Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan
pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi
distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Sutomo dibesarkan di rumah yang
sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia
suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa
meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia
menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota
Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia.
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika
pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan
dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang
habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruanseruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.
Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah
menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri
Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai
Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan
pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto
sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya
khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh
Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak
lagi berminat untuk bersikap vokal.
Bung Tomo
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar
(FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi
dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November
2008 di Jakarta.