Anda di halaman 1dari 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini
bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum
tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.5
B. Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang
langsing dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um, termasuk gram positif dan
bersifat anaerob. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam
air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan
selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di
tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan.1
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena
toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan
gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Tetanolisin
menyebabkan lisis dari selsel darah merah.1

C. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal,
tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit
atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko
tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki
lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.2
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan
sebagainya, sehingga risiko penyakit ini didaerah peternakan sangat besar. Spora kuman
Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana;
misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptic (dermatol), ataupun pada
alat suntik dan operasi.2
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan
oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara
mengubah lingkungan fisik atau biologic. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan
pasti, namun diduga melalui:
1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus
neonatorum.2
D. Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar
dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk
2

pertumbuhan C. tetani ini. Walaupun demekian luka-luka ringan seperti luka gore, lesi
pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula
gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga
dapat pula merupakan porte dentre (tempat masuk) dari C. tetani. Dibagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, sering ditemukan telinga dengan otitis media
perforate merupakan tempat masuknya C. tetani, bila anamnestik tidak ada luka.2
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik,
berubah menjadi vegetatife dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan
turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu, pecahan
kaca dan sebagainya.
Hipotesa bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor
endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan
menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh
limfe dan darah. Pengangkuan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor.
Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat
dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut kea rah sel
secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan
enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi
sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang
besar.

Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi
impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral gangliosides
diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gaya
keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau
tokikardia.2
E. Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin
lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain
berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi
atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setemapat atau trismus, kemudian
menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat
khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki,
tubuh kaku melengkung bagai busur.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
2

1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.


2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan
gejala dini.
7 Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme
4

mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan
otak.2
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. tetanus local: otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian
paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menhilang tanpa
sekuele.
2. Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak dengan kaku
kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi
awal. Dalam waktu singkat konstruksi otot somatik meluas. Timbul kejang tetanik
bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah.
Pada mulanya spasme berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah
oleh periode relaksasi.
3. Tetanus sephal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka.
Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX dan XI tersering adalah saraf otak
VII diikuti tetanus umum.
4. Neonatal tetanus :Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang
telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal
tetanus 4
Menurut berat gejala dapat dibedakan 3 stadium :
5

1. Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun dirangsang.


2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
F. Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah selain
membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostic
dan prognostic. Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah
atau gigitan binatang
Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlobang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local) dengan
kejang yang pertama (periode of onset).2
G. Diagnosis banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali
dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat
imunisasi, kekakuan otot otot tubuh), risus sardonicus dan kesadaran yang tetap normal.1
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.19
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :5
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat
kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
6

4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif
kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
H. Penatalaksanaan
A. Tujuan Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :5
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan
sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus
dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat
diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada
kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan
angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk
memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas
tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya
terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga
pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia
atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan
cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme,
perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK;
sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.5
B. Tatalaksana Umum 5
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
7

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obatobatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan
pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan
terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4
jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah
8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per
rektal untuk anak dengan BB 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan
pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau
mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik.
Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons
klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan
dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari).
Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi
tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.
8

C. Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis ATS yang
dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS
harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat
disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis
tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis
tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat
menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous
Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG
tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara
IM.2 Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain
penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang
berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,
magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan
untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk
menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator
mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi
menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena
alasan ini, semua prosedur terapeutik. harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko
menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling
baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena
9

toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi
aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi
tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu
tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan
tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi
tetanus. 5
Tabel. Perbandingan ATS dan HTIG

2. Antibiotika
a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan
yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.
tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat
diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara
parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa
penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat
pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).2,5
10

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.
Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang
dapat memproduksi toksin.5
D. Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan, perlu dilakukan: 5
Total Skor Derajat Keparahan Tingkat Mortalitas 0-1 Ringan <10% 2-3 Sedang 10-20% 4
Berat 20-40% 5-6 Sangat berat >50% Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau
sangat berat Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi
pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama
Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau
dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang
memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari
golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS
yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status
imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan
imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut
: Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan
atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu
setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua
atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis
dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
11

fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5
dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS
yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu
anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan
memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.
Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa
kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap
terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus tetanus pada
orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis
terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada
sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun.
Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10
tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting.
Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi
pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak memberikan
vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi
yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin
0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain
dari imunisasi ibu.10,11,26 Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal
berikut ini :27 - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan
apapun ke dalam punting tali pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih
diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab 3.
Pemberian ATS dan HTIG profilaksi.
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga
12

dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM
dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 10
Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus.
E. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang
modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya
adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan
jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga
memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap
sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal
yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan
angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.
Tabel. Sistem Skoring Bleck

13

14

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen, S. Behrman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
2. Merdjani, A. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis: Tetanus. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2003
3. Hasan, Rusepno. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jilid II. Jakarta: 2005
4. Pedoman Pelayanan Medis Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, 2010.
5. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. 2008
6. Farrar, Yen LM, Cook T, Fairweather, Binh N, Parry J, Parry CM. Neurological Aspects
of Tropical Disease: Tetanus. BMJ: 2000

16

Anda mungkin juga menyukai