Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seorang muslim yang paripurna adalah nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal
dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan
manusia, sehingga sulit diterka mana lebih dulu berperan kejujuran jiwanya atau
kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian aqidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir
teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi aqidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran
aqidah yang benar dan lurus.
Konsep ketuhanan dalam islam mulai muncul setelah wafat-Nya Rasulullah
Muhammad SAW. Karena muncul beberapa aliran yang sifatnya tradisional dan modern.
Sering sekali terjadi pendapat dan tafsiran terhadap Al-quran dan Hadits. Ada yang
melihat secara tekstual dan ada yang melihat secara kontekstual.Hal ini menyebabkan
banyaknya perspektif-perspektif dari beberapa orang.
Dalam islam konsep ketuhanan merupakan hal utama dan paling awal yang harus
diperbaiki karena itu merupakan pondasi yang menopang kehidupan keislamannya nanti.
Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena kalau tidak itu akan mengurangi
hakekat keislaman seorang manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagiamana konsep ketuhanan secara teologi?
2. Bagaiman konsep ketuhanan menurut filsuf barat?
3. Bagaimana Konsep ketuhanan menurut filsuf islam?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep ketuhanan secara teologi
2. Untuk mengetahui konsep ketuhanan menurut filsuf barat
3. Untuk mengetahui konsep ketuhana menurut filsuf islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ketuhanan Secara Teologi
Secara teologi ada beberapa istilah mengenai konsep tuhan, yaitu :

1. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme.
Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa
orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang
Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat
mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif
adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf,
1993:26-27).

2. Ateisme
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai
keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.Dalam pengertian
yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani (atheos), yang secara
peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan
2

dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya


pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai
dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang
yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman
sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku
sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun
orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas
tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia). Banyak
ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti
empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau
sejarah. Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama
(ireligius).
Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan'
dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang
dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama
ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung
kepada filosofi sekuler seperti humanisme,] rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada
ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis
Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang
pertama yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku The System of Nature (1770), ia
melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat, determinisme yang
sempit, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common Sense (1772) dikutuk oleh
Parlemen Paris, dan salinan-salinannya dibakar di depan umum.
3. Deisme
Kata deisme berasal dari bahasa latin deus yang berarti Tuhan. Dari akar kata ini
kemudian menjadi dewa, bahkan kata Tuhan sendiri masih dianggap berasal dari deus.
Menurut paham deisme, Tuhan berada jauh di luar alam. Tuhan menciptakan alam dan
sesudah alam diciptakan, Ia tidak memperhatikan dan memelihara alam lagi. Alam
berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ketika proses
penciptaan. Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah-ubah dan sangat sempurna.Jadi

deisme secara istilah, yaitu suatu aliran atau paham yang menjadikan Tuhan sebagai satusatunya dewa pencipta alam dan keberadaanya jauh di luar alam.
Dalam paham deisme, alam bagaikan jam. Karena setelah Tuhan menciptakan alam,
alam tidak butuh lagi kepada Tuhan dan alam berjalan menurut mekanisme yang telah
diatur oleh Tuhan. Alasannya, alam berjalan sesuai dengan mekanisme yang tidak
berubah-ubah, maka dalam paham deisme tidak terdapat mukjizat atau kejadian yang
bertentangan dengan hukum alam. Paham deisme ini menggunakan alam sebagai bentuk
ciptaan yang diciptakan oleh Tuhan. Karena alam merupakan salah satu bentuk eksistensi
Tuhan. Tuhan mempunyai sifat yang abstrak, sehingga manusia tidak dapat melihat,
tetapi manusia percaya terhadap eksistensi-Nya dari alam.
Deisme mulai muncul pada abad ke 17, yang dipelopori oleh Newton (1642-1727).
Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam dan jika ada kerusakan, alam tidak
membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya karena alam sudah memiliki mekanisme
sendiri untuk menjaga keseimbangan.
Dengan munculnya kemajuan suatu ilmu pengetahuan, maka para ilmuan semakin
yakin akan kebenaran dan keuniversalan hukum-hukum yang ada dalam ilmu
pengetahuan yang tidak berubah. Akhirnya, para ilmuan beranggapan bahwa Tuhan
sangat diperlukan untuk alam yang dapat berjalan dengan sendirinya semakin kecil.
Semakin lama paham ini timbul bahwa Tuhan hanya menciptakan alam dan alam akan
berjalan dengan sendirinya sesuai hukum-hukum yang ada dalam ilmu pengetahuan.
Atas dasar perbedaan kesepakatan tersebut, deisme dapat dibagi menjadi empat tipe,

yaitu:
Tuhan tidak terlibat dengan pengaturan alam. Tuhan menciptakan alam, tetapi Tuhan
tidak menghiraukan segala sesuatu yang telah terjadi atau segala sesuatu yang akan

terjadi setelah penciptaan.


Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di alam, tetapi tidak
mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki kebebasan bertindak dalam
melakukan suatu perbuatan yang baik maupun yang buruk, jujur dan berbohong, dan lain

sebagainya. Karena semua itu bukan urusan Tuhan.


Tuhan yang mengatur alam dan sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia.
Bahwa sebenarnya, Tuhan ingin menegaskan kepada manusia untuk tunduk pada hukum
moral yang telah ditetapkan oleh Tuhan di dunia. Karena manusia tidak akan hidup
sesudah mati.
4

Tuhan yang mengatur alam dan berharap kepada manusia supaya patuh terhadap hukum
moral yang berasal dari alam. Hal ini merupakan pandangan suatu bentuk amal perbuatan
yang dilakukan oleh manusia. Amerika dan Inggris banyak menganut pandangan tersebut.

4. Agnostisisme
Agnostisisme adalah pandangan bahwa keberadaan Allah tidak mungkin diketahui
atau dibuktikan. Kata agnostik pada dasarnya berarti tanpa pengetahuan.
Agnostisisme adalah bentuk atheisme yang secara intelektual lebih jujur. Atheisme
mengklaim bahwa tidak ada Allah suatu posisi yang tidak dapat dibuktikan.
Agnostisisme berargumentasi bahwa keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau
disangkali adalah tidak mungkin untuk mengetahui apakah Allah itu ada. Dalam konsep
ini agnostisisme benar. Keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau disangkali secara
empiris.
Agnostisisme pada hakekatnya adalah penolakan untuk mengambil keputusan
apakah Allah ada atau tidak. Ini adalah bentuk paling utama dari ketidakmampuan untuk
mengambil keputusan. Agnostik percaya bahwa kita tidak boleh percaya atau tidak
percaya akan keberadaan Allah karena tidak mungkin untuk mengetahui atau
menyangkalinya.
Ada beberapa dasar filsafat agnotisisme yaitu :
a. Pandangan agnostisisme dikonstruksikan oleh bangun filsafat Immanuel Kant (17241804). Immanuel Kant, hidup dalam lingkungan budaya dan intelektual yang dilukiskan
T.Z. Lavine (2002:185-7) sebagai Aufklrung Jerman. Suatu lingkungan yang secara
budaya tetap feodal, agrikultural dan rural - berbeda dengan Inggris dan Prancis yang
telah menanjak periode industrialisasi dan urban: serta secara intelektual sangat
rasionalistis, dogmatis dan spekulatif. Immanuel Kant sendiri mendasarkan pikirannya
pada metafisika Wolff yang rasionalisme.
b. Rasionalisme lahir sebagai produk renaisance dan menjadi penghubung bagi filsafat abad
pertengahan dengan filsafaf modern. Hamersma (1983:3-5) melukiskan bahwa
pembentukan

rasionalisme

didorong

oleh

semangat faber

mundi (orang

yang

menciptakan dunianya) dimana manusia melihat dirinya sebagai pusat dari kenyataan.
Semua filsafat berpusat pada manusia. Pernyataan yang mewakili zaman ini ditemukan
5

dalam diri tokoh rasionalisme termasyur Rene Descartes

(1596-1650) yang

berujar :Cogito, ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Descartes memulai
filsafatnya dengan kesangsian metodis. Sangsi akan segala hal. Jika saya sangsi akan
segala sesuatu, maka tinggal satu hal yang tak dapat saya sangkal, yaitu diri saya yang
sangsi. Keraguan terhadap segala hal menyisakan satu saja hal yang pasti yaitu diri saya
yang sangsi. Bagi Descartes, saya yang ragu adalah subyek pemikiran. Manusia dengan
demikian menjadi subjek atau titik tolak pemikiran.
c. Descartes, tulis Hamersma (1983:8), menyebut idenya tentang saya yang ragu sebagai
ide jelas dan tegas. Ide jelas dan tegas bersifat pasti. Akal budi, rasio juga bersifat pasti
karena mencapai kepastian tanpa pertolongan apapun.

B. konsep ketuhanan Menurut Filsuf Barat


Watak pemahaman ketuhanan dalam tradisi Yunani mencakup unsur agama dan
filsafat. Ide pertama tentang Tuhan terdapat dalam Iliad and Odyssey karya Homer, yang
menggambarkan adanya dewa-dewa yang memerintah alam, yang paling tinggi adalah Zeus,
dewa keturunan. Zeus mempunyai anak-anak yang juga menjdi dewa-dewa tetapi tidak
kekal. Dewa Zeus bukan pencipta alam dan sangat mengikuti kemauannya sendiri dalam
menghadapi manusia.1Berikut beberapa pandangan filsuf tentang Tuhan.
Socrates (469-399 SM)
Socrates adalah murid dari Phytagoras, yang membahas masalah ketuhanan
dengan logika akademik yang simpel dengan menetapkan wujud Tuhan yang disembah.
Metode Socrates yang digunakan dikenal sebagai maieutike tekhne (Seni Kebidanan).
Seperti ibu yang membidani kelahiran-kelahiran bayi, Socrates membidani ide-ide
pamikiran orang dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan hingga dari orang itu
sendiri akan melahirkan pengetahuan-pengetahuan.
Ajaran yang terkenal dari Socrates adalah Gnoti Seauton yaitu kenalilah dirimu
sendiri. Bagi Socrates denag mengenali diri sendiri, akan dapat lebih mengenal Tuhan.
1
6

Manusia menurut Socrates diberikan sifat-sifat khas yang tidak dimiliki oleh makhluk
lain. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki manusia yang menjadikan pengingkaran
kepada Tuhan menurut Socrates menjadi tidak beralasan.
Socrates mempercayai adanya keabadian roh, yang tidak akan rusak atau mati
dengan kematian badan. Ia percaya bahwa roh akan kembali kepada sumbernya yang
pertama yang bersih dan suci dari unsur kebendaan. Tidak begitu jelas ia berpaham
politeisme atau monoteisme, karena ia sering membicarakan stu dewa, tatpi diwaktu lain
ia membicarakan banyak dewa, akan tetapi semua dewa disucikannya dari sifat-sifat
kemanusiaan yang fana.
Plato (427-347 SM)
Plato menggambarkan Tuhan sebagai Demeiougos (sang pencipta) dari alam ini
dan sebagai Ide Tertinggi dari alam ide. Ide tertinggi ini menurut Plato adalah Ide
Kebaikan.
Sebagai

murid

Socrates,

Plato

berusaha

mengembangkan

dan

lebih

menyempurnakan pandangan-pandangan gurunya, dan sistem pemikiran merupakan


puncak dari usaha-usaha orang sebelumya yang digabungkan dalam pemikiran sendiri.
Menurut Plato segala keadaan di dunia ini tidaklah kekal dan selalu berubah karena
itu dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayangan yang dilawankan denagn
dunia ide yang bersifat kekal dan tidak mengalami perubahan. Dalam mencari hakekat
banda yang tetap berubah ini, Plato berfikir bahwa hanya benda-benda yang berada diluar
alam, diluar ruang dan waktu, dapat menjadi realitas tertinggi.
Konsekwensi dari benda yang selalu berubah ini adalah bersifat baharu, dan setiap
yang baharu mempunyai sebab yang ada penyebabnya, itulah Tuhan yang terbebas dari
sifat baharu. Tuhan adalah zat yang transenden dan merupakan realitas tertinggi,
merupakan esensi atau Ide dari yang Baik, dan alam merupakan partisipasi refelektif dari
zat yang sempurna.
Plato menyebutkan dalam kitab undang-undangnya bahwa ada beberapa perkara
yang tidak pantas bagi manusia apabila tidak mengetahuinya, yaitu antara lain bahwa
manusia itu mempunyai Tuhan yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu
yang diperbuat oleh sesuatu itu.
Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles adalah murid terbaik Plato, sehingga banyak pemikiran-pemikiran
gurunya yang memberinya pengaruh kuat pada filsafatnya. Meskipun demikian ia tidak

kehilangan kekritisannya dalam menanggapi pemikiran Plato, sehingga akan tampak


beberapa pandangannya yang berseberangan dengan gurunya.
Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa realitas konkrit itu tidak tetap dan selalu
berubah, akan tetapi ia tidak setuju atas pandangan Plato mengenai pengetahuan yang benar
yang dibangun atas dasar postulat bahwa dunia transenden terpisah dengan objek-objek
konkrit dan menganggap realitas konkrit dan menganggap realitas konkrit sebagai hal yang
tidak nyata. Bagi Aristoteles realitas justru harus dicari dalam dunia yang ditemukan
manusia, yaitu dunia yang teramati. Dunia konkrit dan individual, itulah kenyataan real.
Pandangan Aristoteles yang terkenal adalah teorinya tentang empat causa: Causa
material, Causa formal, Causa efisien, Causa final. Suatu realitas yang sifatnya kausalitas
bahwa keberadaan sesuatu disebabkan oleh yang lain, mengarah pada konsep adanya
Penggerak Pertama yang tidak bergerak sebagai penyebab gerak dari yang bergerak.
Penggerak pertama yang tidak bergerak diartikan sebagai sebab yang dia sendiri tidak
bergerak, ia merupakan pikiran murni dan pikian hanya pada dirinya sendiri.
Konsep Aristoteles tentang Tuhan didasarkan pada latar belakang ilmu pengetahuan,
tidak didasarkan pada suatu religi tertentu. Bagi Aristoteles Tuhan sebagai substansi yang
bersifat eternal terpisah dari dunia konkrit, tidak bersifat materi, tidak memiliki potensi;
Tuhan adalah Aktus Murni yang hanya memperhatikan dirinya sendiri, Tuhan bukan
personal yang menjawab doa-doa dan keinginan manusia.
d. Agustinus (354-430)
Menurunya Tuhan adalah pengada yang mutlak. Dia adalah abadi, tidak berubah.
Dia berada diluar pemahaman manusia, karena dia lebih besar dari sesuatu yang diketahui
manusia. Penegtahuan yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan Tuhan adalah
terbatas dan diperoleh melalui analogi dari suatu yang dialami manusia.
Tuhan itu berpribadi, berpikir dan berkehendak. Dia menciptakan dunia dan
menegendalikan sesuai dengan rencana Ilahi-Nya yang telah ditetapkan. Tuhan
menciptakan dunia dari ketiadaan.
e. Anselmus (1033-1109)
Anselmus berpendapat bahwa Tuhan bukannya bukan apa-apa, melainkan adalah
pengada yang Tertinggi dari segala sesuatu. Tuhan bukan hanya dapat diketahui didalam
Iman. Untuk mengetahui Tuhan, orang harus melibatkan diri didalam Tuhan, sebagaimana
kata Agustinus credout intelligam aku beriman agar aku mengerti.

Tuhan bagi Anselmus adalah sesuatu yang salainnya sesuatu yang lebih besar tidak
dapat dipikirkan. Tuhan itu harus bereksistensi, karena tanpa eksistensi Tuhan tidak akan
menjadi sempurna. Eksistensi lebih sempurna daripada tidak bereksistensi.
f. Baruch Spinoza (1632-1667)
Baruch Spinoza atau Benedict Spinoza atau Despinoza lahir di Amsterdam pada
tanggal 24 November 1632 dari keluarga Yahudi. Tahun 1663 Spinoza pindah ke Den Haag
tahun 1663 ia pernah ditawari manjadi pimpinan filsafat pada Universitas The Hague,
tetapi ia menolaknya. Spinoza meninggal pada tanggal 21 Februari 1667.
Spinoza termasuk pemikir yang revolusionir pada zamannya, ia adalah pemikir yang
paling ambisius dan tak kenal kompromi. Dialah filsuf modern yang dengan lantang
mengajarkan Tuhan imanensi dan dinamis menggantikan ide tentang Tuhan transenden
yang statis.
andangan Spinoza tentang Tuhan atau substansi dapat disimpulkan beberapa hal:
pertama, Tuhan itu satu, diluar Tuhan tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bingkai
alam adalah tubuh Tuhan, sedang isi mental dari struktur fisikal alam dalah jiwa Tuhan.
Ketiga, objek-objek material adalah modus Tuhan atau substansi.2[5]
Dalam bukunya yang berjudul Ethica, Spinoza menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan
yaitu:
o Pertama, Tuhan tidak terbatas. Tuhan yang secara absolut tidak terbatas itu tidak
dapat dibagi dan abadi.
o Kedua, aktivitas Tuhan tergantung pad hukum-hukum yang dimiliknya.
o Ketiga, Tuhan adalah sumber penyebab segala sesuatu.
o Keempat, eksistensi dan esensi Tuhan adalah sama.
o Kelima, Kekuatan Tuhan sama dengan esensinya.
o Keenam, esensi Tuhan identik dengan keabadian.
o Ketujuh, Tuhan adalah bebas.
o Kedelapan, Tuhan memahami dirinya sendiri.
g. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Leibniz adalah seorang filsuf, ilmuwan, matematikus, sejarahwan dan diplomat. Ia
lahir di Leipzig tiga belas tahun setelah kelahiran Spinoza dan empat tahun sesudah
kematian Descartes.
Pandangan-pandangan Leibniz mencoba untuk menyatukan berbagai konflik
terutama mengenai paham keagamaan yang berbeda. Ia ingin mengharmoniskan antara
kaum Protestan dan Katolik Roma, ia mendambakan agama universal atas dasar prinsip
2
9

kristiani. Leibniz tidak tidak hanya berkehendak menyatukan agama tetapi juga
menyatukan ilmu, teologi, dan filsafat. Leibniz juga ingin menyelesaikan pertentangan
lama antara realisme dan nominalisme dengan mengatakan bahwa teori secara universal
adalah real, tetapi yang sesungguhnya hadir objektif adalah yang partikular.
C. konsep ketuhanan menurut filsuf islam
a. Konsep Ketuhanan Al Kindi (801-873)
Tuhan digambarkan oleh al Kindi sebagai sesuatu yang bersifat tetap, tunggal,
ghaib dan penyebab sejati gerak. Al kindi dengan menggunakan konsep teori
pencipta creatio ex nihilo mengatakan bahwa penciptaan dari ketiadaan merupakan hal
istimewa yang dimiliki Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya Dzat yang sungguh-sungguh
mampu mencipta dari ketiadaan dan Dia merupakan sebab yang sesungguhnya dari
seluruh realitas yang ada didunia ini.
Al Kindi mensifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia
tinggi dan dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatif. Ia bukan materi, tak
berbentuk, tak berjumlah, tak berkualitas, tak terhubung. Ia tek berjenis, tak terbagi dan
tak berkejadian, ia abadi oleh karena itu Ia Maha Esa (wahdah), selain-Nya berlipat.
b. Konsep Ketuhanan Al-Farabi
al Farabi adalah salah seorang filsuf Neo-Platonism. Konon, dengan hadirnya al
Farabi, jadilah dirinya Filsuf pertama yang membangun Neo-Platonism di dunia Islam.
Tuhan, menurut al Farabi baginya Allah adalah sebab pertama bagi segala sesuatu
di dunia ini (al Maujud al Awwal). Bagi al Farabi, segala sesuatu yang bersifat ada di
dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud (Allah) dan mumkin al wujud (Alam Semesta).
Maka sebelum kita beranjak lebih jauh untuk memahami konsep Wajib al
wujud dan mumkin al wujud, kiranya kita untuk memahami teori gerak Aristoteles yang
menjadi dasar argumen ketuhanan al Farabi.
Menurut Aristoteles, setiap yang berwujud memiliki kemampuan untuk
bergerak. Gerak, menurut Aristoteles adalah perpindahan dari potensi ke aksi.
Perpindahan tersebut dilakukan karena adanya pelaku. Dan pelaku ini tidaklah lain
sebagai seorang penggerak yang tidak bergerak Sebagai asal muasal dari setiap
pergerakan yang ada di dunia ini.
Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep
wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan

10

adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta
ini.
Di sinilah terlihat bagaimana al Farabi berhasil memformulasikan filsafat NeoPlatonism

di

dalam

Islam.

Kaitannya,

dalam

menerangkan

Tuhan.

Allah

merupakan Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang ada dan merupakan sebab
pertama bagi setiap yang bergerak. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna,
ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam, dan dia juga sebagai objek
pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah Tuhan
yang Wajib al Wujud. Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak terpisah.
c. Konsep Ketuhana Ibnu Sina
Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat
tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan
pendekatanontologis sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.
Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan

sebagaimana

berikut, Sesungguhnya sebab (illah) atas tidak ada (adam)-nya sesuatu adalah sebab
ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang
mewajibkan daripadanya wujud. Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan
sebuah

kelaziman

betapa

setiap yang

ada wajiblah

daripadanya

sebab

yang

menjadikan ada itu ada.


Namun, tatkala ditemukan sebab yang membuat ada itu tidak ada, Ibnu Sina tidak
serta merta memutuskan bahwa sebab itulah yang menyebabkan tidak ada-nya ada itu.
Hal

ini

dikarenakan

jikalau

setiap ada menjadi ada dikarenakan

sebab yang

menyebabkan ada itu ada dari tidak ada maka yang akan terjadi adalah jika tidak
ada sebabyang menyebabkannya ada, maka ada itu akan abadi di tidak ada.
Di sini Ibnu Sina menyatakan, bahwa ketiadaan adalah kondisi pertama yang
dimiliki sebuah ada sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap yang ada di
dunia berasal dari ketiadaan dan adanya sebab di luar zat ada yang bertugas
mengeluarkan adadari sebab. Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin al
wujud (Alam Semesta). Namun bagaimana kita bisa menemukan asal muasal penciptaan,
jikalau teori ini digunakan, jelas bahwa tidak akan ada habisnya.
Dari sinilah kemudian Ibnu Sina menerangkan argumen tentang Wajib al
wujud (Allah) sebagai Esensi mutlak yang menjadi sebab pertama dari segala macam
pergerakan

yang

ada

di

alam.
11

Menurut

Ibnu

Sina,

ketika

sesuatu wujud membutuhkan sebabyang berada di luar sebab, tidak mungkin juga
bersifat mumkin al wujud sebagai zatnya. Maka analisa logis yang bisa dianalisa dan
disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Dengan itu
Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari kehendak
Tuhan yang menjadikan wujud-wujud alam semesta.
d. Konsep Ketuhanan Imam Al- Ghazali
Imam Ghozali berpendapat bahwasannya barang siapa yang mengetahui dirinya,
maka ia mengetahui Tuhannya. Bukan berarti mengetahui Tuhannya disini adalah
mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tetapi lebih kepada
kehadiran rasa ihsan dalam kesehariannya, yaitu dimanapun dia berada ia merasa melihat
Tuhannya, atau diamanapun ia berada ia merasa dilihat oleh Tuhannya.
Imam Al Ghozali tentang Eksistensi Allah Swt atau wujudnya Zat Allah Swt
dengan methodologi filsafat tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang
mengadakan. Hasyimsyah Nasution berkata dalam bukunya Filsafat Islam, bahwa AlGhozali tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya
sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.
Jadi, Al-Ghozali berpikir bahwasannya Tuhan itu wajibul Wujud, yang mana akan
dapat kita rasakan kehadirannya jika kita benar-benar dapat mengetahui sebenarnya
/hakikat dari diri kita. Bukan berarti menjadi satu, tetapi lebih menghadirkan sifat-sifat
Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri kita. Misalnya, ArRohman, Ar-Rohiim, berarti kita berusaha menjadi penyayang, sehingga dengan cara
seperti ini kita mendekatkan diri kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada
dalam diri kita.
Mencapai wujud Allah bukan diartikan AL-Ghozali sebagai penyamaan dengan
Allah atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat
kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut) semuanya ini adalah paham yang
sesat.
Peleburan diri Tuhan dengan Hambanya adalah suatu yang mustahil terjadi,
karena Tuhan bukanlah manusia itu sendiri, dan jika Tuhan dapat melebur bersama
manusia, maka, berapa banyak Tuhan yang akan ada di dunia ini?. Jika memang wujud
Tuhan dapat hadir dalam diri manusia, untuk apalagi adanya sholat, haji, jauh-jauh ke
Makkah, sedangkan wujudnya ada di dekat manusia itu sendiri, cukuplah datang

12

kerumahnya, maka sudah hajilah kita. Juga dapat kita berfikir tentang penciptaan, jika
sesuatu yang diciptakan itu dapat melebur menjadi satu terhadap ciptaannya, maka apa
bedanya dia dengan ciptaannya?. Atau dengan kata lain, jika kita membuat kursi, tidak
mungkin kita melebur menjadi satu dengan kursi tersebut.
Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian).
Sebab yang maninggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.
Mencapai Allah itu mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah
yang ada didalam dirinya.
e. Konsep Ketuhanan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut : Al-ilah ialah : yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri
dihadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada
dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)
Berdasarkan definisi ini dapatlah dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia yang pasti ialah manusia tidak mungkin
atheis,tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Quran setiap manusia pasti
ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialahh ideologi atau angan-angan
(utopia) mereka.
Dalam ajaran islam diajarkan kalimat la ilaaha illa Allah. Sesungguhnya
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu Tidak ada Tuhan. Kemudian baru
diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu., sehingga ada yang di
dalam hatinya ada satu Tuhan yaitu Allah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

13

Konsep tentang Ketuhanan, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan
menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme,
panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah dalam
kehidupan, dalam arti ajaran Allah tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan
berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep
ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional.
Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran
Allah dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa,
Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi
semesta alam.
B. Saran
Sebaiknya jumlah orang dalam kelompok lebih sedikit sehingga dalam pembuat makalah
ini, kerjasamanya lebih meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
http://rykers.blogspot.com/2010/11/sejarah-terbentuknya-atheis-tdk-percaya.html
https://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/
http://philosopherscommunity.blogspot.com/2012/12/konsep-ketuhanan-menurut-alirandeisme.html
http://www.kompasiana.com/rooysalamony2011/agnostisisme-sebagai-transformatorkeberagaman_5516f0b4813311c551bc72cc
file:///I:/Agung%20Dwi%20Aprilyanto%20%20Konsep%20Tuhan%20Dimata%20Filosof.htm
http://farhanf2p.blogspot.co.id/2014/11/makalah-konsep-filsafat-islam-tentang.html
14

https://fadlijafar.wordpress.com/2012/04/12/eksistensi-tuhan-menurut-alghozali-dan-al-hallaj/

15

Anda mungkin juga menyukai