Hak Wanita
Hak Wanita
: .
:
Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah n dalam
rangka mengadu, Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk
menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut,
ujarnya. Nabi n menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan
pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, Aku
membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita
tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam
memutuskan perkara seperti ini. (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh
Muqbil bin Hadi t dalam Al-Jamiush Shahih (3/64), Hadits ini shahih menurut
syarat Al-Imam Muslim.)Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita
karena Allah l menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah
l menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah.
Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis
diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka?
Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan
dengan tenang dan tenteram?Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan:
Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu
meminta izinnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi n. Apabila si
wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan
dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi ayahnya
menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah
berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa
izinnya, sama saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya.
Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.Ibnu Taimiyyah t
melanjutkan: Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan
dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah).
Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si
wanita untuk bertakwa kepada Allah l dalam memilih lelaki yang akan ia
nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon
suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk
kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali. (Majmu
Fatawa, 32/39-40)Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin
menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si
wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil
sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.
Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar
tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa`: 4)Al-Imam Al-Qurthubi l berkata, Ayat
ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi.
Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat
sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan
menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib
adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap. (Al-Jami li Ahkamil
Qur`an, 5/17)
3. Sebagai Seorang IbuIslam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika
remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah l mewajibkan seorang anak
untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah l titahkan hal
ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:
Rabbmu
.
telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya
dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah
seorang dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan ah dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, Wahai Rabbku,
kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan
mendidikku sewaktu kecil. (Al-Isra`: 23-24)Allah l juga berfirman:
Dan Kami telah
mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya
telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan
susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh
bulan (Al-Ahqaf: 15)Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Masud z
.
.
.
.
.