Anda di halaman 1dari 8

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS

1. OTITIS MEDIA
a. DEFINISI
Secara umum adalah peradangan telinga bagian tengah yang dibagi menjadi :
- Otitis media akut : inflamasi telinga bagian tengah dimana gejala dan tanda-tandanya
muncul secara cepat. Manifestasi klinik berupa 1 gejala: otalgia, gangguan
-

pendengaran, demam atau gelisah.


Otitis media efusi : penumpukan cairan di ruang telinga tengah

b. FACTOR RESIKO
a. Abnormalitas anatomi : celah langit-langit mulut
b. Musim dingin
c. Hipertropi adenoid (pembesaran tonsil)
d. Down sindrom
e. Infeksi saluran pernapasan di keluarga
f. Ras kulit putih
g. Menderita infeksi pertama pada usia muda
c. PATOFISIOLOGI
- Tuba eustakhius pada anak berbeda dengan orang
-

dewasa sehingga hal ini

menyebabkan drainase telinga tengah kurang baik


Fungsi tuba eustakhius yang tidak normal menyebabkan refluks cairan transudat di
telinga tengah dan perkembangan bakteri.
Bakteri penyebab :
a. Streptococcus pnemoniae (35%)
b. Haemophilus influenzae (25%)
c. Moxarella catarrhalis (10%)

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran yang tersumbat, dan datangnya sel-sel
darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan
mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga
tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir

yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga(Mansjoer


A,2001).
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang
dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak
dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal).
Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya (Pracy R,
1983).

d. MANIFESTASI KLINIK
- Otitis muda akut : otalgia, gangguan pendengaran, demam, gelisah yang terjadi
dengan cepat. Otorea lewat perforasi membrane timpani atau tuba timpanostomi.
-

Gejala yang tidak spesifik: gelisah, lemah (letargi), anoreksia, muntah.


Efusi ditandai dengan perubahan membrane timpani : kemerahan, keruh, cahaya
tidakdirefleksi, menonjol, tidak bergerak pada saat di otoskopi pneumatic. Penyakit
ini akan membaik secara spontan pada sebagian besar anak-anak. Komplikasi
intracranial, meningitis, mastoiditis dan abses otak jarang terjadi.

e. DIAGNOSIS
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
-

Menggembungnya gendang telinga

Terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga

Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga

Cairan yang keluar dari telinga

3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut:
-

Kemerahan pada gendang telinga

Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan
gendang telinga dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang telinga (Sudarwan, 1980).
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik
(pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi
dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan
tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali
dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop
biasa. OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai
OMA. Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.

f. PENCEGAHAN
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak,
2. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan,
3. Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring,
4. Penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
5. Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA (Bambang, 1991)

2. FARINGITIS
a. DEFINISI
Inflamasi faring dan jaringan limfoid sekitarnya akibat infeksi bakteri atau virus.
b. ETIOLOGI
- Penyebab : virus, bakteri grup A beta hemolytic streptococci (Streptococcus
-

pyogenes, Group A streptococcus/GAS)


Pada kasus infeksi Group A streptococcus dapat terjadi demam rematik (0,3-3%)

Faringitis dapat menular melalui udara yaitu melalui percikan saliva/ludah dari orang
yang menderita faringitis akut. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh virus dan bakteri,
dipermudah oleh adanya rangsangan seperti asap, uap dan zat kimia. Biasanya
penyakit ini didahului oleh virus. Virus yang menyebabkan faringitis akut sama
seperti virus yang menyebabkan tonsillitis akut, yaitu : adeno virus, ECHO virus
influenza dan herpes.
Bakteri penyebab faringitis akut 25% disebabkan oleh bakteri Streptococcus
haemolitikus group A. selain itu dapat juga disebabkan oleh Streptococcus non
haemolitikus, pneumokokus, basil influenza, Stafilococcus dan diphteroid.
c. FAKTOR RESIKO
- Udara yang dingin
- Turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza
- Konsumsi makanan yang kurang gizi
- Konsumsi alcohol yang berlebihan
- Gejala predormal dari penyakit scarlet fever
- Seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau
demam.
d. MANIFESTASI KLINIS
- Sakit tenggorokan (sore throat), disfagia (kesulitan menelan), demam. Sulit
-

membedakan gejala klinis infeksi karena virus atau bakteri.


Infeksi karena Group A (streptococcus GAS) ditandai dengan : pembengkakan
kelenjar limfa, tidak batuk, demam > 38 C.

e. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis pasien dilakukan pemeriksaan suhu tubuh, mengevaluasi
tenggorokan, sinus, telinga, hidung, paru-paru dan leher. Infeksi faring akut umumnya
adalah virus, peran diagnostic pada laboratorium dan radiologi terbatas.
Perkembangan virus atau penemuan antigen dari virus influenza yang cepat pada
nasopharyngeal menunjukan tempat dimana terapi anti virus yang tepat. Test yang sama
juga dapat digunakan untuk adenovirus, virus syntical pernafasan dan virus
parainfluenza.
Dengan menggunakan transcriptase rantai polymerisasi untuk diagnosis dari entero virus
dan

rhinovirus

infeksi

tidak

berkembang

tapi

dapat

digunakan

untuk

pencegahan/perawatan di klinik sehari-hari. Pharyngeal swab untuk rapid antigen


ditemukan 80%-90% sensitive pada orang dewasa dan harus diperhatikan seluruh pasien

yang berhubungan dengan pharingitis gabungan bakteri dan virus tinggi dicurigai.
Perkembangan pharyngeal untuk diagnosis pada anak-anak dan remaja yang
berhubungan dengan pharinitis gabungan bakteri dan virus adalah sama pada dasar klinis,
tapi temuan rapid antigen negative. Peningkatan antistreptolisin O tidak membantu sakit
akut dan ini selalu ditemukan beberapa hari berikutnya.
3. SINUSITIS
a. DEFINISI
Infeksi di bagian sinus, akut sampai dengan 4 minggu, kronik 12 minggu.
b. ETIOLOGI
Bakteri penyebab :
- Streptococcus pnemoniae (30-40%)
- Haemophilus influenzae (20-30%)
- Moxarella catarrhalis (12-20%), lain-lain
- Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus,
- Bakteri anaerob
c. MANIFESTASI KLINIS
Keluarnya cairan kental berwarna dari hidung, sumbatan di hidung, nyeri muka, sakit
gigi, demam.
d. KLASIFIKASI
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan
batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai
empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari
tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau noninfectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan
kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada
sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan
kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan

kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham
atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
e. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh
sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua
yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan
oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium

untuk

dikeluarkan

jika

jumlahnya

berlebihan

(Ramalinggam,

1990;

Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).


Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis
yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan
epitel sel mensekresikan cairan mucus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan
Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik
pada sinus (Hilger, 1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi
bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi
dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman
akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren
pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis
dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa
sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake,
1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan
tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah
satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

f. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada
daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi
dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat
menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan
baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila
yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan
dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media
pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada
sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior
membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto
polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah
perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan
mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-

operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik
lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).

Kebanyakan

sinusitis

disebabkan

infeksi

oleh

Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik


dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross,
1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Anda mungkin juga menyukai