Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas
anugrah-Nya

saya dapat menyelesaikan refreat saya yang berjudul Guillain Barre-

Syndrome tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf, Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Raden Said Soekamto.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta , September 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................4
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................36

BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan
dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini
mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar
menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena
dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur.
Insidensi SGB bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB
sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas infeksi gastrointestinal.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh
gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala
pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3
tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir
minggu

keempat

maka

termasuk

Chronic

Inflammantory

Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB.
Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Sindroma Guillain Barre yang disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections Polyneuritis yang dapat diartikan
sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistim saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf
perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah suatu infeksi.
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan
dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini
mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar
menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena
dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah gangguan sistem imun dari sistem saraf
perifer

bersifat

akut.

Istilah

GBS

sering

dianggap

identik

dengan

akut

polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi (AIDP)


II.2 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali
menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan
oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi
akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan
khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian
jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan
oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk
menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya
kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat
perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
4

SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.Insiden


SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per 100.000 orang
pertahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10tahun setelah
dekade pertama.Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini adalah 1,78 (interval
kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran
pernapasan atas diare akut. Dalam meta-analisis, agen infeksi yang paling sering
diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar30%, sedangkan cytomegalovirus telah
diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus
infeksi Campylobacter jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus primer
infection. Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr, virus VaricellaZoster, dan Mycoplasma pneumoniae.
SGB bukan merupakan penyakit musimandimana resiko terjadinya adalah sama di
seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB berhubungan
dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas. SGB dapat terjadi
pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia
berkisar antara 0,6 - 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 - 10 %. Penyebab kematian tersering
adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada 5% penderita SGB.
Antara 5 - 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita
3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

II.3 ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain :
1. Infeksi
Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan GuillainBarr Syndrome adalah
infeksi Campylobacterjejuni. Bakteri dar genus Campylobacter
sebagai

yang

paling

umum

menjadi

sumber

gastroenteritis

diidentifikasi
bakteri

di

AmerikaSerikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang dilakukan


di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan bukti adanya
infeksi pendahulu Campylobacter jejunipada 26-45% pasien GuillainBarr
Syndrome 5
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison

SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi
gastrointestinal. Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan
SGB. Kemungkinan timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu
lebih diketahui dan disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih
merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB


Infeksi
Virus

Definite
CMV

Probable
HIV

Possible
Influenza

EBV

Varicella Zooster

Measles

Vaccinia/ smallpox

Rubella
Hepatitis
Coxsackie

Bakteri

Campylobacter jejuni
Mycoplasma pneumonia

Typhoid

Echo
Borrella B
Paratyphoid
Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria

II.4 KLASIFIKASI
Pada tahun 1958, Wartenberg mendiskusikan konsep kelainan sensorik yang
equivalen dengan paralisis asendens pada GuillainBarr Syndrome. Walaupun Asbury
telah menyediakan kriteria diagnosis untuk varian berupa gangguan sensorik dan arefleksia
pada tahun 1981, laporan kasus yang memenuhi kriteria tersebut belum pernah
dipublikasikan. Oleh karena itu, muncullah pertanyaan apakah varian tersebut benar-benar
ada.
Oh, LaGanke dan Claussen pada tahun 2001 mempublikasikan delapan kasus suatu
neuropati sensorik akut dan monofasik yang disertai menurunnya refleks peregangan otot,
peningkatan protein dalam liquor serebrospinal, tampilan demielinisasi pada konduksi
saraf yang memenuhi kriteria untuk varian sensorik dari GuillainBarr Syndrome.
Dari kriteria diagnosis GuillainBarr Syndrome yang klasik, kelemahan motorik
yang progresif pada lebih dari satu anggota gerak adalah sesuatu yang harus ada. Akan
tetapi pada kasus yang dilaporkan oleh Oh, LaGlanke dan Claussen tidak satupun yang
memenuhi kriteria tersebut. Asbury mendeskripsikan kriteria untuk varian GuillainBarr
Syndrome dengan kehilangan sensorik dan arefleksia sebagai berikut : 1) Onset harus
7

cepat; 2) distribusinya harus luas dan simetris; 3) Penyembuhan harus komplit atau hampir
komplit; 4) protein pada liquor serebrospinalis harus meningkat dengan jumlah sel yang
sedikit atau tidak ada; dan 5) hasil elektrodiagnostik harus khas untuk proses demielinisasi
pada saraf perifer .
Empat dari delapan kasus yang dilaporkan memenuhi kriteria sebagai varian sensorik
GuillainBarr Syndrome seperti tersebut di atas, dan empat yang lain memenuhi empat
dari lima kriteria diagnosis di atas. Pada empat pasien yang dilakukan pemeriksaan liquor
serebrospinal yang dikumpulkan pada empat minggu pertama setelah onset terdapat hasil
disosiasi sitoalbumin, yang merupakan gambaran laboratorium yang paling membantu
untuk penegakan diagnosis GuillainBarr Syndrome. Semua pasien menunjukkan bukti
adanya demielinisasi setidaknya pada dua saraf perifer dengan elektrodiagnostik yang
merupakan gambaran yang juga turut membantu penegakan diagnosis GuillainBarr
Syndrome. Demielinisasi merupakan gambaran yang paling terlihat pada konduksi saraf
motorik pada 7 pasien dan pada konduksi saraf sensorik pada satu pasien, hal

ini

menunjukkan bahwa pemeriksaan konduksi saraf merupakan kunci untuk mendiagnosis


neuropati demielinisasi .
Salah satu varian GuillainBarr Syndrome yang lain adalah Miller Fisher
Syndrome. Miller Fisher Syndrome memiliki ciri sebagai trias yang terdiri dari
ophtalmoplegia, ataksia dan arefleksia, dimana letak lesi, terutama yang berkaitan dengan
ataksianya masih dalam kontroversi. Sebagai varian dari GuillainBarr Syndrome, Miller
Fisher Syndrome secara umum diduga merupakan hasil dari neuropati perifer. Beberapa
gambaran MRI dari Miller Fisher Syndrome (MFS) menunjukkan adanya abnormalitas
sistem saraf pusat yang menunjukkan adanya keterlibatan lesi sentral yang bertanggunng
jawab pada beberapa aspek klinis Miller Fisher Syndrome .
Inoue dkk melaporkan salah satu contoh kasus pasien dengan ataksia berat persisten
sebagai gambaran klinis Miller Fisher Syndrome. Satu bulan setelah menderita infeksi
saluran pernapasan atas dengan gejala seperti flu, seorang laki-laki berusia 43 tahun
mengalami disesthesia dan hipestesia pada keempat ekstremitas yang kemudian diikuti
oleh diplopia dan ataksia. Saat dibawa ke rumah sakit, pasien dalam keadaan sadar dan
orientasinya baik. Berbicara tidak ada disartria. Terdapat ptosis sebelah kiri dan
kelumpuhan saraf abdusens bilateral. Karena ataksia berat pada anggota gerak dan badan,
8

pasien tidak dapar berdiri dan berjalan walaupun dengan bantuan. Refleks tendon dalam
negatif. Terdapat deteriorasi posisi yang jelas pada keempat ekstremitas dan terdapat
sensasi getaran dengan disesthesia dan hipesthesia sedang. Terdapat juga kelemahan ringan
pada kekuatan otot. Pada pemeriksaan liquor serebrospinal, kandungan proteinnya adalah
134 mg/dL, hitung sel 6 sel/L. Data laboratorium, termasuk CPK dalam batas normal.
Antibodi terhadap gangliosida dan pita oligoklonal tidak terdeteksi. Tes hemaglutinasi
serum treponema palidum negatif. MRI menunjukkan tidak ada kelainan pada otak,
termasuk batang otak dan serebelum. Pada MRI spinal, terdapat peningkatan gadolinium
pada kauda equina. Dibuat diagnosis Miller Fisher Syndrome dan pasien mendapatkan
pengobatan Gammaglobulin intravena 40 mg/kg/hari selama lima hari.

Setelah

pengobatan itu, ophtalmoplegia menghilang, tetapi ataksia berat, defisit posisional, dan
berkurangnya sensasi getaran tetap ada. Pasien ini mengalami cacat serius, terutama
disebabkan oleh ataksia berat. Pemeriksaan dengan Somatosensori Evoked-Potential
menunjukkan tidak adanya respon terhadap rangsangan elektrik. Lima bulan setelah onset
penyakit, MRI ulang pada otak dan korda spinalis menunjukkan lesi pada kolumna spinal
posterior pada tingkat C1 sampai T12 .
Kira-kira 50 tahun yang lalu, Miller Fisher mendeskripsikan sebuah sindrom klinis
yang jarang ditemukan yang berupa ataksia berat yang berkembang dengan cepat,
ophtalmoplegia, dan arefleksia yang saat ini dikenal sebagai Miller Fisher Syndrome
(MFS). Saat ini Miller Fisher Syndrome dikenal sebagai salah satu varian dari SGB, tetapi
patofisiologinya masih diperdebatkan. Prognosis Miller Fisher Syndrome selalu jinak,
tetapi kecacatan dan atau sesuatu yang fatal juga kadang dijumpai. Pasien tersebut di atas
menunjukkan trias Miller Fisher Syndrome yang didahului oleh adanya infeksi. Analisis
liquor serebrospinal menunjukkan peningkatan kandungan protein yang cukup tinggi dan
hitung sel yang rendah .
Jenis GuillainBarr Syndrome yang dikenal secara umum meliputi GuillainBarr
Syndrome yang diikuti kehilangan akson yang berat, GuillainBarr Syndromedengan satu
tipe jaringan terkena dengan berat (baik sensoris ataupun otonom), dan Miller Fisher
Syndrome. Ada juga jenis GuillainBarr Syndromeyang distribusinya regional saja atau
asimetris. Ada juga yang membagi GuillainBarr Syndrome berdasarkan perbedaan

kecepatan terjadinya onset dan waktu untuk mencapai nadir, dimana dapat menyulitkan
diagnosis dan membingungkan keputusan akan pengobatan.
GuillainBarr Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

adalah jenis

paling umum ditemukan pada GuillainBarr Syndrome, yang juga cocok dengan gejala
asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota
gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus
facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf
perifer dan demielinasi segmental makrofag .
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas Guillain
Barr Syndrome epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65%
dari pasien GuillainBarr Syndrome merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada
kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan
kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan,
meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan
AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan
melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motoric .
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien
biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari
AMAN .
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin
terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap
ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf
kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia
.
5. Acute Neuropatic panautonomic
10

Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian
tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat,
kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau
bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal
adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala
otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan
dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan .
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan
penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE
meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran
penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan SGB
aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum
lanjutan. Secara singkat dijelaskan pada table berikut :

Subtipe

Ciri Khas

Elektrodiagnosis
lebih Demyelinisasi

Patologi

Acute

Orang

dewasa

inflammatory

banyak

terkena

demyelinating

dibanding

polineuropathy

merupakan 90% kasus di

menyebar luas, aktifasi

(AIDP)

dunia

barat;

makrofag dan infiltrasi

cepat;

limfosit; variabel

anak-anak;

bagian

penyembuhan

AIDP

Serangan pertama pada


permukaan sel Schwann;
kerusakan myelin

11

antobodi

anti-GM1

(<50%).
motor Anak-anak dan dewasa Aksonal

Acute

sekunder dari kerusakan


akson
Serangan pertama pada

axonal

muda; terjadi prevalensi

nodus Ranvier motorik;

neuropathy

tinggi

dan

aktifasi makrofag, sedikit

(AMAN)

mexico ;mungkin karena

limfosit, sering ditemui

cuaca;

makrofag

diperiaksonal;

keparahan

kerusakan

di

cina

cepat

sembuh;

antibodi anti-GD1a
Acute

motor Lebih

banyak

sensory axonal dewasa;


neuropathy

terjadi;

(AMSAN)

lambat,

tidak

pada Aksonal

aksonal sangat bervariasi


Sama dengan AMAN, tapi

serring

juga mengganggu nervus

penyembuhan

sensoris dan akar nervus

dan

tidak

biasanya

sensori;

kerusakan

lengkap;

aksonal biasanya berat

berhubungan erat dengan


Miller

AMAN
Fisher Dewasa dan ank-anak; Demyelinisasi

syndrome

tidak

sering

(MFS)

oftalmoplegia, ataxia, dan


arefleksia;

terjadi;

Hanya sedikit kasus yang


diperiksa; mirip AIDP

antibodi

antiGQ1b(90%)

Tabel 2. Klasifikasi GuillainBarr Syndrome

II.5 PATOFISIOLOGI
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GuillainBarr Syndrome masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
12

sindroma ini adalah :14


1.

Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated


immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2.

Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan

3.

Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh


darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demielinisasi saraf tepi pada GuillainBarr Syndrome dipengaruhi oleh


respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel
limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit
berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan
sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran .
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut
akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta
TNF .
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin .
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung
13

yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik.
Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan .
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat .

Gambar 1. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre


Pada GuillainBarr Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya
dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini
akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh .
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan
14

menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas


sehari-hari,termasuk berjalan .

Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm


serabut saraf, myelin & axon belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi


segmental demyelinisasi, axon belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi


kromatolisis sentral inti sel saraf atropi &
denervasi.

Kerusakan axon >> proximal, kerusakan


irreversible regenerasi sel saraf (-)

Gambar 2. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis


Pada GuillainBarr Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan
antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum
diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari
antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang
mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi
pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama .
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag

15

di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan


penghantaran impuls saraf .

Gambar 3. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi
GuillainBarr Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan
yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi
sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer .
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini
putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga
timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini
terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat .
16

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Sarafsaraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat .

Gambar 4. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran .
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
17

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut
akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta
TNF .
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah otak, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein mielin disamping menghasilkan TNF dan komplemen .
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping
peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam
cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan
peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T
tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf,
untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF
dan komplemen .
II.6 MANIFESTASI KLINIS
GuillainBarr Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami
infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala GuillainBarr Syndrome.
Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus GuillainBarr Syndrome adalah
gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu

18

sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien GuillainBarr Syndrome
pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis GuillainBarr Syndrome .
Orang dengan GuillainBarr Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari
parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini
juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan
kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis .
Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir
pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti
hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya .
Gejala klinis pada penderita GuillainBarr Syndrome adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian
besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga
bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan
saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,
bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal
lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat
dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia
dengan kegagalan ventilasi .
b. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GuillainBarr
Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
19

N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena
akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus .
Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan
palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari GuillainBarr Syndrome adalah unik karena subtipe ini
dimulai dengan defisit saraf kranial .
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel.Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya
tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih
jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral.
Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus
kaki dan sarung tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat
hadir.Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa
nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik .
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GuillainBarr Syndrome,
89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GuillainBarr Syndrome pada beberapa
waktu selama perjalanannya.Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut .
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau
sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri
lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan GuillainBarr Syndrome adalah
20

sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi
imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) .

e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GuillainBarr Syndrome.
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis
dapat diamati pada pasien dengan GuillainBarr Syndrome. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal,
hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis (.
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas
usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan
kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu .
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
Empat puluh persen pasien GuillainBarr Syndrome cenderung memiliki
kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah
sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka .

g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .

21

Manifestasi klinik yang paling sering terjadiadalah kelemahan dan

nyeri pada

anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti kuda
charlie yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya tidak
menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia .
Walaupun GuillainBarr Syndrome adalah neuropati perifer, tetapi dapat juga
terdapat keterlibatan nervus kranialis. Kebanyakan yang terjadi adalah kelumpuhan wajah.
Pasien-pasien sindrom Guillain-Barre dengan perjalanan penyakit yang didahului infesi
Campylobacter jejuni menunjukkan tanda dan gejala keracunan makanan yang klasik,
yang paling umum adalah mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare .
Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan adanya Campylobacter jejuni di sel
mononuklear darah perifer pasien yang didiagnosis dengan gastroenteritis akibat
Campylobacter jejuni dan di pasien kontrol sehat yang tidak terpapar bakteri. Data dari
penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Campylobacter didapatkan dan stabil dalam darah
pasie kira-kira selama satu hingga dua tahun .
Infeksi pendahulu kedua terbanyak yang dilaporkan adalah cytomegalovirus (CMV).
Pasien yang didahului diagnosis CMV akan memiliki bentuk GuillainBarr Syndrome
yang berbeda dibandingkan pasien yang didahului infeksi C.jejuni. PasienGuillainBarr
Syndrome dengan riwayat infeksi CMV akan cenderung mengalami kelemahan nervus
fasialis bilateral, memiliki komplikasi di sistem pernafasan yang berat (misalnya sampai
memerlukan ventilasi mekanis), dan kehilangan fungsi sensoris yang berat.

Perjalanan alamiah GuillainBarr Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan


bervariasi antara berbagai penderita GuillainBarr Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri
dari 3 fase, yaitu :
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap,

dikenal

sebagai

titik

nadir.

Pada

fase

ini

akan

timbul

nyeri,

kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi


tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GuillainBarr Syndrome yang
ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GuillainBarr Syndrome
22

yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus
pada pengurangan nyeri serta gejala .
2.

Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik

perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perludilakukan

monitoring

tekanan

darah,

irama

jantung,

pernafasan,

nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau
selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan .
3.

Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan

penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan


myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat
muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi
pada fase infeksi .
II.7 DIAGNOSIS

23

Diagnosis GuillainBarr Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria


diagnosis yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu :
1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di
ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam
4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90%
2.
3.
a.
b.
c.
d.

dalam 4 minggu.
Arefleksia (penurunan refleks tendon).
Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis:
Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang
Gejala relatif simetris
Ada gejala sensoris yang ringan
Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial 50% terjadi paresis nervus VII dan
sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan

otot-otot menelan
e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor
f. Nyeri biasanya sering terjadi
g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang khas. Ciriciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis:
Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
-

peningkatan pada lumbal pungsi serial


Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3
Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1 minggu gejala,

jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3


h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok
pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
Hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan akan diagnosis adalah sebagai berikut ;
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal penyakit
Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit
Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus
Demam
Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi
Kelemahan asimetri yang menetap
Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap
Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L)

i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF.

24

Sedangkan Kriteria diagnostik GuillainBarr Syndrome menurut Gilroy & Meyer


(sitasi Fachir Hasyim) pada tahun 1979 sebagai berikut ;
1. Paralisis flaksid yang simetris dan difus bilateral.
2. Gejala sensorik subyektif, dengan tanda-tanda sensorik obyektif yang kurang nyata
disbanding paralisis motoric.
3. Penyembuhan sempurna terjadi dalam waktu enam bulan hampir pada semua
penderita.
4. Kenaikan kadar protein yang nyata dalam CSS mulai minggu ke dua dengan atau tanpa
pleositosis relative ringan.
5. Tanpa atau hanya sedikit demam pada saat mulai munculnya paralisis.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis dengan atau tanpa kenaikan LED.
Diagnosis GuillainBarr Syndrome umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis
dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan
serebrospinal (CSS) .

Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre


Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis

Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih

Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis :

Gejala atau tanda sensorik ringan


25

Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya

Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti

Disfungsi otonom

Tidak adanya demam saat onset

Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu

Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/l

Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau


terbloknya hantaran saraf

A. Pemeriksaan neurologis
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah
dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis
seperti refleks Babinsky tidak ditemukan .

B. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini
disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai
pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah
sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak
ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa
meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh
SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
26

2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)


Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan
EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis,
identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah
laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit
perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke
kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi konduksi
saraf.

3. Pemeriksaan Darah Tepi


Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat
sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala .
4. Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus hepatitis
itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV .
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi. Gelombang T
akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,
namun tidak sering .
6. Tes fungsi respirasi
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) .
7. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
27

berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur .
Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi
sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang
menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson .

II.8 DIAGNOSIS BANDING


Gejala klinis GuillainBarr Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai
dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain. Penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan
kelemahan yang cepat dan progresif harus disingkirkan dan dibedakan. Penyakit-penyakit
tersebut diantaranya adalah .
1. Gangguan elektrolit
o hypophosphatemia
o hyperkalemia
2. Porphyria,
3. Polymyositis atau necrotising myopathies,
4. Myasthenia gravis,
5. Poliomyelitis dan
6. Lyme borreoliosis.
7. Mielitis akuta
8. Poliomyelitis anterior akuta
9. Porphyria intermitten akuta
10. Polineuropati post difteri
28

GuillainBarr Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala
kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut :
1.

Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat
ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GuillainBarr Syndrome
tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.

2.

Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GuillainBarr Syndrome dimana pada


GuillainBarr Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas
gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski

3.

Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.

4.

Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi.19 Gejala dimulai dengan diplopiadisertai dengan pupil yang non-reaktif pada
fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GuillainBarr
Syndrome.

5.

Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.

6.

Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun
pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam
aminolevulinik delta.

7.

Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan
riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GuillainBarr
Syndrome.

8.

Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi
dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks
tendon akan menghilang.

9.

Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,
yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

10.

Mielopati servikalis. Pada GuillainBarr Syndrome, terdapat keterlibatan otot


wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki
29

jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada
anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
II.10 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama
secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati
komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada
stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda
vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk
memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Sistem Otonom
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa
yang terjadi dapat mengenai otot-otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan
tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktif juga harus
disiapkan. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan
berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit,
mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana
sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung dan
pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan, ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua
kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri, >
6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri sementara pasien
menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas vital kurang dari 15 ml per
kilogram berat badan, dan kriteria minor batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan
atelektasis. Penilaian awal kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan
pemasangannasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi fatal, seperti aritmia
30

dan hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada 20% pasien SGB, bradikardia berat
mungkin didahului oleh beda tekanan nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan
kekuatan otot.

c. Plasma exchange therapy (PE)


Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk
melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat
sampai lima kali exchange.

d. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga
dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau
bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE
dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan hanya memberikan PE atau IVIg.
e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis
Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya nyeri
penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena intubasi. Nyeri
biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin membingungkan dan
menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga 89% dari pasien dengan SGB.
31

Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan SGB dapat dibedakan selama fase
penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri punggung atau radikular, meningisme, nyeri
otot, nyeri sendi, dan pain visceral. Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan
sering tidak berhasil. Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan
untuk menjadi efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah
multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena inflamasi. Saraf
berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi, yang terkena dampak pada
SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal ditemukan pada biopsi kulit dari pasien
dengan SGB.

II.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam,
paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 3Pada negaranegara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal akibat komplikasi
medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak dapat dijelaskan, mungkin
terkait dengan dysautonomia/ disfungsi otonom. Disfungsi otonom adalah komplikasi
umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi saraf otonom yang luas mungkin
menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan
parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak
normal hemodinamik terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi
kandung kemih dan defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan,
namun, komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB
dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak.
Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan
mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus menerus.
Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya
disfungsi otonom terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung
transkutan atau atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin
sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan

32

kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi
kulit pasien dengan SGB.
Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60% dan
80% pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk SGB, 80% dari
pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari keparahan kelemahan
selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun. Amantadine tidak efektif
untuk menghilangkan kepenatan setelah SGB.Program pelatihan intensif, tiga kali
seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan menurunkan skor kelelahan secara
signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik dalam meningkatkan keluaran fungsional,
dan kualitas hidup. Dari sudut pandang yang lebih holistik, perubahan kelelahan, mobilitas
dan fungsi dirasakan tampaknya tidak dipengaruhi oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor
fisik dan psikologis tampaknya untuk menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.

II.12 PROGNOSIS
Prognosis dari GuillainBarr Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien
individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan
dengan prognosis yang buruk. Keparahan GuillainBarr Syndrome ditentukan pada fase
awal penyakit.
Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien
yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan
tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam
menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan
kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh
pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.
Gangguan konduksi saraf peroneal dan usia yang diatas 40 tahun merupakan
predictor tunggal dari ketidakmampuan selama 6 bulan. Baru-baru ini, dikembangkan
sebuah system scoring klinis yang sederhana (EGOS) yang dengan mudah digunakan pada
pasien tingkat akut. Inijuga secara akurat dapat memprediksi kesempatan untuk berjalan
sendiri (tanpa bantuan) setelah 6 bulan dan dapat dikalkulasikan selama 2 minggu pertama

33

dari onset penyakit berdasarkan usia, adanya diare yang mendahului dan skor cacat
GuillainBarr Syndrome. Berdasarkan EGOS sendiri, Kesempatan untuk sembuh pada
pasien individual bervariasi dari 1% sampai 83%. Akurasi dari skala ini dikonfirmaikan
dalam sebuah pembelajaran kohort pada pasien dengan GuillainBarr Syndrome. EGOS
dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada pasien itu sendiri tentang
prognosisnya, dan juga dapat digunakan dalam percobaan pengobatan terbaru yang lebih
spesifik pada pasien dengan prognosis buruk dari GuillainBarr Syndrome.

34

BAB III
KESIMPULAN

1. SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid simetris
yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga nervus kranialis.
2. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun sebagian
besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum gejala SGB
muncul.
3. Manifestasinya dapat berupa nyeri, kelemahan motorik, kelemahan sensorik hingga
gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Hingga saat ini para
peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat dan pilihan terapi yang
paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange (PE) dan Intravenous inffusion of
human Immunoglobulin (IVIg).

35

DAFTAR PUSTAKA

1.

Muid Masdar, 2013 , manifestasi klinis dan laboratoris penderita sindroa guillain

barre di ruang perawatan anak RSU dr. Saiful Anwar Malang. SMF ilmu kesehatan anak
RSU dr. Saiful Anwar. Malang
2.
Inawati. 2010 . Sindrom guillain barre . http:
elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol%20edisi%20khusus%20desember
%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf diakses pada tanggal 25 september
2015. Departemen patologi anatomi Universitas Wijaya Kusuma . Surabaya
3.
M. Burns, Ted . 2008 . Gullain-Barre Syndrome . availabe from :
htttp://orpha.net/data/patho/Pro/em/GuillainBarre-FrenPro834v01.pdf diakses tanggal 25
september 2015 .
4.
Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from: URL:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. [diakses tanggal 15
Juni 2015].
5.
Evidence Center. 2011 . Available from: http://bestprice.bmj.com/bestpractice/monograph/basics/epidemiology.htmldiakses tanggal14 september 2015
6.
Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat,
2000.
7.
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA :McGraw
Hill, 2005.
8.
Oh SJ, LaGanke C, Claussen GC. Sensory Guillain-Barre Syndrome. Neurology
2001;56;82-86.
9.
Inoue N, Ichimura H, Goto S, Hashimoto Y, Ushio Y. MR Imaging Finding of
Spinal Posterior Column Involvement in a Case of Miller Fisher Syndrome. AJNR Am j
Neuroradiol April 2004 25:645-648
10.
Mantay KC, E Armeau, T Parish. Recognizing Guillain-Barr Syndrome in the
primary care setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice 2007;
5(1): 1-8.
11.
Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological
Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National
Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003
12.
Fauci AS, DL Kasper, DL longo, et al. Harrisons principles of internal medicine
17th Ed. New York: McGraw-Hill, 2008

36

13.

Burns TM. Guillain-Barre syndrome. Thieme Medical Journal 2008; 28(2): 152-

167.
14.

Ropper H A, Brown H R. Adams and Victor, Principles of Neurological 8th

edition. United States of America; 2005. p.1117-27.


15.
Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in
clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann;
1996.p.1911-16.
16.
Van Doorn PA, L Ruts, B Jacobs. Clinical features, pathogenesis and treatment of
Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-950.

37

Anda mungkin juga menyukai