saat kista
maturasi, proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista menetap di
otak.1,3,4,8
Dua faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit saraf pada penderita
HIV/AIDS. Faktor yang pertama adalah infeksi dari HIV sendiri yang menyerang
sistem kekebalan tubuh juga berdampak pada sistem saraf dan dapat
mengakibatkan kelainan pada saraf. Selain itu, faktor dari infeksi opportunistik
yang terdiri dari berbagai macam kuman, virus, jamur, dan parasite.1
Jenis-jenis penyakit saraf yang diderita pasien HIV/AIDS adalah
meningitis TB, toksoplasmosis otak, ensefalitis CMV, HIV ensefalopati,

16

meningoensefalitis, meningitis kriptokokal, edema otak, mati batang otak, atrofi


serebri, stroke non hemoragik, demensia, dan cephalgia. Persentase terbanyak
pada toksoplasmosis otak (58,20%).Hal tersebut sesuai dengan penelitian dr.
Darma Imran di Jakarta pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa infeksi
toksoplasma otak merupakan infeksi yang dominan pada pasien AIDS. Pasien
HIV/AIDS di Jakarta didominasi oleh toksoplasmosis (39%), meningitis TB
(23%), meningitis kriptokokal (13%), dan sisanya tidak dapat ditentukan (20%).1
m. Diagnosis Toxoplasma
Diagnosis toxoplasma akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit
dalam biopsy otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel. Tes
serologi yang dapat dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye
test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibody IgG, tes
zat anti fluoresen tidak langsung (IFA), tes ELISA untuk deteksi antibody IgG dan
IgM.1,5,8
Tes Sabin Feldman didasarkan oleh rupturnya T.gondii yang hidup dengan
antibody spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini
masih merupakan rujukan pemeriksaan serologi. Hasil serologi menjadi positif
dalam 2 minggu setelah infeksi, dan menurun setelah 1-2 tahun. Serologi banyak
digunakan untuk infeksi lama. Awalnya IgM muncul terlebih dahulu sebelum IgG,
kemudian menurun cepat, petanda infeksi dini.1,5,8

Gambar 3. Gambaran menyerupai cincin (hipointens) pada pasien toxoplasma ensefalitis

17

Pemeriksaan CT Scan otak pada pasien dengan ensefalitis toxoplasma


menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang multiple pada 70-80% kasus.
Pada pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG T.gondii dan
gambaran cincin yang multiple pada CT Scan sekitar 80% merupakan ensefalitis
toxoplasma.

Lesi

tersebut

terutama

berada

pada

ganglion

basal

dan

corticomedullary junction.1,5,8
Tapi pada beberapa tahun belakangan ini telah digunakan Polymerase
Chain Reaction (PCR) karena memiliki sensitivitas 100%, spesifitas 94%, tapi
dengan catatan bahwa cairan yang digunakan adalah cairan serebrospinal dan
cairan amnion,tetapi spesifitas menurun (16%) pada darah. Hasil negative pada
pasien yang mempunyai riwayat pengobatan toxoplasma.1,5,8
n. Pengobatan
Obat-obat yang digunakan sekarang hanya untuk membunuh bentuk
takizoit T.gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya. Sehingga ada
kemungkinan terjadi infeksi berulang.1
Pirimetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergistik, maka dipakai
sebagai kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan
hemopoises dan dapat menyebabkan trombositopenia dan leukopenia. Untuk
mencegah efek samping ini, dapat ditambahakan asam folinik. Pirimetamin
bersifat teratogenik, maka obat ini tidak dianjurkan unutk wanita hamil.1
Pirimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari untuk dewasa selama
3 hari dan kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1 mg/kgBB/hari)
selama beberapa minggu pada penyakit berat. Karena Half-life-nya adalah 4-5
hari, pirimetamin dapat diberikan 2 kali/hari atau 3-4 kali sehari. Sama folinik
diberikan 2-4 mg sehari. Sulfonamide dapt menyebabkan trombositopenia dan
hematuria, diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari selama beberapa minggu
atau bulan.1
Spiramisin adalah antibbiotika yang ditemukan dengan konsentrasi tinggi
di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari selama 30-45

18

hari. Obat ini diberikan pada wnita hamil yang mendapat infeksi primer, sebagai
profilaksis untuk mencegah transmisi T.gondii ke janin.1
Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat
menyebabkan colitis pseudomembranosa ataukolitis ulserativa, maka tidak
dianjurkan untuk pengobatan rutin pada bayi dan wanita.1
Untuk pasien HIV/AIDS, regimen untuk ensefalitis toxoplasma adalah
pirimetamin (dosis awal 200mg, lanjutan 50-75 mg/hari) dan sulfadiazine (4-6
g/hari dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologic.
Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mg/hari) diberikan untuk pencegahan
toksisitas sumsum tulang berkaitan dengan pirimetamin. Pirimetamin dan
sulfadiazine melewati sawar otak. Kedua obat ini hanya aktif untuk takizoit,
sehingga pasien imunokompromais terapi awal harus diberikan selama 4-6
minggu. Mereka juga harus mendapat terapi supresif seumur hidup dengan
pirimetamin (25-50 mg/hari) dan sulfadiazine (2-4 g/hari), jika sulfadiazine tidak
dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mg/hari) dan klindamisin (450 mg 3
kali/hari).1
Untuk profilaksis pada pasien HIV/AIDS maka diberikan cotrimoxazole
( 480 mg 2 kali/hari). Cotrimoxazole membentuk asam tetrahidrofolat dengan cara
menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dehidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Tetrahidrofolat penting untuk reaksi pemindahan satu atom C, seperti
pembentukan asam purin (adenine, guanine, dan timidin). Sehingga tidak proses
transkripsi bisa dihambat.11

19

BAB III
KESIMPULAN

Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis disebabkan oleh parasite


Toxoplasma Gondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Parasit ini dijumpai secara
kosmopolitan di seluruh dunia. Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia cukup
tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia angka kejadian toxoplasmosis bervariasi
antara 2-51%.
Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti
sehingga dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel
darah merah. Bila terjadi invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka
parasit ini akan memasuki sel hospes ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang
selamat dari proses fagositosis akan memasuki sel, berkembangbiak yang
selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan parasit akan keluar
serta menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel makrofag
atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh
bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi.
Pada pasien HIV/AIDS, terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun,
jumlah CD4 yang < 100/ml mengakibatkan pasien sangat rentan terhadap infeksi
oportunistik,salah satunya toxoplasma. pada penderita HIV/AIDS atau pada
orang-orang yang mengkonsumsi imunosupresan, infeksi oleh parasit ini mungkin
dapat meluas yang ditandai dengan ditemukannya proliferasi tachizoite di jaringan
otak, mata, paru, hepar, jantung dan organ-organ lainnya sehingga dapat berakibat
fatal.Diagnosis toxoplasma akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam
biopsy otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel.
Tes serologi yang dapat dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (SabinFeldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi
antibody IgG, tes zat anti fluoresen tidak langsung (IFA), tes ELISA untuk deteksi
antibody IgG dan IgM.

20

Tapi, beberapa tahun belakangan ini telah digunakan Polymerase Chain


Reaction (PCR) karena memiliki sensitivitas 100%, spesifitas 94%, tapi dengan
catatan bahwa cairan yang digunakan adalah cairan serebrospinal dan cairan
amnion,tetapi spesifitas menurun (16%) pada darah. Hasil negative pada pasien
yang mempunyai riwayat pengobatan toxoplasma.
Untuk pasien HIV/AIDS, regimen untuk ensefalitis toxoplasma adalah
pirimetamin (dosis awal 200mg, lanjutan 50-75 mg/hari) dan sulfadiazine (4-6
g/hari dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologic.
Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mg/hari) diberikan untuk pencegahan
toksisitas sumsum tulang berkaitan dengan pirimetamin. Pirimetamin dan
sulfadiazine melewati sawar otak. Kedua obat ini hanya aktif untuk takizoit,
sehingga pasien imunokompromais terapi awal harus diberikan selama 4-6
minggu. Mereka juga harus mendapat terapi supresif seumur hidup dengan
pirimetamin (25-50 mg/hari) dan sulfadiazine (2-4 g/hari), jika sulfadiazine tidak
dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mg/hari) dan klindamisin (450 mg 3
kali/hari)
Untuk profilaksis pada pasien HIV/AIDS maka diberikan cotrimoxazole
( 480 mg 2 kali/hari). Cotrimoxazole membentuk asam tetrahidrofolat dengan cara
menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dehidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Tetrahidrofolat penting untuk reaksi pemindahan satu atom C, seperti
pembentukan asam purin (adenine, guanine, dan timidin). Sehingga tidak proses
transkripsi bisa dihambat.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Pohan Herdiman. Toksoplasmosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djoerban Z. Djauzi S.. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
3. Veeranoot Nissapatorn. Toxoplasmosis In HIV/AIDS: A Living Legacy.
Southeast Asian J Trop Med Public Health 2009 ; 40 No. 6 : 1-21.
4. Veeranoot Nissapatorn, Lee Christopher et al. Toxoplasmosis In
HIV/AIDS: A Current Situation. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 2004 ; 70 : 160-165.
5. Bhattacharyya S, Khurana S, and Dubey M. Diagnosis of Toxoplasmosis
in HIV/AIDS patients with Immunoblotting. International Research
Journal of Biological Sciences 2012 ; 1 No. 8 : 61-64.
6. Olivier Andreoletti, Herbert Budka, Sava Buncic. Surveillance and
monitoring of Toxoplasma in humans, food and animals Scientific Opinion
of the Panel on Biological Hazards. European Food Safety Authory
Journal 2007 ; 583 : 1-64.
7. Martin Dedicoat , Nigel Livesley. Management of toxoplasmic
encephalitis in HIV-infected adults (with an emphasis on resource-poor
settings). The Cochrane Library 2011 ; 10 : 1-20.
8. Jayawardena S. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV
Infection. Hospital Physician 2008 : 17-24.
9. Djuanda A. Penyakit Kelamin AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy
Syndrome) Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-4. Jakarta :
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia : 2005

22

10. Wisharilla R. Raymond S. et al. Seminar Tuberkulosis : Tuberkulosis pada


Penderita HIV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 2012
11. Setiabudy R dkk. Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran
Kemih Dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-5. Jakarta : Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia : 2012

Anda mungkin juga menyukai