ISI
A. Petunjuk Diskusi
1. Diskusikan apa agen virus penyebab infectious bovine rhinotracheitis (IBR),
bagaimana sifat virus, mekanisme infeksi dan patogenesisnya?
2. Diskusikan bagaimana perubahan patologis dan patologi klinis sapi yang
mengalami IBR, bagaimana menginterpretasikan data laboratorik untuk diagnosis
dan prognosis penyakit?
3. Diskusikan bagaimana cara pengobatan dan pengendalian penyakit ini?
4. Diskusikan apakah ada cara pencegahan penyakit ini dengan program vaksinasi?
B. Bahasan
Herpesvirus
Merupakan family virus yang terbilang penting karena banyak menginfeksi
manusia dan hewan. Terdapat tiga sub-famili yang dikenali: Alphaherpesvirinae
(tumbuh dengan cepat, virus sitolitik), Betaherpervirinae (tumbuh lambat yang
sering memproduksi sel yang diperbesar, sehingga disebut cytomegalovirus), dan
Gammaherpesvirinae (bereplikasi di limfosit dan dapat menyebabkan transformasi
sel yang terinfeksi). Infeksi herpervirus biasanya berjangka panjang, dalam bentuk
laten, yang nampak pulih namun bisa mengalami reaktivasi (Quinn et al, 1999).
Virion herpesvirus merupakan virus yang beramplop (enveloped) berdiameter
200-250 nm. Genom herpesvirus adalah double-stranded DNA dengan kapsid
icosahedral yang berdiameter 125 nm. Herpesvirus memasuki sel hospes melalui fusi
dengan membran plasma, lalu bereplikasi di nukleus sel. Virion herpesvirus rentan
dan sensitive dengan detegen dan pelarut lemak. Oleh karena itu, virion herpesvirus
tidak stabil jika berada di lingkungan (Quinn et al, 2006).
sel
yang
terinfeksi
membesar,
sehingga
sering
disebut
enam
genus
herpesvirus:
Simplexvirus
dan
Varicellovirus
Gambar 5. Rednose
Sapi dengan pustular vulvovaginitis mengeluarkan cairan vaginal dan secara
teratur urinasi. Pada infeksi ini hewan biasanya sembuh dalam dua minggu. Namun,
infeksi sekunder dapat menyebabkan metritis, infertilitas sementara, dan cairan
vaginal purulen, pada pejantan terjadi lesi di penile dan mukosa preputial (Quinn et
al, 2006).
Pada kondisi parah, terjadi demam, cairan oculonasal, diare, inkoordinasi, dan
kelumpuhan yang terjadi pada pedet. Pedet yang berhasil dilahirkan dari induk IBR
akan mengalami meningoencephalitis yaitu terjadi inkoordinasi gerakan dan
berkembang menjadi ataksia. Pedet seperti buta, koma dan kematian terjadi 3-4 hari
setelah onset gejala tersebut. Beberapa kembali sembuh tetapi biasanya buta
(Sudarisman, 2003; Quinn et al, 2006).
Lesi primer, yang dihasilkan dari efek sitopatik (cytophatic effect/CPE) virus,
merupakan nekrosis di mukosa saluran respirasi bagian atas dan saluran genital. Lesi
focal dari pustular nekrosis dapat bersatu membentuk area ulserasi yang lebih besar
yang tertutupi oleh membrane diphtheritic. Infeksi sekunder dapat menimbulkan
pneumonia dan endometritis. Foci nekrosis juga dapat terdapar pada liver fetus yang
telah abortus (Markey et al, 2013).
Gambar 7. Balanopostitis.
menjaga kekebalan tubuh sehingga antobodi yang terbentuk dapat bertahan dari
antigen yang masuk.
Karena IBR merupakan penyakit infeksi yang menular, karantina atau isolasi
hewan yang terinfeksi dari koloninya sangat diperlukan. Untuk mencegah penularan
melalui saluran genital, pemeriksaan pada pejantan perlu dilakukan. Pemeriksaan
betina pun perlu dilakukan untuk menegah infeksi ke pejantan saat kawin alam serta
mencegah abortus.
Contoh pengendalian dan pencegahan penyakit di negara bebas IBR adalah
dengan penggunaan vaksin. Pengidentifikasian hewan yang sakit IBR juga
dilakukan, hewan positif IBR dimusnahkan. Berdasarkan efektifitas, dari imunisasi
aktif setelah terinfeksi secara alami, vaksin digunakan untuk kontrol IBR. Vaksin
yang digunakan dapat dalam bentuk modified live virus vaccines dan inactivated
vaccines. Kedua vaksin sama-sama menghasilkan antibodi humoral (Sudarisman,
2003).
Terdapat kekurangan pemberian vaksin. Vaksin yang diberikan intranasal akan
menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Subunit vaksin ini tidak dapat
mencegah infeksi klinis IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya
keguguran/abortus dan dapat menyebabkan endometritis. Untuk menghindari hal
tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal. Vaksin inaktif
banyak dilaporkan membentuk kekebalan yang tidak tinggi kecuali jika
menggunakan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003).
II.PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi yang kami laksanakan, diperoleh kesimpulan-kesimpulan:
1. Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) disebabkan oleh herpesvirus tipe 1.
2. Infeksi melalui masuknya agen penyakit ke mukosa hidung atau mukosa vagina.
3. Infeksi ditunjukkan dengan keluarnya cairan dari hidung dan vagina.
4. IBR juga menyebabkan pustular vulvovaginitis, balantopostitis, dan abortus.
5. Pemeriksaan laboratorik IBR salah satunya kultur sel sehingga diperoleh
cytophatic effect (CPE).
B. Referensi
MacLachlan, N. J., Dubovi, E. J.. 2011. Fenners Veterinary Virology fourth edition.
China: Academic Press.
Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A., Clark, D.P.. 2012. Brock Biology of
Microorganisms. Netherlands: Benjamin Cummings.
Markey, B., Leonard, F., Archambault, M., Cullinane, A., Maguire, D.. 2013.
Clinical Veterinary Microbiology second edition. China: Mosby Elsevier.
Quinn, P.J., Carter, M.E., Markey, B.M., Carter, G.R.. 1999. Clinical Veterinary
Microbiology. Spain. Mosby Elsevier Limited.
Quinn, P.J., Markey, B.K., Leonard, F.C., FitzPatrick, E.S., Fanning, S., Hartigan,
P.J.. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease second edition.
Rosenfeld, A.J., Dial, S.M.. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary Team.
Singapore: Wiley-Blackwell.
Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi Di
Lembaga-Lembaga Pembibitan Ternak Di Indonesia. Wartazoa vol.13 no.3,
108-118.