Anda di halaman 1dari 8

Sebagian besar pembelajaran di sekolah berbasis pertanian/ agroekonomi adalah

menggunakan pembelajaran contekstual yang nota bene adalah pembelajaran secara langsung
dan aplikatif. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang
cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara
menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal
ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori
jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang
sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa
(peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dapat
terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya dengan kehidupan
nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran secara alami
akan mencari makna dari hubungan individu dengan linkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual kegiatan
pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di laboratorium, tempat
kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan pendidik (guru) untuk pintar-pintar
memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan
nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa
memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri
secara aktif pemahamannya. Sehingga hal ini sangat cocok untuk sekolah pertanian yang
aplikatif, banyak pembelajaran yang langsung terjun di lingkungan.
Dalam linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan bermakna antara
ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep diinternalisasi
melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan. Sebagai contoh, kelas fisika yang
mempelajari tentang konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana kualitas dan jumlah
bahan bangunan mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung saat
terkena panas atau terkena dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia bisa belajar konsep
dasar ilmu alam dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara petani bercocok tanam
dan pengaruhnya terhadap lingkungan.

Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip ilmiah
modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta, yaitu: 1) Prinsip
Kesaling-bergantungan, 2) Prinsip Diferensiasi, dan 3) Prinsip Pengaturan Diri.
Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta
saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan
mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya,
dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesalingbergantungan mengajak siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat,
saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari
pemecahan masalah. Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masingmasing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk
menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi
membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar
masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para siswa
diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan
disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh
potensinya. Mereka menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai
alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan
solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi antar siswa akan
diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan
imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan kemampuan.
Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut membantu siswa dalam mencapai
tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih berurusan dengan strategi dari pada memberi
informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Kegiatan belajar mengajar (KBM) lebih
menekankan Student Centered daripada Teacher Centered. Menurut Depdiknas guru harus
melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan
dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui
proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal
siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan
dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan
konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa

dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa,


dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan
pelaksanaannya.
Kurikulum dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran kontekstual
harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan, Mengalami,
Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.
MENGAITKAN: Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang
sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui
siswa dengan informasi baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup harus bisa membuat siswa
memperhatian kejadian sehari-hari yang mereka lihat, peristiwa yang terjadi di
sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu mengubungan informasi yang telah mereka
peroleh dengan pelajaran kemudian berusaha untuk menemukan pemecahan masalah
terhadap permasalahan tersebut.
MENGALAMI: Belajar dalam

konteks

eksplorasi,

mengalami.

Mengalami

merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan


informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat
terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan
untuk melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif.
MENERAPKAN: Menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang
bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan
kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam
latihan yang realistik dan relevan.
KERJASAMA: Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi
dengan siswa lain adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual.
Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan.
Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya
membantu siswa mempelajari materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang
karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi
dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya
sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong siswa
mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.

MENTRASFER: Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer,


menggunakan dan membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru
membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman
bukan hapalan.
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah
komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya
(Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi
(reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun penjelasannya sebagai
berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir
CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat
pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif
secara

mental

mebangun

pengetahuannya,

yang

dilandasi

oleh

struktur

pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang
terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari
bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual.
Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman
siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6)
memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4.

Masyarakat

Belajar

(Learning

Community).

Konsep

masyarakat

belajar

menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil
belajar diperolah dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke
yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua
kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

5. Pemodelan (Modeling). Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,


mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan
apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan
juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang
baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari
itu.
7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan
belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar
siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran
yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan
kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Contextual

Teaching

and

Learning

dalam

penerapannya

untuk

sekolah

agroekonomi/pertanian/perkebunan memiliki kelebihan maupun kelemahan sendiri. Adapun


kelebihannya adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan
tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan
mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa
karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa
dituntun

untuk

menemukan

pengetahuannya

sendiri.

Melalui

landasan

filosofis

konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal.


Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim
yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa.

Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang
akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau penguasa yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ideide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi
strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan
perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan
apa yang diterapkan semula.
>> Kolaborasi Pendekatan Contextual teaching Learning dengan Model-model
pembelajaran
Beberapa

model

pembelajaran

yang

meruapakan

aplikasi pembelajaran

kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran


koperatif (cooperatif learning), pembelajaran berbasis masalah ( problem based learning).
1. Model Pembelajaran Langsung
Inti

dari

model

pembelajaran

langsung

adalah

guru mendemonstrasikan

pengetahuan atau keterampilan tertentu, selanjutnya melatihkan keterampilan tersebut


selangkah demi selangkah kepada siswa. Rasional teoritik yang melandasi model ini
adalah teori pemodelan tingkah laku yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut
Bandura, belajar dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru) perilaku dan
pengalaman orang lain. Sebagai contoh untuk dapat mengukur panjang dengan jangka
sorong, siswa dapat belajar dengan menirukan cara mengukur panjang dengan jangka
sorong yang dicontohkan oleh guru.
Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini terutama adalah
penguasaan

pengetahuan

prosedural

(pengetahuan

bagaimana melakukan

sesuatu

misalnya mengukur panjang dengan jangka sorong, mengerjakan soal-soal yang terkait
dengan hukum kekekalan energi, dan menimbang benda dengan neraca Ohauss), dan atau
pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang sesuatu misal nama-nama bagian jangka
sorong, pembagian skala nonius pada micrometer sekrup, dan fungsi bagian-bagian neraca
Ohauss),

serta

keterampilan

belajar

siswa

(misal

menggarisbawahi kata

kunci,

menyusun jembatan keledai, membuat peta konsep, dan membuat rangkuman).


Model pembelajaran ini cenderung berpusat pada guru, sehingga sebagian besar
siswa cenderung bersikap pasif, maka perencanaan dan pelaksanaan hendaknya sangat

hati-hati. Sistem pengelolaan permbelajaran yang dilakukan oleh guru harus menjamin
keterlibatan seluruh siswa khususnya dalam memperhatikan, mendengarkan, dan resitasi
(tanya jawab). Pengaturan lingkungan mengacu pada tugas dan memberi harapan yang
tinggi agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran.
2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Inti dari pembelajaran berbasis masalah adalah guru menghadapkan siswa pada
situasi masalah kehidupan nyata (autentik) dan bermakna, memfasilitasi siswa untuk
memecahkannya melalui penyelidikan/ inkuari dan kerjasama, memfasilitasi dialog dari
berbagai segi,merangsang siswa untuk menghasilkan karya pemecahan dan peragaan hasil.
Rasional teoritik yang melandasi model ini adalah teori konstruktivisme Piaget dan
Vigotsky, serta teori belajar penemuan dari Bruner. Menurut teori konstruktivisme
pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa seperti menuangkan air dalam
gelas, tetapi

siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui proses intra-

individual asimilasi dan akomodasi (menurut Piaget) dan proses inter-individual atau
sosial (menurut Vigotsky).

Menurut Bruner belajar

yang sebenarnya terjadi melalui

penemuan, sehingga dalam proses pembelajaran hendaknya banyak menciptakan peluangpeluang untuk aktivitas penemuan siswa.
Tujuan yang dapat dikembangkan melalui model
keterampilan berfikir

dan

pemecahan

masalah, kinerja

pembelajaran ini adalah


dalam menghadapi situasi

kehidupan nyata, membentuk pebelajar yang otonom dan mandiri.


Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pada model pembelajaran berbasis
masalah ini dicirikan oleh adanya sifat terbuka, proses demokrasi, dan peranan aktif siswa.
Keseluruhan proses diorientasikan untuk membantu siswa
percaya

pada

keterampilan

intelektual sendiri

melalui

menjadi

mandiri,

keterlibatan

otonom,

aktif

dalam

lingkungan yang berorientasi pada inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat.
3. Model Pembelajaran Koperatif
Inti model pembelajaran koperatif adalah siswa belajar dalam kelompokkelompok kecil, yang anggota-anggotanya memeliki tingkat kemampuan yang berbeda
(heterogen).

Dalam

memahami

suatu

bahan pelajaran

dan

menyelesaikan

tugas

kelompok, setiap anggota saling bekerjasama sampai seluruh anggota menguasai bahan
pelajaran tersebut. Dalam variasinya ditemui banyak tipe pendekatan pembelajaran
koperatif misalnya STAD (Student Teams Achievement Division), Jigsaw, Investigasi

Kelompok, dan Pendekatan Struktural, namun tidak dikemukakan dalam materi diklat
ini.
Rasional teoritik yang melandasi model ini adalah teori konstruktivisme Vigotsky
yang menekankan pentingnya
muka, dan teori pedagogi John

sosiokultural dalam proses belajar seperti tersebut di


Dewey yang menyatakan bahwa

kelas

seharusnya

merupakan miniatur masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar


kehidupan nyata. Guru seharusnya menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu
sistem sosial yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah.
Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini adalah hasil belajar
akademik yakni penguasaan konsep-konsep yang sulit, yang melalui kelompok koperatif
lebih mudah dipahami karena adanya tutor teman sebaya, yang mempunya orientasi
dan bahasa yang sama. Disamping itu hasil belajar keterampilan sosial yang berupa
keterampilan koperatif (kerjasama dan kolaborasi) juga dapat dikembangkan melalui
model pembelajaran ini.
Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pada model pembelajaran koperatif ini
dicirikan oleh
harus

dipelajari

proses demokrasi dan peran aktif siswa dalam menentukan apa yang
dan

bagaimana

mempelajarinya. Dalam

pengaturan

lingkungan

diusahakan agar materi pembelajaran yang lengkap tersedia dan dapat diakses setiap
siswa, serta guru menjauhi kesalahan tradisional yakni secara ketat mengelola tingkah-laku
siswa dalam kerja kelompok.

Anda mungkin juga menyukai