Anda di halaman 1dari 3

15/06/15

Pendidikan dan Kita


Bambang Hidayat
Perubahan kehidupan yang signifikan kembali terjadi pada abad ke-20, baik magnitudo maupun
ragamnya. Perubahan itu didorong oleh kondisi sosio-ekonomi abad ke-19, yang melahirkan
revolusi industri, suatu revolusi yang memacu dan memicu laju teknologi, ilmu pengetahuan, dan
sosial-budaya.
Episode ini memerlukan tenaga terampil, cerdas, dan terdidik. Pada abad ke-20, kebudayaan
dunia tidak hanya merambah jagat renik dan menemukan material baru sebagai soko guru
perubahan, tetapi juga melahirkan aksi penjelajahan alam tiga dimensi, sebagai perluasan upaya
dua-dimensional Barat menguasai wilayah baru. Tumbuhlah etika dan gairah ilmu pengetahuan
dengan metode hipotetik-bukti yang mendikte corak pengembaran jiwa ingin tahu.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya mengait satu dengan yang lain membentuk ekologi
kependidikan dan kesadaran berkomunikasi, bernegara dan berbangsa. Walaupun negara-negara
masih tersekat batasan tradisional, tanpa sadar muncul sekat baru tepian teknologi dan sains.
Penyekatan itu menumbuhkan cita rasa kebangunan baru karena identitas kelas baru sebagai
warga yang berpengetahuan. Kehormatan itu tidak datang sendiri, tetapi harus digapai dengan
sistematis melalui penguasaan ilmu pengetahuan, bersama jiwa inovasi teknologi dan penciptaan
budaya pendidikan.
Adalah entitas bangsa seperti itu yang akan tegak sebagai mercu suar kehidupan abad ke-21
berkarakter penangkal keluruhan budaya bangsa.
Bekal diri
Terngiang seruan Pangeran Mangkubumi, beberapa abad lalu, tatkala ingin membangun
ketahanan budaya "Jawa" (terhadap serangan asing) harus membekali diri dengan "wijayanti"murih bisa unggul lan muncul, dengan kekuatan akal, agar bisa unggul dan bertahan (Ismadi,
Panyebar Semangat, 30 Mei 2015).
Tahun 1947 Soekarno dan beberapa tokoh NKRI di tengah panasnya perjuangan fisik
mengumandangkan pentingnya pendidikan keilmuan dan teknologi untuk mendudukkan bangsa
Indonesia pada kasta terhormat di antara bangsa-bangsa dunia (Lindsay dan Liem, 2011). Negara
bangsa Indonesia harus memancarkan kemaslahatan, yang menjadi mercu suar pembangunan
dan persaudaraan.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berguna untuk membangun mazhab ekonomi
bersandar-keilmuan. Peradaban zaman meminta pembangunan negara mengelus ekonomi
pembangunan berkelanjutan. Tokoh pendidikan Tilaar (2011) menyuarakan sikap progresif
Indonesia agar tidak mengisolasi diri dari dunia yang bergerak cepat, terdorong oleh kemajuan
teknologi dan komunikasi.

Abad ke-20 telah memunculkan perang global yang meminta korban 43 juta manusia, tetapi
bersamaan dengan itu lahir pula kelompok bangsa dalam ranah-pinggiran perang dingin yang
sangat menghantui kemanusiaan. Abad ke-21 gambar masa depan kemanusiaan berdimensi lain,
begitu pula matrik sosial dan cara penanganannya.
Kesalahan dan teror dalam mengelola perlombaan persenjataan nuklir dapat mengancam
perjalanan bangsa di setiap kelok peradaban. Ancaman ledakan nuklir, penghasil energi
pemusnah, harus diwaspadai.
Begitu pula bahaya lain yang berkembang dari dalam laboratorium ilmu pengetahuan muncul.
Mulai dari kekeliruan pemanfaatan bioteknologi (sering disebut bio-error) sampai kepada
perusakan lingkungan karena tidak terkontrolnya virus buatan (bio-terror), penyakit jenis baru,
mewabahnya penyakit endemik bahkan ancaman karsinogenik pada makanan dan udara, serta
dosis radiasi rendah yang menggelombang di mana-mana.
Ancaman alami bisa datang dari gesekan lempeng benua maupun dari daya terkungkung dalam
sembur dan ledak gunung api. Indonesia rentan, tetapi hidup bersama dengan ancaman ini.
Untuk menghadapinya, visi mitigasi yang profetik perlu dipijah agar dapat ikut menyediakan
prasarana tepat guna saat ancaman muncul.
Melalui pendidikan ilmu kealaman dan ilmu dasar proses mekanistik alam yang mengitari kita
dapat diendus. Bersamaan dengan itu, tumbuh pikiran afektif mendekatkan tingkah laku manusia
dengan ekologi alami.
Ulah manusia
Selimut Bumi, atmosfer, bukan hakikat yang panggah. Selain faktor luar dapat mengubahnya,
ulah manusia sendiri ikut memberi aksen pemanasan angkasa Bumi yang dapat berakibat lanjut
kepada perusakan lingkungan.
Ilmu pengetahuan sampai kepada kesimpulan (Hautier dkk, April 2015) bahwa perubahan
lingkungan antropogenik memengaruhi kestabilan ekosistem dan berdampak pada keragaman
hayati. Tanpa kita sadari, keragaman hayati ini kadang terusik oleh kebutuhan manusia yang tak
terkontrol. Padahal, kita harus ikut menjaga Bumi.
Apakah makna semua itu? Peta dunia tidak lagi tergambar dengan sekat ideologi saja. Tetapi,
secara virtual dirasakan batas teknologi dan saintifik. Hampir semua bangsa lalu mendekatkan
diri kepada penguasa pasar global, yang beratribut penguasaan teknologi dan inovasi.
Mereka yang tidak dapat meraihnya harus rela tergeser ke pinggiran dan tertinggal. Barangkali
tidak lebih dari setengah penduduk Planet Bumi ini yang dapat mengemban hasil pembaruan
teknologi ke dalam kaidah kemanfaatan kelompoknya.
Sisanya bukan hanya tidak ikut menikmati perolehan abad ke-21, tetapi tertinggal dalam rongga
paria abad ke-21 karena tuna-kemampuan. Torehan aib, kalau tidak lekas disembuhkan akan

bermetastase memasuki organ kelompok. Kita harus menyediakan agenda kerja kemajuan mulai
dari titik ini agar kekayaan kita dapat bermanfaat bagi bangsa.
Kebangunan dan citra bangsa akan terlihat jika kita ikut memoles peradaban dengan sumbangan
karya, pikiran, dan keagungan pikir. Hidup berkebangsaan di masa depan adalah tatanan dengan
resep ekonomi dan sosial sandar-pengetahuan. Bangsa berdaya cipta, mandiri, dan kritis tanpa
meninggalkan tanggung jawab pembongkaran kemiskinan.
Berdaya cipta adalah menggenggam pengertian dapat menghasilkan karsa-cipta asli dan khas
berguna untuk penyelenggaraan hidup terhormat. Penerjemahannya ke dalam agenda pendidikan
ialah membangkitkan strata anak bangsa yang mampu berpikir berangkai, menyediakan berbagai
pilihan khas, dan memilah yang paling tepat untuk bangsanya.
Hal ini harus tampak pada aras pendidikan yang menyediakan modul generik untuk menaut akal
dan etika.
Efisiensi sumber daya
Pendayagunaan efisien sumber alami bukan eufimisme, tetapi memang dikedepankan bersama
segenggam etika lingkungan hidup. Sederet falsafah dan kebijakan tradisional telah ikut
mewarnai tindak kehidupan kita dan terangkum dalam budaya bangsa.
Jangan sampai budaya asing, yang kurang empati terhadap kehidupan lingkungan, mencabut
akar kebaikan itu. Nurani dan akal sehat harus menjadi ciri pendidikan dalam abad yang
menggusur batasan geografi ini.
Paradigma pendidikan adalah pengalihan cara berpikir linier menjadi alur jamak, menuruti rute
keanekaan ragam sains yang bertali-temali. Di samping itu, masyarakat jamak secara kultural
dan kepercayaan harus direngkuh sebagai kekayaan.
Pandangan kita terpumpun ikut mengisi kesehatan ranah sosial masyarakat seperti itu dan
membuat ilmu tidak tersisih dari aras pengambilan kebijakan. Ini bukan soal berguna atau tak
berguna, tetapi lebih mengacu pada pemberdayaan kemampuan.
Beberapa agenda pendidikan hendaknya digerakkan tidak sekuensial, tetapi sinergitik bersamaan.
Menautkan proses pendidikan dengan lingkungan alami merupakan ambeg parama arta di
samping penyediaan warga muda memperoleh pendidikan yang transformatif.
Tentu saja merupakan kewajiban luhur pemerintah, dan masyarakat, mengisi elemen pedagogi,
menyusun tertib didaktik, dan taat metodologi yang membawa pendidik dan peserta-didik
membangun keinginan tahu.
Bambang Hidayat; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai