Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Fakultas Kedokteran

REFERAT
RINOSINUSITIS
Pembimbing :
dr.H.Wiendyawati, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Samsu Buntoro (112014114)
Sylvia Wijaya

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
KEPALA DAN LEHER
KOAS THT RUMAH SAKIT TARAKAN TOMANG
Periode 28 September 2015- 31 Oktober 2015

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat-Nya lah kami diberikan kemampuan raga untuk dapat menyelesaikan
referat ini tepat waktu dengan segala daya upaya yang sudah kami curahkan.
Kami berharap dengan segala keterbatasan kami, kami mampu menghasilkan sebuah
referat yang berbobot sekaligus bermanfaat tidak hanya untuk kalangan medis saja namun
juga ditujukan kepada masyarakat. Besar harapan kami bahwa referat ini mampu menjadi
jendela untuk membuka wawasan bagi setiap orang yang membacanya. Untuk segala
kekurangan yang ada, kami berharap dapat dimaklumi, karena tentunya masih banyak
kesalahan baik dari segi penulisan maupun dari segi pemahaman, yang disengaja maupun
yang tidak disengaja. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Anda untuk
membaca referat ini. Semoga Anda, para pembaca, bisa mendapatkan apa yang Anda
butuhkan di dalam referat kami ini. Sekian dan terima kasih.
21 Oktober 2015,

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................

BAB II PEMBAHASAN
2.1

Anatomi-Fisiologi Sinus Paranasalis

2.1.1 Sinus Maksilaris ..

6-7

2.1.2 Sinus Frontalis .

7-8

2.1.3 Sinus Etmoidalis ..

8-9

2.1.4 Sinus Sfenoidalis .

2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal ..

9-10

2.1.6 Fisiologi Sinus Paranasalis ..

10-11

2.2

Pemeriksaan Sinus Paranasalis .

11-12

2.3

Definisi Rinosinusitis Kronik 12-15

2.4

Etiopatogenesis
2.4.1 Etiologi .. 15-26
2.4.2 Patogenesis 26

2.5

Epidemiologi .. 27

2.6

Manifestasi Klinis .. 27-28

2.7

Pemeriksaan Penunjang . 28-32

2.8

Tatalaksana

32-33

2.8.1 Tatalaksana Farmakologi .. 33-37


2.8.2 Tatalaksana Non-farmakologi ..

37-40

2.9

Komplikasi . 40

2.10

Prognosis 40-41

2.11

Kesimpulan 41-42

DAFTAR PUSTAKA . 43

BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis ialah suatu keadaan klinis yang mencakup sekelompok kondisi infeksi
dan inflamasi yang terjadi pada hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dapat terbagi
menjadi 3 jenis, yaitu rinosinusitis yang bersifat akut, subakut dan rinosinusitis yang bersifat
kronik. Gejala yang bervariasi terkait dengan penyakit ini menjadikan rinosinusitis terutama
rhinosinusitis kronik cukup sulit didefinisikan secara akurat. Banyak aspek dari diagnosis
rinosinusitis kronik yang masih kurang dipahami dengan baik saat ini, sehingga etiologi dari
penyakit ini seringkali diperdebatkan dan tetap menjadi area signifikan peneliti untuk terus
mencari tahu mengenai penyakit ini. Diagnosis rinosinusitis, masih didasarkan pada gejala
subjektif, durasi gejala dan bukti objektif terdapatnya peradangan pada mukosa paranasal
penderita. Setiap kriteria ini sebaiknya dipenuhi untuk membuat diagnosis rinosinusitis pada
satu individu, sehingga penatalaksanaan selanjutnya dapat terfokus untuk mengobati
rinosinusitis.
Sebagai masalah kesehatan global yang umum, rinosinusitis telah menjadi suatu
morbiditas yang signifikan pada seorang individu tidak terbatas usia dan jenis kelamin,
sekaligus menimbulkan dampak jangka panjang yang dapat menurunkan kualitas hidup
penderitanya. Penurunan kualitas hidup ditandai dengan gangguan seseorang dalam
melakukan fungsinya sehari-hari dan kebutuhan seseorang untuk mencari pengobatan setiap
harinya, yang mana waktu untuk mencari pengobatan sebenarnya dapat digunakan untuk
bekerja. Produktivitas penderita yang kian menurun, berdampak pada kondisi finansial
penderita yang memburuk. Oleh karena itu, pengenalan yang baik mengenai rinosinusitis
kronik beserta dengan berbagai proses perjalanan penyakitnya di dalam tubuh dapat
membantu menuntun klinisi agar dapat memberikan tatalaksana yang baik sembari ikut
melakukan pencegahan serangan berulang pada penderita.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi-Fisiologi Sinus Paranasalis


Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran dan simetri yang bervariasi,
sehingga sulit untuk dideskripsikan pada tiap individu. Sinus-sinus ini yang kemudian
disebut sebagai sinus paranasal membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah
dan diberi nama yang sesuai, yaitu sinus maksilaris sebanyak 1 pasang, sfenoidalis 1
pasang, frontalis 1 pasang, dan etmoidalis 1 pasang. Yang terakhir biasanya berupa
kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungag,
masing-masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh
epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan
mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,
sinus-sinus ini terutama berisi udara. Sinus maksilaris atau biasa disebut antrum,
umumnya telah ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada masa
kanak-kanak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi kranium
yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah yang keras, maka membran
mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam rongga-rongga yang baru terbentuk ini.
Sejatinya, sinus paranasal ini merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus ini mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoidalis dan sinus frontalis. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis telah ada saat
bayi lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada
anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalis dimulai pada
usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2
Bila dilihat anatomi secara mikroskopis, hidung dan sinus paranasalis dibatasi
oleh epitelium kolumner bersilia dengan pseudostratified. Ada 4 sel yang dicatat
terdapat di dalam kavitas sinonasal: sel-sel epitel kolumner bersilia, sel-sel kolumner
tidak bersilia, sel goblet dan sel basal. Sel-sel epitelial bersilia memiliki 50-200 silia
per selnya, yang akan bergerak 700-800 kali/menit. Silia-silia ini menggerakkan palut
5

lendir kira-kira 9 mm/menit. Sel-sel tidak bersilia memiliki mikrovili di permukaan


apikal yang membantu humidifikasi dan menghangatkan udara sebelum masuk ke
dalam jalur napas yang lebih bawah. Sel-sel goblet memproduksi glikoprotein, yang
mempengaruhi karakter mukus. Input parasimpatis kepada kelenjar-kelenjar ini akan
menyebabkan kelenjar memproduksi mukus yang lebih tebal, sedangkan persarafan
simpatis akan memproduksi mukus yang lebih encer dan lebih tipis. Fungsi dari sel
basal hingga saat ini masih belum diketahui.3

Gambar 1. Sinus paranasalis3


2.1.1

Sinus

Maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis yang terbesar dan terletak di
bawah mata tepatnya di dalam tulang maksilaris. Saat lahir sinus maksilaris memiliki
volume 6-8 ml, sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus ini ialah sinus yang berkembang
paling pertama dan diisi dengan cairan saat seseorang pertama kali lahir. Pertumbuhan

dari sinus ini mengikut pola bifasik, dimana fase pertama terjadi selama usia 0-3
tahun dan fase kedua terjadi saat usia 6-12 tahun.
Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah
(1) dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi-geligi mudah naik ke atas, menyebabkan sinusitis; (2) sinusitis
maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) ostium sinus maksilaris terletak
lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia,
lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus etmoidalis anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksilaris dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
Perdarahan sinus maksilaris disuplai oleh cabang dari arteri maksilaris interna,
yang mencakup arteri infraorbital, arteri alveolar, arteri palatina mayor, dan arteri
sfenopalatina. Innervasi saraf dilakukan oleh cabang kedua dari nervus trigeminus,
nervus infraorbital dan nervus palatina mayor.2,3
2.1.2 Sinus Frontalis
Sinus frontalis yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus
frontalisnya tidak berkembang
Ukuran sinus frontalis adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya
2 cm. Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif
7

tipis dan orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah
menjalar ke daerah ini.
Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontalis, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
Perdarahan sinus frontalis disuplai oleh arteri supraorbital dan supratroklearis
dari arteri oftalmika. Innervasi saraf dilakukan oleh nervus supraorbital dan
supratroklearis yang merupakan cabang pertama dari nervus trigeminus.2,3
2.1.3 Sinus Etmoidalis
Dari semua sinus paranasalis, sinus etmoidalis yang paling bervariasi, dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoidalis seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel udara yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi dan
terisi cairan saat seseorang lahir untuk kemudian tumbuh dan mengalami
pneumatisasi hingga usia 12 tahun. Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi
menjadi sinud etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus
etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksilaris. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.
Atap sinus etmoidalis yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoidalis
posterior berbatasan dengan sinus sfenoidalis.
8

Perdarahan sinus etmoidalis disuplai oleh arteri etmoidalis anterior dan


posterior dari arteri oftalmika (sistem karotis interna), juga oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang akhir dari arteri maksilaris interna (sistem karotis eksterna).2,3
2.1.4 Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoidalis terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoidalis
posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoidalis. Sinus ini terbentuk bukan
karena kantung-kantung yang meluas dari kavum nasi, melainkan dari batas-batas
embrionik nasal. Sinus ini akan mencapai ukuran maksimalnya di usia remaja akhir.
Sinus ini memiliki tingkat pneumatisasi yang bervariasi dan dapat meluas hingga
sejauh foramen magnum pada beberapa pasien. Ketebalan dari dinding sinus
sfenoidalis bervariasi, dengan dinding anterosuperior dan atap dari sinus sfenoidalis
(planum sfenoidale) menjadi bagian tulang yang paling tipis.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media, dan
kelenjar hipofisa, sebelahnya inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Vaskularisasi sinus sfenoidalis disuplai oleh arteri sfenopalatina, kecuali
planum sfenoidale, yang disuplai oleh arteri etmoidalis posterior. Innervasi dari sinus
sfenoidalis dilakukan oleh cabang pertama dan kedua dari nervus trigeminus.2.3
2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoidalis anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksilaris. Kompleks ini digambarkan sebagai ruangan 3 dimensi yang
dibatasi secara lateral oleh lamina papirasea, konka media secara medial, resesus
frontalis secaea superior, dan ostium sinus maksilaris secara inferior. Ruangan ini
mencakup prosesus unsinatus, infudibulum etmoid, hiatus semilunaris, dan celah
antara unsinatus dan konka media dan antara bulla etmoid dan konka media. Inflamasi
9

kronik dan edema dari kompeks ini dapat menyebabkan obstruksi anatomis dan
fungsional, yang selanjutnya menyebabkaninflamasi kronik dari sinus yang
mengeluarkan drainasenya ke area ini.2,3
2.1.6 Fisiologi Sinus Paranasalis
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca nasal (post-nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasalis. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasalis ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasalis, antara lain
(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan
udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), sinus berfungsi sebagai
ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.
Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara
yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
Sebagai penahan suhu (thermal insulators), sinus paranasalis berfungsi
sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga
hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

10

Sinus juga membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang


muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.2
Sinus mungkin juga berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewanhewan tingkat rendah.
Fungsi sinus sebagai peredam perubahan tekanan udara baru berfungsi bila
ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau
membuang ingus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.2,3
2.2. Pemeriksaan Sinus Paranasalis
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi
dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan
radiologik dan sinoskopi sebagai pemeriksaan untuk menunjang diagnosis.
Pada tahap inspeksi, yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada
muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak
mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila
telah terbentuk abses.
Pada tahap palpasi, nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinusitis maksilaris. Pada sinusitis frontalis, terdapat nyeri tekan di dasar
sinus frontalis, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan
rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.2
Dengan pemeriksaan transiluminasi, manfaat yang didapatkan terbatas, hanya
dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas
pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak
gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa
antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.2
11

Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksilaris, akan tampak terang
pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya
perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksilaris.
Transiluminasi pada sinus frontalis hasilnya lebih meragukan. Besar dan
bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus
berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin
berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.
Transiluminasi dilakukan terutama harus di dalam ruangan yang gelap.
Sumber cahaya (transiluminator sinus) diletakkan di dalam rongga mulut untuk
memeriksa sinus maksilaris. Cahaya yang ditransmisikan melalui sinus akan terlihat
bercahaya seperti bulan sabit di daerah sekitar pupil dan infraorbital. Untuk sinus
frontalis, sumber cahaya diletakkan di dasar sinus, dan kemudian cahaya yang
ditransmisikan akan terlihat bersinar di dinding anterior sinus. Tes ini tidak banyak
membantu karena mukosa yang menebal, mukopus, pus atau tumor, akan terlihat
opak pada sinus. Tes ini juga tidak dimungkinkan untuk sinus sfenoidalis dan tidak
membantu pula untuk melihat sel-sel etmoid yang berjumlah banyak. 2,4
2.3. Definisi Rinosinusitis
Sejarahnya, sinusitis ialah terminologi yang sudah diterima secara umum
untuk inflamasi dari sinus paranasalis. Namun terminologi ini secara berkala sudah
ditinggalkan karena istilah rinosinusitis lebih banyak diterima, hal ini disebabkan
oleh karena inflamasi dari hidung hampir selalu melibatkan inflamasi dari sinus
paranasalis juga. Secara jelas, bahkan terminologi ini lebih deskpritif. Oleh karena
itu, rinosinusitis saat ini menjadi istilah yang lebih dipilih dibandingkan sinusitis
dikarenakan istilah ini dapat lebih menjelaskan patofisiologi yang mendasarinya.
Rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut dan kronis. Rinosinusitis akut dapat
disebabkan oleh virus, bakteri atau campuran keduanya. Rinosinusitis virus akut
biasanya diderita selama 5 sampai 7 hari, sedangkan rinosinusitis bakteri akut
biasanya diderita

sampai 4 minggu lamanya. Rinosinusitis subakut merupakan

Rinosinusitis dengan rentang waktu 4 sampai 12 minggu, dimana lebih dari 12


minggu dapat disebut dengan Rinosinusitis kronis. Rinosinusitis virus akut biasanya
sembuh dalam 5 sampai 7 hari tanpa pengobatan, sedangkan pada Rinosinusitis
bakteri akut yang dinilai dari gejalanya akan memburuk setelah 5 hari atau gejalanya
menetap di atas 10 hari. Gejala yang muncul juga sulit dibedakan dengan rhinitis
simpleks dan rhinitis alergi yang meliputi nyeri pada wajah, sakit kepala, sekret
hidung purulen, penurunan penciuman dan demam. Adanya riwayat rhinitis dan
12

sekret purulen, nyeri saat menunduk dan nyeri maksila unilateral dan nyeri pada gigi
merupakan temuan yang umum pada sinusitis maksila. Rinosinusitis akut rekuren
didefinisikan bila terdapat 4 atau lebih serangan rinosinusitis akut dalam 12 bulan.
Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis yang berkaitan dengan
inflamasi persisten dari mukosa hidung dan sinus paranasalis selama 12 minggu atau
lebih dan dicirikan dengan adanya beberapa gejala seperti hidung tersumbat (nasal
obstruction), sekret keluar dari hidung (nasal discharge), batuk, gangguan penghidu,
dan sakit kepala. Walaupun prevalensinya cukup tinggi, namun rinosinusitis kronik
masih menjadi suatu penyakit yang cukup menantang dan kontroversial saat ini,
dikarenakan mekanisme etiologinya pun saat ini masih menjadi sumber perdebatan
dan banyak pemikiran yang berbeda mengenai langkah-langkah menatalaksana
penyakit ini. Konsensus yang ada saat ini, mengemukakan bahwa kriteria objektif
rinosinusitis kronik didasarkan pada endoskopi dan/atau CT-Scan yang dibutuhkan
untuk mendiagnosis secara definitif rinosinusitis kronik. Rinosinusitis kronik dapat
pula terjadi pada individu yang sehat atau pada individu dengan penyakit alergik dan
inflamasi lainnya ataupun pada individu yang memiliki faktor predisposisi seperti
rinitis alergika, asma, kistik fibrosis, dan abnormalitas anatomis. Pasien rinosinusitis
kronik selanjutnya dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu rinosinusitis kronik
dengan polip nasal, dan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal tergantung pada
ada/tidaknya polip nasal. Rinosinusitis kronik terjadi baik pada dewasa dan anak, dan
dihubungkan dengan efek samping yang buruk terhadap kualitas hidup pasien, hal ini
telah dilaporkan terjadi pada populasi pediatrik khususnya.5-9
Usaha-usaha terdahulu untuk mendefinisikan rinosinusitis telah banyak yang
hanya berdasarkan gejala saja. Setidaknya ada 87% kunjungan yang dilakukan untuk
mendiagnosis dan menatalaksana rinosinusitis di layanan kesehatan primer, dimana
endoskopi nasal dan pencitraan dengan CT tidak rutin dilakukan. Sehingga, banyak
konsensus nasional dan internasional dilakukan untuk mengembangkan definisi yang
berbasis gejala untuk mendiagnosis rinosinusitis di awal pertemuan dengan pasien.
Sebagai contoh di tahun 1997, the Task Force for Rhinosinusitis of the American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) mengidentifikasi
faktor

mayor

dan

minor,

juga

durasi

gejala

untuk

mendiagnosis

dan

mengklasifikasikan rinosinusitis. Rinosinusitis menurut AAO-HNS ini dibagi lagi


menjadi 4 jenis, yaitu akut (hingga 4 minggu), subakut (4 hingga 12 minggu), kronik
(>12 minggu), akut rekuren (4 episode/tahun ditambah setiap episode berlangsung
13

7 hingga 10 hari ditambah tidak adanya tanda-tanda rinosinusitis kronik), dan


kronik eksaserbasi akut (rinosinusitis kronik yang memburuk secara tiba-tiba,
kembali ke fase awal penyakit setelah dilakukan perawatan). Untuk tujuan praktis,
maka praktisi kesehatan lebih menyukai 2 kategori saja, yaitu akut dan kronik.
Rinosinusitis akut biasanya sebab aslinya ialah infeksi, sedangkan bentuk kroniknya
mungkin ialah hasil dari proses inflamasi dengan rentang yang luas. Rinosinusitis
kronik lebih jarang disebabkan oleh sebab bakterial dan secara luas dibagi kembali
menjadi 2 kategori umum, seperti yang sudah dikemukakan di atas yaitu perubahan
mukosa hiperplastik dengan polip dan yang tanpa polip.5,9
Mendiagnosis secara klinis rinosinusitis kronik selalu terbilang cukup sulit,
kesulitan timbul dari mendefinisikan penyakit ini secara akurat serta akibat tandatanda yang muncul bervariasi pada pasien dengan rinosinusitis kronik. Bahkan,
seringkali gejalanya dapat meniru kondisi klinis lainnya dengan onset yang seringkali
tidak diketahui. Selain itu, rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang terbentuk
dari fenotipe yang multipel, tiap fenotipe dengan karakteristik yang unik. Dikatakan
dahulu bahwa diagnosis rinosinusitis kronik dapat dibuat bila pasien memiliki 2 atau
lebih faktor mayor atau 1 mayor dan 2 faktor minor dan ke semua gejala ini
berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Namun, tentu saja kriteria ini masih
memiliki objektivitas yang rendah.9

Gambar 2. Faktor mayor dan minor rinosinusitis5


Beberapa studi yang dilakukan belakangan ini, mendemonstrasikan bahwa
definisi berbasis gejala untuk rinosinusitis kurang sempurna untuk memprediksikan
apakah pasien benar mengalami rinosinusitis. Sekitar 73% pasien rinosinusitis kronik
yang didiagnosis dengan menggunakan skema gejala, tidak memiliki gambaran
14

endoskopi objektif atau temuan CT yang mendukung diagnosis. Terdapat korelasi


yang lemah dan cukup signifikan antara skor gejala dan kehadiran penyakit seperti
yang sudah didiagnosis melalui CT, dengan beberapa faktor mayor yang sudah
diungkapkan sebelumnya. Secara keseluruhan, ada lebih dari setengah pasien yang
memiliki kriteria diagnosis rinosinusitis, namun ternyata tidak memiliki bukti
penyakit setelah dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Dapat disimpulkan bahwa,
instrumen diagnosis berbasis gejala, memiliki sensitivitas yang baik namun
spesifisitasnya sangat buruk untuk mendeteksi pasien yang positif pada pemeriksaan
CT-Scan. Keterbatasan inilah yang menimbulkan pertanyaan mengenai reliabilitas
kriteria yang digunakan dalam definisi berbasis gejala untuk rinosinusitis.5,9
Beranjak dari keterbatasan itulah, maka saat ini diagnosis akurat rinosinusitis
didasarkan pada kombinasi dari gejala dan investigasi objektif. European Position
Paper on Rhinosinusitis baru-baru ini merekomendasikan diagnosis rinosinusitis
sebaiknya didasarkan pada hal-hal berikut ini:
Dua atau lebih gejala, salah satu di antaranya ialah sumbatan

hidung/kongesti hidung/nasal obstruction atau nasal discharge:


o Nyeri tekan fasial
o Berkurang atau hilangnya kemampuan menghidu
Sebagai tambahan, sebaiknya ada tanda-tanda objektif penyakit pada
endoskopi nasal dan/atau CT-Scan paranasalis.
o Tanda endoskopik terdapatnya polip; dan/atau sekret mukopurulen
yang secara primer berasal dari meatus medius; dan/atau
edema/sumbatan mukosa yang secara primer terdpaat di meatus
o

medius
Bukti CT adanya perubahan mukosa dalam kompleks ostiomeatal
dan/atau sinus5

2.4. Etiopatogenesis
2.4.1 Etiologi
Saat ini, studi etiologis untuk penyakit ini terutama lebih ditingkatkan pada
sumbatan ostiomeatal, alergi, polip, keadaan immunodefisiensi yang tidak begitu
jelas, dan penyakit gigi. Mikroorganisme lebih sering diketahui sebagai penyebab
sekunder. Semua jenis penyakit yang memproduksi toksin yang dapat mempengaruhi
silia, umumnya memiliki efek negatif terhadap rinosinusitis kronik.10
Rinosinusitis memiliki penyebab yang bermacam-macam, mencakup sebab
infeksi (viral, bakterial dan fungal), anatomis, allergika, disfungsi mukosilier genetik
15

ataupun kongenital (kistik fibrosis, diskinesia silia primer atau yang didapat), dan
gangguan sistemik. Kehadiran adanya bakteri di dalam rongga hidung dan sinus
paranasalis pada populasi penderita rinosinusitis telah dilaporkan dan sebagian besar
klinis menganggap bahwa peran bakteri cukup besar dalam banyak kasus. Apakah
bakteri memegang peranan langsung atau tidak langsung terhadap perkembangan
penyakit rinosinusitis kronik ini, belum dapat dipastikan.(ballenger)

Gambar 3. Etiologi terkait patogenesis


rinosinusitis 9

Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berpotensi untuk menyebabkan rinosinusitis pada
seorang individu, antara lain ialah patogen mikroba infeksius, alergi, dan polusi
udara.5
Pasien dengan rinosinusitis melaporkan bahwa gejala mereka dimulai pertama
kali setelah sebuah keadaan infeksi viral akut. Lebih jauh, virus-virus ini dapat
menyebabkan perubahan yang beragam di tingkat seluler, seperti peningkatan adhesi
bakterial dan produksi dari mediator inflamasi oleh sel-sel epitelial hidung. Beragam
studi telah mengevaluasi kehadiran virus pernapasan pada sampel yang diambil dari
pasien dengan rinosinusitis kromik. Ramadan et al menemukan bahwa respiratory
syncytial virus (RSV) terdapat pada 20% sampel yang diambil. Namun studi ini tidak
melaporkan kelompok kontrol, juga waktu pengambilan spesimen, karena RSV lebih
16

sering muncul pada bulan-bulan di musim dingin. Jang et al melaporkan hal yang
serupa dengan sampel yang diambil pada bulan-bulan musim panas, yang
menunjukkan bahwa rinovirus terdapat pada 21% sampel dari pasien rinosinusitis
dan 0% pada kelompok kontrol, namun sampel ini diambil dari konka inferior dan
bukan dari mukosa sinus paranasal. Kontras dengan studi yang sudah dikerjakan
sebelumnya, Wood et al mengumpulkan sampel mukosa sinus dari 13 pasien
rinosinusitis kronis dan 2 kontrol. Tidak ada virus pernapasan, mencakup RSV, dan
rinovirus yang teridentifikasi pada sampel-sampel ini. Oleh karena itu, peran virusvirus ini masih belum dapat dijelaskan secara pasti.8
Rinosinusitis bakterial akut dapat membuat infeksi traktus respiratorius pada
dewasa maupun anak menjadi lebih berat, sekitar 0,5% pada dewasa, dan 5% pada
kasus infeksi pernapasan viral pada anak. Lining mukosa dan sistem pertahanan
hidung dan sinus paranasal dapat dirusak oleh infeksi virus (common cold) yang
menyebabkan lebih mudahnya superinfeksi oleh bakteri, yang menjadi sebab penting
dari rinosinusitis akut. Spesies yang paling umum menjadi penyebab ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzaedan Moraxella catarrhalis. Hal
ini tidak mengejutkan karena memang patogen-patogen ini berkoloni di nasofaring
dan karena itu sangat berpotensi untuk menyebabkan infeksi sekunder. Untuk kasuskasus nosokomial, maka Pseudomonas aeruginosa lah yang berperan, juga pada
individu yang imunokompromais. Rinosinusitis fungal lebih umum ditemui pada
populasi pasien imunokompromais dan diabetes. Telah dipostulasikan juga bahwa
rinosinusitis kronik dapat merupakan hasil lanjutan dari rinosinusitis akut, walaupun
belum dapat dibuktikan secara definitif. Peranan bakteri dalam perkembangan
selanjutnya rinosinusitis kronik masih kontroversial. Hasil isolasi dari bakteri
menunjukkan bahwa terdapat bakteri aerobik dan anaerobik pada pasien dengan
rinosinusitis kronik. Beberapa studi sudah secara konsisten mengisolasi beragam
jenis patogen yang diyakini menjadi penyebab dari infeksi sinus pada rinosinusitis
kronik. Kebanyakan ialah bersifat aerobik (86%), dan sisanya anaerobik pada sekitar
8% pasien. Ada perbedaan yang cukup terlihat antara bakteri yang terdapat pada studi
mikrobiologis rinosinusitis kronik, jika dibandingkan dengan jenis akutnya.
Organisme yang paling sering dapat diisolasi pada rinosinusitis kronik ialah
Staphylococcus aureus (36%), dan Staphylococcus koagulase negatif (20%).
Streptococcus pneumoniae (9%) lebih jarang ditemui pada rinosinusitis kronik
dibandingkan dengan yang akut. Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis
17

nampaknya bukanlah patogen mayor pada rinosinusitis kronik. Seiring dengan durasi
penyakit yang semakin lama, organisme aerobik akan mulai digantikan oleh bakteri
anaerobik, hal ini secara potensial diperantarai oleh perubahan tekanan oksigen di
dalam lingkungan sinonasal yang kian berkurang dan perubahan pH. Kolonisasi
polimikroba juga menjadi gambaran yang umum ditemui pada rinosinusitis kronik.5
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadel et al, dengan identifikasi bakteri
pada 507 kultur yang diambil secara endoskopik, organisme predominan yang
ditemui mencakup S.aureus (31,3%), Stafilokokus koagulase negatif (44,2%), dan
batang

Gram

negatif

(34,3%),

mencakup

Pseudomonas

aeruginosa,

Stenotrophomonas maltophilia, Escherichia coli, dan Serratia marcescens. Bakteribakteri ini ditemukan pada isolasi namun seringkali polimikrobial dengan 2 atau
lebih spesies bakteria yang ko-eksis.8
Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada pasien dengan dan tanpa
rinosinusitis, yang menempati vestibulum hidung pada sekitar sepertiga dari populasi
manusia di waktu tertentu. Bakteri ini selain sering diidentifikasi pada pasien dengan
rinosinusitis kronik, juga terdapat pada infeksi yang melibatkan banyak komunitas
dan hospital-acquired, seperti sepsis dan endokarditis. Perannya terhadap etiologi
rinosinusitis kronis masih belum jelas. Namun diketahui bahwa pasien dengan
S.aureus memiliki skor gejala yang lebih buruk dan kualitas hidup yang lebih rendah
dengan hasil endoskopi nasal post-operasi yang lebih buruk dibandingkan dengan
pasien tanpa biofilm S.aureus.8
Hipotesis superantigen menyatakan bahwa S.aureus mensekresikan protein
dengan berat molekul tinggi yang diketahui sebagai enterotoksin. Enterotoksin ini
memiliki aktivitas stimulatorik yang signifikan yang dapat mendukung perubahan
respons jaringan pada pasien dengan polip. Sekitar 50% pasien rinosinusitis kronik
dengan polip, menunjukkan respon limfosit yang konsisten terhadap pajanan
superantigen. Tambahan lagi, antibodi IgE spesifik terhadap toksin stafilokokal telah
dideteksi pada 18 dari 23 pasien dengan polip hidung. Hubungan antara superantigen
dengan rinosinusitis kronik tanpa polip hidung masih belum diketahui.
Batang Gram negatif sering diidentifikasi pada pasien yang telah menjalani
pembedahan

sebelumnya.

Pseudomonas

aeruginosa

ialah

organisme

yang

problematik, telah lama dikenali sebagai patogen yang penting pada pasien dengan
kistik fibrosis.

Salah satu tantangan dalam menghadapi P.aeruginosa ialah

kemampuannya untuk membentuk biofilm yang selanjutnya dapat berakibat


refrakternya bakteri ini pada pasien rinosinusitis kronik. Dengan terbatasnya
18

antibiotik oral yang dapat digunakan secara efektif terhadap kuman ini, maka
pengobatan terhadap kuman ini menjadi penting untuk diselidiki terutama pada
eksaserbasi rinosinusitis kronik infeksius.
Stenotrophomonas maltophilia ialah basilus Gram negatif yang bersifat multidrug

resistanti

dan

seringkali

ditemukan

pada

pasien

dalam

keadaan

imunokompromais dan pasien ICU. Kuman ini telah dikultur dari sinus paranasal,
sering pada keadaan dimana pasien sudah pernah menjalani pembedahan endoskopik
sinus sebelumnya dan terapi antimikroba. Masih belum jelas apakah kuman ini
merupakan berperan dalam infeksi sebenarnya atau kolonisasinya terjadi setelah
eradikasi kuman lain oleh terapi antimikroba. Mengingat kuman ini yang resisten
terhadap banyak obat, maka kuman ini patut dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kegagalan dalam terapi yang diberikan.
Jamur juga sudah diisolasi dari rongga sinus pada pasien rinosinusitis, tapi
tidak ada bukti yang dapat menjelaskan kausalitasnya. Walaupun proliferasi fungal
dan invasi dari spesies-spesies seperti Mucor, Alternaria, Candida, Curvularia,
Bipolaris, Sporothrix schenckii, dan Pseudallescheria boydii dapat terjadi pada
pasien imunokompromais, kaskade respons inflamatorik yang dipicu oleh jamur
nampaknya lebih penting menjadi faktor etiologik pada rinosinusitis kronik. Secara
bertahap, melakukan desensitisasi terhadap antigen fungal telah terbukti berguna
dalam mengatasi gejala di antara beberapa pasien dengan rinosinusitis. Namun
penggunaan obat antijamur masih memiliki efikasi yang tidak konsisten pada pasien
rinosinusitis kronik.8
Kaitan yang menunjukkan hubungan antara atopi dan rinosinusitis didasarkan
pada konsep bahwa mukosa dari jalan napas nasal berkelanjutan dengan sinus
paranasal. Pembengkakan mukosa dan edema di sekitar regio kompleks ostiomeatal
dapat memfasilitasi obstruksi dari ostium sinus, mengurangi ventilasi dan
menyebabkan tekanan negatif di dalam rongga sinus.5
Tekanan oksigen yang berkurang di dalam sinus akan mengganggu fungsi
silier, dan kemudian akan menyebabkan gangguan pada drainase mukus; tentu saja
hal ini akan meningkatkan risiko infeksi sekunder. Pajanan berulang terhadap
allergen lebih jauh akan mengurangi ambang respons mukosa terhadap allergen
lainnya, polutan dan iritan, yang secara berkelanjutan akan meningkatkan edema dan
secara efektif meningkatkan kerentanan mukosa terhadap infeksi sekunder bakteri.
Ada beberapa bukti hubungan antara alergi dan rinosinusitis. Sekitar 50% hingga
84% pasien dengan rinosinusitis kronik atau rekuren paling tidak memiliki satu
19

positif pada skin prick test. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Benninger,
melaporkan bahwa 54% pasien dengan rinosinusitis kronik memiliki uji skin prick
test yang positif pula.
Enam puluh persen pasien pada studi alergik kohort menunjukkan sensitivitas
alergik yang signifikan, dengan 52% positif untuk sensitivitas terhadap allergen yang
bermacam-macam, terutama terhadap tungau debu rumah. Yang lebih menarik lagi,
walaupun banyak studi melaporkan insidens yang lebih tinggi dari temuan CT positif
pada pasien rinosinusitis dengan derajat lebih tinggi sensitivitas, namun studi lain
mengindikasikan bahwa derajat alergi tidak berkorelasi dengan keparahan
penyakitnya seperti yang sudah dikaji dengan CT-Scan. Hal ini dapat diartikan bahwa
walaupun alergi dapat menjadi predisposisi rinosinusitis, perkembangan gejala yang
sebenarnya,

melibatkan

proses

yang

multifaktorial.

Tambahan

lagi,

studi

epidemiologis yang menyelidiki rinosinusitis kronik mengungkap tidak adanya


peningkatan insidens selama musim penyerbukan pada pasien yang tersensitisasi
serbuk sari, sehingga hubungan antara alergi dan rinosinusitis kronik bukanlah
berupa hubungan kausatif.
Secara keseluruhan, peran alergi dalam rinosinusitis masih belum jelas,
sebelum dapat dilakukan studi prospektif yang dapat menunjukkan secara jelas
hubungan antara alergi dengan rinosinusitis infektif.5,8
Beberapa studi pernah dilakukan untuk memeriksa hubungan antara polutan di
udara dan insidens atau prevalensi rinosinusitis kronik. Bhattacharyya melakukan
analisis kros-seksional untuk memeriksa hubungan antara prevalensi dari hay fever
dan sinusitis dan pengukuran kualitas udara Amerika Serikat selama periode 19972006. Menggunakan National Health Interview Survey dan data tingkat polutan dari
US Environmental Protection Agency, sebuah hubungan langsung ditemukan antara
baik hay fever dan sinusitis dan kadar polutan karbonmonoksida, nitrous dioxide,
sulfur dioksida, dan partikel-partikel lainnya. Sebagai perbandingan yang cukup
jelas, kondisi gagal ginjal pada kelompok kontrol justru menunjukkan hubungan
yang sangat lemah dengan parameter ini. Studi ini tidak memeriksa perbedaan
regional dari hay fever, sinusitis, dan kadar polutan, seperti pada area pedesaan
dengan area perkotaan. Polusi udara yang bersifat iritan mencakup sulfur dioksida,
ozon, dan formaldehid (polutan indoor) telah dilaporkan mempengaruhi secara
negatif klirens mukosilier.11
Banyak studi juga telah mengeksplor hubungan antara polusi udara luar
ruangan dan rinosinusitis kronik. Studi epidemiologis dari Brazil mendemonstrasikan
20

bahwa pajanan kronik terhadap polusi udara daerah padat penduduk berhubungan
dengan prevalensi rinosinusitis dan infeksi saluran napas atas yang lebih tinggi,
daripada pada anak yang didiagnosis dari area pedesaan, yang merupakan lingkungan
bebas polusi. Efek ini nyatanya telah diobservasi berkaitan dengan peningkatan
kerusakan ultrastruktural dari silia epitelium jalan napas pada tikus yang terpajang
pada kadar polusi yang sama. Sebagai perbandingan yang kontras, sebuah laporan
dari Korea menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada prevalensi antara
rinosinusitis kronik di area perkotaan dan di area pedesaan. Baru-baru ini, sebuah
investigasi terhadap kaitan antara polusi udaran dan rinosinusitis kronik dilakukan di
Jerman mengungkap bahwa distribusi spasial dari rinosinusitis kronik berkorelasi
dengan area dimana polusi udaranya melebihi ambang batas bawah. Merokok juga
dikaitkan berhubungan dengan prevalensi rinosinusitis yang lebih tinggi, walaupun
studi yang lebih jauh gagal mengkonfirmasi temuan ini. Faktor lingkungan tidak
diragukan lagi memainkan peranan dalam patofisologi rinosinusitis, tapi bukti
histopatologik in vitro yang konfirmatorik masih jarang ditemukan.5
Faktor anatomis
Variasi anatomis tertentu seperti deviasi septal, sel Haller, konka media yang
melengkung secara paradoksikal, dan sel agger nasi telah dilaporkan menjadi
predisposisi sumbatan dari kompleks ostiomeatal, yang menyebabkan rinonsinusitis
kronik. Namun, saat ini bukti yang masih ada cukup sedikit bahwa kesemua hal ini
memainkan peran pada sebagian besar kasus sinusitis kronik. Lebih jauh, studi barubaru ini pada populasi pediatrik menemukan tidak adanya korelasi antara
abnormalitas anatomis dan rinosinusitis kronik pada gambaran CT sinus.11
Faktor anatomis yang juga dikatakan berperan sebagai faktor berkembangnya
rinosinusitis kronik ialah konka media yang mengalami pneumatisasi (concha
bullosa), dan variasi dari prosesus unsinatus. Walaupun banyak mekanisme
variabilitas anatomis yang berujung pada rinosinusitis kronik, namun beberapa studi
justru telah menunjukkan tidak adanya perbedaan prevalensi antara variasi anatomis
pasien dengan rinosinusitis kronik dan pasien tanpa rinosinusitis kronik. Sebuah
review sistematis mengenai peran deviasi septal terhadap rinosinusitis kronik,
menyimpulkan bahwa peningkatan sudut defleksi septal

diasosiasikan dengan

peningkatan sejumlah kecil prevalensi rinosinusitis kronik yang signifikan. Namun


berdasarkan informasi yang ada sekarang, peran pasti dari variasi anatomis masih
belum jelas. Nampaknya, ventilasi sinus yang terganggu dapat merupakan akibat dari

21

variasi anatomis, tapi faktor ini bila hanya berdiri sendiri tidak cukup untuk dapat
menyebabkan berkembangnya rinosinusitis kronik.8
Dalam beberapa kasus, rinosinusitis kronik berkembang dari infeksi bakteri
kronis di dalam rongga sinus terutama pada ostium yang tersumbat secara anatomis.
Abnormalitas anatomis akan menyebabkan saluran yang sempit sehingga akan
mempredisposisi individu untuk mengalami rinosinusitis kronik, khususnya bila
terdapat peradangan yang reversibel. Variasi anatomis tertentu dapat juga
mempredisposisi seseorang pada rinosinusitis kronik, mencakup sel-sel Haller
(infundibuler), silent sinus syndrome, atau traktus aliran keluar sinus frontal yang
sempit dari agger nasi yang besar atau sel-sel frontal. Sekali ostium teroklusi,
hipoksia lokal akan terjadi di dalam rongga sinus dan sekresi sinus akan
terakumulasi. Kemudian akan tercipta lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan
bakteri yang cepat. Toksin bakteri dan mediator endogen secara bertahap akan
merusak epitelium saluran napas yang bersilia, sehingga menyebabkan penurunan
pembersihan mukosilier. Stasis sekresi sinus akan menyebabkan siklus yang terus
berlanjut dan infeksi akan terus berlanjut.
Klirens mukosilier khususnya penting untuk menjaga homeostasis sinus-sinus
paranasal dan membutuhkan penjelasan lebih jauh. Pergerakan silier dari epitelium
akan membuang allergen, bakteri dan polutan yang terperangkap di dalam mukus
atau lapisan gel dari palut mukosilier melalui jalur drainase alami. Mukus akan
tersimpan di dalam cairan perisilier atau lapisan sol yang memudahkan eliminasi
secara cepat sekresi yang kental. Klirens mukosilier dapat terganggu akibat fungsi
silier yang defektif, karena faktor intrinsik atau ekstrinsik atau karena gangguan dari
produksi dan kekentalan mukus. Faktor intrinsik yang menyebabkan disfungsi silier,
antara lain diskinesia silier primer atau sindroma Kartagener. Faktor ekstrinsik yang
menganggu klirens mukosilier mencakup cidera oleh karena iritan lingkungan,
mediator endogen inflamasi, atau cidera bedah. Pasien dengan kistik fibrosis
memiliki mukus dengan kekentalan tinggi akibat gangguan dari transpor air dan
elektrolit. Lapisan gel dan sol dari palut lendir ialah yang paling terkena, sehingga
akan mengganggu penghilangan bakteri. Iritan airborne, alergen, pajanan terhadap
udara dingin, atau infeksi saluran napas atas akibat virus dapat menyebabkan
peningkatan produksi mukus dan melebih kadar yang bisa dibersihkan melalui sistem
klirens mukosilier. Semua faktor ini akan berujung pada akumulasi mukus di dalam

22

sinus, menurunkan pembersihan bakteri, dan menciptakan lingkungan yang sangat


mendukung pertumbuhan bakteri.9
Fungsi silier yang utuh ialah mekanisme pertahanan kunci untuk melawan
infeksi dari sinus paranasal dan mukosa nasal. Aliran mukosilier dapat menurun
akibat rinosinusitis viral, yang menyebabkan kerusakan silia selama minggu pertama
infeksi. Regenerasi fungsi silier dapat terjadi, tapi mulanya hanya terdiri dari silia
yang pendek dan immatur yang tidak begitu efisien dalam menjaga aliran mukosilier.
Secara bertahap, risiko superinfeksi bakteri meningkat, yang akan menyebabkan
hilangnya silia lebih banyak, dan semakin mendukung infeksi yang sedang
berlangsung. Hasilnya, diskinesia silier sekunder terjadi akibat rinosinusitis kronik,
memungkinkan persistensi infeksi. Pentingnya fungsi klirens mukosilier terutama
dapat dilihat pada diskinesia silier primer, seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu
sindroma Kartagener, yang terjadi pada pasien dengan keluhan rinosinusitis kronik
dan rekuren.5,9
Faktor kelainan sistemik individu
Beberapa kelainan sistemik invididu yang menjadi predisposisi rinosinusitis
kronik, antara lain berupa keadaan imunodefisiensi dan penyakit-penyakit sistemik
lainnya seperti kistik fibrosis, sarkoidosis, imunodefisiensi primer, granulomatosis
Wegener, dan diskinesia silier.
Sarkoidosis ialah penyakit multisistemik yang cukup umum. Khas dari
penyakit ini ialah keberedaan granuloma non-caseating. Mukosa nasal terlibat pada
hingga 20% pasien. Selain keterlibatan sinus nasal, tanda dan gejala lain yang tipikal
juga melibatkan paru-paru. Temuan hidung yang paling umum ialah kongesti nasal.
Sarkoidosis sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit multisistemik
atau pada penderita yang dapat diatasi dengan perawatan standar.
Granulomatosis Wegener ialah penyakit autoimun

sistemik

yang

dikarakteristikan dengan adanya vaskulitis nekrotisasi dari traktus respiratorius atas


dan bawah. Pasien datang dengan keluhan epistaksis, sinusitis refrakter, otitis serosa,
infiltrat paru noduler, dan focal necrotizing glomerulonephritis. Sinusitis kronik
dapat mendahului manifestasi di paru dan ginjal selama bertahun-tahun sebelum
penyakit menjadi fatal. Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan
rinosinusitis kronik yang tidak dapat diatasi dengan terapi konvensional. Diagnosis
dapat dikonfirmasi dengan keberadaan c-ANCA. Spesimen dari hasil biopsi
menunjukkan adanya vaskulitis dari arteri-arteri kecil dan vena dengan pembentukan
granuloma.
23

Diskinesia silier secara khas terlihat sebagai pasien dengan sinusitis persisten
atau rekuren. Dikarenakan kemampuan untuk membersihkan mukus dan bakteri
terganggu, infeksi saluran napas atas dan bawah yang muncul biasanya berlangsung
cukup lama. Pasien sering bergejala sebagai batuk yang produktif dengan
bronkiektasis yang mendasarinya. Subgrup spesifiknya ialah Kartagener yang
dicirikan dengan sinusitis rekuren, polip nasal, situs inversus, infertilitas, dan
bronkiektasis. Tes screening untuk fungsi silier ialah dengan menggunakan tes
sakarin, yang mengukur jumlah waktu yang diperlukan pasien untuk merasakan
sakarin setelah diletakkan di konka inferior. Waktu umumnya ialah 15-20 menit.
Persepsi sakarin yang tertunda sugestif untuk gangguan motilitas. Pemeriksan
mikroskop elektron silia yang diambil dengan sampel sikat juga dapat menjadi cara
untuk mendokumentasikan struktur silia yang abnormal.12
Keadaan imunokompromais juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
rinosinusitis, dan biasanya pemeriksaan imunologis menjadi komponen penting
dalam

pemeriksaan

diagnostik

rinosinusitis

kronik

atau

rekuren.

Kadar

imunoglobulin yang rendah baik IgG, IgA, dan IgM telah ditemukan secara berurutan
pada 17,9%, 16,7%, dan 5,1% pasien dengan rinosinusitis yang refrakter. Defisiensi
IgA selektif juga ditemukan pada 6% kasus. Faktor defisiensi imun ini sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien rinosinusitis kronik dengan pola infeksi rekuren yang
purulen. Pada populasi pediatrik yang dipelajari oleh Shapiro et al, menemukan
bahwa 34 dari 61 anak-anak dengan sinusitis refrakter nyatanya memiliki hasil
abnormal ketika dilakukan studi imun, dengan kadar IgG3 yang menurun dan respons
yang buruk terhadap antigen pneumokokal. Pada pasien dewasa, Vanlerberghe et al
menemukan bahwa IgG2, IgG3 atau defek kombinasi atau subkelas IgG mayor atau
minor terjadi pada 22,8% pasien dengan rinosinusitis kronik.5,11
Empat puluh persen studi kohort telah mengkaji secara bertahap fungsi
limfosit T, dan menemukan bahwa 54,8% kasus menunjukkan adanya respons
proliferasi

abnormal

terhadap

antigen.

Ataksia

telangiektasia

dan

agammaglobulinemia terkait X juga dikaitkan dengan rinosinusitis. Dengan


peningkatan insidens dari AIDS, beberapa investigator telah mempelajari hubungan
antara infeksi HIV dengan risiko rinosinusitis. Keadaan imunitas seluler dan humoral
yang tersupresi, klirens mukosilier yang terganggu, dan peningkatan kadar IgE pada
pasien AIDS secara teoritis meningkatkan risiko rinosinusitis. Yang lebih menarik,
rinosinusitis tidak secara konsisten dikaitkan dengan infeksi HIV, walaupun kadar
24

hitung CD4 yang rendah nampaknya menjadi predisposisi penyakit sinus.


Peningkatan risiko infeksi dan kolonisasi sinus akibat mikroba oportunistik seperti
spesies Aspergillus dan Pseudomonas aeruginosa pada pasien AIDS nampaknya ikut
bertanggung jawab terhadap gejala sinonasal pada beberapa individu.5
Refluks gastroesofageal, secara spesifik refluks laringofaringeal telah diyakini
sebagai faktor kontributif terjadinya rinosinusitis kronik. Mekanisme terjadinya
diyakini disebabkan oleh karena efek langsung refluksat ke mukosa hidung/sinus,
walaupun tidak ada efek LPR terhadap klirens mukosilier hidung yang dapat
dibuktikan. Pasien dengan refluks yang menjalani monitoring pH sering
menunjukkan adanya refluks asam intermiten hingga ke nasofaring. Anak-anak
umumnya cenderung lebih rentan, dengan adanya pepsin lambung yang terdeteksi
pada sekret otits media efusi. Satu studi menemukan bahwa pasien dengan LPR
memiliki skor yang lebih tinggi pada Sinonasal Outcome Test (SNOT-20) bahkan
ketika tidak ada diagnosis rinosinusitis kromik dan studi lainnya menunjukkan bahwa
pasien dengan LPR memiliki skor yang lebih tinggi untuk drainase post-nasalnya.
Walau begitu, tidak ada studi yang dilakukan untuk menunjukkan perbaikan
rinosinusitis kronik dengan terapi antirefluks. Sehingga, diperlukan lebih banyak
studi untuk menunjukkan bukti kausalitas antara refluks laringofaringeal dan
rinosinusitis, yang mana hasilnya dapat benar-benar secara potensial mempengaruhi
manajemen sejumlah pasien.5,11
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa gangguan mukosilier dapat
merupakan komponen dari kistik fibrosis dan diskinesia silier primer. Kistik fibrosis
adalah suatu kondisi autosom resesif. Oleh karena tingginya prevalensi dari mutasi
F508 pada populasi Kaukasia, maka diagnosis ini sebaiknya selalu dipertimbangkan
pada pasien rinosinusitis dengan/atau tanpa polip nasal. Rinosinusitis kronik dan
polip hidung ditemukan pada 25% hingga 40% pasien kistik fibrosis di atas umur 5
tahun.5
Perubahan hormonal yang terjadi pada masa kehamilan dikaitkan dengan
peningkatan kongesti hidung pada sekitar 20% wanita selama masa hamilnya.
Mekanisme pastinya di balik pengamatan ini masih belum dapat dijelaskan, namun
secara potensial mencakup efek dari progesteron, estrogen dan human placental
growth hormone pada mukosa hidung dan vaskulatur yang mendukungnya. Pada
studi prospektif, 61% wanita hamil mengalami kongesti nasal selama trimester ketiga
namun hanya 3% saja yang didiagnosis dengan rinosinusitis.5
2.4.2 Patogenesis
25

Stasis sekresi di dalam sinus dapat dipicu oleh (1) obstruksi mekanis di
kompleks ostioematal oleh karena faktor anatomis atau (2) edema mukosa yang
disebabkan oleh etiologi yang bervariasi (misal: rinitis alergika atau viral akut)
Stagnasi mukus di dalam sinus akan membentuk suatu medium yang potensial
untuk pertumbuhan sejumlah besar patogen. Fase awal sinusitis sering berupa infeksi
viral yang berlangsung hingga 10 hari dan biasanya akan mengalami perbaikan
sempurna dalam 99% kasus. Walau begitu, sejumlah kecil pasien dapat mengalami
infeksi bakteri sekunder yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (misal:
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis).
Mulanya, sinusitis akut hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan
persistensnya infeksi, maka patogen yang ditemukan akan bervariasi, mulai dari
organisme anaerobik, dalam beberapa kasus jamur, yang ikut berpartisipasi dalam
patogenesis sinusitis kronik, dengan baktero anaerobik atau flora yang berasal dari
mulut biasanya mendominasi. Dalam satu studi, perubahan bakteri ini dibuktikan
dengan aspirasi endoskopik berulang pasien dengan sinusitis maksilaris. Sebagian
besar kasus sinusitis kronik disebabkan karena sinusitis akut yang tidak terobati atau
tidak berespon terhadap perawatan.
Peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kromik saat ini masih dikaji ulang.
Infeksi yang berulang dan persisten dapat berkembang pada individu dengan keadaan
imunodefisiensi kongenital atau didapat yang berat, atau pada pasien dengan kistik
fibrosis. Pemikiran saat ini masih terbatas pada pemahaman bahwa rinosinusitis
kronik secara dominan disebabkan oleh penyakit inflamatorik multifaktorial. Faktorfaktor yang berperan antara lain infeksi persisten (mencakup biofilm atau osteitis,
kelainan alergi atau imunologis lainnya, faktor intrinsik dari saluran napas atas,
superantigen, kolonisasi fungsi yang menginduksi inflamasi eosinofilik, abnormalitas
metabolik seperti sensitivitas aspirin. Kesemua faktor ini dapat memainkan peranan
dalam menyebabkan gangguan dalam sistem transpor mukosilier. Patensi ostium
sinus yang terganggu, fungsi silier, dan kualitas sekret lah yang memicu stagnasi
sekret, menurunnnya pH, dan tekanan oksigen di dalam sinus. Perubahan-perubahan
inilah yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri yang selanjutnya semakin
meningkatkan derajat peradangan mukosa.10
2.5. Epidemiologi
Prevalensi yang ada saat ini masih terbatas data prevalensi rinosinusitis kronik
di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, rinosinusits kronik ialah satu dari sekian
penyakit kronik yang umum dijumpai, yang terjadi pada semua kelompok usia.
26

Prevalens keseluruhan dari rinosinusitis kronik di Amerika Serikat ialah 146 per 1000
populasi. Untuk alasan yang tidak diketahui, insidensi dari penyakit ini nampaknya
meningkat setiap tahunnya. Hal inilah yang menyebabkan paling tidak adanya 18-22
juta kunjungan pasien ke dokter di Amerika Serikat setiap tahun dan biaya
pengobatan yang dihabiskan mencapai 3,4- 5 juta milyar dollar Amerika Serikat tiap
tahunnya. Sinusitis kromik ialah penyakit kelima paling umum yang diterapi dengan
menggunakan antibiotik. Enam puluh empat persen pasien dengan AIDS umumnya
akan mengalami sinusitis kronik.
Sebagai penyakit yang umum terjadi secara luas di belahan dunia manapun,
rinosinusitis kronik terutama terjadi di tempat-tempat dengan kadar polusi atmosferik
yang tinggi. Di belahan dunia utara, iklim dengan suhu yang lembab disertai dengan
konsentrasi serbuk yang tinggi dikorelasikan dengan prevalensi sinusitis kronik yang
lebih tinggi.
Rinosinusitis tergolong cukup umum pada populasi pediatrik karena istilah ini
mencakup infeksi bentuk akut dan kroniknya, dan baik penyakit yang karena bakteri
ataupun karena virus. Nampaknya hal ini disebabkanya oleh karena meningkatnya
pajanan, sekunder terhadap infeksi saluran napas pada populasi pediatrik.9,10
2.6. Manifestasi Klinis
Riwayat pasien ialah hal yang penting dalam rinosinusitis kronik karena
tumpang tindihnya gejala sinus dan proses penyakit lainnya, juga karena korelasi
yang buruk antara gejala dengan temuan endoskopik atau radiografik. Sinusitis
kronik memiliki manifestasi yang lebih subtle dibandingkan dengan sinusitis akut.
Walaupun sinusitis kronik ini dapat mulai secara tiba-tiba, sebagai infeksi saluran
napas atau sinusitis akut yang tidak membaik, atau dapat pula berprogresi secara
lambat selama berbulan-bulan atau tahun. Gejala khas yang terdapat pada sinusitis
akut, seperti demam dan nyeri tekan fasial biasanya tidak ada pada sinusitis kronik.
Demam, bila pun ada, biasanya hanya berupa demam ringan. Pasien dengan sinusitis
kronik dapat memiliki gejala sumbatan hidung/rasa penuh di hidung, keluar sekret
dari hidung (sekret dengan konsistensi apapun, mulai dari sekret tipis hingga tebal,
dan sekret jernih hingga purulen), postnasal drip, rasa penuh pada muka atau rasa
nyeri/tidak nyama dan sakit kepala (lebih berat dengan poliposis hidung), batuk
kronik yang tidak produktif (umumnya pada anak), hiposmia atau anosmia, sakit
tenggorokan, napas bau, malaise, mudah lelah, anoreksia, eksaserbasi asma, nyeri
gigi (gigi atas), gangguan penglihatan, bersin-bersin, hidung terasa penuh, demam
tanpa sebab yang jelas.
27

Pada kasus-kasus pediatrik, halitosis dilaporkan lebih umum terjadi oleh orang
tua yang memiliki anak kecil. Sumbatan hidung dengan pernapasan mulut disertai
sakit tenggorokan dapat pula ditemukan. Pada beberapa individu dengan sinusitis
kronik, orangtua dapat mencatat adanya pembengkakan pada mata di pagi hari yang
tidak sakit. Anak yang lebih besar dapat mengeluh hilangnya pengecapan akibat
sumbatan hidung dan anosmia. Gejala malam hari mencakup mendengkur, dan batuk
akibat adanya postnasal drip. Riwayat pasien sebaiknya difokuskan pada faktorfaktor kunci berikut ini, dimulai dengan kriteria diagnostik mayor dan minor yaitu
adanya gejala mayor (mencakup drainase purulen dari hidung anterior, drainase
purulen dari hidung posterior, sumbatan hidung, nyeri tekan wajah atau terasa penuh,
hiposmia atau anosmia), adanya gejala minor (mencakup sakit kepala, nyeri telinga
atau rasa penuh pada telinga, halitosis, nyeri dental, batuk, demam, kelelahan), durasi
gejala, faktor yang memperberat dan memperingan, pengobatan saat ini, pembedahan
hidung atau sinus paranasal sebelumnya, gambaran radiografi sebelumnya, masalah
kesehatan lainnya (mencakup asma, alergi, dan gangguan imunokompromais),
merokok aktif atau pasif, dan pajanan terhadap alergen. Lokasi nyeri alih ada di
beberapa tempat, antara lain nyeri dental/pipi untuk sinus maksilaris, nyeri di antara
mata untuk sinus etmoidalis, nyeri di dahi untuk sinus frontalis, dan nyeri pada ubunubun/vertex untuk sinus sfenoidalis.10,13,14
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Sebelum melakukan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik pada pasien
harus dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan harus mencakup pemeriksaan
kepala dan leher secara lengkap untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk
menyingkirkan kelainan yang serius. Palpasi sinus dilakukan untuk mengevaluasi
nyeri tekan atau pembengkakan. Nyeri atau nyeri tekan pada palpasi sinus frontalis
dan sinus maksilaris sebaiknya dicatat. Pemeriksaan transiluminasi mungkin berguna
namun memiliki sensitivitas yang rendah, pada pemeriksa yang berpengalaman,
hasilnya dapat bermakna. Pemeriksaan rongga mulut dan orofaring digunakan untuk
mengevaluasi integritas palatum dan kondisi gigi sekaligus untuk mencari bukti
postnasal drip. Eritema orofaringeal dan sekret purulen sebaiknya dicatat. Karies
dentis dapat saja ada. Rinoskopi anterior dengan menggunakan spekulum nasal
digunakan untuk mengevaluasi kondisi mukosa hidung dan untuk melihat bukti
drainase purulen atau adanya polip atau massa lainnya. Faktor lain yang
berkontribusi terhadap rinosinusitis kronik yang dapat dievaluasi ialah deviasi
28

septum nasal dan hipertrofi konka. Pemeriksaan hidung harus dilakukan sebelum dan
sesudah digunakan dekongestan topikal. Pemeriksaan hidung dengan menggunakan
endoskopi hidung dapat menemukan adanya mukosa hidung yang kemerahan dan
bengkak, sekret purulen, sumbatan hidung akibat deviasi septum atau konka yang
hipertrofi dan polip hidung. Pemeriksaan telinga untuk mencari adanya cairan di
telinga tengah dapat dilakukan dan merupakan tanda adanya massa di nasofaring.
Pemeriksaan mata untuk mengetahui persebaran penyakit ke orbita dan fungsi otot
penggerak bola mata sebaiknya dilakukan. Manifestasi mata dapat mencakup
kongesti konjungtival, lakrimasi, proptosis, palsi otot ekstraokuler, gangguan
penglihatan. Pemeriksaan laringeal digunakan untuk melihat patologi saluran napas
atas apabila terdapat gejala refluks laringofaringeal. Pemeriksaan paru dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat penyakit saluran napas bawah yang telah ada
sebelumnya. Pemeriksaan saraf kranialis dilakukan untuk melihat keganasan sinus
atau kelainan neurologis yang mungkin ada. Misetoma atau fungus ball dapat saja
ditemukan, dan biasanya dikorelasikan dengan keadaan sinusitis fungal alergika.10,14
Dalam merencanakan pemeriksaan penunjang maka selalu pertimbangkan
kondisi yang mendasari, seperti tumor dan keadaan imunodefisiensi. Umumnya, foto
polos memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. CT-Scan dipertimbangkan
sebagai standar pencitraan untuk mengevaluasi sinusitis kronik. Hitung sel darah
rutin dan laju endap darh umumnya tidak membantu namun mungkin saja meningkat
pada pasien dengan demam. Pemeriksaan penunjang diagnostik paling penting pada
kasus

sinusitis

kronik

ialah

pemeriksaan

radiologik.

Endoskopi

hidung

direkomendasikan pada sebagian besar kasus sebelum melakukan pemeriksaan


pencitraan, karena dapat digunakan untuk memperlihatkan kondisi mukosa hidung
dan mengevaluasi drainase purulen dari hidung. Temuan radiologis pada individu
dengan sinusitis kronis dapat menunjukkan adanya respon osteoblastik pada dinding
sinus yang terkena, penebalan mukoperiosteal, opasifikasi rongga sinus, dan bahkan
pengurangan ukuran rongga sinus. Anak yang lebih kecil dengan gejala pernapasan
persisten mungkin saja memiliki abnormalitas signifikan yang dapat diobservasi
dengan radiografi sinus. Radiograf ini memberikan evaluasi yang cepat dan noninvasif untuk kesemua sinus paranasal.10
Umumnya pemeriksaan lab hanya dilakukan bila memang hasilnya secara
potensial dapat mempengaruhi pembuatan keputusan dalam menatalaksana pasien.
Sebagai tambahan, pemeriksaan lab dapat dilakukan untuk menegaskan temuan atau
29

justru menyingkirkan temuan. Pemeriksaan alergi ialah salah satu jenis pemeriksaan
lab yang dapat mendukung diagnosis, dan membantu menjelaskan etiologi yang
mendasari. Pemeriksaan serum total dan spesifik IgE dan hitung darah lengkap dapat
digunakan untuk mengkaji eosinofilia pada pasien rinosinusitis kronik dengan polip
hidung. Peningkatan IgE ialah marker yang sesuai untuk penyakit atpik dan dapat
membantu membedakan pasien dengan rinosinusitis kronik fungal alergik dengan
rinosinusitis kronik eosinofilik. Eosinofilia serum dapat menjadi marker untuk
penyakit yang lebih luas dan dapat membantu mengidentifikasi individu yang lebih
refrakter terhadap terapi pembedahan. Pemeriksaan imunologis dapat juga dilakukan
untuk rinosinusitis kromik khususnya pada anak. Pengkajian serum untuk total IgE,
IgE spesifik, IgA, IgG, dan subkelas IgG (IgG 1, IgG2, IgG3, dan IgG4) dan titer
pneumokokal dapat membantu menentukan apakah pasien memiliki defisiensi
imunoglobulin atau memiliki respon imun yang lemah.9,12
Pemeriksaan kultur ialah pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat
keberadaan infeksi sinus. Sampel bisa didapatkan dari rongga sinus atau secara
endoskopik dari ostium. Studi sinusitis kronik mengungkap bahwa tidak ada korelasi
antara flora hidung dan kultur dari sinus. Kultur apus hidung oleh karena itu tidak
memiliki nilai diagnostik.10,12
Pemeriksaan foto polos dapat menunjukkan adanya penebalan mukosa atau
perselubungan pada sinus. Namun, hal ini tidak cukup untuk mendiagnosis
rinosinusitis kronik karena kelainan yang dideteksi pada foto polos tidak sensitif dan
tidak spesifik untuk sinusitis. Pemeriksaan foto polos dilakukan dengan
memposisikan kepala pasien di lateral. Pandangan ini akan memproyeksikan hidung
dan area sekitar muka. Bayangan dari kartilago hidung juga dapat dilihat. Pada
pandangan superoinferior, pasien menahan suatu film dental occlusion di antara gigigeligi. Sinar akan diarahkan dari atas melalui atap hidung ke bagian tengah film.
Cukup sulit untuk memeriksa kesemuan sinus paranasal hanya dengan menggunakan
satu proyeksi, sehingga pemeriksaan pada sinus biasanya membutuhkan banyak
pandangan. Beberapa pandangan standar dapat dilakukan untuk memeriksa kondisi
sinus paranasal, antara lain dengan pandangan oksipitomental (posisi Waters),
pemeriksaan dilakukan pada posisi hidung-dagu dan mulut yang terbuka. Film
terutama didemonstrasikan utamanya di sinus maksilaris, rongga hidung, septum,
sinus frontalis dan beberapa sel-sel etmoidalis. Pandangan yang diambil pada posisi
berdiri dapat menunjukkanya ada fluid level di antrum. Dapat pula dengan padangan
30

oksipitofrontal (posisi Caldwell), dimana dahi pasien dan ujung hidung dijaga agar
bersentuhan dengan film. Pandangan ini terutama berguna untuk sinus frontalis.
Sebagian antrum maksilaris dan rongga hidung juga dapat diperlihatkan. Ada pula
pemeriksaan dengan pandangan submentovertikal, dimana leher dan kepala
diekstensikan secara maksimal sehingga ubun-ubun menghadap film, dan sinar
diarahkan di bawah mandibula. Pandangan ini berguna untuk mendemonstrasikan
sinus sfenoidalis, etmoidalis, nasofaring, apex petrosus, dinding posterior dari sinus
maksilaris dan fraktur lengkung zigomatikus. Pemeriksaan terakhir ialah dengan
pandangan lateral dimana posisi kepala pasien ditempatkan lateral sehingga
berlawanan dengan film dan sinar diarahkan di belakang kantus luar mata menuju
film. Pada foto polos, sinus normal akan tampak terisi udara dengan rongga yang
translusen. Perselubungan sinus dapat disebabkan oleh cairan, penebalan mukosa
atau tumor. Erosi tulang dapat terjadi akibat tumor, osteomielitis atau mukokel.4,10,12

Gambar 4. Variasi posisi pada pemeriksaan foto polos sinus paranasal4

Air-fluid levels jarang ditemukan pada sinusitis kronik. Sinus etmoid dan
kompleks ostiomeatal tidak dapat digambarkan dengan baik pada foto polos. CT Scan
sinus multiplanar ialah teknik pencitraan yang lebih dipilih untuk mengevaluasi
rinosinusitis kronik. Sinusitis dicirikan dengan adanya penebalan mukosa sinus,
obstruksi ostial sinus, dan perselubungan pada sinus. Temuan lain dapat berupa polip,
mukokel, dan perubahan tulang oleh karena rinosinusitis kronik (sklerosis, septasi,
dan erosi). CT-Scan dengan kontras ialah kriteria radiologik standar yang digunakan
untuk mengevaluasi sinus, walaupun pemeriksaan ini biasanya mahal dan tidak
31

dibutuhkan secara medis. CT-Scan umumnya dilakukan setelah terjadi kegagalan


terapi, sebelum melakukan pembedahan, dan ketika dicurigai terdapat neoplasma. CTScan dengan bantuan pemeriksaan endoskopik dapat membantu dokter bedah untuk
membuat keputusan operatif. Pemeriksaan CT-Scan juga memberikan detail yang baik
khususnya pada kasus lesi-lesi awal yang tidak terlihat hanya dengan foto polos.
Pemeriksaan CT juga pemeriksaan yang paling sensitif untuk mengevaluasi penyakit
sinus, dan sangat berguna untuk melihat perubahan struktur tulang dan kelainan
sinus.4,10
Pemeriksaan biopsi pada mukosa sinus maksilaris pada pasien dengan sinusitis
kronik biasanya akan menunjukkan adanya penebalan membran basal, formasi
kelenjar atipikal, hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel mononuklear, dan edema
subepitelial. Infiltrat sel MN seringkali didominasi oleh eosinofil pada kasus-kasus
kronik.
Pemeriksaan

sinoskopi

ialah

pemeriksaan

yang

dilakukan

untuk

memperlihatkan visualisasi langsung interior dari sinus maksilaris dengan


menggunakan endoskop fiberoptik yang disebut antrumskopi maksilaris. Endoskopi
ini dimasukkan melalu kanula yang dimasukkan ke dalam sinus maksilaris setelah
biasanya dilakukan penusukan antrum, baik melalui rute meatus inferior atau melalui
fosa kanina. Metode diagnostik ini bersifat spesifik dan akurat dibandingkan
pemeriksaan radiologis untuk sinus maksilaris.4,10
2.8. Tatalaksana
Tujuan dari terapi medis pada pasien rinosinusitis kronik ialah untuk
mengurangi edema mukosa, memperbaiki drainase sinus, dan mengeradikasi infeksi
yang ada. Seringkali dibutuhkan kombinasi glukokortikoid oral maupun topikal,
antibiotik, dan irigasi salin hidung. Bila semua tatalaksana ini gagal, pasien
sebaiknya segera dirujuk ke ahli THT untuk dipertimbangkan pembedahan sinus.
Peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kronik sampai saat ini masih diperdebatkan
walau begitu, diagnosis dini dan perawatan yang intensif dengan antibiotik oral,
steroid hidung topikal, dekongestan, dan spray hidung salin, biasanya akan
memberikan pemulihan gejala yang baik dalam beberapa pasien, banyak di antaranya
sembuh. Ketika terapi medikamentosa tidak berhasil, maka pasien perlu dirujuk
untuk dilakukan evaluasi bedah. Rawat inap diperlukan bagi pasien sinusitis kronik
dimana pasien mengalami komplikasi orbital dan intrakranial. Pasien imunosupresif
dan pasien anak dengan sinusitis kronik mungkin memerlukan perawatan rawat inap,
tergantung derajat beratnya penyakit.
32

Tatalaksana yang digunakan menggunakan 2 pendekatan, yaitu tatalaksana


farmakologis dan tatalaksana non-farmakologis.
2.8.1 Tatalaksana Farmakologi

Gambar 5. Evaluasi bertahap untuk rinosinusitis kronik11


Tatalaksana yang dilakukan dapat berupa tatalaksana untuk mengontrol faktor
predisposisi dan dapat pula berupa tatalaksana suportif-simtomatis sekaligus dengan
terapi antibiotik yang diperlukan.
Tatalaksana untuk mengontrol faktor predisposisi diperlukan pada sinusitis
kronik karena penyakit ini memiliki banyak faktor risiko dan etiologi yang potensial.
Untuk infeksi saluran napas atas akibat virus, pasien dapat disarankan untuk
mengurangi pajanan virus dengan meningkatkan kebersihan diri. Peran zink dan
vitamin C dalam mencegah infeksi saluran napas atas akibat virus masih
kontroversial sehingga masih belum dapat dianjurkan rutin. Faktor lingkungan
dan/atau faktor alergi dapat menjadi faktor risiko untuk beberapa individu dengan
sinusitis kronik. Mengurangi pajanan terhadap debu, ngengat, asap rokok dan iritan
kimia di lingkungan lainnya sebaiknya dianjurkan. Untuk pasien dengan alergi
hidung, terapi antialergi mencakup antihistamin oral atau topikal, kromolin, steroid
topikal, dan imunoterapi juga dapat dilakukan untuk mengurangi rekurensi dan gejala
33

rinitis alergika. Berhenti merokok nampaknya memegang pernana penting dalam


meningkatkan kesuksesan terapi medikamentosa dan terapi bedah karena produk
tembakau merupakan iritan bagi mukosa hidung normal dan fungsi silia.
Gejala dapat dipulihkan dengan menggunakan dekongestan topikal, steroid
topikal, antibiotik, salin hidung, kromolin topikal atau mukolitik. Inhalasi uap dan
irigasi salin hidung dapat membantu melembutkan sekret kering, mengurangi edema
mukosa dan mengurangi kekentalan mukus. Terapi steroid oral di awal diikuti dengan
terapi topikal steroid terbukti efektif dibandingkan hanya terapi steroid topikal saja
dalam mengurangi ukuran polip dan meningkatkan fungsi penghidu pasien dengan
rinosinusitis kronik.
Terapi antibiotik yang adekuat pada rinosinusitis kronik biasanya dicoba
minimum selama 3-4 minggu, lebih baik apabila sudah dilakukan kultur sebelumnya.
Regimen antibiotik oral umumnya digunakan untuk mengobati sinusitis kronik,
karena biasanya kondisi ini seringkali secara primer diobati secara rawat jalan. Untuk
kasus-kasus resisten mungkin diperlukan terapi antibiotik intravena. Pilihan
antibiotik awal yang digunakan biasanya bersifat empiris. Kultur sinus tidak secara
umum diambil apabila dicurigai terdapat infeksi community-acquired kecuali terapi
empiris gagal untuk memberikan respons. Obat yang dipilih sebaiknya efektif untuk
melawan sejumlah besar bakteri, mencakup patogen aerobik maupun anaerobik. Bila
terdapat bakteri resisten, seperti bakteri MRSA maka pemberian antibiotik dipilih
yang dapat membunuh bakteri ini pula. Riwayat alergi obat bila ada dan biaya
perawatan juga harus dipikirkan. Bila pasien sudah menerima antibiotik 3 bulan
sebelumnya, maka antibiotik yang berlainan kelas sebaiknya digunakan. Penggunaan
antibiotik menurut rekomendasi konsensus sebenarnya masih kontroversial karena
masih kurangnya bukti ilmiah yang ada. Pasien-pasien yang layak mendapatkan
terapi antibiotik ialah pasien dengan drainase purulen persisten dan adanya bukti
organisme patogen sebagai penyebab infeksi.8,10,11,14
Regimen terapeutik yang digunakan biasanya mencakup kombinasi dari
penisilin (mis: amoksisilin) dengan inhibitor beta laktamase (mis: asam klavulanat),
kombinasi metronidazol dengan makrolid atau dapat pula sefalosporin generasi dua
atau tiga, dan yang paling baru ialah golongan kuinolon (mis: moksifloksasin).
Semua obat ini tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Bila organisme
aerobik Gram negatif terlibat (mis: Pseudomonas aeruginosa), maka terapi parenteral
dengan aminoglikosida, sefalosporin generasi keempat (sefepim atau seftasidim) atau
fluorokuinolon oral atau parenteral (hanya untuk pasien postpubertas) ditambahkan.
34

Terapi parenteral dengan karbapenem (mis: imipenem, meropenem) lebih mahal


namun memberikan coverage spektrum untuk sebagian besar patogen potensial.
Terapi antimikroba parenteral terutama dilakukan untuk pasien-pasien yang gagal
atau tidak dapat mentoleransi penggunaan antibiotik oral dan untuk pasien dengan
komplikasi ekstrasinus, mis: abses epidural. Pemberian terapi makrolid jangka
panjang juga telah direkomendasikan oleh EP3OS berdasarkan studi-studi yang
dianggap sebagai bukti Ib, dan hal ini didasarkan pada keunikan makrolid yang
nyatanya memiliki properti antiinflamasi di samping antiinfeksi. Pada studi yang
dilakukan terhadap makrolid didapatkan hasil bahwa subjek studi mengalami
perbaikan skor gejala, endoskopi nasal, waktu transit sakarin, dan kadar IL-8 setelah
diberikan roksitromisin selama 3 bulan.
Rinosinusitis kronik tanpa polip hidung diobati dengan prednison 20-40 mg
setiap hari dan di-tapper selama 10 hari ditambah dengan steroid intranasal. Terapi
antibiotik biasanya diperlukan selama lebih dari 6 minggu dan tidak berhenti hingga
pasien asimtomatis. Pemberhentian antimikroba sebelum resolusi penuh akan
memicu relaps.10
Terapi kortikosteroid sistemik masih menjadi terapi yang digunakan untuk
rinosinusitis kronik berat dan rinosinusitis dengan polip nasal (polipektomi medis).
Kortikosteroid sistemik ialah agen antiinflamatorik yang poten dengan aktivitas yang
luas dan efektif untuk seluruh kondisi inflamasi. Walaupun terapi ini masih belum
banyak diuji dengan percobaan kontrol-plasebo terkait efikasinya untuk gangguang
inflamasi sinonasal, namun terapi ini telah disetujui berguna untuk memulihkan
secara cepat nyeri tekan pada wajah dan sumbatan hidung dengan mengurangi edema
mukosa. Di tingkat seluler, kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah besar
mediator inflamasi sehingga akan menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
influks sel-sel inflamatorik. Efek dari produksi mediator inflamasi ini khususnya
terlihat pada rinosinusitis kronik dengan polip hidung karena eosinofil membutuhkan
sitokin seperti IL-5 untuk tetap bertahan dna berfungsi. Belum ada guideline resmi
yang membahas mengenai terapi kortikosteroid oral namun secara universal
direkomendasikan untuk dilakukkan tappering-off bila kortikosteroid akan diberikan
lebih dari 2 minggu untuk mencegah krisis Addisonian. Terapi untuk dewasa sehat
dengan derajat poliposis sedang hingga berat dimulai di dosis tengah (40 mg
prednison per hari selama 3 sampai 4 hari), yang di-taper untuk 5 hingga 14 hari ke
depan. Pemberian kortikosteroid oral harus dipikirkan secara baik karena banyaknya
35

efek samping potensial yang dapat timbul seperti supresi aksis hipotalamik-pituitariadrenal, ulkus gaster, gangguan psikiatrik, dan eksaserbasi diabetes, juga efek jangka
panjangnya yaitu osteoporosis, peningkatan berat badan, masalah mata dan
hipertensi. Memisahkan penggunaan kortikosteroid dengan interval 3 bulan dapat
mengurangi risiko penggunaan kortikosteroid kronik.8,11,14
Kortikosteroid topikal intranasal ialah terapi lini pertama pada sebagian besar
pasien rinosinusitis kronik atau pasien rinosinusitik kronik dengan polip hidung
karena terapi ini memberikan banyak keuntungan dari penggunaan kortikosteroid
sistemik tanpa adanya efek samping yang sama. Kadar kortisol yang meningkat
secara signifikan dan penghambatan pertumbuhan pada anak-anak prepubertas belum
pernah dideteksi. Lebih jauh, percobaan klinis telah mengkonfirmasi bahwa
kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan dibandingkan plasebo untuk
mengurangi ukuran polip, memperbaiki kongesti nasal, dan rinorea, dan
meningkatkan peak nasal airflow pada pasien rinosinusitis kronik dengan polip nasal.
Terapi kortikosteroid topikal juga memberikan pemulihan gejala yang cepat selama
terapi antibiotik dilakukan. Semprot hidung kortikosteroid menurunkan produksi
sitokin pro-inflamasi dan menurunkan edema mukosal dan inflamasi melalui
mekanisme yang sama dengan kortikosteroid oral.
Kortikosteroid topikal intranasal sebaiknya diberikan sekali sehari dengan
follow-up dalam 8 hingga 12 minggu untuk rinosinusitis kronik ringan dan
rinosinusitis kronik dengan polip nasal untuk menentukan efek pada gejala dan
ukuran polip. Memposisikan kepala dengan benar penting untuk penggunaan
kortikosteroid topikal ini, pasien sebaiknya diberitahu teknik penyemprotan yang
benar, yaitu dengan membidik ujung semprot ke kantus terluar ipsilateral atau di atas
aurikel.
Kortikosteroid topikal yang biasa digunakan intranasal, antara lain budesonid,
siklesonid, flutikason furoat, flutikason propionat, mometason furoat dan
triamsinolon asetonid. The British Guidelines merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid berupa prednisolon (0,5 mg/kg setiap pagi selama 5-10 hari) diikuti
dengan betametason tetes hidung.8-11,14
Terapi dengan nasal saline juga baiknya dilakukan pada pasien. Terapi ini
dilakukan dengan teknik irigasi hidung dan semprot hidung dengan menggunakan
cairan salin. Terapi ini terbukti efektif sebagai terapi tambahan untuk pasien
rinosinusitis kromik, walaupun kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan
dengan

glukokortikoid

topikal.

Irigasi

hidung

dengan

cairan

salin

ini
36

direkomendasikan untuk mengurangi drainase post-nasal, menghilangkan sekret,


membilas alergen dan iritan, dan meningkatkan klirens mukosilier. Lavase hidung
(dengan menggunakan 200 mL cairan salin yang dihangatkan untuk setiap sisi) dapat
dilakukan dengan beragam cara, baik melalui botol, pompa, semprot, atau nebulizer.
Namun perlu diperhatikan bahwa metode ini dapat juga memberikan efek yang
kurang mengenakkan seperti iritasi hidung, rasa penuh pada telinga, dan sakit kepala,
walau begitu metode ini sudah dibuktikan menjadi bagian yang penting dalam
pengobatan rinosinusitis kronik.8,11,14
Metode pengobatan lain yang dapat digunakan ialah irigasi dengan
menggunkan steroid topikal. Sebuah studi kontrol-plasebo mendemonstrasikan
keuntungan dari kortikosteroid topikal berupa tetes hidung untuk mengobati polip
hidung. Pada studi ini, subjek diarahkan untuk berbaring telentang dengan kepala
tergantung di bawah dalam sebuah posisi inverted vertical di ujung tempat tidur
ketika setetes flutikason propionat 200g diberikan ke setiap lubang hidung sekali
sehari. Kemudian subjek tetap pada posisi ini selama 2 menit. Hasilnya, metode ini
dapat mengurangi kebutuhan pasien untuk melakukan operasi sinus, memperbaiki
hiposmia, dan menurunkan volume polip hidung. Budesonide akuades respul juga
telah digunakan selain tetes hidung flutikason. Keberhasulan terapi ini tergantung
pada cara memberikan steroid topikalnya ke polip dan jaringan polip di sekitar
ostium sinus dan di dalam rongga sinus. Irigasi secara rutin dengan respul budesonid,
0,25 mg per lubang hidung, selama 30 hari dipelajari pada 9 orang dewasa dengan
sinusitis kromik dan hasilnya ialah terjadi perbaikan yang signifikan pada status
kesehatan sinusnya tanpa ada supresi dari aksis hipotalamik-pituitari. Wigh et al,
mendemonstrasikan bahwa tidak ada efek samping serius dari penggunaan
800g/hari budesonid intranasal selama studi 12 minggu.11
2.8.2 Tatalaksana Non-farmakologi
Tatalaksana bedah yang digunakan salah satunya ialah Functional Endoscopic
Sinus Surgeryi (FESS). Terapi bedah umumnya digunakan sebagai bagian dari terapi
medis pada beberapa kasus, dan biasa dilakukan pada kasus yang refrakter terhadap
terapi medikamentosa dan pasien dengan obstruksi anatomis. Temuan CT preoperatif
dapat dilakukan untuk prediktor hasil operasi. Tujuan dari terapi bedah ialah untuk
mengembalikan ventilasi sinus dan untuk mengkoreksi mukosa dalam rangka
mengembalikan sistem klirens mukosilier. Pembedahan dilakukan untuk merestorasi
fungsi integritas dari mukosa yang telah meradang. FESS dapat dilakukan untuk
menyembuhkan rinosinusitis kronik dalam beberapa area kunci, yaitu merestorasi
37

aerasi yang adekuat dan drainase sinus dengan mengembalikan patensi dari kompleks
ostiomeatal, mengurangi massa poliposis yang berat sehingga hidung dapat berfungsi
seperti semula. FESS terbukti berhasil dalam mengembalikan kesehatan sinus,
dengan pemulihan gejala sedang hingga komplit pada sekitar 80-90% pasien. Terapi
medikamentosa suportif diberikan sebelum operasi dan setelah operasi. Pada kasus
anak, terapi bedah dilakukan pada kasus-kasus yang berkomplikasi.
Pembedahan bukanlah metode pengobatan dari rinosinusitis kronik melainkan
lebih kepada cara untuk mengembalikan ventilasi dan memfasilitasi drainase yang
baik

dari

sinus

paranasal

(sehingga

dapat

mengoptimalkan

pemberian

medikamentosa secara langsung ke mukosa sinonasal), untuk mengurangi


peradangan dengan membuang polip dan bagian-bagian tulang osteitik, dan untuk
mendapatkan informasi diagnostik yang penting berupa sampel kultur dan sampel
histopatologi. Pada studi yang dilakukan oleh Smith et al, mendemonstrasikan bahwa
FESS dapat memperbaiki gejala dan kualitas hidup pasien. Pada studi lain yang
membandingkan terapi medikamentosa dengan rinosinusitis kronik mendapatkan
bahwa FESS secara siginifikan memperbaiki gejala lebih baik dibandingkan pasien
yang dirawat secara medikamentosa. Walau begitu, perlu diperhatikan bahwa
umumnya

FESS

dikerjakan

apabila

terapi

medikamentosa

gagal

untuk

menyembuhkan pasien.10,11,14
Teknologi lain yang digunakan ialah dengan teknologi kateter balon, yang saat
ini diyakini secara potensial sebagai metode yang lebih tidak invasif dan merupakan
alternatif

bagi pasien yang akan menjalani pembedahan sinus. Dilatasi dengan

menggunakan balon dilakukan dengan memasukkan balon yang non-compliant,


dimana balon ini memiliki kemampuan untuk merubah posisi tulang dan jaringan
sehingga dapat memperbesar ostium sinus. Namun, metode ini nyatanya masih
membuktikan studi lebih lanjut mengenai efektifitas dan efek merugikan yang dapat
ditimbulkannya.11,14
Berikut ini ialah guideline terapi berdasarkan guideline rekomdenasi oleh EP3OS
Untuk pasien dengan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Dalam guideline EP3OS, bagi pasien dengan gejala ringan (visual analog
scale [VAS] dengan skor 0-3) manajemen awal ialah dengan kortikosteroid intranasal
bersamaan dengan lavase hidung dengan cairan salin. Bila masih belum dapat
memperbaiki kondisi setelah 3 bulan, kultur sebaiknya dilakulan dan diberika terapi
makrolid jangka panjang; pemeriksaan CT-Scan mungkin berguna pada fase ini.
Gagalnya respons setelah 3 bulan dari terapi ini, sebaiknya segera dilakukan evaluasi
38

lebih jauh dengan CT-Scan dan dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan sinus.
Pada pasien yang berespon, kortikosteroid intranasal diteruskan dan lavase hidung
dengan cairan salin direkomendasikan dengan atau tanpa makrolid jangka panjang.
Untuk pasien dengan gejala sedang-berat (skor VAS >3-10), manajemen awal
mencakup kortikosteroid intranasal, lavase hidung dengan cairan salin, kultur dan
makrolid jangka-panjang. Gagal respon setelah 3 bulan, sebaiknya segera lakukan
evaluasi lebih jauh dengan CT-Scan dan persiapan untuk terapi bedah
Untuk pasien rinosinusitis kronik dengan polip nasal
Guideline EP3OS untuk memanajemen rinosinusitis kronik dengan polip nasal
umumnya sama dengan yang tanpa polip nasal, dengan pengecualian bahwa
anitibotik tidak direkomendasikan untuk rinosinusitis kromik dengan polip nasal.
Untuk pasien dengan derajat ringan (skor VAS 0-3), tatalaksana dilakukan dengan
kortikosteroid intranasal. Untuk pasien yang tidak ada perbaikan dalam 3 bulan,
maka steroid jangka pendek selama 1 bulan direkomendasikan. Bila tidak berhasil,
maka CT-Scan sebaiknya direkomendasikan dan pasien dievaluasi apakah memiliki
kandidat potensial untuk dioperasi. Bagi pasien dengan gejala sedang (skor VAS >37), kortikosteroid topikal tetes hidung direkomendasikan untuk diberikan di awal
selama 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan gejala, kortikosteroid oral jangka pendek
ditambahkan selama 1 bulan. Bila strategi ini gagal, maka dilakukan CT-Scan dan
pasien dievaluasi apakah potensial untuk menjadi kandidat terapi pembedahan. Bila
perbaikan terjadi setelah 1 bulan pemberian kortikosteroid oral, pasien dapat
dikembalikan ke kortikosteroid tetes hidung. Kasus yang berat dengan skor VAS >710 sebaiknya diberikan kortikosteroid oral jangka pendek yaitu selama 1 bulan
sebagai terapi awal yang dikombinasi dengan kortikosteroid topikal. Pasien yang
menunjukkan perbaikan untuk regimen ini selanjutnya dikembalikan metodenya
dengan menggunakan kortikosteroid topikal saja. Pasien yang tidak ada perbaikan,
segera dievaluasi dengan CT-Scan, dan dipertimbangkan untuk dioperasi. Setelah
polipektomi, diberikan kortikosteroid intranasal sebagai terapi maintenance.11
2.9. Komplikasi
Komplikasi paling umum dari sinusitis kronik ialah terjadinya sinusitis akut di
saat yang bersamaan. Pada anak-anak, kehadiran pus di nasofaring dapat
menyebabkan adenoiditis dan pasien-pasien dalam keadaan seperti itu memiliki
persentase yang tinggi untuk mengalmi otitis media purulen atau serosa sekunder.
Dakriosistitis dan laringitis juga dapat terjadi sebagai komplikasi sinusitis kronik
pada anak.
39

Pasien harus segera dirujuk ke dokter spesialis THT apabila pasien mulai
menunjukkan gejala-gejala seperti penglihatan ganda atau berkurang, proptosis,
edema periorbital yang muncul dengan cepat, oftalmoplegia, tanda-tanda neurologis
fokal, demam tinggi, sakit kepala hebat, iritasi meningeal, dan perdarahan hidung
rekuren.
Komplikasi orbital, antara lain ialah selulitis preseptal, abses subperiosteal,
selulitis orbital, abses orbital, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi
intrakranial mencakup meningitis, abses epidural, abses subdural, dan abses otak.
Komplikasi lain juga dapat terjadi seperti osteomielitis dan pembentukan mukokel.
Beberapa studi telah mempelajari terdapatnya insidens tinggi terjadinya komplikasi
terkait sinusitis fungal. Sinusitis kronik yang tidak ditangani dapat berujung pada
komplikasi yang mengancam nyawa, seperti pada pasien kistik fibrosis.10
2.10.
Prognosis
Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kromik dapat menjadi penyebab
morbiditas yang signifikan. Bila tidak ditangani, sinusitis kronik dapat mengurangi
kualitas hidup dan produktivitas pasien yang terkena. Sinusitis kronik erat kaitannya
dengan eksaserbasi asma dan komplikasi serius seperti abses otak dan meningitis,
yang dapat memicu morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Perawatan medikamentosa dini dan agresif untuk sinusitis kronik biasanya
memberikan hasil yang memuaskan. FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus
secara lengkap atau memulihkan gejala pada 80-90% pasien dengan sinusitis kromik
yang tidak berhasil dengan pengobatan medikamentosa. Sinusitis kronik jarang
mengancam nyawa, walaupun komplikasi serius dapat terjadi karena letaknya yang
berdekatan dengan orbita dan rongga kepala. Sekitar 75% dari semua infeksi orbita
berkaitan dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial masih tergolong jarang, dengan
3,7-10% infeksi intrakranial yang berhubungan dengan sinusitis.10
2.11.
Kesimpulan
Rinosinusitis kronik ialah penyakit dengan proses yang cukup rumit tanpa
adanya satu patofisiologi yang sama atau satu strategi pengobatan yang sama.
Penyakit ini lebih diterima sebagai suatu penyakit yang bersifat multifaktorial,
dengan kontribusi dari berbagai etiologi seperti alergi, mikroba, biofilm,
superantigen, osteitits dan gangguan dari sistem imun tubuh. Perawatan yang
menyeluruh dari rinosinusitis kronik bertujuan untuk mengontrol peradangan dan
infeksi yang terjadi, dan pembedahan dapat dilakukan apabila memenuhi kriteria.
Sebagai penyakit yang bersifat kronik, maka dibutuhkan hubungan kerjasama yang
baik antara pasien dengan dokter untuk mencapai perbaikan gejala, fisik, dan
40

psikososial pasien. Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme patofisiologik dan


metode pengobatan yang terbaik, masih menjadi pekerjaan rumah bagi para klinisi
untuk semakin meningkatkan perawatan pasien.8

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies fundamentals of otolaryngology. Ed ke-6.
Jakarta: EGC; 2013.h.176.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.h.1226.
3. Singh A. Paranasal sinus anatomy. Medscape 2013 Aug 28. Diakses tanggal 23 April
2015. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview#a1
4. Maqbool M, Maqbool S. Textbook of ear, nose and throat diseases. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.p.119-20.
5. Thaler ER, Kennedy DW. Rhinosinusitis: a guide for diagnosis and management.
United States of America: Springer; 2008.p.1-12.
6. Mahdavinia M, Grammer LC. Chronic rhinosinusitis and age: is the pathogenesis
different?. Expert Rev. Anti Infect Ther 2013; 11(10), 1029-1040: 1-12.
7. Ocampo CJ, Grammer LC. Chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin Immunol 2013
Jun;1(3): 1-8.
41

8. Manes RP, Batra PS. Etiology, diagnosis, and management of chronic rhinosinusitis.
Expert Rev. Anti Infect Ther 2013; 11(1), 25-35:1-12.
9. Snow JB, Vackym PA, Ballenger JJ. Ballengers otorhinolaryngology: head and neck
surgery. United States of America: Peoples Medical Publishing House; 2009.p.57382.
10. Brook I. Chronic sinusitis. Medscape 2014 Apr 7. Diakses tanggal 25 April 2015.
Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview#a0101
11. Leung DYM, Ledford DK. Chronic rhinosinusitis: epidemiology and medical
management. J Allergy Clin Immunol October 2011;128(4):1-16.
12. Volcheck GW. Clinical allergy: diagnosis and management. United States of America:
Mayo Foundation for Medical Education and Research; 2009.p.140-6.
13. Wahab AS, alih bahasa. Ilmu kesehatan anak nelson volume II. Ed ke-15. Jakarta:
EGC; 2005.h.1462.
14. Brown C. Chronic rhinosinusitis: Its my sinus doc!. Australian Family Physician
May 2008;37(5): 1-4.

42

Anda mungkin juga menyukai