Anda di halaman 1dari 3

Kegaduhan yang Tak Perlu

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi


Selamat Malam Kota Malang, Kota penuh cerita, Kota Pergerakan. Ya, kota Pergerakan.
Karena di kota ini, terdapat banyak kampus dengan nama besar dan didalamnya terdapat
berbagai macam organisasi yang berbasis pergerakan, seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan
lain-lain. Pergerakan disini dimaksudkan adalah gerakan kaum intelektual muda yang ditujukan
untuk membela kaummustadhafin dari kebijakan para elit politik dan penguasa yang tidak
berpihak pada orang yang mempercayainya.
Penulis adalah anggota dari salahsatu organisasi pergerakan tersebut. Penulis adalah
anggota

Pergerakan

Mahasiswa

Islam

Indonesia

(PMII),

khususnya

di

Rayon Pencerahan Galileo. Dalam prosesnya, penulis sangat bangga menjadi bagian dari PMII.
Dari para sahabat disana, penulis belajar banyak hal, terutama di bidang kapasitas kepemimpinan
dan olah intelektual. Penulis meyakini bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang tepat
karena berhaluan ahlussunnah waljamaah, salahsatu ideologi islam yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moderasi dan pluralitas/ke-bhinneka-an. Penulis juga mengenal banyak sahabatsahabat yang sangat baik dan menjadi sahabat dalam suka maupun duka. Baik dalam situasi yang
sunyi maupun gaduh.
Gaduh, ya memang adakalanya suatu organisasi menjadi gaduh dan tidak terkontrol,
karena itu adalah bagian dari pembelajaran dalam berorganisasi. Ada fase dimana sesama
anggota saling adu eksistensi, adu intelektualitas, bahkan adu jotos. Penulis kira, ini adalah hal
wajar dimana dalam berorganisasi, hal tesebut adalah fase yang normal untuk dilalui, karena
kemudian dapat menjadi hal untuk muhasabah dan instropeksi para pegiat organisasi untuk lebih
dewasa dan bermartabat untuk menjadi rijalul ghad.
Banyak dari sekian alumni organisasi yang berhasil menjadi manusia, manusia yang
bermanfaat bagi ummat, meskipun tak sedikit pula jebolan organisasi yang menjadi maling,
tukang jambret, bahkan penjilat rakyat. Namun, tak adil kiranya ketika kita selaku subjek yang
menilai, memandang bahwa apa yang dilakukan seseorang mencerminkan apa yang dilakukan
organisasinya secara umum. Memang ada pepatah yang menyatakan bahwa Buah tak akan
pernah jatuh jauh dari pohonnya, peribahasa ini tidak adil jika kemudian dijadikan dalil
yang jami dan ditujukkan kepada semua orang. Karena sejatinya, tidak kemudian apa yang kita
lakukan akan selalu sama dengan apa yang dilakukan oleh teman kita, meskipun dengan latar
belakang organisasi maupun ideologi yang sama, karena ada olahan terlebih dahulu dari apa

yang difikirkan menuju apa yang akan dilakukan, sehingga apa yang kita lakukan bisa saja
berbeda dengan sahabat kita. Intinya, penulis mengharap, pembaca harus kemudian objektif
dalam menilai suatu fenomena yang terjadi, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun
kondisinya, seperti hanya kita menilai suatu berita.
Akhir-akhir ini, sering kita melihat pemberitaan yang memojokkan salahsatu pihak.
Dalam artian, pemberitaan yang tidak berimbang, dan sarat dengan asupan yang subjektif para
penulis berita. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, dan memang ada ilmu khusus
yang membahas terkait bagaimana kemudian seorang penulis berita harus di bingkai sedemikian
rupa sehingga berita dapat terlihat berbobot dan menarik untuk dibaca. Namun, pengamalan ilmu
yang digunakan untuk praktek kapitalisme-lah yang kemudian mencederai kode etik jurnalistik
yang seharusnya ditaati.
Pem-bully-an habis-habisan terhadap organisasi ekstra bernama Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) adalah salah satu contohnya. Sebuah media memberitakan bahwa dana yang
digunakan dalam penyelenggaraan Kongres HMI di Riau menyerap APBD Riau hingga
menembus angka 3 M dan melebihi alokasi dana APBD untuk korban bencana kabut asap di
Riau yang hanya berkisar 1,4 M. Menurut penulis, hal ini memang terlalu berlebihan ketika dana
sebesar itu dialokasikan untuk kegiatan kongres organisasi mahasiswa apabila dibandingkan
dengan alokasi APBD untuk penanggulangan bencana asap Riau. Sehingga kemudian media
banyak memojokkan HMI dengan berbagai pemberitaan yang terkesan sangat gaduh. Disini
penulis tidak kemudian hendak membela HMI dan setuju terkait alokasi APBN tersebut, namun
penulis mempertanyakan keberpihakan media. Menurut penulis, seharusnya media lebih
menyorot terkait apa yang dilakukan pemprov Riau? Apakah Pemprov Riau masih waras?
Mengapa alokasi dana untuk korban bencana asap lebih sedikit dari apa yang diberikan kepada
HMI untuk Kongresnya? Masihkan pemprov Riau punya hati? Padahal bencana asap
menyangkut nyawa manusia, bukan lagi hanya menyangkut kepentingan organisasi.
Entah apa maksud media dengan melakukan pemberitaan tersebut, yang pasti, HMI
sangat dirugikan atas kegaduhan ini. Penulis tidak berkomentar atas kerugian yang dialami PB
HMI, tapi kerugian atas ruang-ruang professional kader-kader HMI di tingkat basis. Karena kita
semua tahu, bahwa kaderisasi di tingkat basis (Komisariat dan Kordinator Komisariat) masih
mempraktekkan etika organisasi yang masih bersih dan jauh dari sifat-sifat transaksional. Para
kader HMI di tingkat basis dipukul habis-habisan oleh kegaduhan yang sebetulnya tidak perlu,
Dalam artian, tidak perlu ditujukan kepada HMI selaku yang diberi dana oleh pemprov Riau.
Karena seharusnya yang dihajar habis-habisan adalah pemprov Riau, yang begitu bodohnya,

entah apa maksudnya, dengan entengnya memberikan alokasi dana untuk kongres HMI yang
nominalnya melebihi alokasi dana untuk korban bencana. Semisal kita adalah anak-anak, kita
bisa meminta kepada orang tuanya apapun yang kita mau, namun orang tua akan
mengabulkannya sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan atas apa yang kita inginkan.
Ketika orang tua memberikan seluruh apa yang kita minta, sudah barang tentu akan memberikan
efek yang tidak baik. Dan apabila kita cermati dengan baik, ketika orang tua tersebut
memanjakan anaknya dan kemudian anaknya tersebut mempunyai sifat yang tidak baik, siapakah
yang salah? Siapakah yang paling bertanggungjawab? Jelas, orang tualah yang paling
bertanggungjawab atasnya. Hal ini berlaku pula terhadap kasus diatas. Penulis semakin
mencurigai terkait adanya misi terselubung media untuk terus memojokkan keberadaan
organisasi mahasiswa dan memaksa kami dan organisasi mahasiswa yang lainnya untuk
bungkam secara tidak langsung.
Media di era globalisasi ini adalah sarana yang produktif untuk mengawal suatu
pemerintahan maupun aktivitas-aktivitas manusia pada umumnya. Terlihat dimana kasus
Freeport dikawal habis-habisan oleh media-media. Namun ketika praktek media digunakan
untuk suatu kepentingan, sisi yang kemudian penting dipegang oleh pegiat media menjadi hilang.
Unsur objektivitas semakin terhimpit oleh subjektivitas yang sengaja dibubuhkan kedalam berita
dan menghasilkan kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu, seperti kasus alokasi dana APBD Riau
untuk HMI. Dan jika kita flashback sedikit lebih jauh kebelakang, kita mafhum dengan apa yang
terjadi antara kubu KMP dan KIH dengan masing-masing media subjektif penyokongnya.
Semoga kemudian media dapat memunculkan kembali wajah aslinya, media yang
objektif, media yang mengungkap fakta, bukan tergantung dapat apa dan berapa. Sehingga tidak
terjadi kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu dan salah sasaran yang merugikan pihak tertentu.
Dan penulis pun berharap, semoga kongres HMI di Riau lancar dan melahirkan gagasan-gagasan
baru, serta pemimpin baru yang merepresentasikan wajah asli HMI, yakni sebagai organisasi
mahasiswa yang dapat mencetak kader-kader penerus bangsa yang dapat membawa negeri ini ke
arah yang lebih baik. Semoga Indonesia terhindar dari bencana-bencana, baik berupa bencana
alam, maupun bencana moral. Salam sejahtera, harmoni damai, lestari budaya, Bhinneka
Tunggal Ika. SALAM PERGERAKAN!!!

Anda mungkin juga menyukai