Prigant terdiam pilu merenungi penuh khusuk akan kalimat-kalimat yang telah
ia bacakan. Dan suara adzan “hayya ‘alash shalah”, berkumandang disubuh hari,
menyeru umat manusia untuk bersujud kepada sang Khaliknya. Prigant tersintak
sadar akan statusnya sebagai seorang muslim dan tergetar hatinya untuk
menunaikan sholat shubuh, bersujud penuh ampunan kepada Allah. Seribu tanda
tanya masih bernaung resah di hati Prigant karena mimpi yang baru kali itu
menghampiri tidurnya, lalu dia menadahkan tangan, memunajatkan do’a mohon
petunjuk dari Allahu ya robbi.
1
demi bait yang penuh misteri itu pun menjadi hidup oleh untaian nada duka di
tengah sepi. Setelah beberapa menit waktu berputar, shubuh beranjak hilang dan
digantikan oleh sang mentari pagi. Bosan pun menghampiri Prigant, akhirnya ia
mencoba mengalihkan kegiatan itu dengan merapikan meja belajarnya. Setelah itu,
ia duduk dengan santainya di depan rumah sambil menunggu Koran langganannya.
Tak begitu lama ia duduk menunggu, akhirnya pengantar Koran pun datang dengan
senyum ramahnya menyerahkan sebuah Koran kepada Prigant.
Sudah 10 menit balasan tak kunjung ada. Prigant akhirnya lebih memilih
mandi lalu bersiap-siap pergi, karena hari ini dia ada ujian mid semester
dikampusnya yang tak seberapa jauh dari rumah kontrakannya. Prigant mengikuti
ujian tidak dengan hikmat, bukannya karena dia tidak belajar semalam ataupun
karena berita yang diberitakan di koran tadi pagi, namun entah apa yang membuat
seluruh badannya menggigil seperti demam malaria. Waktu ujian pun telah habis,
Prigant mengumpulkan lembaran jawaban begitu saja tanpa ada lagi pengoreksian
yang teliti olehnya. Setibanya di rumah, aneh bin aneh, keadaan tubuh Prigant
kembali fresh seakan-akan tidak ada keluhan sebelumnya.
Prigant masih tak sepenuhnya percaya, namun apa boleh buat, pulsanya tak
mencukupi lagi untuk SMS apalagi untuk menelepon, karena sudah beberapa hari
ini kiriman dari orang tuanya belum juga datang dari kampungya.
2
“tut,,,tut,,,tut”. Suara dering tanda
panggilan masuk dari orang tuanya
dengan segera diangkatnya.
Prigant mulai merasakan keharuan, dia diam tertegun walaupun tak tampak
air mata yang berlinang. Dia menyendiri di dalam kamarnya hingga jarum jam
menunjukkan ke angka 21:07 WIB.
“Gant,,,kamu harus pulang ke kampung malam ini atau shubuh besok. Prima
sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya.” Jelas orang tua Prigant perlahan
mengakhiri teleponnya penuh duka cita
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un.” Ucapan itulah yang bisa terbesit oleh
lidahnya. Prigant mulai merasakan duka yang begitu mendalam. Dan ia merasa apa
yang diberitakan oleh orang tuanya barusan adalah mimpi belaka, Namun isak
tangisan orang tua nya Prigant benar-benar menyakinkan bahwa Prima memang
sudah pergi meninggalkan dunia nyata ini.
Jam 12:21 WIB merupakan waktu yang sia-sia bagi Prigant, dia datang
hampa tanpa ada lagi jasad yang dilihatnya, hanya lautan tangisan air mata para
pentakziah yang bisa dia temukan. Prigant langsung menuju ke tempat pemakaman
yang baru saja tertimbun rapi oleh gundukan tanah yang berwarna kuning. Lalu ia
perlahan memegang pilu sebuah nisan yang bertuliskan nama “Prima Ramadhan” .
3
“ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, rahmatilah dia, sejahterakanlah dan
maafkanlah segala kesalahannya, luaskanlah kuburannya, terimalah kebaikannya
dan hapus segala kesalahannya lantaran rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha
Pengasih dan Penyayang.” Do’a Prigant di samping kuburan sahabat sejatinya
sambil ditemani oleh tetesan air mata yang ikut merasakan duka.