Anda di halaman 1dari 4

“Bismillaahirrahmaanirrahiim”.

Ucap Prigant penuh khusuk di tengah


kesunyian malam yang hanya ditemani oleh sebatang lilin kecil yang cukup
menerangi. Lalu jemarinya mulai memeluk erat sebatang pulpen yang bertintakan
biru, yang dengan perlahannya memindahkan beberapa rangkaian kata yang masih
terekam kuat di dalam pikirannya yang kusut. Kata demi kata telah tergoreskan,
kalimat demi kalimat pun terukir rapi di atas kertas putih, hingga menjadi satu
kesatuan bait puisi yang penuh dengan makna duka yang begitu mendalam.
Kegiatan menulis itu dilakukan oleh Prigant setelah dia terbangun dari mimpinya
yang mengharukan. Setelah itu, Dengan diterangi oleh sebatang lilin putih yang
hampir habis luluh dibakar oleh panasnya sang api. Dia perlahan membaca kalimat
demi kalimat dan memahaminya.

“sebelumku pergi jauh untuk selamanya, izinkanlah aku memeluk dirimu,


agarnya diriku pergi tanpa beban. Relakanlah jika ku pergi tuk kembali pada Ilahi.
Hapuslah air mata yang menetes di pipimu. Sayangku yang baik, kuharap engkau
merelakan jika semua ini terjadi. Jangan kau larut dalam tangis. Ketegaran hati
harus ada di hatimu jika nanti nyawaku sudah pisah dengan raga. Harapan dariku
kau lebih cintai Dia ”.

Prigant terdiam pilu merenungi penuh khusuk akan kalimat-kalimat yang telah
ia bacakan. Dan suara adzan “hayya ‘alash shalah”, berkumandang disubuh hari,
menyeru umat manusia untuk bersujud kepada sang Khaliknya. Prigant tersintak
sadar akan statusnya sebagai seorang muslim dan tergetar hatinya untuk
menunaikan sholat shubuh, bersujud penuh ampunan kepada Allah. Seribu tanda
tanya masih bernaung resah di hati Prigant karena mimpi yang baru kali itu
menghampiri tidurnya, lalu dia menadahkan tangan, memunajatkan do’a mohon
petunjuk dari Allahu ya robbi.

“ya Allah, tunjukilah kepadaku maksud daripada mimpi yang Engkau


masukkan dalam tidurku, sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Pemberi
Petunjuk”.

Setelah aktivitas ritual dilakukan,


Prigant pun melangkah lunglai menjamah
gitarnya yang sudah usang dimakan usia. Lalu
ia mencoba memetik senar gitar itu dengan
sentuhan lembut, belaian jari jemarinya. Bait

1
demi bait yang penuh misteri itu pun menjadi hidup oleh untaian nada duka di
tengah sepi. Setelah beberapa menit waktu berputar, shubuh beranjak hilang dan
digantikan oleh sang mentari pagi. Bosan pun menghampiri Prigant, akhirnya ia
mencoba mengalihkan kegiatan itu dengan merapikan meja belajarnya. Setelah itu,
ia duduk dengan santainya di depan rumah sambil menunggu Koran langganannya.
Tak begitu lama ia duduk menunggu, akhirnya pengantar Koran pun datang dengan
senyum ramahnya menyerahkan sebuah Koran kepada Prigant.

Halaman demi halaman tersingkap rapi oleh


Prigant, tiba-tiba matanya terfokus pada sebuah judul di
halaman Koran tersebut, Sopir Mengantuk, Mobil
Masuk ke Jurang.

“….pada pukul 04:15 WIB, Prima Ramadhan, 21


tahun, yang tengah mengantuk mengendarai mobilnya,
tiba-tiba melaju lurus ke arah jurang. pada pukul 07:45
WIB, salah seorang warga yang hendak pergi ke
kebunnya di dekat jurang tersebut, menemukan korban
yang sudah tak sadarkan diri. Korban langsung dilarikan
ke RSUD terdekat..”. Prigant membacanya perlahan penuh penasaran lalu
menjamah ponselnya yang masih memiliki sisa pulsa yang hanya cukup untuk satu
kali SMS lagi.

“KaK,, bRsan aQ bca dK0ran,,ad SeOrNg PmdA Yg bRnmA Prima


Ramadhan, 21 tHn, kClakaan MsUk JrAng,,ap BNr kJdiaN ITu???Blz”. Tanya
Prigant pada kakaknya melaui bahasa SMS.

Sudah 10 menit balasan tak kunjung ada. Prigant akhirnya lebih memilih
mandi lalu bersiap-siap pergi, karena hari ini dia ada ujian mid semester
dikampusnya yang tak seberapa jauh dari rumah kontrakannya. Prigant mengikuti
ujian tidak dengan hikmat, bukannya karena dia tidak belajar semalam ataupun
karena berita yang diberitakan di koran tadi pagi, namun entah apa yang membuat
seluruh badannya menggigil seperti demam malaria. Waktu ujian pun telah habis,
Prigant mengumpulkan lembaran jawaban begitu saja tanpa ada lagi pengoreksian
yang teliti olehnya. Setibanya di rumah, aneh bin aneh, keadaan tubuh Prigant
kembali fresh seakan-akan tidak ada keluhan sebelumnya.

“tut,,,tut,,,tut”. Nada dering tanda SMS masuk. “gANt,,mAaf rU laZ, KA2 jg


bRu tw bRsan Dr ka2 nY Prima,,lw dY kClakaaN sBuh Mren. Kmu gk PLg kKmpung
tUk mnJGuknya?”. Jelas kakak Prigant.

Prigant masih tak sepenuhnya percaya, namun apa boleh buat, pulsanya tak
mencukupi lagi untuk SMS apalagi untuk menelepon, karena sudah beberapa hari
ini kiriman dari orang tuanya belum juga datang dari kampungya.

2
“tut,,,tut,,,tut”. Suara dering tanda
panggilan masuk dari orang tuanya
dengan segera diangkatnya.

“halo,,,assalamu’alaikum Gant,, kmu


dah tw belum kalau Prima dirawat di
Rumah Sakit?”.

“dah tau buk,, tadi pagi aku baca di


Koran. Trus bagaimana keadaannya
sekarang?” Tanya Prigant.

“kamu harus pulang ke kampung sekarang, karena Prima dalam keadaan


koma.” Jelas orang tuanya tanpa panjang lebar lalu menutupi telepon.

Prigant mulai merasakan keharuan, dia diam tertegun walaupun tak tampak
air mata yang berlinang. Dia menyendiri di dalam kamarnya hingga jarum jam
menunjukkan ke angka 21:07 WIB.

“tut,,,tut,,,tut”. HP Prigant kembali berdering, menyadarkannya dari diam.

“halo buk,,,bagaimana keadaan Prima sekarang?” angkat Prigant langsung


bertanya.

“Gant,,,kamu harus pulang ke kampung malam ini atau shubuh besok. Prima
sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya.” Jelas orang tua Prigant perlahan
mengakhiri teleponnya penuh duka cita

“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un.” Ucapan itulah yang bisa terbesit oleh
lidahnya. Prigant mulai merasakan duka yang begitu mendalam. Dan ia merasa apa
yang diberitakan oleh orang tuanya barusan adalah mimpi belaka, Namun isak
tangisan orang tua nya Prigant benar-benar menyakinkan bahwa Prima memang
sudah pergi meninggalkan dunia nyata ini.

Seusai sholat shubuh, Prigant sudah berangkat menuju kampung


halamannya. Didalam perjalanan, Prigant tak bisa berucap banyak kata, hanya
harapan yang bisa ia panjatkan agar cepat sampai menemui jasadnya Prima.

Jam 12:21 WIB merupakan waktu yang sia-sia bagi Prigant, dia datang
hampa tanpa ada lagi jasad yang dilihatnya, hanya lautan tangisan air mata para
pentakziah yang bisa dia temukan. Prigant langsung menuju ke tempat pemakaman
yang baru saja tertimbun rapi oleh gundukan tanah yang berwarna kuning. Lalu ia
perlahan memegang pilu sebuah nisan yang bertuliskan nama “Prima Ramadhan” .

3
“ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, rahmatilah dia, sejahterakanlah dan
maafkanlah segala kesalahannya, luaskanlah kuburannya, terimalah kebaikannya
dan hapus segala kesalahannya lantaran rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha
Pengasih dan Penyayang.” Do’a Prigant di samping kuburan sahabat sejatinya
sambil ditemani oleh tetesan air mata yang ikut merasakan duka.

Prigant beranjak pergi, perlahan melangkahkan kaki, sambil wajahnya masih


melihat kebelakang, menatap saudara sepupunya yang tidur berselimutkan kain
putih di alam kubur yang penuh dengan kegelapan.

“buk,,maafkan aku jika selama almarhum masih hidup pernah tersakiti


olehku”. Pinta maaf Prigant pada orang tua Prima. Di situ pun masih terngiang suara
tangisan beserta ratapan kekasihnya Prima, Eca, yang bercerita sedih kepada
keluarga si almarhum.

“…sebelum shubuh dia meneleponku, dia


berbicara dengan suara yang lemah lembut,
“rasa di hatimu
banyak mengajarkan kebaikan kepadaku. Dia
kepadaku yang kau
menyuruhku untuk melupakan dirinya dan
cintai, buanglah
meminta kepadaku untuk lebih mencintai Allahu
hilang, curahkanlah
azza wa jalla. Lalu dia menutup teleponnya…”.
semua pada Dia”
Terang Eca kepada keluarga almarhum.

Di situ pun Prigant duduk mendengarkan


langsung cerita dari Eca yang hampir sama dengan cerita di dalam mimpi buruknya.
Kata-kata penuh pesan yang disampaikan oleh almarhum kepada Eca pun sama
dengan bait-bait yang sempat dicatat oleh Prigant. Semenjak itu, Prigant maupun
orang yang kenal akan pribadi Prima, bersujud penuh khusuk kepada Maha
Pencipta. ( Ircham Asrori, IAIN STS JAMBI )

Anda mungkin juga menyukai