Anda di halaman 1dari 37

5.

1 Koreksi Fiscal dan Menyusun Laporan Keuangan Fiscal


Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak
sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang
pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Beda tetap.
Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial
tetapi tidak diakui dalam penghitungan akuntansi pajak.
Contoh penghasilan : sumbangan, Penghasilan bunga deposito.
Contoh biaya
: biaya sumbangan, biaya sanksi perpajakan.
b.

Beda waktu

Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi tidak dapat
diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya
: biaya penyusutan, biaya sewa
Koreksi fiscal dibagi 2 yaitu koreksi fiscal positif dan negatif yaitu :
1. Koreksi Fiskal Positif, yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena
pajak dan PPh terutang. Jenis Koreksi Fiskal Positif antara lain :
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali :
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.

4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.


5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
d.

untuk usaha pengolahan limbah industry.


Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi

kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
f.

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang

g.

dilakukan.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur

dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
l. Persediaan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
m. Penyusutan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
n. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
2. Koreksi fiscal negatif yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan
PPh terutang. Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain :
1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final antara lain :

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
2. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
c. Warisan.
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
f.

final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi

g.

kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
- Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf h, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
- Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

l.

Keuangan.
- Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
o. Persediaan yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
p. Penyusutan yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
LAPORAN KEUANGAN FISKAL
A. Pengertian Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan
perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis
ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan (Balance Sheet)
dari satu entitas, sedangkan laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan
kena pajak dan beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Laporan keuangan komersil

berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) atau standar lain, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan
disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan
standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan Keuangan terutama laporan rugi laba- ,
mengakibatkan perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi
komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak
komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan
pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan
pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut
praktek pembukuan.
2.

Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.

3.

Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan
keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak
apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

Penyusunan Laporan Keuangan


Dalam penyusunan laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang mengatur tentang
pengukuran dan pengakuan berarti dapat dipertanyakan bagaimana suatu laporan keuangan dapat
memenuhi baik untuk keperluan pelaporan komersial maupun laporan fiscal. Dalam penyampaian
SPT pajak badan diharapkan agar dapat melampirkan laporan keangan, tetapi untuk keperluan
komersial perusahaanpada umumnya jarang sekali membuat laporan keuangan. Seadangkan untuk
penyampaian SPT orang pribadi tidak perlu melapirkan laporan keuangan.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1.

Input berupa dokumen dasar

2.

Dicatat dalam buku harian jurnal

3.

Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar

4.

Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang,
hutang dll

5.

Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.

6.

Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial

7.

Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan

8.

Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan
keuangan fiscal.

5.2 Kompensasi Kerugian Fiscal


Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil/Lebih Bayar tetapi ada kerugian) . Kerugian Fiskal
timbul apabila penghasilan bruto yang dikurangi oleh pengurangan yang diperbolehkan
mengalami kerugian. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto fiskal
atau laba neto fiskal dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi
kerugian fiskal berlaku untuk tahun pajak mulai tahun 2009, untuk tahun pajak sebelumnya
berlaku ketentuan Undang-undang no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Contoh :
PT. Tridewo dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000. Dalam 5 (lima)
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT. Tridewo sebagai berikut :
Tahun
1996
1997
1998
1999
2000

laba rugi
Rp200.000.000
(Rp300.000.000)
NIHIL
Rp100.000.000
Rp800.000.000

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :


Rugi fiskal 1995
Laba fiskal 1996
Sisa rugi fiskal 1995
Rugi fiskal 1997
Sisa rugi fiskal 1995
Laba fiskal 1998
Sisa rugi fiskal 1995
Laba fiskal 1999
Sisa rugi fiskal 1995

(Rp1.200.000.000)
Rp200.000.000
(Rp1.000.000.000)
(Rp300.000.000)
(Rp1.000.000.000)
NIHIL
(Rp1.000.000.000)
Rp100.000.000
(Rp900.000.000)

Laba fiskal 2000


Sisa rugi fiskal 1995

Rp800.000.000
(Rp100.000.000)

Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak
boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 1997 sebesar Rp300.000.000 hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan taun 2002, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002

5.3 Menghitung dan Menjelaskan Penghasilan Kena Pajak


A. Kewajiban Pembukuan
Untuk mengetahui besarnya Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib
menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan didefinisikan sebagai : suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
Tahun Pajak berakhir.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang

menurut

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan

diperbolehkan

menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Tidak diwajibkan melakukan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut
diwajibkan melakukan pencatatan.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya,
sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan
penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu pencatatan
meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang
bersifat final.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah
harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan bagi Wajib Pajak badan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan :

Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf


Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal,


penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang.

Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (WP orang pribadi)


= Penghasilan netto PTKP
= (Penghasilan bruto Biaya yang diperkenankan UU PPh) PTKP

Penghasilan Kena Pajak (WP badan)


= Penghasilan netto
= Penghasilan bruto Biaya yang diperkenankan UU PPh
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk :
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan usaha, seperti biaya
pembelian bahan, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, dll.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 tahun.
3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diaturt dengan Peraturan Pemerintah
11. Biaya pembangunan infrasturkur social yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
14. Kompensasi kerugian fiscal tahun sebelumnya (makasimal 5 tahun).
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan :
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha Bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
f.

Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali :

Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan

Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.

Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dibebankan atua dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
12. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :

Dikenakan PPh yang bersifat final

Bukan objek PPh

13. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang PPh-nya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
C. Perhitungan Pajak terutang
Tarif PPh Untuk WP Badan Dalam Negeri dan BUT :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) 10% (sepuluh persen) di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 15% (lima belas persen) di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) 30% (tiga puluh persen).
PPh Terutang dihitung dengan mengalikan tariff yang berlaku tersebut (Tarif Pasal 17) dengan
Penghasilan Kena Pajak.
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00
(+)
= Rp. 57.500.000,00

Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh, jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
5.4 Norma Perhitungan Penghasilan Neto
Dasar Hukumnya yaitu :
1. Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan
keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan
Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan
3. PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi
WP Orang Pribadi (OP)
Besarnya Norma
1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang,
Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi
syarat sebagai berikut :

Peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto,

Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh).

Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER-4/PJ/2009.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun kalender. Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa
Pemberitahuan.

Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Penggunaan
Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat 2
KEP-536/PJ./2000
5.5 Penghasilan Neto Karyawan yang tidak punya usaha
Pencatatan bagi WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi :

penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak
bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan tersebut dan atau;

penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.

Pencatatan Harta dan Kewajiban

Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Pegawai, dimana dalam menghitung penghasilan Neto terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penerapan PTKP ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak, anggota keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh
biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

5.6 Menghitung Pajak terhutang, kredit pajak Pasal 21, 22, 23, 24 dan 25
a. Pajak Penghasilan Pasal 21
1. Pengertian
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
2. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif dan Penerapannya
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai serta
distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh
dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:

- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran pensiun. Iuran
jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari penghasilan
bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan); dikurangi PTKP.
- Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
- Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap
bulan dikurangi PTKP perbulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran
lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya
hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana
pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan
bruto
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,
notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh Psl 17 x 50% dari perkiraan penghasilan bruto PTKP perbulan
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap
lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku
harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak
melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang
terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi
Rp. 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka
besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP
sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
-

5%

dari

penghasilan

bruto

diatas

Rp

25.000.000

s.d.

10%

dari

penghasilan

bruto

diatas

Rp.

50.000.000

s.d.

15%

dari

penghasilan

bruto

diatas

Rp.

100.000.000

Rp.

50.000.000.

Rp.

100.000.000.

s.d.Rp.

200.000.000.

25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000. Penghasilan bruto sampai dengan Rp.

25.000.000,- dikecualikan dari pemotongan pajak.


6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang
sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Ps. 21 dengan
tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. lId
kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I Kebawah.
7. PTKP adalah :
Keterangan

Setahun

1.

Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi

Rp. 24.300.000

2.

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Rp. 1.320.000,-

3.

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung Rp. 15.840.000,-

No

dengan penghasilan suami.


4.

Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda Rp. 1.320.000,dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang
diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap
keluarga

8. Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan adalah:


Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,-

5%

Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-

15%

Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-

25%

Diatas Rp. 500.000.000,-

30%

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh PasaL 21


1. Penghasilan Pegawai Tetap yang diterima Bulanan
Contoh:
Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari sejak 1 Januari 2009. la memperoleh gaji

sebulan sebesar Rp. 2.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,- sebulan. Saefudin
menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).
Penghitungan PPh Ps. 21
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang
Gaji Sebulan = 2.000.000
Pengh. bruto = 2.000.000
Pengurangan
Biaya Jabatan: = 5%x 2.000.000 = 100.000
Iuran pensiun = 25.000
Total Pengurangan = 125.000
Pengh netto sebulan = 1.875.000
Pengh. Netto setahun 12 x 1.875.000 = 22.500.000
PTKP setahun:
WP sendiri = 15.840.000
Tambahan WP kawin = 1.320.000
Total PTKP = 17.160.000
PKP setahun = 5.340.000
PPh Ps. 21 = 5 % x 5.340.000 = 267.000
PPh Ps. 21 sebulan = 22.250

2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan


Contoh:
Teja status kawin dengan 1 anak pegawai PT. Mulia, pensiun tahun 2009. Tahun 2009 Teja menerima
pensiun sebulan Rp. 2.000.000,Penghitungan PPh Ps. 21 :
Pensiun sebulan = Rp. 2.000.000
Pengurangan
Biaya Pensiun 5% x 2.000.000 = Rp. 100.000
Penghasilan Netto sebulan = Rp. 1.900.000
Penghasilan Netto setahun = Rp. 22.800.000
PTKP(K/1) = Rp. 18.480.000
PKP = Rp. 4.320.000
PPh Ps. 21 setahun = 5% x 4.320.000 = Rp. 216.000
PPh Ps. 21 sebulan (Rp. 216.000: 12) = Rp. 18.000

3. Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, tantiem,Tunjangan Hari Raya atau tahun baru,
premi dan penghasilan yang sifatnya tidak tetap, diberikan sekali saja atau sekali setahun.
Contoh :
Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. la memperoleh gaji bulan
Desember sebesar Rp. 2.200.000,00 menerima THR sebesar Rp. 600.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp. 25.000,00 sebulan. Ikhsan Alisyahbani menikah tetapi belum mempunyai anak
(status K/0)
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000
THR = Rp. 600.000
Jumlah Penghasilan Bruto Rp. 27.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 27.000.000 = 1.350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000
Penghasilan netto setahun Rp. 25.350.000
PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 8.190.000
PPh Ps. 21 terutang:
5% x 8.190.000 = Rp. 409.500
PPh Pasal 21 atas gaji
Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 26.400.000 = 1350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000
Penghasilan netto setahun Rp. 24.750.000
PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 7.590.000
PPh Ps. 21 terutang: 5% x 7.590.000 = Rp. 379.500
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR - PPh Pasal 21 atas gaji:
= Rp. 409.500,00 - Rp. 379.500,00
= Rp. 30.000,00
4. Penerima Honorarium atau Pembayaran lain.
Contoh :

Ali seorang penceramah memberikan ceramah pada lokakarya dan menerima honorarium Rp.
1.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong (tarif Pasal 17) : 5%xRp.1.000.000,00 = Rp.
50.000,00

5. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar asuransi.
Contoh:
Tri seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan April 2009 menerima
komisi sebesar Rp. 750.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00
6. Penerima Hadiah atau Penghargaan sehubungan dengan Perlombaan.
Contoh:
Ali pemain tenis yang tinggal di Jakarta, menjadi juara dalam suatu turnamen dan mendapat hadiah
Rp. 30.000.000,00 PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
5% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 1.500.000,7. Honorarium yang diterima tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
Contoh :
Gatot seorang arsitek, bulan Maret 2009 menerima honorarium Rp.20.000.000,00 dari PT.Abang
sebagai imbalan atas jasa teknik.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
15% x 50% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
8. Penghasilan atas Upah Harian.
Contoh :
Eko pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini Perkasa. la bekerja
sehari sebesar Rp. 120.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari = Rp. 120.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 150.000,00
PKP Sehari = Rp. 0,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x Rp. 0,00) = Rp. 0,00

9.Penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan uang pesangon
yang dibayarkan sekaligus oleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.
Contoh :
Eko bulan Maret 2009 menerima tebusan pensiun dari Dana Pensiun X Rp. 70.000,000.
Penghasilan Bruto Rp.70.000.000, Dikecualikan dari Pemotongan Rp.25.000.000

Penghasilan dikenakan pajak Rp.45.000.000,


PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp. 45.000.000,00
Jumlah PPh Pasal 21 terutang

= Rp. 2.250.000,= Rp. 2.250.000,-

b. Pajak Penghasilan Pasal 22


1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh :
1. Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembagalembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
2. Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah
persen) dari nilai impor; yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen)
dari nilai impor; dan barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari
harga jual lelang;
2. Atas pembelian barang atau pembayaran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah
sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
3. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja
daerah (APBD) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
4. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola
Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia
(Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT
Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang dananya bersumber dari APBN
maupun non-APBN sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
5. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen
sebesar 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
6. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri rokok
sebesar 0,15% dari Harga Bandrol dan bersifat final.

7. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas
sebesar 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
8. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja
sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
9. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri otomotif
sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina
serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT dan gas adalah sebagai berikut:
SPBU Swastanisasi

SPBU Pertamina

Premium

0,3% dari penjualan

0,25% dari penjualan

Solar

0,3% dari penjualan

0,25% dari penjualan

Premix/Super TT 0,3% dari penjualan

0,25% dari penjualan

Minyak Tanah

0,3 % dari penjualan

Gas LPG

0,3 % dari penjualan

Pelumas

0,3 % dari penjualan

10. Pasal 22 yang atas pembelian bahan-bahan oleh Industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka adalah
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
c. Pajak Penghasilan Pasal 23
1. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.
2. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23
1.

Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :

a.

dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;

b.

bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";

c.

royalti;

d.

hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf
"e" Undang-undang PPh. Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 21
adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan,
misalkan

kegiatan

olah

raga,

keagamaan,

kesenian,

dan

kegiatan

lainnya.

Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan
penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2.
3.

Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi.
Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
a.

sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;

b.

imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa
konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c"
Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau
Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa
Lain :
No. Perkiraan Penghasilan Neto
1.

50% dari jumlah bruto tidakJasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum dan jasa konsultasi
termasuk PPN

2.

Jenis Jasa

pajak

40% dari jumlah bruto tidaka. Jasa teknik dan jasa manajemen
termasuk PPN

b. Jasa perancang/desain :
>

Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;

>

Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan;

>

Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan;

>

Jasa perancang iklan/logo;

>

Jasa perancang alat kemasan.

c. Jasa instalasi/pemasangan :
>

Jasa

instalasi/pemasangan

mesin

dan

jasa

instalasi/pemasangan peralatan;
>

Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel.

d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :
>

Jasa

perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin

dan jasa

perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
>

Jasa

perawatan/pemeliharaan/perbaikan

alat-alat

transportasi/kendaraan;
>

Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan.

e. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa


gudang yang telah dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor
29 Tahun 1996.
f. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga.
g. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa
internet.
h. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum.
i. Jasa akuntansi dan pembukuan.
j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah.
k. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.
l. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak
gas dan bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk
Usaha Tetap.
m. Jasa penunjang di bidang penambangan migas.
n. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan

selain migas.
o. Jasa perantara.
p. Jasa penilai.
q. Jasa aktuaris.
r. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.
s. Jasa maklon.
t. Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
u. Jasa

sehubungan

dengan

software

komputer,

termasuk

perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.


3.

26,67% dari jumlah brutoa. Jasa perencanaan konstruksi.


tidak termasuk PPN

4.

b. Jasa pengawasan konstruksi

13,33% dari jumlah brutoJasa pelaksanaan konstruksi


tidak termasuk PPN

5.

10% dari jumlah bruto tidaka. Jasa pembasmian hama


termasuk PPN

b. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya


dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan Tanah/Bangunan) Dan
Penggunaan Harta
No.

Perkiraan Penghasilan Neto

1.

20%

dari

jumlah

bruto

termasuk PPN
2.

40%

dari

jumlah

termasuk PPN

Jenis Jasa
tidakSewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan
pengunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.

bruto

tidakSewa

dan

penghasilan

lain

sehubungan

dengan

penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain


sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan
yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.

d. PAJAK PENGHASILAN PASAL 24


1. Pengertian
Pajak penghasilan pasal 24 ialah Pajak penghasilan yang terutang atau dibayarkan di
luar negeri atas penghasilan yang di terima atau yang diperoleh dari luar negeri yang dapat di
kreditkan terhadap pajak penghasilan yang terhutang atas seluruh wajib pajak dalam negeri.
Supaya tidak terjadi penghitungan ganda maka pajak tersebut dapat di kreditkan oleh
perusahaan dengan cara:
1.Menghitung batas Maksimum pajak luar negeri
2.Pajak penghasilan yang di kreditkan dalam pajak tahun yang sama
Rumus menghitung Maksimum Pajak Luar Negeri Penghasilan Luar Negri X PPH Terhutang Total
Penghasilan Netto LN+DN
Cara Menghitung kredit pajak luar negeri yaitu :
a. Pajak penghasilan yang dikenakan ialah pajak penghasilan pada tahun yang sama
b. Menghitung batas maksimum kredit pajak luar negeri atau eksemi
c. Bandingkan batas MKPLN(Maksimum Pajak Luar Negeri)dengan pajak yang dipotong diluar
negeri dan PPh terutang pada tahun berjalan
d. Yang boleh menjadi kredit pajak adalah yang jumlahnya lebih kecil kredit PPh 24 tidak boleh
melebihi Jumlah PPh terhutang pada tahun berjalan
e. Bila ada kerugian luar negeri tidak boleh di kompensasikan dengan penghasilanyang diterima di
dalam negeri
Yang dimaksud dengan Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak yang
berkenaan atas usaha atau pekerjaan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud pajak atas
penghasilan yang dibayarkan di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan
penghasilan lainnya di luar negeri misalnya bunga,deviden,royalty.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25


Pengertian PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode
tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh

dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh
dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir
agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data
penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika
suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya
akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan
setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya,
cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita
mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja
nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.
Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir
tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi
ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22,
23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Misalnya, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang

50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24

35.000.000

Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang

50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24

35.000.000

Selisih

15.000.000

PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 =

1.250.000

Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang
lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan
bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari.
Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25
bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak
yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan
dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal
29 Desember 2000.
PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan
Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pajak Penghasilan Pasal 26

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/ dipotong atas penghasilan
yang bersumberdari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak(WP) luar negeri selain
bentuk usaha tetap (BUT) diIndonesia.

Pemotong PPh Pasal 26 :


- Badan Pemerintah;
- Subjek Pajak dalam negeri;
- Penyelenggara Kegiatan;
- BUT;
- Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selainBUT di Indonesia.

Tarif dan Objek PPh Pasal 26


1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
berupa :
a. dividen
b. bunga, premium, diskonto, premi swap,dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian hutang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f.

pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :


a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia,
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
4.

Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara pihak pada persetujuan.

Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya
penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.

2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan
daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10
Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam
waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

5.7 Menghitung PPh yang masih harus dibayar (Pasal 29/28a) dan angsuran PPh Pasal 25 tahun
berjalan
Pajak Penghasilan pasal 29 akan terjadi apabila pajak terutang pada tahun pajak berjalan
melebihi jumlah kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.Dengan kata lain PPh pasal 29 ini adalah Pajak Penghasilan
Kurang Bayar yang harus disetor oleh Wajib Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro.
Sebaliknya apabila pajak terutang pada tahun pajak berjalan kurang dari jumlah kredit
yang telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri oleh Wajib

Pajak,maka akan timbul lebih bayar pajak dan lebih bayar pajak ini disebut sebagai Pajak
Penghasila pasal 28A.
Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Amanah mencatat peredararan bruto sebesar
Rp.5.000.000.000,00

(lima

miliar

rupiah)

dan

Penghasilan

Kena

Pajaknya

sebesar

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Apabila pada tahun 2011 perusahaan telah dipotong dan
dipungut PPh pasal 22 sebesar Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah), PPh Pasal 23 sebesar
Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah),maka bisa dilihat perhitugan PPh pasal 25 dan PPh pasal 28A
atau PPh pasal 29-nya sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak
PPh Terutang : 25% x Rp.100.000.000,00
Kredit Pajak :
PPh pasal 22
Rp.2.000.000,00
PPh pasal 23
Rp.3.000.000,00
Total Kredit Pajak
Pajak Kurang Bayar (PPh pasal 29)

Rp.100.000.000,00
Rp. 25.000.000,00

Rp. 5.000.000,00
Rp. 20.000.000,00

Apabila penghasilan yang diterima oleh PT Amanah seluruhnya bersifat teratur,maka


angsuran PPh pasal 25 tahun 2012 sebesar Rp.20.000.000,00 : 12 = Rp.1.666.667,00.
Diasumsikan pada contoh diatas,selain transaksi yang telah terjadi, dari peredaran bruto
tersebut terdapat pula penyerahan Barang Kena Pajak ke Kementrian Sosial sebesar
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), sehingga terdapat pemungutan PPh pasal 22 yang
dilakukan oleh Bendaharawan Kemenntrian Sosial sebesar 1,5% x Rp.2.000.000.000,00 =
Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah),sehingga penghitungan Pajak Terutang Tahunan PT
Amanah akan berubah menjadi sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak
PPh Terutang : 25% x Rp.100.000.000,00
Kredit Pajak :
PPh pasal 22
Rp.32.000.000,00
PPh pasal 23
Rp._3.000.000,00
Total Kredit Pajak
Pajak Lebih Bayar (PPh pasal 28A)

Rp.100.000.000,00
Rp. 25.000.000,00

Rp. 35.000.000,00
(Rp. 10.000.000,00)

PPh Pasal 25 tahun berjalan


Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam Tahun Pajak. Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) menentukan
pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
1. Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui
mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan melalui pembayaran
pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan

merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.
2. Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak.
Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yang merupakan penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang, yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar
sendiri, dan jumlah Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan atau angsuran pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib
pajak merupakan pelunasan atau pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan
terutang dalam suatu tahun pajak. Ketentuan mengenai angsuran Pajak Penghasilan diatur
dalam Pasal 25 UU PPh.. Secara umum PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh WP
Badan dapat dihitung sebagai berikut :

Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Kondisi-Kondisi Tertentu


Ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 dapat berbeda dari penghitungan PPh Pasal 25 secara umum.
Perbedaan penghitungan terjadi apabila perusahaan dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu, antara
lain :
1. PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
Besarnya anggsuran yang harus dibayar untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian
SPT Tahunan PPh adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu.
2. Dalam

tahun

pajak

berjalan

WP

menerima

Surat

Ketetapan

Pajak

(SKP)

Apabila WP menerima SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak akan
dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut. Nilai PPh Pasal 25 yang baru, mulai berlaku pada
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
3. WP berhak atas kompensasi kerugian

Apabila Wajib Pajak Badan memiliki kompensasi kerugian fiskal, yang timbul pada tahun
pajak sebelumnya. Kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto,
pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 (lima) tahun. Dengan demikian penghitungan
PPh Pasal 25 bagi WP yang berhak atas kompensasi kerugian tersebut adalah sebagai berikut:

4. WP memperoleh penghasilan tidak teratur


Suatu perusahaan umumnya menerima penghasilan yang bersifat teratur dan tidak teratur.
Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan
usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat
berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan
dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan
usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Penghasilan tidak teratur ini
dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang memberikan penghasilan. Terkait dengan
penghasilan teratur dan tidak teratur, maka penghitungan angsuran pajak dalam tahun, maka
penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah
sebagai berikut:

5. SPT

Tahunan

PPh

disampaikan

setelah

batas

waktu

yang

ditetapkan

Dalam kondisi tertentu, misalnya audit laporan keuangan perusahaan belum selesai dilakukan,
atau belum tersedianya dana untuk membayar pajak yang terutang. Sehingga perusahaan
menyampaikan SPT Tahunan PPh setelah jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan PPh yang
telah ditetapkan. Bila kondisi tersebut dialami oleh WP Badan, maka nilai angsuran PPh Pasal
25 yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah sebagai berikut:
Skema 1

Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
o

Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan
tanggal penyetoran.

Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke
PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.

6. WP

diberikan

perpanjangan

jangka

waktu

penyampaian

SPT

Tahunan

PPh

Dalam kondisi tertentu WP Badan dapat saja mengajukan permohonan perpanjangan waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh WP, maka berikut ini
merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh Pasal 25.
Skema 2

Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
o

Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai dengan
tanggal penyetoran.

Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke
PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.

7. WP melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh


Wajib Pajak membetulkan SPT PPh Tahun pajak lalu, maka besarnya PPh Pasal 25
dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan dan akan berlaku surut mulai batas
waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. SPT Tahunan yang dibetulkan, terdapat dua
konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
o

Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 sampai dengan tanggal penyetoran.

Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih kecil dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT PPh Pembetulan.

8. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan WP


Perubahan keadaan kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh WP, merupakan hal yang
wajar. Dimana tidak jarang WP dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu, yang dapat secara
drastis

meningkatkan

laba

ataupun

sebaliknya.

Perubahan

penghasilan

yang

diterima/diperoleh WP akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25. Jika dalam tahun pajak
berjalan terjadi penurunan omzet, maka WP Badan dapat mengajukan permohonan
pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba WP dalam tahun
pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali.
Apabila WP mengalami penurunan pendapatan dan ingin mengajukan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25, maka berikut adalah ketentuan yang perlu diketahui:

WP dapat mengajukan permohonan tersebut, saat telah 3 (tiga) bulan atau lebih
berjalannya satu tahun pajak;

WP dapat memperlihatkan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak tersebut
kurang dari 75% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25;

WP dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan


Pajak tempat Wajib Pajak Terdaftar.

WP harus menyertakan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang (berdasarkan


perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh, serta besarnya PPh Pasal 25
untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Bila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan
tersebut, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, maka permohonan WP tersebut
dianggap diterima.

Bila permohonan tersebut dikabulkan maka WP dapat melakukan pembayaran PPh


Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan WP mengalami
peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih
dari 150% (serta lima puluh persen) dari dasar penghitungan PPh Pasal 25. Besarnya PPh
Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut, harus dihitung kembali oleh
WP atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana WP terdaftar.

Penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Tertentu


Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa angsuran dalam tahun berjalan dihitung
berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun lalu. Akan tetapi untuk WP tertentu, angsuran pajak penghasilan
dapat dihitung dengan ketentuan yang berbeda. Penghitungan yang berbeda ini dimaksudkan untuk
lebih mendekati kewajaran penghitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data
terkini dari kegiatan usaha tersebut. Berikut merupakan ketentuan penghitungan angsuran, yang
berbeda dan disesuaikan dengan kegiatan usaha tertentu.
1. WP Badan Baru:

2. Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi:

3. WP BUMN & BUMD


a. WP BUMN & BUMD setelah Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)
disahkan:

b. WP BUMN & BUMD sebelum Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)
disahkan:
Sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir pajak sebelumnya.
4. WP masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat
laporan keuangan berkala:

Catatan: Tarif umum yang dimaksud adalah tarif penghitungan pajak penghasilan bagi WP Badan
menurut ketentuan perundang-undangan yag berlaku.
No

Ketentuan

Berlaku sampai dengan tanggala.

s.d Rp 50.000.000 = 10%

31 Desember 2008

b.

diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.00 = 15%

Berlaku pada tahun 2009

c.
diatas Rp 100.000.00 = 30%
28%

Tarif

Berlaku pada tahun 2010

25%

Untuk WP Badan masuk bursa diberikatn tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku, sesuai
dengan ketentuan serta syarat yang berlaku

Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 25:


No Deskripsi
1
2

Pembayaran

Jatuh Tempo
dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya
setelah masa pajak berakhir

Pelaporan

paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25


Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana lain
yang dipersamakan dengan SSP. SSP dijadikan bukti pembayaran apabila telah divalidasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN itu sendiri merupakan nomor yang tertera pada
bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara (MPN).
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Apabila SSP tersebut telah mendapat
validasi (NTPN). Akan tetapi, Wajib Pajak tetap harus menyampaikan SPM PPh Pasal 25 apabila:
a. jumlah angsuran PPh Pasal 25 adalah nihil
b. bentuk satuan uang yang dibayarkan selain rupiah, atau
c. melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN tetap
harus menyampaikan SPM PPh Pasal 25.
Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan PPh Pasal 25

Anda mungkin juga menyukai