Anda di halaman 1dari 32

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini, banyak ditemukan wujud hasil karya
dari pemikiran manusia. Ilmu pengetahan dan teknologi tidak pernah lepas kaitannya
dengan metode-metode yang digunakan dalam pelaksanaan suatu pengerjaan wujud hasil
karya tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kemampuan untuk menguasai dan
memahami aspek-aspek tersebut untuk dapat menghasilkan suatu rancangan agar dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di bidang Teknik Sipil, seorang sarjana lulusan teknik sipil dituntut agar bisa
merancang

suatu sarana infrastruktur baik berupa bangunan gedung, jalan dan lain

sebagainya. Suatu rancangan tersebut dimaksudkan agar menghasilkan sarana infrastruktur


yang memadai, aman, dan nyaman bagi pengguna. Selain itu sarjana teknik sipil mampu
merencanakan biaya yang sekecil-kecilnya untuk pengerjaan sarana infrastruktur tersebut.
Mata kuliah Perancangan Bangunan Rekayasa Sipil II merupakan mata kuliah yang
diwajibkan untuk mahasiswa Program Studi Teknik Sipil agar bisa merancang suatu
infrastruktur berupa jalan beserta jembatan, dimana Jalan beserta jembatan merupakan
prasarana yang sangat dibutuhkan dalam sistem transportasi untuk menghubungkan suatu
tempat ke tempat lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya.
Evaluasi dari beberapa aspek perencanaan jalan perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja
suatu jalan secara keseluruhan agar dapat menghasilkan infrastruktur yang lebih aman,
meningkatkan efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat
penggunaan.

Permasalahan
Dalam perencanaan jalan, permasalahan yang sering ditemui yaitu antara lain:
1. Bagaimana menciptakan jalan dan jembatan yang nyaman, tidak banyak tikungan,
tanjakan serta turunan yang terjal.

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


2. Bagaimana menimbulkan suasana yang aman, terhindar dari kecelakaan dalam
melintasi jalan dan jembatan tersebut.
3. Menciptakan efisiensi, baik dari segi waktu maupun jarak yang ditempuh.
4. Bagaimana cara menghindari masalah sosial yang berpengaruh terhadap lingkungan
sekitar jalan dan jembatan saat jalan dan jembatan tersebut digunakan.
Tujuan
Mata kuliah Perancangan Bangunan Rekayasa Sipil II bertujuan untuk memberikan
pengetahuan kepada mahasiswa Teknik Sipil tentang hal-hal yang dikerjakan dalam
merancang suatu bangunan jalan dan jembatan.
Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari mata kuliah Perancangan Bangunan Rekayasa Sipil II
adalah mahasiswa Teknik Sipil mampu menghasilkan suatu karya berupa rancangan
bangunan jalan dan jembatan yang disesuaikan dengan lokasi yang dikehendaki. Selain itu
mahasiswa juga mampu menghasilkan rancangan jalan dan jembatan yang aman, nyaman,
serta efisien bagi pengguna bangunan tersebut.

BAGIAN I
Jalan dan Klasifikasi Jalan Raya
1.1 Pengertian Jalan
Jalan adalah. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia
dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk
menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu
tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan
sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang
optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan
geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu
lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan
nyaman kepada pengguna jalan.
1.1 Klasifikasi Jalan
Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu: klasifikasi
menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan dan
klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Bina Marga 1997).
1.1.1

Klasifikasi menurut fungsi jalan


Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:

1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan
jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

1.1.2

Klasifikasi menurut kelas jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima

beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

1.1.3

Klasifikasi menurut medan jalan


Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan

yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus
mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

1.1.4

Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional, Jalan

Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.


1.2

Parameter Perencanaan Geometrik Jalan Raya

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Dalam merencanakan jalan raya bentuk geometriknya harus ditentukan sedemikian
rupa sehingga jalan raya yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan optimal kepada
kegiatan lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen PU
telah menetapkan peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13 / 1970, sehingga
semua perencanaan jaln di Indonesia harus berdasarkan pada peraturan tersebut.
Faktor faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya :
1. Lalu lintas
Masalah masalah yang menyangkut lalu lintas meliputi :
-

Volume / jumlah lalu lintas


Sifat dan komposisi lalu lintas
Kecepatan rencana lalu lintas

2. Topografi
Topografi merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan raya dan pada
umumnya mempengaruhi alignement sebagai standart perencanaan geometrik, seperti jalan
landai, jarak pendangan, penampang melintang dll.
Golongan Medan
Datar (D)
Perbukitan (B)
Pegunungan (G)

1.2.1

Lereng Melintang
0 sampai 9,9 %
10 sampai 24,9 %
> 25%

Perencanaan Alinemen Horizontal

Adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus bidang gambar, dikenal juga
dengan sebutan Trase Jalan .
Alinemen horisontal Terdiri dari :
1.

Garis Lurus ( Tangent ), merupakan bagian jalan lurus

2.

Garis lurus Horisontal yang disebut tikungan

Bentuk Tikungan:

KELOMPOK II

Full Circle
5

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


-

Spiral Circle Spiral

Spiral Spriral

Syarat syarat pemakaian :


1. Full Circle
Untuk menggunakan bentuk ini adalah tergantung dari kecepatan rencana, jika
sudah memenuhi yaitu dengan melihat tabel sebagai berikut :
Kecepatan Rencana

120

100

80

60

40

30

2000

1500

1100

700

300

180

( Km / Jam )

Jari-jari lengkung
Minimum ( m )

Gambar lengkung Full Circle

Gambar Diagram Super Elevasi Full circle

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

Gambar lengkung Circle


-

Tc = R tan b

Ec = Tc tan b

Lc = ( b / 360 ) 2R = 0.017453 R

Walaupun bentuk ini tidak mempunyai lengkung peralihan ( Ls ) akan tetapi diperlukan
adanya lengkung peralihan fiktif ( Ls )
Ls = B ( em + E )
Dimana :
B = Lebar perkerasan ( m )
cm = Kemiringan melintang maksimum relatif ( super elevasi max pada tikungan tersebut )
E = Kemiringan perkerasan pada jalan lurus

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

2. Spiral Circle Spiral


Syarat pemakaian :
- Dc < 0

Bila bentuk Circle tidak dapat dipakai

Dc = D 2q s

- Lc > 20 meter
Yang dihitung jika memenuhi Syarat diatas :
qs = 90 Ls / p R
p

= Ls / 6R R ( 1-cos qs )

= Ls Ls / 40R R sin qs

Dc = D 2qs
Lc = 0.017453 Dc . R
Tt = ( R + p ) tan 0.5 qs + k
Et = {( R + p ) sec 0.5 qs } R
Ls min = 0.022 V
R.c

2.727

V. k

Dimana :

Ls

= Panjang lengkung spiral ( m )

= Kecepatan rencana ( Km / jam )

= Jari jari circle ( m )

= Perubahan kecepatan ( m/det )

Harga c dianjurkan = 0.4 m/det

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


K

= Super elevasi

Gambar Lengkung Spiral Circle Spiral

Diagram Super Elevasi Spiral Circle Spiral

KELOMPOK II

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

3. Spiral spiral
Syarat pemakaian :
Bila bentuk S P S tidak bisa dipakai
- s = 0.5
yang dihitung jika memenuhi syarat diatas adalah :
Ls

= ( qs . R ) / 28.648

Tt

= {( R + p ) tan 0.5 qs } + k

Et

= {( R + p ) sec 0.5 qs } R

= p* . Ls

= k* . Ls

KELOMPOK II

10

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

Gambar Lengkung Spiral-spiral

Diagram Super Elevasi Spiral-Spiral

KELOMPOK II

11

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

Tabel 2.7 : Panjang lengkung peralihan minimum dan superelevasi yang dibutuhkan
(e maksimum = 10% metoda AASHTO)
V=50
Km/jam
(o) (m) e
Ls
573
0.25
LN 0
0
286
0.50
LN 0
5
191
0.75
LN 0
0
143
1.00
LP
30
2
114
1.25
LP
30
6

V=60
Km/jam
e
Ls

V=70
V=80
V=90
V=100 V=120
Km/jam Km/jam Km/jam Km/jam Km/jam
e
Ls e
Ls e
Ls e
Ls e
Ls

LN

LN

LN

LP

40 LP

LP

40

LP

40 0.020 50 0.025 50

LP

40

0.021 40 0.027 50 0.033 50

LP

40

0.025 40 0.033 50 0.040 50

1.50 955 LP

30

0.023 40

0.030 40 0.038 50 0.047 50

1.75 819 LP

30

0.026 40

0.039 40 0.044 50 0.054 50

2.00 716 0.021 30

0.029 40

0.047 40 0.049 50 0.060 50

KELOMPOK II

LN

12

LN

50 LP

0
50

LP
0.02
1
0.03
1
0.04
0
0.04
9
0.05
7
0.06
5
0.07
2

60 LP

70

60 0.030 70
60 0.044 70
60 0.057 70
60 0.069 80
60 0.080 90
60 0.090 100
70 0.096 110

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


0.08
Dmaks=2.
80
5
40
0.09
0.068 60 0.081 70
90
4
0.09
0.076 60 0.089 80
90
9
D
0.082 70 0.095 80 maks=3.
91
0.088 60 0.099 80
0.093 70 0.100 90
Dmaks=5.
0.098 80
12
Dmaks=6.
82

2.50 573 0.026 30

0.036 40

0.055 40 0.059 50 0.072 60

3.00 477 0.030 30

0.042 40

0.062 50

3.50 409 0.035 30

0.048 40

0.068 50

4.00 358 0.039 30

0.054 40

0.074 50

4.50 318 0.043 30


5.00 286 0.048 30

0.059 40
0.064 40

0.079 60
0.088 60

6.00 239 0.055 40

0.073 50

0.094 70

7.00 205 0.062 40

0.080 50

0.098 70

8.00 179 0.068 40

0.086 60

9.00 159 0.074 50

0.091 60

0.099 70
Dmaks=9.
12

10.0
143
0
11.0
130
0
12.0
119
0
13.0
110
0
14.0
102
0
15.0
95
0
16.0
90
0
17.0
84
0
18.0
80
0
19.0
75
0

1.3

0.079 50

0.095 60

0.083 50

0.098 60

0.087 50

0.100 60

0.091 60

Dmaks=12.
79

0.093 60
0.096 60
0.097 60
0.099 60
0.099 60
Dmaks=18.
85

Perencanaan Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi
tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap

KELOMPOK II

13

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam
keadaan naik dan bermuatan penuh ( Truck digunakan sebagai kendaraan standart ).
Alinemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besarnya biaya pembangunan,
biaya penggunaan kendaraan serta jumlah lalu lintas. Kalau pada alinemen horisontal
yang menggunakan bagian kritis adalah lengkung horisontal ( Bagian tikungan ), maka
pada alinemen vertikal yang merupakan bagian kritis justru pada bagian yang lurus.
Kemampuan pendakian dari kendaraan Truck sangat dipengaruhi oleh panjang pendakian
( Panjang kritis landai ) dan besarnya landai.
1.3.1

Landai Maksimum dan panjang Maksimum

Landai Max %

10

12

Panjang Kritis( m )

480

330

250

200

170

150

135

120

Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat memaksa dan
hanya untuk jarak yang pendek. Panjang kritis landai dimaksudkan adalah panjang yang
masih diterima tanpa mengakibatkan gangguan arus lalu lintas ( Panjang ini
menyebabkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 Km / Jam ). Bila
pertimbangan biaya memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada
jalur khusus untuk kendaraan berat.

1.3.2

Lengkung Vertikal

Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan,
kenyamanan dan Drainase yang baik.
Rumus yang digunakan :
y

= Ev = ( A x L )
800

= g2 g1

Dimana :
KELOMPOK II

14

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Ev

= Penyimpangan dari titik potong kedua tangent ke lengkung vertikal

( Disini y = Ev untuk x = L ),jika Ev diperoleh > 0 berarti lengkung vertikal cembung dan
sebaliknya.
A

= Perbedaan aljabar kedua tangen= g2 g1

= Panjang lengkung vertikal cembung, adapun panjang minimumnya ditentukan

berdasarkan :
- Syarat pandangan henti dan Drainase
- Syarat pandangan menyiap
Lengkung vertikal terbagi atas :
1. Lengkung Vertikal Cekung, adakah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung Vertikal Cembung,adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada diatas permukaan jalan bersangkutan
Panjang vertikal cembung hanya ditentukan berdasarkan jarak pandangan waktu malam dan
syarat drainase. Persamaan umum dari lengkung vertikal adalah :
Y '=

1.3.3

( g 2g 1 )
x
200 L

Jarak Pandang
Kemungkinan untuk melihat ke depan adalah faktor penting dalam sebuah

operasi jalan raya agar tercapai keadaan yang aman dan efisien.
Jarak pendangan adalah : jarak dimana pengemudi dapat melihat bebas ke depan.
Jarak ini dibagi atas dua, yaitu :

1.3.3.1

Jarak Pandang Henti

Adalah jarak minimum yang dibutuhkan kendaraan untuk berhenti dari kecepatan
desain, diukur pada saat obyek pertama klinya terlihat pada jalur gerak kendaraan.
Rumus yang digunakan :
Dph = 0,278 Vt + [ V / 254 ( f + L ) ]
Dimana : Dph = Jarak pandangan henti ( m 0
-V

= Kecepatan rencana ( Km / jam )

-t

= t1 + t2 > 25 detik

KELOMPOK II

15

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


dimana : t1 = Waktu sadar ( Perception Time ) yakni waktu pertama melihat benda yang ada
pada jalurnya sampai keputusan harus mengerem ( Harga diambil t1 = 1,5 detik ).
t2 = waktu eaksi mengerem ( Brake reaction time ), diambil berdasarkan test t2 = 1 detik
f

= Koefisien gesek antara ban dan jalan

L = Landai jalan dalam persen dibagi 100


1.3.4

Pelebaran pada Tikungan


Pelebaran pada tikungan diperlukan oleh karena bagian belakang kendaraan

terutama yang bergandengan tidak mengikuti jalur gerak bagian depannya.


Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat bergantung pada :
R

= Jari jari tikungan

= Kecepatan rencana

Rumus rumus yang digunakan dalam menghitung pelebaran ini adalah :


B = n ( b + c ) + ( n 1 ) . Td + Z
Dimana :
b

= jumlah jalur lalu lintas

= Lebar lintasan truck pada tikungan ( m )

= R ( R p ) ^ + 2.4
c

= Kebebasab samping ( 0.4 0.8 m )

Td

= Lebar melintang akibat tonjolan depan ( m )

= { R A ( 2P + A )}^ R
Z

= Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi ( m )

= 0.105 V/R
p

= 6.1 m

= 1.2 m

1.3.5

Kemiringan Melintang Jalan


Pada daerah tikungan, kemiringan melintang dari permukaan jalan mengalami

perubahan, yaitu dari kemiringan penuh yang berubah berangsur angsur. Perubahan
profil melintang dapat dilakukan dalam tiga tempat, yaitu :
1. Sumbu jalan sebagai sumbu putar.

KELOMPOK II

16

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


2. Tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu putar.
3. Tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar.
1.3.6

Stationing dan Galian Timbunan

1.3.6.1 Penetapan Stationing


Untuk menentukan panjang suatu lokasi atau jarak dari suatu tempat sampai
ketempat lain pada suatu lokasi jalan perlu digunakan stationing. Stationning adalah
penentuan jarak langsung yang diukur dari titik awal sampai titik yang dicari
stasiunnya. Dalam menghitung stasion patok patok pengukuran memanjang yang
lain diluar patok patok penting dilakukan dengan cara yang sama.
Pengukuran pemasangan patok yaitu :
-

Untuk daerah datar, jarak antar patok +100 meter


Untuk daerah perbukitan, jarak antar patok +50 meter
Untuk daerah pegunungan, jarak antar patok +25 meter
Untuk bagian lengkung, jarak patok harus dibuat lebih pendek menurut keperluan
ketelitian.

1.3.6.2

Galian dan Timbunan


Pada perencanaan jalan raya, diusahakan agar volume galian dan timbunan

sama dengan mengkombinasikan antara alinyemen vertikal dan horizontal,


memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan pada
suatu pekerjaan konstruksi jalan raya. Langkah langkah dalam menghitung volume
galian dan timbunan adalah :

1. Penentuan station (jarak patok), sehingga diperoleh panjang horizontal


dari alinyemen horizontal.
2. Menggambar profil mellintang pada setiap titik station sehingga dapat
dihitung luas penampang galian dan timbunan.
3. Menggambar profil memanjang yang memperlihatkan perbedaan muka
tinggi tanah asli dengan tinggi tanah dengan tinggi muka perkerasan yang
direncanakan.

KELOMPOK II

17

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


4. Menghitung volume galian dan timbunan dengan menggunakan cara
koordinat.

BAGIAN III
Pengertian Jembatan dan Jenis Jembatan
2.1 Pengertian Jembatan
Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya meneruskan jalan melalui suatu
rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan ini biasanya jalan lain berupa jalan air atau
lalu lintas biasa. Jembatan yang berada diatas jalan lalu lintas biasanya disebut viaduct.
Jembatan dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Jembatan jembatan tetap.
2. Jembatan jembatan dapat digerakkan.

KELOMPOK II

18

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Kedua golongan jembatan tersebut dipergunakan untuk lalu lintas kereta api dan
lalu lintas biasa ( Struyk dan Veen, 1984).
Jembatan adalah suatu bangunan yang memungkinkan suatu jalan menyilang
sungai/saluran air, lembah atau menyilang jalan lain yang tidak dengan yang lain. Beban
atau muatan yang dipikul oleh struktur ini akan diuraikan dan disalurkan kepada batang
batang baja struktur tersebut, sebagai gaya gaya sama tinggi permukaannya. Dalam
perencanaan dan perancangan jembatan sebaiknya mempertimbangkan fungsi kebutuhan
transportasi, persyaratan teknis dan estetika-arsitektural yang meliputi : Aspek lalu lintas,
Aspek teknis, Aspek estetika (Supriyadi dan Muntohar, 2007).
Menurut (Asiyanto 2008) jembatan rangka baja adalah struktur jembatan yang
terdiri dari rangkaian batang batang baja yang dihubungkan satu dengan yang lain.
Beban atau muatan yang dipikul oleh struktur ini akan diuraikan dan disalurkan kepada
batang batang baja struktur tersebut, sebagai gaya gaya tekan dan tarik, melalui titik
titik pertemuan batang (titik buhul). Garis netral tiap tiap batang yang bertemu pada
titik buhul harus saling berpotongan pada satu titik saja, untuk menghindari timbulnya
momen sekunder.
2.2 Jenis Jembatan
2.2.1 Jembatan rangka (truss bridge)
Menurut (Satyarno, 2003) jembatan rangka dibuat dari struktur rangka yang biasanya
terbuat dari bahan baja dan dibuat dengan menyambung beberapa batang dengan las atau
baut yang membentuk pola-pola segitiga. Jembatan rangkabiasanya digunakan untuk
bentang 20 m sampai 375 m. Ada banyak tipe jembatan rangka yang dapat digunakan
diantaranya sebagai berikut, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.

KELOMPOK II

19

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

2.2.2

Baja Konstruksi
Menurut (Spiegel dan Limbrunner, 1991) baja konstruksi adalah alloy steels (baja

paduan), yang pada umumnya mengandung lebih dari 98 % besi dan biasanya kurang dari
1 % karbon. Komposisi aktual kimiawi sangat bervariasi untuk sifat sifat yang
diinginkan, seperti kekuatannya dan ketahanannya terhadap korosi, baja dapat juga
mengandung elemen paduan lainnya, seperti silicon, magnesium, sulfur, fosfor, tembaga,
krom, dan nikel, dalam berbagai jumlah. Baja tidak merupakan sumber yang dapat
diperbaharui (renewable), tetapi dapat mempunyai daur ulang (recycled), dan komponen
utamanya, besi, sangat banyak. Baja tidak mudah terbakar, tetapi harus anti api. Hal ini
tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa baja merupakan jawaban untuk semua
masalah struktur. Bahan bangunan lainnya, seperti beton, bata, dan kayu, mempunyai
peran sendiri sendiri. Penggunaan struktur baja, apabila dilihat pada bangunan dan
perbandingan (ratio) antara kekuatan berat (atau kekuatan per satuan berat) harus
dipertahankan tinggi, maka bajalah yang dapat memenuhinya. Baja konstruksi juga
memiliki keuntungan dan kelemahan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.

Keuntungan baja adalah keseragaman bahan dan sifat sifatnya yang


dapat diduga secara cukup tepat. Kestabilan dimension, kemudahan pembuatan, dan

KELOMPOK II

20

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


cepatnya pelaksanaan juga merupakan hal hal yang menguntungkan dari baja
struktur ini.
2.

Kelemahan baja adalah mudahnya bahan ini mengalami korosi (tidak


semua jenis baja) dan berkurangnya kekuatan pada temperatu tinggi.

2.3 Peranan jembatan terhadap transportasi


Jalan merupakan alat penghubung antara daerah yang penting sekali bagi
penyelenggaraan pemerintah, ekonomi kebutuhan sosial, perniagaan, kebudayaan,
pertahanan. Trasportasi sangat penting bagi ekonomi dan pembangunan Negara dan
bangsa. Maju mundurnya suatu negara, terutama dalam bidang ekonomi sangat
tergantung pada baik dan tidaknya sistem transportasi yang ada. Baik tidaknya atau lancar
tidaknya transportasi sangat tergantung pada alat alatnya, antara lain yang terpenting
kendaraan kendaraannya, sistem transportasi, tranportation policy dan pada keadaan
jalannya. Jembatan adalah bagian dari jalan itu. Jembatan sangat menentukan pula
kelancaran transportasi. Peranan jembatan yang sangat penting dalam menopang sistem
transportasi darat yang ada, maka jembatan harus kita buat cukup kuat dan tahan, tidak
mudah rusak. Kerusakan pada jembatan dapat menimbulkan gangguan terhadap
kelancaran lalu lintas jalan, terlebih lebih di jalan yang lalu lintasnya padat seperti di
jalan utama, di kota, dan di daerah ramai lainnya. Kemacetan lalu lintas dalam kota bisa
terjadi karena adanya suatu perbaikan jembatan. Berpuluh puluh bahkan ratusan
kendaraan berhenti berderet deret menunggu giliran untuk lewat jembatan. Berapakah
kerugian yang diderita sebagai akibat dari waktu yang hilang itu?.
Beberapa kerugian yang nyata itu dapatlah kita sebut, diantaranya penghambatan
kecepatan angkut dari kendaraan kendaraan. Kecepatan angkut sangat penting
pengaruhnya dalam bidang ekonomi, kestabilan harga harga, kelancaran distribusi dan
lain sebagainya (Subarkah, 1979).

2.4 Perencanaan Jembatan

KELOMPOK II

21

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


2.4.1.

Tahapan perencanaan
Menurut (Supriyadi dan Muntohar, 2007) perbedaan antara ahli satu dengan yang

lainnya sangat dimungkinkan terjadi, dalam perencanaan jembatan, tergantung latar


belakang kemampuan dan pengalamannya. Belajar dari perbedaan pandangan inilah
seharusnya para ahli dapat menyimpulkan suatu permasalahan yang ada pada
perencanaan jembatan, dan dapat menemukan suatu penyelesaian dalam sebuah
perencanaan. Perbedaan tersebut harus tidak boleh menyebabkan gagalnya proses
perencanaan. Seorang ahli atau perancang paling tidak harus telah mempunyai data baik
sekunder maupun primer yang berkaitan dengan pembangunan jembatan, sebelum sampai
pada tahap pelaksanaan konstruksi. Hal ini sangat diperlukan untuk kelangsungan para
ahli dalam merencanakan pembangunan sebuah jembatan. Data sekunder maupun primer
yang telah didapat tersebut, merupakan bahan pemikiran dan pertimbangan sebelum kita
mengambil suatu keputusan akhir. Pada Gambar 2.2 akan ditunjukkan tentang suatu
proses perencanaan yang perlu dilaksanakan. Data yang diperlukan berupa :
1. Lokasi :
a. Topografi
b. Lingkungan
c. Tanah Dasar
2. Keperluan : melintasi sungai, melintasi jalan lain
3. Bahan Struktur :
a. Karakteristiknya
b. Ketersediaannya
4. Peraturan

2.4.2

Pemilihan lokasi jembatan

KELOMPOK II

22

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Penentuan lokasi dan layout jembatan tergantung pada kondisi lalu lintas.
Umumnya, suatu jembatan berfungsi untuk melayani arus lalu lintas dengan baik, kecuali
bila terdapat kondisi-kondisi khusus. Prinsip dasar dalam pembangunan jembatan
menurut (Troitsky, 1994) dalam (Supriyadi dan Muntohar, 2007) adalah jembatan untuk
jalan raya, tetapi bukan jalan raya untuk jembatan. Kondisi lalu lintas yang berbeda-beda
dapat mempengaruhi lokasi jembatan. Panjang - pendeknya bentang jembatan akan
disesuaikan dengan lokasi jalan setempat.
Penentuan bentangnya dipilih yang sangat layak dari beberapa alternatif bentang
pada beberapa lokasi yang telah diusulkan. Pertimbangan terhadap lokasi akan sangat
didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang menggunakan jembatan. Pada penentuan
lokasi jembatan akan dijumpai suatu permasalahan apakah akan dibangun di daerah
perkotaan ataukah pinggiran kota bahkan di pedesaan.
Perencanaan dan perancangan jembatan di daerah perkotaan terkadang tidak
diperhatikan dengan cermat dan tepat. Kehadiran jembatan di tengah kota sangat
mempengaruhi landscape atau tata kota tersebut. Perencanaan dan perancangan tipe
jembatan modern di daerah perkotaan, seorang ahli sebaiknya mempertimbangkan fungsi
kebutuhan transportasi, persyaratan teknis dan estetika-arsitektural (Supriyadi dan
Muntohar, 2007).
1. Aspek lalu lintas
Persyaratan transportasi meliputi kelancaran arus lalu lintas kendaraan dan pejalan
kaki yang melintasi jembatan tersebut. Perencanaan yang kurang tepat terhadap kapasitas
lalu lintas perlu dihindarkan, karena akan sangat mempengaruhi lebar jembatan.
Pentingnya diperoleh hasil yang optimum dalam perencanaan lebar optimumnya agar
didapatkan tingkat pelayanan lalu lintas yang maksimum. Mengingat jembatan akan
melayani arus lalu lintas dari segala arah, maka muncul kompleksitas terhadap existing
dan rencana, volume lalu lintas, oleh karenanya sangat diperlukan ketepatan dalam
penentuan tipe jembatan yang akan digunakan. Pendekatan ekonomi selayaknya juga
sebagai bahan pertimbangan biaya jembatan perlu dibuat seminimum mungkin. Melihat
beberapa kasus biaya investasi jembatan di daerah perkotaan adalah sangat tinggi. Hal ini
akan sangat terkait dengan kesesuaian lokasi yang akan direncanakan.
(Supriyadi dan Muntohar, 2007)
2. Aspek teknis
KELOMPOK II

23

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Persyaratan teknis yang perlu dipertimbangkan antara lain :
a. Penentuan geometri struktur, alinemen horizontal dan vertical, sesuai dengan
lingkungan sekitarnya.
b. Pemilihan sistem utama jembatan dan posisi dek.
c. Penentuan panjang bentang optimum sesuai dengan syarat hidraulika, arsitektural,
dan biaya konstruksi.
d. Pemilihan elemen-elemen utama struktur atas dan struktur bawah, terutama tipe
pilar dan abutment.
e. Pendetailan struktur atas seperti : sandaran, parapet, penerangan, dan tipe
perkerasan.
f. Pemilihan bahan yang paling tepat untuk struktur jembatan berdasarkan
pertimbangan struktural dan estetika.
3. Aspek estetika
Dewasa ini jembatan modern di daerah perkotaan didesain tidak hanya didasarkan
pada struktural dan pemenuhan transportasi saja, tetapi juga untuk ekonomi dan artistik.
Aspek estetika jembatan di perkotaan merupakan factor yang penting pula
dipertimbangkan dalam perencanaan. Kesesuaian estetika dan arsitektural akan
memberikan nilai lebih kepada jembatan yang dibangun di tengah-tengah kota. Jembatan
pada kota-kota besar di dunia banyak yang mempunyai nilai estetika yang tinggi
disamping kekuatan strukturalnya.
(Supriyadi dan Muntohar, 2007)
2.4.3

Layout jembatan
Variabel

yang

penting,

setelah

lokasi

jembatan

ditentukan

adalah

mempertimbangkan layout jembatan terhadap topografi setempat. Perkembangan sistem


jalan raya, pada awalnya mempunyai standar yaitu jalan raya lebih rendah dari jembatan.
Biaya investasi jembatan merupakan proporsi terbesar dari total biaya jalan raya.
Konsekuensinya, struktur tersebut hampir selalu dibangun pada tempat yang idela untuk
memungkinkan bentang jembatan sangat pendek, fondasi dapat dibuat sehematnya, dan
melintasi sungai dengan layout berbentuk squre layout (Supriyadi dan Muntohar, 2007).
Proses perencanaan jembatan akan dihadapkan pada dua sudut pandang yang
berbeda antara seorang ahli jalan dan ahli jembatan menurut (Troitsky, 1994) dalam
KELOMPOK II

24

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


(Supriyadi dan Muntohar, 2007). Ilustrasi perbedaan kepentingan antara seorang ahli
jalan dan ahli jembatan adalah sebagai berikut :
1. Pandangan ahli jembatan
Perlintasan tegak lurus sungai, jurang atau jalan rel lebih sering dipilih, dari pada
perlintasan yang membentuk alinemen yang miring. Penentuan ini didasarkan pada aspek
teknis dan ekonomi. Menurut (Waddel, 1916) dalam (Supriyadi dan Muntohar, 2007)
menyatakan bahwa struktur yang dibuat pada alinemen miring adalah abominasi dalam
lingkup rekayasa jembatan.
2. Struktur jembatan sederhana
Kenyataan untuk struktur jembatan yang relatif sederhana sering diabaikan
terhadap alinemen jalan. Para ahli jalan raya yang sering menempatkan alinemen
sedemikian sehingga struktur jembatan merupakan bagian penuh dari alinemen rencana
jalan tersebutm, sehingga apabila melalui sungai seringkali kurang memperhatikan layout
secara cermat.
3. Layout jembatan bentang panjang
Struktur bertambahnya tingkat kegunaan jalan dan panjang bentang merupakan
hal yang cukup penting untuk menentukan layout. Kasus seperti ini, dalam menentukan
bagaimana layout jembatan yang sesuai perlu diselaraskan oleh kedua ahli tersebut guna
menekan biaya konstruksi. Banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah
sudut yang dibentuk terhadap bidang alinemen.
2.4.4 Peraturan Peraturan Perancangan Jembatan
Struktur baja yang ada saat ini, telah berkembang pesat dengan berbagai aturan
yang berbeda pada tiap negara. Konsep pemikiran dalam perhitungannya adalah sama
tetapi aturan yang terjadi adalah lain, dan itu tergantung dari Negara yang memakainya.
Menurut Tim Peneliti dan Pengembangan Wahana Komputer, 2003, struktru baja yang
saat ini, telah berkembang pesat dengan berbagai aturan yang berbeda pada tiap negara.
Diantara peraturan perhitungan struktur baja yang dipakai pada SAP 2000 adalah sebagai
berikut :
1. American institute of Steel Constructions Allowable Stress Design and Plastis Design
Spesification for Structural Steel Buildings, AISC ASD (AISC, 1989).
KELOMPOK II

25

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


2. American institute of Steel Constructions Load and Resistance FactorDesign
Spesification for Structural Steel Buildings, AISC LRFD (AISC, 1994).
3. American Assotiation of State Highway ang Transportation Officiall AASHTO
LRFD Bridge Design Spesification, AASHTO LRFD (AASHTO, 1997).
4. Canada Institute of Steel Constructions Limit State Design of Steel Structures,
CANICSA s16. 1 94 (CISC, 1995).
5. British Standart Institutions Structural Use of Steelwork in Building, BS5950 (BSI,
1990).
6. European Committee for Standarditations Eurocode 3 : Design of Steel Structures
Part 1.1 : General Rules and Rules for Buildings, ENV 1993 1 1 (CEN, 1992).
(Tim Penelitian dan Pengembangan Wahana Komputer, 2003)
Badan Standarisasi Nasional (2005) mempunyai peraturan peraturan yang
digunakan di Indonesia, untuk merancang struktur jembatan. Peraturan yang digunakan
Badan Standarisasi Nasional (2005) dalam perancangan jembatan adalah sebagai berikut :
1. Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPPJJR, 1987)
2. Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI)
3. Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge Management System, 1992)
4. Revisi SNI 03-2833-1992, tentang Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan.
5.RSNI T-03-2005, tentang Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan.
2.4.5 Perencanaan Pembebanan
Perencanaaan pembebanan jembatan jalan raya didasarkan pada pedoman
Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPPJR, 1987) dan Brigde Management
System 1992.
1. Beban primer
Beban primer merupakan beban utama dalam perhitungan tegangan pada setiap
perencanaan jembatan. Beban primer meliputi beban mati, beban hidup, beban kejut dan
gaya akibat tekanan tanah.

a. Beban Mati

KELOMPOK II

26

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


Yaitu merupakan beban yang berasal dari berat sendiri jembatan ataubagian
jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yangdianggap merupakan satu
kesatuan tetap dengannya.Dalam menentukan besarnya muatan mati tersebut, harus
dipergunakan nilai berat isi untuk bahan bangunan dibawah ini :
1. Baja tuang 7,85 t / m3
2. Alumunium paduan 2,80 t / m3
3. Beton bertulang 2,50 t / m3
4. Beton biasa, beton cyclop 2,20 t / m3
5. Pasangan batu 2,00 t / m3
6. Kayu 1,00 t / m3
7. Tanah, pasir, kerikil (dalam keadaan padat)2,00 t / m3
8. Perkerasan jalan beraspal 2,00 2,50 t / m3
9. Air 1,00 t / m3
b. Beban Hidup
Muatan hidup adalah semua muatan yang berasal dari berat kendaraankendaraan
bergerak/ lalu lintas dan atau berat pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.
1. Macam-macam Beban Hidup
Muatan hidup pada jembatan yang harus ditinjau dinyatakan dalam dua macam,
yaitu muatan T yang merupakan beban terpusat untuk lantai
kendaraan dan muatan D yang merupakan beban jalur untuk gelagar.
2. Lantai Kendaraan dan lajur Lalu Lintas
Lajur lalu lintas ini mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar
maksimum 3,75 meter. Lebar lajur minimum ini harus untuk menentukan muatan
D per lajur. Jumlah lajur lalu lintas untuk lantai kendaraan dengan lebar 5,50
meter atau lebih ditentukan menurut Tabel 2.1 ,untuk selanjutnya ini digunakan
dalam menentukan muatan D pada perhitungan reaksi perletakan.

Tabel 2.1 Jumlah lajur Lalu Lintas


KELOMPOK II

27

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

NO.

LEBAR LANTAI KENDARAAN

JUMLAH LAJUR
LALU LINTAS

1
2
3

5,50 sampai 8,25 m


Lebih dari 8,25 m sampai 11,25 m
Lebih dari 11,25 m sampai 15,00 m

2
3
4

5
Lebih dari 15,00 m sampai 18,75 m
5
6
Lebih dari 18,75 m sampai 32,50 m
Catatan : Daftar tersebut di atas hanya digunakan dalam menentukan jumlah lajur

pada jembatan.
3. Beban T
Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau sistem lantai kendaraan
jembatan, harus digunakan beban T seperti dijelaskan berikut ini : Beban T
adalah muatan yang merupakan kendaraan truk semitriller yang mempunyai beban
roda ganda (dual wheel load) sebesar 10 ton, dengan ukuran-ukuran seperti gambar
berikut: a1 = a2 = 30 cm, b1 = 12,50 cm, b2 = 50,00 cm, Ms = Muatan rencana
sumbu = 20 ton
4. Beban D
Untuk perhitungan kekuatan gelagar-gelagar harus digunakan beban D.
Beban D atau beban jalur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas yang
terdiri dari beban terbagi rata sebesar q ton per meter panjang per jalur, dan
beban garis P ton per jalur lalu lintas tersebut. Besar q ditentukan sebagai
berikut :
q = 2,2 t/m untuk L < 30 m
q = 2,2 t/m 1,1/60 *(L 30) t/m untuk 30 m < L < 60 m
q = 1,1 *(1+30/L) t/m untuk L > 60 m
L = panjang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan
sesuai tabel III (PPPJJR hal 11)
t/m = ton per meter panjang, per jalur

Ketentuan penggunaan beban D dalam arah melintang jembatan


adalah sebagai berikut :
KELOMPOK II

28

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II

Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil dari
5,50 meter, muatan D sepenuhnya (100%) harus dibebankanpada

seluruh lebar jembatan.


Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50 meter,
muatan D sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter
sedang lebar selebihnya dibebani hanya separuh dari muatan D (50%).

c. Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran


- Konstruksi trotoir harus diperhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2.
Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir,
-

diperhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.


Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaraan harus diperhitungkan untuk
dapat menahan beban horisontal ke arah melintang jembatan sebesar 500 kg/m yang
bekerja pada puncak kerb yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas

permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.
Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus diperhitungkan untuk dapat
menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas
lantai trotoir.

d. Beban Kejut
Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran-getaran dan pengaruhpengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis P harus dikalikan
dengan koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata
q dan beban T tidak dikalikan dengan koefisien kejut.
e. Beban sekunder
Beban sekunder merupakan beban sementara yang selalu diperhitungkan dalam
perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan. Beban sekunder meliputi beban
angin, gaya akibat perbedaan selip, gaya akibat rangka susut, gaya rem, gaya akibat
gempa bumi, gaya gesekan pada tumpuan yang bergerak.
Pengaruh beban angin yang ditetapkan sebesar 150 kg/m2 dalam arah horisontal
terbagi rata pada bidang vertikal jembatan, dalam arah tegak lurus sumbu memanjang
jembatan. Dalam menghitung luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat
digunakan ketentuan sebagai berikut:
KELOMPOK II

29

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


1. Ketentuan tanpa beban hidup
Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan yang
langsung terkena angin, ditambah 15% luas bidang sisi lainnya.
2. Keadaan dengan beban hidup
- Untuk jembatan diambil sebesar 50% terhadap luas bidang diatas.
- Untuk beban hidup diambil sebesar 100% luas bidang sisi yang langsung
terkena angin.
2.5 Penyaluran Beban/ Distribusi Gaya
2.5.1 Beban Mati
1. Beban Mati Primer
Beban mati yang digunakan dalam perhitungan kekuatan gelagargelagar (baik gelagar tengah maupun gelagar pinggir) adalah berat sendiri pelat
dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar tersebut.
2. Beban Mati Sekunder
Beban mati sekunder yaitu kerb, trotoir, tiang sandaran dan lain-lain,
yang dipasang setelah pelat di cor, dan dapat dianggap terbagi rata di semua
gelagar.
2.5.2 Beban Hidup
1. Beban T
Dalam menghitung kekuatan lantai akibat beban T dianggap bahwa
beban tersebut menyebar ke bawah dengan arah 45 derajat sampai ke tengahtengah tebal lantai.
2. Beban D
Dalam menghitung momen dan gaya lintang dianggap bahwa gelagargelagar mempunyai jarak dan kekuatan yang sama atau hampir sama
sehingga penyebaran beban D melalui lantai kendaraan ke gelagargelagar
harus dihitung dengan cara sebagai berikut :
3. Perhitungan momen dan perhitungan gaya lintang
a. Gelagar memanjang tengah
Beban hidup yang diterima oleh tiap gelagar memanjang tengah adalah
sebagai berikut :
KELOMPOK II

Beban merata : q = q/2,75 x x s


30

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


-

Beban garis : P = P/2,75 x x s


Dimana :
s = jarak gelagar yang berdekatan (yang ditinjau) dalam meter, diukur dari
sumbu ke sumbu.
= faktor distribusi.
= 0,75 bila kekuatan gelagar melintang diperhitungkan.
= 1,00 bila kekuatan gelagar melintang tidak diperhitungkan.

b. Gelagar memanjang pinggir


Beban hidup yang diterima oleh gelagar memanjang pinggir adalahbeban
hidup tanpa memperhitungkan faktor distribusi ( = 1,00). Bagaimana pun
juga gelagar memanjang pinggir harus direncanakan minimum sama kuat
dengan gelagar memanjang tengah. Dengan demikian beban hidup yang
diterima oleh tiap gelagar memanjang pinggir tersebut adalah sebagai
berikut :
-

Beban merata : q = q/2,75 x s


Beban garis : P = P/2,75 x s
Dimana :
s = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar memanjang pinggir.
c. Gelagar melintang tengah.
Beban hidup yang diterima oleh gelagar melintang tengah adalah sebagai
berikut :

Beban merata : q = q x s
Beban garis : P = P
Dimana :
s = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar melintang tengah.
d. Gelagar melintang pinggir
Beban hidup yang diterima oleh gelagar melintang pinggir adalah sebagai
berikut :

Beban merata : q = q x s
Beban garis : P = P
Dimana :

KELOMPOK II

31

PERANCANGAN BANGUNAN REKAYASA SIPIL II


s = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar melintang pinggir.
2.5.3. Beban khusus
Beban khusus merupakan beban-beban khusus untuk perhitungan tegangan pada
perencanaan jembatan. Beban khusus meliputi gaya sentrifugal, gaya tumbuk pada
jembatan layang, gaya dan beban selama pelaksanaan, dan gaya akibat air.

KELOMPOK II

32

Anda mungkin juga menyukai