Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK

Pembimbing :
dr. Mas Wishnuwardhana, SpA

disusun oleh :
Cyntia Dasuki
1061050004
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 5 OKTOBER 12 DESEMBER 2015
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Batuk Kronik Berulang
ini. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi syarat menjalani Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kota Bekasi.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Mas Wishnuwardhana,
SpA selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.
Penulis berharap dengan disusunnya referat mengenai batuk kronik berulang ini
dapat menambah wawasan pembaca khususnya mengenai batuk kronik berulang yang
seringkali ditemukan pada anak-anak.
Sesuai dengan pepatah Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari referat
ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Jakarta, 14 November 2015


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Batuk kronik pada anak cukup banyak dijumpai dalam praktek sehari-hari. Pada
pasien anak, gejala batuk yang kronik atau berulang dapat mengganggu aktivitas seharihari, mengurangi nafsu makan, dan pada akhirnya dapat mengganggu proses tumbuh
kembang. Orang tua juga akan terganggu terutama bila gejala batuk lebih sering dan
lebih berat pada malam hari. Batasan batuk kronik bermacam-macam, ada yang
mengambil batas 2 minggu atau 3 minggu. Ada pula yang membagi batuk menjadi
batuk akut, subakut, dan kronik. Antara batuk kronik dan batuk berulang seringkali sulit
dibedakan. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganut batasan tersendiri yaitu
batuk kronik berulang (b.k.b) yang mencakup pengertian batuk kronik di dalamnya.
Dua fungsi utama batuk, pertama sebagai mekanisme pertahanan respiratorik; kedua
sebagai gejala yang mengindikasikan adanya gangguan / kelainan / penyakit di sistem
respiratorik umumnya, dan sebagian di luar sistem respiratorik. Batuk akan timbul bila
reseptor batuk terangsang. Pada anak, berbagai hal, keadaan, atau penyakit dapat
bermanifestasi sebagai batuk. Sebagian besar etiologi berasal dari sistem respiratorik,
sebagian kecil karena kelainan di sistem non-respiratorik. Untuk mendeteksi etiologi
batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk termasuk lokasi reseptor batuk sangat

penting diketahui. Dengan pemahaman itu, kita akan tetap ingat bahwa batuk kronik
juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di luar sistem respiratorik. Pasien
anak dengan batuk kronik dibagi menjadi dua kelompok, tanpa kelainan dasar yang
nyata serta anak relatif tampak sehat, dan pasien dengan kelainan respiratorik yang
nyata. Perlu pula diketahui etiologi yang sering timbul pada berbagai kelompok umur
anak. Langkah diagnostik dimulai dari penggalian anamnesis yang mendalam,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Tata laksana batuk kronik
pada anak ditujukan kepada penyakit dasarnya, peran antitusif sangat terbatas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Batuk adalah pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak dari
rongga thoraks melalui epiglotis dan mulut.
Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik
adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang
mengambil batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. 1 Unit Kerja Koordinasi
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat
batasan batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama
dengan 2 minggu. sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang
dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur menyebutkan
pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK Respirologi tidak
menggunakan istilah batuk sub akut. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk
kronik berulang (BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama
dengan 2 minggu dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7
Pada diskusi Kelompok Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional
Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) V tahun 1981 di Medan telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk
yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan / atau batuk yang berulang

sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa disertai gejala
respiratorik atau non-respiratorik lainnya5.
Terdapat kesulitan dalam membedakan kedua hal tersebut, maka dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB) atau
chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu terdiri dari dua pengertian
dengan kata penghubung dan/ atau, yaitu tepatnya batuk kronik dan atau batuk
berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu saja maka sudah bisa
dimasukkan sebagai Batuk Kronik Berulang.
2.2 Etiologi
Batuk kronik seringkali secara simultan disebabkan oleh lebih dari satu
etiologi. Pada pasien dewasa yang tidak terpajan asap rokok serta gambaran foto
toraks tanpa kelainan khusus, penyebab tersering batuk kronik adalah sindrom
PND (postnasal drip), asma, dan RGE (refluks gastro-esofagus). Postnasal drip
merupakan penyebab tersering batuk kronik, baik sebagai penyebab tunggal atau
kombinasi. Pada anak, penyebab tersering batuk kronik adalah asma, IRA
(infeksi respiratorik akut) berulang baik atas atau bawah, serta RGE. Penyebab
yang lebih jarang adalah anomali kongenital, aspirasi kronik berulang, atau
pajanan dengan polutan lingkungan termasuk asap rokok.5
Dalam

menentukan

diagnosis

etiologi

batuk

kronik

perlu

dipertimbangkan faktor usia. (Tabel 1)


Tabel 1. Etiologi Batuk Kronik Berdasarkan Usia7
Bayi
Anak (usia muda)
Kongenital
Aspirasi
- Trakeomalasia
Pasca infeksi virus
- Vascular ring
Asma
Infeksi:
Tuberkulosis
- Pertusis, virus,
Pertusis
- Klamidia
OMSK*
Asma
GER*
Pneumonia aspirasi
Bronkiektasis
GER*
Rokok pasif
*OMSK: otitis media supurativa kronik;
GER: gastro-esophageal reflux
2.3 Patofisiologi Batuk

Anak (usia lebih tua)


Asma
Rokok (aktif)
Postnasal drip
Pasca infeksi virus
Infeksi
Tuberkulosis
OMSK*
Bronkiektasis
Psikogenik
Tumor

Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di
laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang
pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di
laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga
ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan
diafragma.6
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang
mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga
rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus
trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus,
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma.4
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di
medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain lain
menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot otot laring, trakea, bronkus,
diafragma, otot otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor inilah tempat
mekanisme batuk terjadi.4

Gambar 1. Reseptor batuk.


Diunduh dari : http://www.asthma.partners.org/Images/CoughReceptors.gif

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :7
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam
paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks,
perut

dan

diafragma,

sehingga

dimensi

lateral

dada

membesar

mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru


dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase
ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara
yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang
potensial. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya,
berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional.

Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50%
dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama
dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan
memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang
lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan
lebih mudah.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik.Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka .Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Gambar 2. Fase batuk


Diunduh dari : http://healthy-lifestyle.most-effective-solution.com/wpcontent/uploads/2010/09/human-anatomy-lungs.jpg

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan kondisi klinis anak Batuk Kronik Berulang (BKB) dibagi menjadi,

Kelompok I
Anak Relatif Tampak Sehat

Kelompok II
Penyakit Dasar Nyata

Infeksi
(Virus / bakteri)

Bronkitis

Tuberkulosis

Alergi (Asma)
Kimiawi (Aspirasi

Aspirasi Paru Berulang


Benda Asing

susu / isi lambung,


Inhalasi
rokok)
Batuk post infeksi saluran nafas
Pertusis
Asma
Refleks Gastro-Esofagus
Psikogen
Post Nasal Drip (PND)

asap Penyakit

Paru

Supuratif Kronik
Bronkiektasis
Defisiensi imun
Atelektasis
Diskinesia Silia Primer
Benda asing
Trakeobronkomalasia
Tuberkulosis (Kompresi
oleh

kelenjar

getah

bening di mediastinum
Fokal atau paru)
Tumor
Respiratorik
Kista atau hemangioma
Lesi

dari laring atau trakea


Stenosis
Tabel 2. Klasifikasi Batuk Kronik Berulang pada Anak

Wahab dan Utomo mengungkapkan bahwa untuk Indonesia apabila seorang


dokter berhadapan dengan pasien anak yang memperlihatkan gejala batuk yang cukup
lama berulang dengan pengobatan atau menetap, maka sebaiknya dipikirkan
kemungkinan 3 hal, yaitu batuk karena Tb primer, batuk karena alergi (asma bronkial)
dan batuk karena kelainan jantung bawaan5.
Menurut Recommendations for the Assessment and Management of Cough in
Children, secara umum batuk pada anak dapat dibagi menjadi 3 kategori14, yakni :
1. Normal Child
Berdasarkan studi objektif audio recording rata-rata anak yang sehat (bebas
dari infeksi saluran pernapasan atas) mengalami batuk sekitar 11 kali per
hari dan sebagian sampai lebih dari 30 kali per harinya. Frekuensi batuk dan
derajat keparahannya meningkat seiring dengan infeksi saluran pernapasan
bagian atas (8-10 kali, terutama pada musim dingin)
2. Batuk spesifik
Batuk yang berhubungan dengan kelainan yang mendasarinya.
3. Batuk non spesifik
Batuk yang tidak diketahui kelainan yang mendasarinya.

2.6 Pemeriksaan
Menurut American College of Chest Physicians dalam consensus panel
report tahun 1998, pendekatan diagnostik dalam tata laksana batuk kronik pada
anak adalah serupa dengan pendekatan pada pasien dewasa.5 Bila menghadapi
pasien dengan batuk kronik, pendekatan diagnostik dengan pemahaman
mekanisme dan anatomi refleks batuk sangat membantu. Penerapan cara
tersebut dapat mengidentifikasi sekitar 90% kasus, dengan keberhasilan terapi
yang lebih kurang sama tingginya.8 Pada umumnya dokter anak kurang setuju
pendekatan diagnostik maupun tata laksana penyakit disamakan antara anak
dengan dewasa. Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Perbedaan ini
meliputi banyak sekali aspek. Perbedaan yang paling hakiki adalah karena ada
proses tumbuh kembang yang sedang berlangsung pada masa kanak. Selain itu
pola penyakit respiratorik pada anak berbeda nyata dengan orang dewasa. 3
Penyakit yang sama bisa memberi gejala yang berbeda antara anak dengan
dewasa. Sebaliknya gejala yang sama bisa mengarah ke penyakit yang berbeda.

Bukti terkini menunjukkan bahwa adalah keliru melakukan ekstrapolasi 3


penyebab utama batuk kronik pada orang dewasa (asma, rinitis-sinusitis, dan
RGE) untuk pasien anak.10,11 Oleh karena itu, etiologi dan manajemen batuk
pada anak harus pula jelas dibedakan dengan orang dewasa.3
Pada anak dapat dijumpai berbagai kelainan kongenital ataupun
gangguan fungsi organ sebagai penyebab batuk kronik yang tidak ditemukan
pada orang dewasa. Salah satu cara yang berguna adalah dengan memilah anak
dalam kelompok usia, seperti masa bayi, balita, atau anak yang lebih besar dan
remaja.7
Untuk membantu pendekatan diagnostik, beberapa hal yang bisa
digunakan sebagai petunjuk. Kelainan respiratorik khusus yang mendasari
timbulnya batuk, tertera pada Tabel 3.3Bila ditemukan satu atau lebih petunjuk
di atas, kemungkinan besar anak masuk dalam kelompok II, yaitu batuk kronik
yang disebabkan kelainan respiratorik yang nyata.

2.6.1 Anamnesis
Langkah awal penilaian anak dengan batuk kronik adalah
menentukan karakteristik batuk. Perlu ditanyakan apakah batuk produktif
atau kering, tunggal atau berturutan. Anak kecil tidak selalu bisa

mengekspektorasikan dahak, biasanya mereka akan menelan apa yang


dibatukkan atau kemudian memuntahkannya.7 Pertanyaan lain meliputi
kapan batuk, apakah lebih sering terjadi dari pada biasa, apakah timbul
pada malam hari, apakah mengganggu tidur, bagaimana bunyi batuk,
apakah ada gejala penyerta, (demam, mengi, sesak), apakah sebelumnya
pernah terjadi dengan pola yang sama. Hal lain yang perlu digali, apakah
ada hal yang memperberat atau meringankan gejala. Secara khusus
tanyakan pencetus yang lazim pada asma (aktivitas, tertawa, menangis,
pajanan udara dingin, perubahan cuaca, debu, asap rokok, asap dapur, asap
obat nyamuk, atau rontokan bulu binatang) dan apakah memperburuk
gejala.7 Pertanyaan lain meliputi terapi apa yang pernah didapat, dan
bagaimana hasilnya. Respons yang kurang terhadap bronkodilator pada
asma seringkali dijumpai akibat dosis tidak adekuat dan waktu pemberian
yang tidak tepat. Perlu digali pula adanya gejala lain yang menyertai
batuk, apakah anak mengalami gangguan tumbuh kembang, apakah batuk
mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup anak. 7
Anamnesis yang baik akan memberikan petunjuk berharga. Sebagai
contoh, batuk produktif yang timbul setelah posisi berbaring mengarah ke
kemungkinan PND atau refluks GE. Batuk paroksismal mungkin
disebabkan oleh pertusis, klamidia, atau benda asing yang terhirup. Batuk
berulang disertai mengi disebabkan oleh obstruksi trakeobronkial
(misalnya karena asma, benda asing, tumor media- stinum). Batuk yang
berkaitan dengan makan atau proses menelan menunjukkan aspirasi ke
dalam trakeobronkus. Ini dapat disebabkan oleh refluks GE, gangguan
menelan karena kelainan saraf, atau mungkin karena fistel trakeoesofagus. Batuk disertai suara serak atau hilang mungkin karena benda
asing di laring, papiloma laring, atau croup. Batuk darah dapat disebabkan
oleh batuk hebat yang ditimbulkan oleh sebab apapun. Namun
kemungkinan tuber- kulosis, bronkiektasis, atau benda asing perlu
dipertimbangkan. 7

2.6.2PemeriksaanFisik
Unsur penting dalam pemeriksaan fisis dapat dilihat dalam Tabel 4.
Pada batuk kronik semata tanpa kelainan paru yang serius, pemeriksaan
fisis anak dapat normal, tanpa kelainan yang khusus. Namun tetap perlu
dicari berbagai kelainan fisis yang khas misalnya nyeri tekan paranasal,
tanda cairan atau infeksi di telinga tengah. Tanda-tanda alergi bila
ditemukan akan membantu penegakan diagnosis. Pada anak asma,
pemeriksaan

fisis

mungkin

menunjukkan

peningkatan

diameter

anteroposterior toraks, retraksi, mengi, atau ronki.7


Temuan klinis lain seperti deviasi trakea menunjukkan paru kolaps
ipsilateral, atau masa di kontralateral. Gambaran cobblestone di
retrofaring, menunjukkan kemungkinan PND kronik.Telinga juga perlu
diperiksa secara khusus atas kemungkinan adanya benda asing. Anak
balita kadang memasukkan benda-benda kecil ke dalam lubang tubuh
termasuk telinga. Seperti kita ketahui, pada sebagian orang di liang telinga
tengah dijumpai ujung saraf aurikular (Arnold nerve) yang akan
meneruskan rangsangan mekanik ke pusat batuk. Benda asing di telinga
atau kadang serumen yang mengeras dapat menimbulkan gejala batuk
kronik.7

2.6.3PemeriksaanPenunjang
Foto toraks perlu dibuat pada semua pasien batuk kronik, bila ada
foto lama ikut dievaluasi.7 Foto toraks perlu dibuat pada hampir semua

anak dengan batuk kronik untuk menyingkirkan kelainan respiratorik


bawah dan patologi kardiovaskular.5 Uji fungsi paru dilakukan pada
semua anak yang sudah mampu laksana (di atas lima tahun), sebelum dan
setelah pemakaian bronkodilator.7 Peran uji fungsi paru pada anak terbatas
karena banyak anak tidak mampu melakukannya, dan hasil positif tidak
selalu menegakkan diagnosis atau memprakirakan respons positif terhadap
terapi tertentu.5 Prevalens tuberkulosis di Indonesia termasuk yang
tertinggi di dunia; oleh karena itu skrining tuberkulosis dengan uji
tuberkulin perlu dilakukan pada anak-anak, terlebih dengan gejala batuk
kronik.
Bila dicurigai adanya refluks gastro-esofagus, perlu dilakukan
pemeriksaan monitoring 24 jam pH esofagus, bila perlu dilakukan
pemeriksaan endoskopi.12 Foto sinus paranasalis terindikasi pada pasien
dengan IRA disertai sekret purulen, batuk yang bertambah pada posisi
telentang, nyeri daerah frontal, dan nyeri tekan / ketok di atas sinus. CT
scan sinus lebih dianjurkan terutama untuk anak kecil yang sinusnya
belum berkembang sepenuhnya. Foto dengan kontras barium diperlukan
pada kasus batuk yang berhubungan dengan pemberian makanan, batuk
yang disertai stridor atau mengi yang terlokalisir di saluran respiratorik
besar. Pemeriksaan imunologis (IgG, IgE, IgM, IgA) perlu dilakukan pada
kasus batuk yang berhubungan dengan otitis berulang, bronkiektasis, atau
batuk produktif yang tidak responsif dengan antibiotik.7
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik merupakan
pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator sebagai obat
utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan tertentu
diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik, fisioterapi, dan
lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi dalam 2 kelompok
besar yaitu farmakologik dan non farmakologik. 8

Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama dan obat
suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik, bronkodilator, dan
antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah mukolitik dan
antitusif.10 Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka
pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan
tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang diduga bakteri
maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis
sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam klavulanat serta
pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid dan lain-lain. Selain
pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian
antibiotik misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan pada
rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11 Penyebab batuk kronik yang sering
adalah asma sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah
bronkodilator.14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi akibat pajanan
alergen pada saluran respiratorik sehingga terjadi obstruksi dengan akibat
hipoksemia dan hiperkarbia yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk
mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang digunakan
sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena mempunyai awitan yang cepat,
langsung menuju sasaran, dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan
asma, bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam golongan
short acting sedangkan pada tatalaksana jangka panjang digunakan long acting
beta-2 agonist (sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid
inhalasi). Bronkodilator yang sering digunakan pada serangan asma adalah
salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan ipratropium bromida, sedangkan pada
tatalaksana jangka panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9
Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor etiologi seperti rinitis
alergika dan asma pemberian antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada
rinitis alergika antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intranasal
selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal juga diberikan pada
rinosinusitis yang disertai dengan alergi selama 3 minggu.11 Penggunaan
antiinflamasi untuk asma terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk
tatalaksana serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma. Untuk
mengatasi serangan asma, antiinflamasi (kortikosteroid) yang digunakan

umumnya sistemik yaitu pada serangan asma sedang dan serangan asma berat.
Pada serangan asma ringan umumnya tidak diberikan kortikosteroid kecuali
pernah mengalami serangan berat yang memerlukan perawatan sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara inhalasi
yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten. Pada keadaan tersebut
umumnya kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2
agonist.7
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme yaitu
meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas yang
dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif
dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat
pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari sputum sehingga
sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif merupakan obat suportif lain yang
diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi anakanak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan
membuat sputum tidak dapat keluar karena menekan refleks batuk yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan
kerja silia.8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat
terjadi apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum
pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma pemberian
antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadan asmanya.7,9
Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan non
farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan
hidrasi yang cukup.8,10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya pajanan
alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen merupakan hal yang harus
dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau
makanan tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan lingkungan
seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan suhu serta kelembaban
merupakan hal yang perlu diperhatikan.

7,9

Dengan suasana lingkungan yang

baik maka tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup
dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan terjadinya pengeluaran sekret
lebih baik. Dengan hidrasi yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol
dan menurunkan viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan
gel sehingga proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.8
Menurut CICADA : Cough in Children and Adults: Diagnosis and Assessment
yang dipublikasikan tahun 2010, tatalaksana dari batuk kronik melibatkan
pajanan dari lingkungan, seperti pajanan asap rokok. Pengurangan paparan asap
rokok orang tua yang aktif merokok terbukti secara signifikan menurunkan
batuk pada anak.

Tabel 5. Rekomendasi terapi pada anak dengan batuk


Sumber : aeo.org.ec
DAFTAR PUSTAKA

1. Chung KF. The clinical and pathophysiological chal- 69 lenge of cough.


Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H, Penyunting. Cough.

Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003. h. 3-10.


2. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF.
Penyunting Respiratory illness in children. Oxford: Blackwell S Publications
1994.
3. Chang AB. Causes, assessement and measurement of cough in children.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H. Penyunting. Cough.
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003. h. 57-73.
4. McCool F D. Global Physiology and Pathophysiology of Cough. CHEST
January 2006 vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S
5. Wahab AS, Utomo. Batuk kronik pada anak. MDK 6(11), 1987, 640.
6. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes
of chronic cough. Lancet 371 (9621): 136474.
7. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
8. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
9. Nelson. Textbook of Pediatrics.
10. Widdicombe J. A brief overview of the mechanism of cough. Dalam: Chung
KF, Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough: causes, mechanism,
and therapy. Massachusetts:Blackwell, 2003.h.17-23.
11. Wubel C, Faro A. Chronic cough in children. Pediatric care rev. 2003;3:5-10.
12. Irwin RS, Medison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J
Med. 2000;343:1715-21.
13. de Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax. 2003;58:9981003.
14. MD Shields, A Bush, ML Everard et al. Recommendations for the
Assessment and Management of Cough in Children. 2007.
15. Anne BC, William BG. Guidelines for Evaluating Chronic Cough in
Pediatrics. 2015.

Anda mungkin juga menyukai