Anda di halaman 1dari 6

Bagikorbanyangsudahmeninggalyangperluditanganisecarakhususdenganmembentuktim

khususpula.Padakorbanyangtelahmeninggalumumnyadilakukanidentifikasikorbanatauyang
seringdisebutDisasterVictimIdentification(DVI).
DVImerupakanproseduruntukmengidentifikasikorbanmeninggalakibatbencanamassalsecara
ilmiahyangdapatdipertanggungjawabkandanmengacukepadastandarbakuInterpol.

P Pasal 120 (1) KUHAP :

Dalamhalpenyidikmenganggapperlu,iadapatmintapendapatseorangahliatauorangyang
memilikikeahliankhusus.
Pasal 133 (1) KUHAP :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa pidana, ia berhak mengajukan permintaan
keteranganahlikepadaahlikedokterankehakimanataudokterdanahlilainnya.
Karenapadadasarnyaidentifikasikorbanbencanamassalmerupakanbagiandaripelayanankesehatan
padagawatdarurat,pekerjaanidentifikasimedictidakmemerlukan/menunggusuratpermintaandari
pihakpenyidik(polisi).
AdapunprosesDVImeliputi5fase,dimanasetiapfasenyamempunyaiketerkaitansatudenganyang
lainnya, yang terdiri dari The Scene(olah tempat kejadian perkara),The Mortuary(Autopsi
mayat),Ante

Mortem

Information

Retrieval(pengumpulan

data
antemortem),Reconciliation(pencocokan data ante dan post mortem)
andDebriefing(pemusalaran jenazah). Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri
dariFingerprints,DentalRecordsdanDNAsertaSecondaryIndentifiersyangterdiridariMedical,
PropertydanPhotography.Prinsipdariproses identifikasiini adalahdenganmembandingkandata
Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Untukprimaryidentifiers,identifikasidilakukandengan
1)
2)
3)
4)
5)

Sidik jari,
Serologi,
Odontologi,
Antropologi
Biologi.

PadaSecondariIdentifiers,identifikasidapatdilakukandengan:
1. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas
dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan
bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga
korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2. Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan
tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
3. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakansatucara saja, segala cara yang
mungkinharusdilakukan,halinipentingolehkarenasemakinbanyakkesamaanyangditemukan
akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan
memberikanhasilyangpositif(tidakmeragukan).
SetelahKorbanTeridentifikasi
Setelahkorbanteridentifikasisedapatmungkindilakukanperawatanjenazahyangmeliputi
antaralain:
a.Perbaikanataurekonstruksitubuhjenazah

b.Pengawetanjenazah(bilamemungkinkan)
c.Perawatansesuaiagamakorban
d.Memasukkandalampetijenazah
KemudianjenazahdiserahkankepadakeluarganyaolehpetugaskhususdariKomisiIdentifikasi.

TRIAGE DAN MANJEMEN GAWAT DARURAT


TRIAGE
A. Defenisi Triage

Suatu sistem seleksi penderita yang menjamin supaya tidak ada penderita yang tidak
mendapat perawatan (kapukonline.com). Sebuah tindakan pengelompokan pasien
berdasarkan berat ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat keberhasilan yang akan
dicapai sesuai dengan standar pelayanan UGD yang dimiliki (kompasiana.com)
Triage is derived from french word, trier, meaning to sort out. It was first used by
the french military during world war I, when victim were sorted and clasified according to the
type and urgency of their condition for the purpose of determining medical treatment
priorities (Grossman, 2003)
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa . Tujuan
kedua adalah untuk memprioritaskan pasien menurut ke akutannya . Pengkatagorian
mungkin ditentukan sewaktu-waktu. Jika ragu, pilih prioritas yang lebih tinggi untuk
menghindari penurunan triage.

1.
2.
3.
4.
5.

B. Golongan Triage
Dalam triage ada 5 golongan
Golongan I (Label Hijau) :
Penderita tidak luka / menderita gangguan jiwa sehingga tidak memerlukan tindakan bedah.
Golongan II (Label Kuning) :
Penderita dengan luka ringan dan memerlukan tindakan bedah minor.
Golongan III (Label Merah) :
Penderita keadaan luka berat / syok.
Golongan IV (Label Putih) :
Penderita dengan luka berat tetapi sulit ditolong
Golongan V (Label Hitam) :
Penderita meninggal dunia

C. Sistem Triage
Sistem triage ada 2 yaitu :
1. Non Disaster
Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiapindividu pasien
2. Disaster
Untuk menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak
D. Tipe-tipe Triage di Rumah Sakit
1. Type 1 : Traffic Director or Non Nurse
a. Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b. Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c. Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d. Tidak ada dokumentasi
e. Tidak menggunakan protocol
2. Type 2 : Cek Triage Cepat
a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi atau dokter
b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
c. Evaluasi terbatas
d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera mendapat perawatan
pertama

3. Type 3 : Comprehensive Triage


a. Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
b. 4 sampai 5 sistem katagori
c. Sesuai protokol
E. Klasifikasi Triage Berdasarkan Kasus
1. Prioritas 1 Kasus Berat
a. Perdarahan berat
b. Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
c. Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
d. Fraktur terbuka dan fraktur compound
e. Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
f. Shock tipe apapun
2. Prioritas 2 Kasus Sedang
a. Trauma thorax non asfiksia
b. Fraktur tertutup pada tulang panjang
c. Luka bakar terbatas
d. Cedera pada bagian / jaringan lunak
3.
a.
b.

Prioritas 3 Kasus Ringan


Minor injuries
Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan

4. Prioritas 0 Kasus Meninggal


a. Tidak ada respon pada semua rangsangan
b. Tidak ada respirasi spontan
c. Tidak ada bukti aktivitas jantung
d. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya

MANAJEMEN GAWAT DARURAT


A. Defenisi Manajemen Gawat Darurat
Manajemen Gawat Darurat Dalam sebuah pelayanan kesehatantentunya juga tidak
terlepas dari sebuah unit yang menanganikegawatdaruratan dan di rumah sakit biasa kita
kenal dengan nama dan istilah Unit Gawat Darurat (UGD).
B. Prinsip Manajemen Gawat Darurat
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa
(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh.
Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi
korban dari kedinginan.
5. Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan
yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada kondisi
yang membahayakan.
7. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan
anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan
terdapat alat transportasi yang memadai.

C. Kesiapan Dalam Gawat Darurat


Siap mental, dalam arti bahwa emergency can not wait. Setiap unsur yang terkait
termasuk perawat harus menghayati bahwa aritmia dapat membawa kematian dalam 1 2
menit. Apnea atau penyumbatan jalan napas dapat mematikan dalam 3 menit.
2. Siap pengetahuan dan ketrampilan. Perawat harus mempunyai bekal pengetahuan teoritis
dan patofisiologi berbagai penyakit organ tubuh penting. Selain itu juga keterampilan manual
untuk pertolongan pertama.
3. Siap alat dan obat. Pertolongan pasien gawat darurat tidak dapat dipisahkan dari
penyediaan/logistik peralatan dan obat-obatan darurat.
1.

D. Urutan Pertolongan Dalam Keadaan Gawat Darurat


Bila mungkin, minta orang lain untuk memanggil dokter/ambulan sementara anda
melakukan pertolongan pertama.
2. Periksa pernafasan. Bila berhenti, segera mulai dengan pernafasan dari (resusitas) mulut
ke mulut. Prioritas utama adalah mengusahakan penderita bernafas kembali kecuali pada
penderita kasus tersedak.
3. Periksa adanya perdarahan hebat. Bila ada, hentikan perdarahan
4. Bila menduga adanya cedera tulang, belakang, jangan merubah posisi penderita. (Cidera
tulang belakang bisa terjadi bila penderita jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas
yang serius, atau mengalami rasa kebal/hilang rasa/tidak bisa menggerakkan anggota tubuh
atas ataupun bawah).
5. Bila penderita pingsan tetapi pernafasan normal tanpa cedera tulang belakang, baringkan
dalam posisi istirahat.
6. Jangan meninggalkan penderita sebelum petugas medis datang. Bila anda sendirian dan
tidak mungkin memanggil petugas medis, tetapi tidak ada cedera tulang belakang dan
keadaan penderita cukup stabil, bawa penderita ke Unit gawat darurat di rumah
sakit/Puskesmas terdekat.
1.

Kesehatan Mental Pasca Trauma


Kesehatan Mental menurut WHO, seseorang yang sehat mental/jiwanya : merasa sehat dan bahagia, mampu
menghadapi tantangan hidup, menerima orang lain apa adanya (ber-empati dan tidak berprasangka) , serta bersikap
positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Selain itu, Kesehatan Mental juga dapat dilihat dari berbagai aspek,
yakni : Intelektual, Sosial, Spiritual-Moral, Emosional.
Bagi masyarakat ataupun individu yang baru mengalami bencana, dampak yang dirasakan bukan hanya kerusakan
lingkungan akan tetapi bisa mempengaruhi kestabilan jiwa korban dan mengakibatkan trauma. Oleh sebab itu
masyarakat yang mengalami trauma perlu mendapatkan bantuan kejiwaan untuk memulihkan kestabilan mental
mereka. Gangguan yang paling sering diderita adalah gangguan stress pasca trauma. Apabila seseorang yang
mengalami gangguan stres pasca trauma dan terperangkap dalam perasaannya sendiri, ini akan berdampak hingga
menurunkan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain disekitarnya. Penderita ini akan semakin parah jika
mengkonsumsi obat-obat terlarang ataupun minuman beralkohol.
Siapa saja yang rentan mendapatkan dampak gangguan stres pasca trauma?

Korban-korban bencana

Masyarakat yang berada di sekitar lokasi bencana

Orang-orang yang baru pulih dari gangguan kejiwaan sangat rentan

Anggota-anggota tim pembantu korban

Setelah mengalami suatu kejadian bencana, seseorang umumnya akan mengalami fase-fase keadaan mental sebagai
berikut:
1.
Fase kritis, dimana dalam fase ini terjadi gangguan stress akut dan biasanya terjadi kurang dari
satu bulan semenjak adanya stressor (bencana).
2.
Fase setelah kritis, dimana fase ini telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan
biasanya terjadi setelah satu bulan bahkan sampai tahunan semenjak adanya stressor (bencana). Pada fase
ini, akibat bencana yang terjadi sehingga penderita/korban telah menanamkan suatu mindset akan bencan
yang telah terjadi sehingga apabila bencana tersebut terulang kembali maka korban akan lebih cepat untuk
menderita gangguan fase ini (Posttraumatic Stress Disorder).

3.
Fase Stressor yang berkepanjangan, dalam fase ini biasanya terjadi perubahan kepribadian setelah
sekian lama mengalami gangguan tersebut.

Untuk mengetahui lebih lanjut dari perubahan fase-fase diatas, perlunya memahami gejala-gejala yang timbul pada
gangguan stress pasca trauma yakni:
Teringat kembali akan pengalaman buruk
Perasaannya menjadi kaku dan tumpul, tertekan dan selalu sedih
Mengasingkan diri dan bersifat acuh pada lingkungan
Menghindari kegiatan, situasi atau hal-hal yang berhubungan dengan kejadian penyebab trauma
Kecemasan berlebihan, cepat panik dan agresif
Mudah terkejut dan latah
Sulit dan takut tidur
Teringat, mendengar atau melihat kembali apa yang dialami
Merasa gelisah, cemas dan tegang
Kehilangan selera makan
Memiliki kecenderungan untuk membunuh diri
Rasa putus asa, sedih dan takut sering terjadi sebagai akibat dari bencana. Tanggapan positif atau negatif bisa terjadi
secara lambat laun dari peristiwa kehilangan. Beberapa orang merasa khawatir untuk memulai hidup baru, ketakutan
akan kehilangan kembali apa yang telah dibangun bertahun-tahun. Pengalaman lain memberikan pelajaran, untuk
memperkuat hubungan antara keluarga dan sesama masyarakat. Pentingnya memberikan dukungan sosial dalam
menolong individu untuk mengatasi traumanya, sebaiknya jangan menggunakan alkohol atau narkoba untuk
mengatasi keadaan. Apabila berhadapan dengan pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental sebaiknya
dilakukan dengan metode rileks. Penggunaan medikasi untuk mengobati korban biasanya digunakan jika psikoterapi
berorientasi krisis atau terapi kelompok tidak efektif serta individu itu berbahaya, sangat agitatif atau psikotik.

Anda mungkin juga menyukai