Blog Pa Hery
Blog Pa Hery
Hery Wibowo/2014
Pembicaraan Anda membantu menciptakan dunia Anda. Berbicaralah tentang kebahagiaan, bukan
ketidakpuasan. Berbicaralah tentang harapan, bukan keputusasaan. Biarkan kata-kata Anda membalut
luka, bukan menyebabkannya (William Martin, penafsir modern kitab Tao Te Ching).
Ucapan klasik tersebut tampaknya pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sering
dibombardir dengan kalimat-kalimat negatif, ataupun pernyataan-pernyataan yang provokatif. Masyarakat
saat ini sudah sangat bosan dengan komunikasi yang cenderung defisit ataupun negatif. Media masa, sering
membuat pernyataan negatif ataupun provokatif sebagai headlinesmereka. Para komentator politik
misalnya, terlalu sering membicarakan sisi negatif dari partai/pemimpin yang menjadi objek bahasan.
Keluarga-kelurga di meja makan, terlalu sering membahas masalah kesulitan ekonomi, anak yang tidak
mau belajar, harga sayur yang membumbung, dan lain sebagainya. Karyawan kantor hampir selalu
membahas rendahnya upah mereka, betapa tidak adilnya bos mereka, betapa beruntungnya kerja di
perusahaan lain dan lain-lain. Sehingga se-positif apapun kita, jika setiap hari dibombardir seperti itu, akan
sulit sekali melepaskan diri dari nuansa negatif dan wacana defisit itu (Wibowo, 2010).
Padahal, beragam kajian menyatakan bahwa pembicaraan kita membantu menciptakan dunia kita.
Jika setiap hari kita selalu dibombardir oleh berbagai pernyataan negatif, seperti Bandung lautan sampah,
Bandung penuh dengan masalah sosial, gepeng memenuhi wajah kota Bandung, bantuan sosial
diselewengkan dan lain-lain, maka secara tidak sadar, kita akan membentuk atmospher komunikasi yang
negatif, terutama di alam bawah sadar kita. Dan parahnya, nuansa ini kemudian mempengaruhi cara kita
berkomunikasi sehari-hari. Masyarakat berpontensi akan menjadi mudah menyalahkan daripada
menghargai, mencari kambing hitam daripada memberikan apresiasi. Komunikasi negatif, pada gilirannya
akan membuat persepsi bahwa apa yang dilakukan pemerintah selalu salah, tidak tepat sasaran dan lainlain. Hal ini dapat membawa dampak buruk, seperti sikap apatis, penuh prasangka dan lain-lain.
Berpikir Apresiatif
Berbagai penelitian psikologi menyimpulkan bahwa manusia yang selalu berpikir positif,
hidupnya akan jauh lebih sehat dan bahagia. Apa makna berpikir positif? Yaitu membuang/mengganti
pikiran/perasaaan negatif menjadi pikiran/perasaan yang positif. Sederhana, namun tidak selalu mudah
untuk dilakukan. Saat ini, perkembangan kajian psikologis, saat ini telah melampui batas-batas itu. Kita,
tidak lagi sekedar diajak untuk berpikir positif, namun lebih jauh lagi, yaitu berpikir apresiatif. Artinya,
kita harus apresiatif terhadap berbagai kisah/aspek kehidupan manusia.
Apresiatif berarti menghargai, memberi nilai tambah, mengambil pelajaran. Praktik apresiatif akan
membuat kita menjadi mahluk yang menghargai segala sesuatunya, termasuk menghargai hal-hal kecil di
sekeliling kita. Dan, dengan berpikir apresiatif, kita tidak hanya akan mengubah yang negatif menjadi
positif, namun kita akan belajar menghargai apa yang sudah kita miliki/kita capai. Kita akan terdorong
untuk melihat, apa yang sebenarnya saya miliki, atau ada ada dibalik segala pencapaian kita (walaupun
belum maksimal) dan bukan sebaliknya, berusaha mengorek luka lama yang menyebabkan kegagalan kita.
Berpikir apresiatif adalah meningkatkan yang sudah ada alih-alih mengoreksi kesalahan (Wibowo, 2010)
Agar menjadi lebih jelas penulis akan mengutip tulisan dari Diana Whitney & Amanda
Trosten (dalam Hery W, 2010) tentang berpikir apresiatif sebagai berikut: berpikir apresiatif bukan berarti
menafikan apa yang negatif. Bukan membutakan diri terhadap kelemahan. Bukan tidak mengakui
kekurangan. Setiap orang pasti pernah salah. Setiap keluarga pasti punya aib. Setiap organisasi pasti pernah
mengalami kegagalan. Maka, berpikir apresiatif adalah upaya menghargai apa yang ada pada diri kita,
mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui. Melalui berpikir apresiasi, kita diajak untuk lebih
fokus pada apa yang terbaik dari manusia dan sistem manusia, apa yang memberi nafas pada
kehidupan. Artinya, kita selalu punya pilihan untuk melihat sebuah kondisi, apakah dari sisi positif atau
negatif. Selanjutnya, kita juga selalu punya pilihan, apakah ingin mengkomunikasikan suatu pesan secara
positif atau negatif.
Sapaan Kang Emil
Walikota Bandung saat ini, menurut hemat penulis, telah mulai menggunakan pendekatan ini.
Beragam cara dilakukan walikota (terutama melalui sosial media). Kang Emil, setiap hari selalu menyapa
warga Bandung dengan kalimat-kalimat positif. Beliau selalu berusaha menghargai setiap langkah atupun
perubahan positif yang dilakukan oleh warga Bandung. Misalnya, ucapan terima kasih bagi pelajar yang
telah memanfaatkan Damri gratis, ucapan apresiasi bagi warga yang berkunjung ke Braga Culinary Night,
foto bersama dengan siswa sekolah yang menggunakan baju tradsional pada hari Rabu, berterima kasih
untuk yang tidak merokok pada hari Selasa dan lain-lain. Baru-baru ini, walikota juga membuat baliho
super besar untuk mengucapkan rasa terima kasihnya kepada warga bandung, yang telah menghidupkan
kembali semangat gotong royong terkait gerakan pembuatan sejuta biopori. Tidak sampai disana, walikota
juga mengajak RT pembuat Biopori terbanyak untuk makan malam bersama. Semangat ini, kemudian juga
ditularkan pada para kepala Dinas. Upaya membangun komunikasi apresiatif dengan warga kota Bandung,
ditindaklanjuti dengan menginstruksikan setiap kepala Dinas memiliki akun media sosial untuk
menampung aspirasi warga.
Sungguh, menurut hemat penulis ini adalah bentuk komunikasi apresiatif yang luar biasa ditengah
arus komunikasi negatif yang sudah mentradisi. Mengapa? Karena setiap warga Bandung sebenarnya
selalu siap sedia untuk bergandeng tangan membangun kota tercinta. Warga Bandung tidak menuntut
honor ataupun bayaran pada partisipasi dan kontribusinya mereka untuk kota ini. Namun, ucapan terima
kasih yang tulus, justru jauh lebih menyentuh kebutuhan mendasar mereka (basic psychological needs).
Bentuk penghargaan inilah yang justru berpotensi membuat warga ketagihan untuk mengulangi
partisipasi mereka lagi. Hebatnya, bentuk ungkapan apresiasi terhadap apa yang telah dilakukan warga ini,
dilakukan hampir setiap hari melalu berbagai media, above the line maupun below the line, baik online maupuan off-line. Sehingga kebutuhan psikologis warga kota benar-benar dipenuhi.
Warga perkotaan dewasa ini, sudah tidak sama dengan warga 15-25 tahun yang lalu. Kaum
intelektual sudah semakin banyak. Kelompok berpendidikan tinggi dan berwawasan luas ini juga semakin
terasa kehadirannya dalam skema piramida penduduk. Artinya, pola pikir mereka juga sudah berbeda.
Richard Florida, menyebut golongan ini sebagai the creative class (yaitu sebuah cluster tersendiri di
masyarakat, yang memiliki kemandirian ekonomi, wawasan serta daya inovasi yang tinggi). Kelompok ini,
tidak lagi memerlukan sentuhan materi/finansial untuk diajak bergerak ataupun berpartisipasi. Namun,
sebagai mahluk manusia, mereka membutuhkan bentuk apresiasi yang pas untuk memenuhi basic
needs mereka.
Walhasil, dua kombinasi antara gaya kepemimpinan dari Ridwal Kamil dan kondisi psikologis
warga kota Bandung, sangat menjanjikan untuk menghasilkan Bandung Juara. Bukan hanya juara dalam
pembangunan fisik, namun terutama dalam index of happiness. Berikut adalah ajakan Kang Emil untuk
warga tercintanya yang disampaikan melalui facebook Jika kita tidak bisa menjadi bagian dari solusi,
setidaknya kita bukan bagian dari masalah. Kota Bandung akan lambat membaik jika warga tidak ikut serta
dalam mentaati peraturan. Demi Bandung yang lebih baik, mari mentaati peraturan dengan keikhlasan,
bukan karena paksaan. Sungguh ajakan persuasif yang menyejukkan hati, dan mendorong lidah untuk
berkata siap kang .
Diposkan 6th March 2014 oleh Hery Wibowo
Ketika pesimisme menyebar karena melihat masalah sosial yang masih sangat
banyak disekitar kita, tingkat kesejahteraan yang belum sesuai harapan,
beragam kebutuhan yang belum terpenuhi dan berjuta potensi yang belum
dikembangkan, maka mudah sekali bagi warga negara untuk duduk diam dan
menggerutu.
Bagaimana sebaiknya mensikapinya? Tentunya, setiap kita berhak punya pendapat,
pemikiran dan akhirnya tindakan masing-masing terkait hal ini. Apakah itu ikut
menyalahkan, tidak peduli ataupun berbuat sesuatu yang berbeda. Hemat penulis, adalah
bijak untuk selalu berniat belajar dan mencoba hal-hal yang baru. Salah satu pelopor
kewirausahaan sosial di Inggris, Soutcombe menyatakan bahwa peran Negara (state) sudah
semakin ringan dan berkurang. Hal ini disebabkan karena lebih dari 55000 warga negaranya
telah menjadi wirausaha sosial. Ini adalah bukan gerakan anti pemerintah, namun gerakan
yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa sangat sulit bagi suatu Negara untuk dapat
memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga negaranya. Artinya, perlu ada dukungan
dari bawah (bottom up) terkait usaha pemenuhan kebutuhan dan kepentingan tersebut.
Oleh karena itu bergeraklah mereka di berbagai bidang, seperti
penerbitan untuk dan oleh sesama tunawisma, organisasi yang
mendukung perdangangan yang adil, usaha mengaktifkan broadband
internet sendiri, usaha menjadikan desa wisata, perbankan berbasis
kewirausahaan sosial dan lain-lain. Artinya, inilah era dimana warga
Negara dapat jauh lebih terlibat urusan kesejahteraan sosial bangsanya.
Inilah jaman kewirausahaan sosial, dimana semangat untuk memecahkan
masalah sosial dan memenuhi kebutuhan warga dan lingkungan sosial
terdekat sudah semakin tidak dapat dibendung. Pola yang dilakukanpun
tidak lagi seperti dulu, yaitu beramai-ramai membuat proposal dan
mengajukan ke lembaga donor atau menunggu hibab/bantuan sosial.
Gerakan kewirausahaan sosial adalah sebuah proses yang dilakukan oleh warga
negara dengan membangun atau mentransformasi institusi untuk meningkatkan solusi pada
permasalahan sosial, seperti kemiskinan, penyakit, kesulitan baca tulis, kerusakan
lingkungan, pelanggaran hak asasi dan korupsi, dalam rangka membangun kehidupan yang
lebih baik bagi semua (Bornstein & Susan, 2010). Atau oleh ahli lain, dikatakan bahwa
kewirausahaan sosial adalah sebuah proses yang melibatkan aplikasi inovatif dan kombinasi
sumber-sumber untuk memperbesar kesempatan dalam rangka mengkatalisasi perubahan
sosial dan atau menyelesaikan masalah sosial (Mair & Marty, 2006p37 dalam London,
2010:8).
Gerakan kewirausahaan sosial beberapa tahun terakhir ini telah
menjadi sebuah gerakan global yang mendunia (Bornstein 2006, Nicholls,
2008). Kajian dari SWA (swa.co.id diunduh 6/3/2011) menyatakan bahwa
kewirauasahaan sosial kian terbukti mampu menyembuhkan berbagai
penyakit sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan dan kesehatan
siswa SMK mampu berkarya (ketika diberikan kesempatan), maka tentu berbagai siswa yang
lain juga akan memiliki kemampuan yang sama, jika diberikan pendidikan kewirausahaan
secara sistematis.
Solusi
Solution
Why
masa
depan
for
nation's
bangsa...KEWIRAUSAHAAN!!
future,
Entrepreneurship!!
Entrepreneurship?
Mengapa kewirausahaan? Mengapa harus kewirausahaan yang menjadi solusi masa depan
bangsa?
Mengapa
harus
kewirausahaan
yang
digembar-gemborkan?
Tidak lain dan tidak bukan adalah kewirausahaan terdiri dari dua aspek, yaitu pola pikir dan pola
tindak. Pola pikir adalah hal yang mendasari prilaku manusia. Pola pikir menentukan bagaimana
individu merespon stimulus. Contoh: Mengapa ada orang yang menggerutu ketika hujan, dan
ada yang bersemangat ketika hujan. Mengapa ada orang yang terpuruk kita gagal, dan ada yang
bangkit lagi? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena pola pikirnya. Pola pikirnya-lah yang
menentukan
tindakannya.
Pola pikir kewirausahaan .. sejauh ini dipercaya sebagai pola pikir yang pantang menyerah, gigih
serta kreatif dalam menemukan jalan keluar dari berbagai permasalahan. Jadi, sangat tidak rugi
memampukan diri untuk memiliki pola pikir pikir kewirausahaan. Bagaimana cara memilikinya?
Ya, terjun langsung.. melakukan aktivitas kewirausahaan.