Disusun Oleh:
Galih Ariprayugo
12010112130120
Amila Sativa
12010112130176
12010112130303
Rheza Rahadiyan
12010112140070
12010112140293
12010112140164
Pembunuhan keji Salim Kancil bukan kriminal biasa, tapi pembunuhan berencana yang dipicu
penolakan warga terhadap penambangan pasir besi. Kejadian ini berpotensi terulang.
Berawal dari Penolakan FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI DESA SELOK
AWAR AWAR, Pasirian Kab. Lumajang terhadap penambangan pasir besi yang berkedok
pariwisata yang justru berakibat rusaknya lingkungan desa pada Januari 2015. Mereka mulai
menyampaikan penolakan dan permohonan audiensi pada Bupati (Juni 2015) tapi tak medapat
tanggapan, sampai akhirnya mereka memutuskan menyetop truk pengangkut pasir (9 September,
2015). Sehari setelah itu, sekelompok Preman suruhan kepala desa mulai melakukan intimidasi
bahkan mengancam akan membunuh Tosan, salah satu tokoh yang menolak penambangan
tersebut.
Pada 11 September, FORUM KOMUNIKASI melaporkan ancaman pembunuhan tersebut
kepada Polres Lumajang. Tapi belum juga ada tindakan tegas dari Polres Lumajang. Mereka juga
melaporkan bahwa tambang itu ilegal (Sept. 21) dan berencana menghentikan pertambangan
yang terus berjalan pada 26 Sept.
Pada pagi hari, 26 Sept. 2015. Tosan kembali didatangi puluhan preman yang langsung
mengeroyoknya. Korban terjatuh, dianiaya, dipukul dengan pentungan kayu, pacul, Batu dan
clurit, setelah terjatuh, mereka sempat melindas dengan sepeda motor. Tosan akhirnya
diselamatkan temannya dan dibawa ke Rumah Sakit.
Gerombolan Preman kemudian mendatangi rumah Salim Kancil - salah satu tokoh FORUM
KOMUNIKASI, yang pagi itu sedang menggendong cucunya di rumah. Salim Kancil lantas
menaruh cucunya dilantai, sebelum akhirnya tangannya diikat
setempat yang jaraknya sekitar 2 km, disaksikan warga desa yang ketakutan, termasuk anak-anak
yang sedang belajar di PAUD.
Sampai balai desa, dia dipukuli dan disiksa distrum Listrik, dan digergaji lehernya. Jenasahnya di
buang di jalan depan pintu masuk kuburan.
Kejadian ini berpotensi lagi terjadi mengingat pertambangan di pesisir selatan Lumajang telah
menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat. Mulai Desa Wotgalih - Kecamatan
Yosowilangun hingga desa Pandanarum dan Pandanwangi - Kecamatan Tempeh, Kabupaten
Lumajang. Banyak tambang yanga beroperasi secara ilegal dan merusak lahan pertanian pesisir
pantai dan rentan konflik dengan petani penggarap lahan pesisir.
Dalam siaran pers 27 Sept. 2015 Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang (Laskar Hijau,
WALHI Jawa Timur, KONTRAS Surabaya, dan LBH Disabilitas) dalam siaran pers 27 Sept.
2015 menyatakan:
1. Mendesak Kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk serius dalam mengusut
para pelaku pembantaian terhadap Salim Kancil dan Tosan hingga aktor intelektual
(intellectual daader) dibalik peristiwa kekerasan di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan
Pasirian, Kabupaten Lumajang tersebut, dan mengganjar pelaku dengan hukuman
seberat-beratnya sesuai pasal 340 KUHP
2. Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang untuk segera menutup seluruh
pertambangan pasir di pesisir selatan Lumajang.
3. Meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban
4. Meminta Komnas HAM agar segera turun ke lapangan dan melakukan Investigasi
5. Meminta Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memberikan trauma
healing kepada anak dan cucu dari alm. Salim Kancil serta anak-anak PAUD yang
menyaksikan insiden penganiayaan alm. Salim Kancil di Balai Desa Selok Awar-Awar.
Mohon dukungannya,
Siti Maimunah,
Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT)
MEMPETISI KE:
Pemda Kabupaten Lumajang - Jawa Timur
Komnas HAM
Lembaga Perlindungan Saksi (LPSK)
dan 2 penerima lainnya
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Kapolri Badrodin Haiti
Peristiwa ini mendapat perhatian yang besar dari masyarakat karena juga tersebar melalui media
cetak dan elektronik seluruh Indonesia bahkan di luar negeri. Berikut tanggapan dari Kapolri:
--------------------1 Okt 2015 1 Oct 2015 Saudara-saudari,
Saya ucapkan terima kasih atas petisi kasus Salim Kancil yang ditujukan kepada saya selaku
Kapolri.
Sebagai Kapolri, saya telah memerintahkan jajaran untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan
yang menewaskan seorang petani bernama Salim Kancil (52) dan penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat terhadap Tosan (51) di Lumajang, Jawa Timur.
Saya juga telah meminta Kapolda Jawa Timur untuk bergerak cepat menangkap aktor intelektual
di balik peristiwa tersebut. Saat ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 22 orang tersangka.
Untuk mempercepat proses penyidikan kasus ini, saya perlu jelaskan bahwa Mabes Polri telah
mengirimkan bantuan personel ke Polda Jawa Timur dan Polres Lumajang.
Sebagai tambahan, saya juga mendapatkan masukan yang negatif seperti: Polisi lambat
bertindak, anggota Polri ada yang terlibat, ancaman terhadap korban pernah dilaporkan ke Polisi
tetapi tidak ditanggapi, dan sebagainya. Untuk kepentingan tersebut, saya sudah perintahkan
Kadiv Propam Mabes Polri untuk mengecek kebenaran informasi tersebut dan menindak anggota
Polri yang salah atau lalai.
Saya meminta kepada masyarakat yang mempunyai data dan informasi terkait kasus tersebut
supaya disampaikan kepada Polri, baik di Polda Jatim atau Mabes Polri, agar Polri bisa
mengungkap aktornya.
E-VOTING
E-Voting adalah suatu sistem pemilihan dimana data dicatat, disimpan, dan diproses d alam
bentuk informasi digital. e-voting pada hakekatnya adalah pelaksanaan pemungutan suara
yang dilakukan secara elektronik (digital) mulai dari proses pendaftaran pemilih, pelaksanaan
pemilihan, penghitungan suara, dan pengiriman hasil suara.
Penerapan e-voting diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang timbul dari pemilu yang
diadakan secara konvensional. Riera dan Brown serta de Vuyst dan Fairchild menawarkan
manfaat yang akan diperoleh dalam penerapan e-voting sebagai berikut.
1. Mempercepat penghitungan suara
2. Hasil penghitungan suara lebih akurat
3. Menghemat bahan cetakan untuk kertas suara
4. Menghemat biaya pengiriman kertas suara
5. Menyediakan akses yang lebih baik bagi kaum yang mempunyai keterbatasan fisik (cacat)
6. Menyediakan akses bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan waktu untuk mendatangi
tempat pemilihan suara (TPS)
7. Kertas suara dapat dibuat ke dalam berbagai versi bahasa
8. Menyediakan akses informasi yang lebih banyak berkenaan dengan pilihan suara
9. Dapat mengendalikan pihak yang tidak berhak untuk memilih misalnya karena di bawah umur
atau melebihi umur pemilih yang telah diatur.
Kemudian Gritzalis menyampaikan bahwa e-voting mempunyai prospek yang baik jika
diterapkan pada suatu negara karena.
1. Kebanyakan negara percaya bahwa e-voting akan banyak dijumpai pada dekade yang akan
datang
METODE E-VOTING
Pelaksanaan pemilihan umum pada hakekatnya dapat dibagi menjadi dua cara yakni cara
konvensional yang berbasis kertas dan e-voting yang berbasis pada teknologi online. E-voting
berbasis online dapat dilaksanakan dalam beberapa metode yaitu:
1. Sistem pemindaian optik. Sistem ini dilakukan dengan cara kertas diberikan kepada para
pemilih kemudian hasilnya direkam dan dihitung secara elektronik. Metode ini harus
menyediakan surat suara yang dapat dipindai dengan optik dan membutuhkan rancangan yang
rumit dan biaya mahal. Di samping itu, tanda yang melewati batas kotak marka suara dapat
menyebabkan kesalahan penghitungan oleh mesin pemindai. Sistem ini biasa disebut sebagai ecounting.
2. Sistem Direct Recording Electronic (DRE). Metode ini para pemilih memberikan hak
suaranya melalui komputer atau layar sentuh atau panel/papan suara elektronik. Kemudian hasil
pemungutan suara disimpan di dalam memori di TPS dan dapat dikirimkan baik melalui jaringan
maupun offline ke pusat penghitungan suara nasional. Para pemilih masih diwajibkan untuk
datang ke TPS namun data penghitungan suara sudah dapat disimpan dan diproses secara
realtime dan online.
3. Internet voting. Pemilih dapat memberikan hak suaranya dari mana saja secara online melalui
komputer yang terhubung dengan jaringan di mana pemungutan suara di TPS langsung direkam
secara terpusat. Metode ini membutuhkan jaringan komunikasi data yang berpita lebar dan
keamanan yang handal.
Tidak ada negara di dunia ini yang telah menggunakan e-voting untuk skala besar selain India.
Karena India adalah negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia, dan karena itu
penyelenggaraan e-voting di India patut mendapatkan perhatian. E-Voting diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1982 dan digunakan pada waktu uji coba untuk pemilihan Majelis Bort Parur di
Negara Bagian Kerala. Namun demikian Mahkamah Agung India membatalkan hasil pemilu
tersebut karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di sana. Atas dasar ini kemudian
dilakukan amandemen terhadap Undang-undang Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan pemilu
yang diselenggarakan melalui Electronic Voting Machine (EVMs). Pada tahun 2003 semua
pemilu di negara bagian telah menggunakan EVMs. Alat ini juga telah digunakan pada pemilu
nasional untuk memilih anggota parlemen India pada tahun 2004 dan 2009. Menurut data
statistik yang bersumber dari media massa utama di India, lebih dari 400 juta pemilih (60% dari
pemilih yang terdaftar) telah menggunakan hak mereka melalui EVMs pada pemilu tahun 2009.
Keberhasilan penerapan e-voting di India bukan semata-mata karena soal teknologi, tapi juga
karena sistem pemilunya yang sederhana. India menggunakan system first past the post atau
sistem distrik yang merupakan varian paling sederhana dan mudah dalam keluarga sistem
mayoritas/pluralitas. Yaitu, hanya ada satu kandidat dari setiap partai di surat suara (single
member distric). Jika yang diterapkan adalah sistem proporsional terbuka seperti Indonesia, di
mana setiap partai mengirimkan 120 persen caleg dari total kursi yang diperebutkan di sebuah
daerah pemilihan (distrik), problemnya tentulah tak sederhana. Panel elektronik atau layar
sentuhnya harus dibuat luar biasa besar.
Baru-baru ini, ramai diberitakan tentang wacana untuk menerapkan mesin e-voting (Electronic
Voting Machine/EVM) India dalam pemilu di Indonesia. Wacana ini bermula dari kunjungan
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon bersama delegasi dari Komisi I dan Komisi III DPR ke New
Delhi, India pada 10-13 Juni 2015, salah satu agenda kunjungan tersebut adalah menemui
Komisi Pemilihan Umum India (Election Commission of India/ECI) di New Delhi untuk
mempelajari kemungkinan penerapan EVM di Indonesia. Mayoritas dari delegasi tersebut kagum
atas efektivitas pemilu yang diselenggarakan oleh ECI untuk negara demokrasi terbesar di dunia
tersebut. Mereka tertarik akan kemungkinan penerapan EVM di Indonesia. Wacana tersebut
semakin menguat dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang akan
menjadikan India sebagai acuan dalam pelaksanaan pemilu menggunakan EVM dan
menargetkan EVM dapat diterapkan pada pemilu 2019.
Adalah wajar jika Indonesia mengeksplorasi penggunaan EVM di India. India dan Indonesia
memiliki kemiripan; keduanya adalah negara demokrasi besar dalam lanskap yang menantang
dengan populasi yang beragam dan berbagai tantangan logistik. Pemilu India diselenggarakan
dengan baik dan ECI tentunya memiliki pengalaman yang dapat dibagikan (seperti halnya KPU
RI). Sekilas, menerapkan EVM India di pemilu Indonesia terdengar seperti usulan yang menarik
dan dapat membantu meningkatkan siklus pemilu Indonesia. Akan tetapi, jika dipertimbangkan
lebih lanjut, penggunaan EVM India di Indonesia akan membawa lebih banyak kerugian
daripada keuntungan. Meskipun India dan Indonesia menghadapi tantangan operasional yang
serupa, namun tantangan pemilunya sangat berbeda jauh. Selain itu, EVM ini memiliki rekam
jejak yang terbatas dan kurang sukses di luar India. Hanya satu negara, Namibia, yang telah
membeli EVM ini untuk pemilu nasionalnya dan sayangnya EVM ini tidak berhasil membawa
dampak yang diinginkan. India juga menghibahkan EVM buatannya kepada Bhutan, sebuah
negara kecil di pegunungan Himalaya, yang kemudian menggunakan EVM tersebut untuk
pemilu nasional mereka dengan hasil yang lebih sukses dibandingkan Namibia, meski kemudian
partai-partai menuntut diadakannya audit eksternal yang independen dari India untuk EVM
tersebut. Bahkan di India sendiri, seiring tren global, keamanan EVM ini pun kini dipertanyakan.
Kepercayaan publik terhadap EVM ini melemah dan Mahkamah Agung India telah memutuskan
bahwa ECI harus meng-upgrade EVM mereka untuk mendukung transparansi yang diperkirakan
terjadi banyak keterlambatan dan intimidasi, sehingga proses pemilu lemah karena kurangnya
kejelasan dan kepercayaan publik.
Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, EVM India tidak cocok untuk Indonesia. EVM India
tidak dapat menangani lebih dari satu jenis surat suara atau lebih dari 64 calon per jenis pemilu.
Untuk mengakomodasi pemilu Indonesia, pemerintah perlu membeli banyak EVM untuk tiap
TPS atau merubah sistem pemungutan suara dari satu hari menjadi bertahap yang akan
menjadikan proses pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan selama bermingguminggu. EVM akan menghambat transparansi pada proses penghitungan, kecuali jika diterapkan
fasilitas kertas jejak audit yang dapat diverifikasi oleh pemilih (voter verified paper audit
trail/VVPAT) dan pelaksanaan audit yang dianggarkan secara baik. Secara keseluruhan, sistem
EVM akan lebih mahal dibandingkan penggunaan kertas suara, karena selain peralatan itu EVM
sendiri, diperlukan juga infrastruktur yang menjamin keamanannya. Yang lebih penting lagi bagi
kita, penggunaan EVM akan menghilangkan kemeriahan pesta demokrasi yang selama ini
menjadi ciri khas pemilu kita.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hanya Namibia yang pernah membeli EVM dari India dan
menggunakannya dalam pemilu nasional, yaitu pilpres Namibia pada November 2014. Komisi
Pemilu Namibia (Electoral Commission of Namibia/ECN) sebelumnya beranggapan bahwa
EVM akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu: memperbaiki proses pemungutan
suara, mempercepat perhitungan hasil pemilu, mengurangi surat suara rusak, mempermurah
biaya, dan mengurangi kecurangan. Sayangnya, proses pemungutan suara banyak diwarnai
dengan penundaan, terhambat oleh antrian yang panjang dan protes terkait tidak berfungsinya
EVM. Partai-partai menuduh komisi pemilu melakukan kecurangan dengan memprogram EVM
untuk mengeluarkan hasil yang telah diatur sebelumnya. Sayangnya, EVM yang dikirim ke
Namibia tidak dilengkapi dengan fasilitas kertas jejak audit yang dapat mematahkan rumor
tersebut. Penerapan EVM tersebut justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Meskipun
keterlambatan tidak seluruhnya dikarenan oleh EVM dan hasil pemilu secara umum diterima,
jelas bahwa pembelian EVM tidak meningkatkan proses penyelenggaraan pemilu. Produsen
EVM India menyatakan bahwa EVM tidak akan bekerja optimal jika tidak diinstall dengan baik
atau jika operatornya tidak terlatih. Maka, pelajaran yang dapat dipetik dari Namibia adalah
pelatihan dan pemahaman proses penyelenggaraan pemilu akan menghasilkan penyelenggaraan
keamanan EVM, sehingga meningkatkan keraguan publik dan mendorong Mahkamah Agung
memerintahkan ECI untuk melakukan perbaikan yang mahal hanya agar EVM tetap dapat
digunakan. Pemilu India diselenggarakan dengan baik dan dihormati oleh masyarakatnya bukan
karena EVM yang digunakan, tetapi karena proses pemilu mereka yang jelas dan mudah:
prosedurnya sederhana dan baku, petugasnya terlatih, pemilihnya terinformasi dengan baik, dan
penyelenggaraannya yang independen dan didanai dengan baik. Itu seharusnya pelajaran yang
dapat dipetik oleh Indonesia dari India, dan bukan tentang penggunaan mesin e-voting-nya.
Sumber:
- http://www.rumahpemilu.org/in/read/9725/Apakah-Mesin-E-Voting-India-Memiliki-Tempat-diPemilu-Indonesia-OLEH-SETIADI-YAZID
- http://www.bloombergview.com/articles/2014-05-08/can-india-get-e-voting-right
- http://smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.co.id/