Beda waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi tidak dapat
diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya
: biaya penyusutan, biaya sewa
Koreksi fiscal dibagi 2 yaitu koreksi fiscal positif dan negatif yaitu :
1. Koreksi Fiskal Positif, yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena
pajak dan PPh terutang. Jenis Koreksi Fiskal Positif antara lain :
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali :
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
f.
g.
dilakukan.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
2. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
c. Warisan.
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
f.
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
g.
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
- Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf h, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
- Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
l.
Keuangan.
- Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) atau standar lain, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan
disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan
standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan Keuangan terutama laporan rugi laba- ,
mengakibatkan perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi
komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak
komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan
pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan
pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut
praktek pembukuan.
2.
Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3.
Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan
keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak
apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.
2.
3.
4.
Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang,
hutang dll
5.
Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.
6.
7.
Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan
8.
Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan
keuangan fiscal.
laba rugi
Rp200.000.000
(Rp300.000.000)
NIHIL
Rp100.000.000
Rp800.000.000
(Rp1.200.000.000)
Rp200.000.000
(Rp1.000.000.000)
(Rp300.000.000)
(Rp1.000.000.000)
NIHIL
(Rp1.000.000.000)
Rp100.000.000
(Rp900.000.000)
Rp800.000.000
(Rp100.000.000)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak
boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 1997 sebesar Rp300.000.000 hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan taun 2002, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002
menurut
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
diperbolehkan
Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah
harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan bagi Wajib Pajak badan.
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
14. Kompensasi kerugian fiscal tahun sebelumnya (makasimal 5 tahun).
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan :
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha Bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
f.
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali :
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dibebankan atua dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
12. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :
13. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang PPh-nya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
C. Perhitungan Pajak terutang
Tarif PPh Untuk WP Badan Dalam Negeri dan BUT :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) 10% (sepuluh persen) di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 15% (lima belas persen) di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) 30% (tiga puluh persen).
PPh Terutang dihitung dengan mengalikan tariff yang berlaku tersebut (Tarif Pasal 17) dengan
Penghasilan Kena Pajak.
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00
(+)
= Rp. 57.500.000,00
Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh, jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
5.4 Norma Perhitungan Penghasilan Neto
Dasar Hukumnya yaitu :
1. Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan
keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan
Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan
3. PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi
WP Orang Pribadi (OP)
Besarnya Norma
1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang,
Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi
syarat sebagai berikut :
Peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto,
Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh).
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun kalender. Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa
Pemberitahuan.
Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Penggunaan
Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat 2
KEP-536/PJ./2000
5.5 Penghasilan Neto Karyawan yang tidak punya usaha
Pencatatan bagi WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi :
penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak
bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan tersebut dan atau;
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Pegawai, dimana dalam menghitung penghasilan Neto terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penerapan PTKP ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak, anggota keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh
biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
5.6 Menghitung Pajak terhutang, kredit pajak Pasal 21, 22, 23, 24 dan 25
a. Pajak Penghasilan Pasal 21
1. Pengertian
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
2. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif dan Penerapannya
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai serta
distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh
dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:
- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran pensiun. Iuran
jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari penghasilan
bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan); dikurangi PTKP.
- Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
- Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap
bulan dikurangi PTKP perbulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran
lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya
hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana
pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan
bruto
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,
notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh Psl 17 x 50% dari perkiraan penghasilan bruto PTKP perbulan
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap
lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku
harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak
melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang
terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi
Rp. 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka
besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP
sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
-
5%
dari
penghasilan
bruto
diatas
Rp
25.000.000
s.d.
10%
dari
penghasilan
bruto
diatas
Rp.
50.000.000
s.d.
15%
dari
penghasilan
bruto
diatas
Rp.
100.000.000
Rp.
50.000.000.
Rp.
100.000.000.
s.d.Rp.
200.000.000.
25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000. Penghasilan bruto sampai dengan Rp.
Setahun
1.
Rp. 24.300.000
2.
Rp. 1.320.000,-
3.
No
Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda Rp. 1.320.000,dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang
diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap
keluarga
5%
15%
25%
30%
sebulan sebesar Rp. 2.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,- sebulan. Saefudin
menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).
Penghitungan PPh Ps. 21
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang
Gaji Sebulan = 2.000.000
Pengh. bruto = 2.000.000
Pengurangan
Biaya Jabatan: = 5%x 2.000.000 = 100.000
Iuran pensiun = 25.000
Total Pengurangan = 125.000
Pengh netto sebulan = 1.875.000
Pengh. Netto setahun 12 x 1.875.000 = 22.500.000
PTKP setahun:
WP sendiri = 15.840.000
Tambahan WP kawin = 1.320.000
Total PTKP = 17.160.000
PKP setahun = 5.340.000
PPh Ps. 21 = 5 % x 5.340.000 = 267.000
PPh Ps. 21 sebulan = 22.250
3. Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, tantiem,Tunjangan Hari Raya atau tahun baru,
premi dan penghasilan yang sifatnya tidak tetap, diberikan sekali saja atau sekali setahun.
Contoh :
Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. la memperoleh gaji bulan
Desember sebesar Rp. 2.200.000,00 menerima THR sebesar Rp. 600.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp. 25.000,00 sebulan. Ikhsan Alisyahbani menikah tetapi belum mempunyai anak
(status K/0)
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000
THR = Rp. 600.000
Jumlah Penghasilan Bruto Rp. 27.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 27.000.000 = 1.350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000
Penghasilan netto setahun Rp. 25.350.000
PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 8.190.000
PPh Ps. 21 terutang:
5% x 8.190.000 = Rp. 409.500
PPh Pasal 21 atas gaji
Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 26.400.000 = 1350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000
Penghasilan netto setahun Rp. 24.750.000
PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 7.590.000
PPh Ps. 21 terutang: 5% x 7.590.000 = Rp. 379.500
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR - PPh Pasal 21 atas gaji:
= Rp. 409.500,00 - Rp. 379.500,00
= Rp. 30.000,00
4. Penerima Honorarium atau Pembayaran lain.
Contoh :
Ali seorang penceramah memberikan ceramah pada lokakarya dan menerima honorarium Rp.
1.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong (tarif Pasal 17) : 5%xRp.1.000.000,00 = Rp.
50.000,00
5. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar asuransi.
Contoh:
Tri seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan April 2009 menerima
komisi sebesar Rp. 750.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00
6. Penerima Hadiah atau Penghargaan sehubungan dengan Perlombaan.
Contoh:
Ali pemain tenis yang tinggal di Jakarta, menjadi juara dalam suatu turnamen dan mendapat hadiah
Rp. 30.000.000,00 PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
5% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 1.500.000,7. Honorarium yang diterima tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
Contoh :
Gatot seorang arsitek, bulan Maret 2009 menerima honorarium Rp.20.000.000,00 dari PT.Abang
sebagai imbalan atas jasa teknik.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
15% x 50% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
8. Penghasilan atas Upah Harian.
Contoh :
Eko pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini Perkasa. la bekerja
sehari sebesar Rp. 120.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari = Rp. 120.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 150.000,00
PKP Sehari = Rp. 0,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x Rp. 0,00) = Rp. 0,00
9.Penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan uang pesangon
yang dibayarkan sekaligus oleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.
Contoh :
Eko bulan Maret 2009 menerima tebusan pensiun dari Dana Pensiun X Rp. 70.000,000.
Penghasilan Bruto Rp.70.000.000, Dikecualikan dari Pemotongan Rp.25.000.000
7. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas
sebesar 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
8. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja
sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
9. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri otomotif
sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina
serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT dan gas adalah sebagai berikut:
SPBU Swastanisasi
SPBU Pertamina
Premium
Solar
Minyak Tanah
Gas LPG
Pelumas
10. Pasal 22 yang atas pembelian bahan-bahan oleh Industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka adalah
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
c. Pajak Penghasilan Pasal 23
1. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.
2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23
1.
a.
dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;
b.
c.
royalti;
d.
hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf
"e" Undang-undang PPh. Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 21
adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan,
misalkan
kegiatan
olah
raga,
keagamaan,
kesenian,
dan
kegiatan
lainnya.
Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan
penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2.
3.
Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi.
Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
a.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;
b.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa
konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c"
Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau
Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa
Lain :
No. Perkiraan Penghasilan Neto
1.
50% dari jumlah bruto tidakJasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum dan jasa konsultasi
termasuk PPN
2.
Jenis Jasa
pajak
40% dari jumlah bruto tidaka. Jasa teknik dan jasa manajemen
termasuk PPN
b. Jasa perancang/desain :
>
>
>
>
>
c. Jasa instalasi/pemasangan :
>
Jasa
instalasi/pemasangan
mesin
dan
jasa
instalasi/pemasangan peralatan;
>
d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :
>
Jasa
perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin
dan jasa
perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
>
Jasa
perawatan/pemeliharaan/perbaikan
alat-alat
transportasi/kendaraan;
>
selain migas.
o. Jasa perantara.
p. Jasa penilai.
q. Jasa aktuaris.
r. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.
s. Jasa maklon.
t. Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
u. Jasa
sehubungan
dengan
software
komputer,
termasuk
4.
5.
Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan Tanah/Bangunan) Dan
Penggunaan Harta
No.
1.
20%
dari
jumlah
bruto
termasuk PPN
2.
40%
dari
jumlah
termasuk PPN
Jenis Jasa
tidakSewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan
pengunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
bruto
tidakSewa
dan
penghasilan
lain
sehubungan
dengan
dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh
dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir
agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data
penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika
suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya
akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan
setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya,
cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita
mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja
nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.
Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir
tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi
ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22,
23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Misalnya, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang
50.000.000
35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang
50.000.000
35.000.000
Selisih
15.000.000
1.250.000
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang
lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan
bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari.
Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25
bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak
yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan
dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal
29 Desember 2000.
PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan
Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya
penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan
daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10
Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam
waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
5.7 Menghitung PPh yang masih harus dibayar (Pasal 29/28a) dan angsuran PPh Pasal 25 tahun
berjalan
Pajak Penghasilan pasal 29 akan terjadi apabila pajak terutang pada tahun pajak berjalan
melebihi jumlah kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.Dengan kata lain PPh pasal 29 ini adalah Pajak Penghasilan
Kurang Bayar yang harus disetor oleh Wajib Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro.
Sebaliknya apabila pajak terutang pada tahun pajak berjalan kurang dari jumlah kredit
yang telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak,maka akan timbul lebih bayar pajak dan lebih bayar pajak ini disebut sebagai Pajak
Penghasila pasal 28A.
Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Amanah mencatat peredararan bruto sebesar
Rp.5.000.000.000,00
(lima
miliar
rupiah)
dan
Penghasilan
Kena
Pajaknya
sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Apabila pada tahun 2011 perusahaan telah dipotong dan
dipungut PPh pasal 22 sebesar Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah), PPh Pasal 23 sebesar
Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah),maka bisa dilihat perhitugan PPh pasal 25 dan PPh pasal 28A
atau PPh pasal 29-nya sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak
PPh Terutang : 25% x Rp.100.000.000,00
Kredit Pajak :
PPh pasal 22
Rp.2.000.000,00
PPh pasal 23
Rp.3.000.000,00
Total Kredit Pajak
Pajak Kurang Bayar (PPh pasal 29)
Rp.100.000.000,00
Rp. 25.000.000,00
Rp. 5.000.000,00
Rp. 20.000.000,00
Rp.100.000.000,00
Rp. 25.000.000,00
Rp. 35.000.000,00
(Rp. 10.000.000,00)
merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.
2. Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak.
Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yang merupakan penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang, yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar
sendiri, dan jumlah Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan atau angsuran pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib
pajak merupakan pelunasan atau pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan
terutang dalam suatu tahun pajak. Ketentuan mengenai angsuran Pajak Penghasilan diatur
dalam Pasal 25 UU PPh.. Secara umum PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh WP
Badan dapat dihitung sebagai berikut :
tahun
pajak
berjalan
WP
menerima
Surat
Ketetapan
Pajak
(SKP)
Apabila WP menerima SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak akan
dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut. Nilai PPh Pasal 25 yang baru, mulai berlaku pada
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
3. WP berhak atas kompensasi kerugian
Apabila Wajib Pajak Badan memiliki kompensasi kerugian fiskal, yang timbul pada tahun
pajak sebelumnya. Kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto,
pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 (lima) tahun. Dengan demikian penghitungan
PPh Pasal 25 bagi WP yang berhak atas kompensasi kerugian tersebut adalah sebagai berikut:
5. SPT
Tahunan
PPh
disampaikan
setelah
batas
waktu
yang
ditetapkan
Dalam kondisi tertentu, misalnya audit laporan keuangan perusahaan belum selesai dilakukan,
atau belum tersedianya dana untuk membayar pajak yang terutang. Sehingga perusahaan
menyampaikan SPT Tahunan PPh setelah jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan PPh yang
telah ditetapkan. Bila kondisi tersebut dialami oleh WP Badan, maka nilai angsuran PPh Pasal
25 yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah sebagai berikut:
Skema 1
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
o
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan
tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke
PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.
6. WP
diberikan
perpanjangan
jangka
waktu
penyampaian
SPT
Tahunan
PPh
Dalam kondisi tertentu WP Badan dapat saja mengajukan permohonan perpanjangan waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh WP, maka berikut ini
merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh Pasal 25.
Skema 2
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
o
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan
tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke
PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.
Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 sampai dengan tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih kecil dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT PPh Pembetulan.
meningkatkan
laba
ataupun
sebaliknya.
Perubahan
penghasilan
yang
diterima/diperoleh WP akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25. Jika dalam tahun pajak
berjalan terjadi penurunan omzet, maka WP Badan dapat mengajukan permohonan
pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba WP dalam tahun
pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali.
Apabila WP mengalami penurunan pendapatan dan ingin mengajukan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25, maka berikut adalah ketentuan yang perlu diketahui:
WP dapat mengajukan permohonan tersebut, saat telah 3 (tiga) bulan atau lebih
berjalannya satu tahun pajak;
WP dapat memperlihatkan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak tersebut
kurang dari 75% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25;
Bila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan
tersebut, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, maka permohonan WP tersebut
dianggap diterima.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan WP mengalami
peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih
dari 150% (serta lima puluh persen) dari dasar penghitungan PPh Pasal 25. Besarnya PPh
Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut, harus dihitung kembali oleh
WP atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana WP terdaftar.
2. Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi:
b. WP BUMN & BUMD sebelum Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)
disahkan:
Sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir pajak sebelumnya.
4. WP masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat
laporan keuangan berkala:
Catatan: Tarif umum yang dimaksud adalah tarif penghitungan pajak penghasilan bagi WP Badan
menurut ketentuan perundang-undangan yag berlaku.
No
Ketentuan
31 Desember 2008
b.
c.
diatas Rp 100.000.00 = 30%
28%
Tarif
25%
Untuk WP Badan masuk bursa diberikatn tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku, sesuai
dengan ketentuan serta syarat yang berlaku
Pembayaran
Jatuh Tempo
dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya
setelah masa pajak berakhir
Pelaporan