Anda di halaman 1dari 1

Senja menelungsup kian pasti, menjadi pembatas antara siang yang pikuk

dan malam yang lenggam, aku duduk di sebuah bangku taman, dengan
panjang sekitar satu meter dan agak berkarat di sudut-sudutnya, di belakang
ada sebuah pohon kelor yang dedaunannya membuat suasana seperti
menjadi sebongkah katarsis langsung menyerang hati. Angin senja menyatu
dengan warna kesumba yang mengental di ufuk, garis horizon ditutupi
gedung-gedung lambang angkuhnya manusia. Fragmen yang pas untuk
merajah rasa. Namun ada yang terlewat pada sore ini, sosok perempuan
yang tingginya hanya sebahu-ku, tapi kadar kesabarannya jauh lebih tinggi,
perempuan yang pipinya agak bulat, sangat pas untuk di kecup.
Hyang Matari mulai tunduk perlahan, seakan ingin berdamai dengan malam,
sedikit demi sedikit taman ini kian sepi, dan aku masih di sini. Sudah tak
terhitung berapa miligram nikotin yang leluasa masuk ke paru-paru, kopi
mulai tandas, kompak dengan kesabaran untuk bertemu dengan
perempuanku, ah kesabaran itu lagi, seakan aku cuma punya setengah gelas
kesabaran yang di bagikan Tuhan, sedangkan kau dikasih penuh!.
Aku teringat cerita tentang Warung yang buka hanya saat senja, yang di tulis
oleh Zen RS, warung yang dimiliki oleh seoarang lelaki tua bersemai kumis
yang tersambung dengan Janggut, lelaki tua yang di memandang sinis senja,
sebab kedua orang yang di cintainya pergi dikala senja, yang satunya adalah
perempuan yang menemaninya melewati ratusan atau bahkan ribuan senja,
dan yang satu lagi hanya mampir sebentar di dunia yang terlalu bising ini. Ia,
lelaki tua penjaga warung itu kemudian berdiri melawan setelah berulangkali
memaki senja, ia sekarang setiap sore selalu meluangkan waktu untuk
duduk diam sembari menyerahkan diri pada apapun yang berkuasa atas
dirinya, ia sadar bahwa semakin kita berusaha bertarung dengan ingatan
untuk melupakan, secara langsung lupa itu takkan pernah kalah, sebab
diantara melupakan bersemayam juga mengingat, saat kita berusaha
untuk melupakan maka pada saat itu juga kita mengingat.
Siang telah tunduk sepenuhnya pada malam, dan aku tak bisa lebih lama
lagi disini, sebab hanya senja yang aku butuhkan, malam terlalu pekat untuk
mengingat wajahmu, senyum mu, atau bahkan gaya berfoto mu yang sering
ku protes itu. Seperti lelaki tua itu, hari ini telah aku pasrahkan semuanya
pada senja, pada perbatasan malam dan siang, pada perbatasan laut yang
memisah, pada sisi antara rindu dan kesabaran melewatkan beberapa senja
lagi hingga kita bersua.

Anda mungkin juga menyukai