Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kelamin merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal dan
beberapa diantaranya sangat populer seperti sifilis, gonore maupun herpes. Semakin
majunya ilmu pengetahuan, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya
menimbulkan gejala klinis pada alat kelamin saja, tapi juga dapat menimbulkan
gangguan pada organ-organ tubuh lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah
penyakit kelamin menjadi tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Penyakit Menular
Seksual (PMS). Namun sejak tahun 1998, istilah PMS ini kembali diganti menjadi
Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk menjangkau penderita asimptomatik yang
ternyata banyak terjadi, terutama pada wanita.(Daili, 2009)
Infeksi menular seksual (IMS) selama dekade terakhir ini mengalami
peningkatan insidensi yang cukup pesat di berbagai negara di seluruh dunia.
Contohnya, kasus baru gonore di Amerika Serikat pada tahun 1995 sebanyak
62.150.000 kasus meningkat menjadi 62.350.000 kasus pada 1999 (WHO, 2001).
Totalnya, pada tahun 1999, WHO memperkirakan terdapat 340 juta kasus IMS baru
yang terjadi terutama pada pria dan wanita berusia 15- 49 tahun (WHO, 2007). Pada
tahun 2008, dilaporkan 1.210.523 kasus infeksi klamidia di Amerika Serikat. Jumlah
ini merupakan peningkatan sebanyak 9,2 % bila dibandingkan dengan data infeksi
klamidia pada tahun 2007 (CDC, 2009). Tidak hanya infeksi klamidia, insidensi
sipilis pun mengalami peningkatan yang pesat yaitu sebanyak 67% sejak tahun 2004
dan memuncak pada tahun 2008 dengan jumlah 13.500 kasus termasuk kejadian
sipilis primer dan sekunder (CDC, 2009). Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan
mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari
beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi
gonore dan klamidia yang tinggi antara 20%-35% (Jazan, 2003). Selain klamidia,

Universitas Sumatera Utara

sifilis maupun gonore , infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena
peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Jumlah
penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah
penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya
belum diketahui secara pasti (Departemen Kesehatan R.I., 2006).
Berbagai usaha pencegahan penularan IMS telah digalakkan baik oleh
pemerintah Indonesia maupun oleh WHO. Namun meskipun pemerintah telah
mengupayakan usaha-usaha tersebut, insidensi IMS tetap meningkat dari tahun ke
tahun. Seperti yang dikemukakan dalam hasil sebuah penelitian retrospektif deskriptif
yang berjudul Pola Penyakit Menular Seksual (PMS) di Poliklinik Penyakit Kulit
dan Kelamin RSU Pusat Sanglah Denpasar Periode Januari 1996 - Desember 2000
yang menunjukkan selama rentang waktu lima tahun didapatkan 809 kasus baru IMS
yang memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya, 15,3 % pada tahun 1996
dan 27,9 % pada tahun 2000. Lima kelompok IMS terbanyak adalah cervicitis nongonorrhea (32,1%), kondiloma akuminata (15,7%), kandidosis vaginitis (14,9%),
sifilis (11,7%), gonorrhea (9,6%) (Rosyati, 2001).
Peningkatan insidensi IMS dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya
adalah perubahan demografik seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat
tinggi, pergerakan masyarakat yang meningkat akibat perkerjaan ataupun pariwisata
dan kemajuan sosial ekonomi. Akibat perubahan-perubahan demografik tersebut
maka terjadi pergeseran pada nilai moral dan agama pada masyarakat. Faktor lain
yang juga mempengaruhi peningkatan IMS adalah kelalaian negara dalam memberi
pendidikan kesehatan dan seks kepada masyarakat, fasilitas kesehatan yang belum
memadai dan banyak kasus asimptomatik sehingga pengidap merasa tidak sakit,
namun dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (Djuanda, 2007). Infeksi itu
sendiri dapat terjadi pada siapa saja, dari lapisan masyarakat manapun dan mulai dari
usia muda hingga tua. Dengan memahami gambaran infeksi menular seksual yang
terjadi pada masyarakat dan distribusi populasi berisiko tinggi terhadap infeksi ini

Universitas Sumatera Utara

akan sangat membantu upaya pencegahan penularan IMS dan pengobatan dini
terhadap pengidapnya.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran atau profil
infeksi menular seksual yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan
Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 berdasarkan kelompok usia, jenis
kelamin, pendidikan dan status marital.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
Infeksi Menular Seksual (IMS) pada pasien Poli Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam
Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus


Tujuan khusus pelaksanaan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan jenis penyakit yang
paling sering terjadi.
2. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan usia.
3. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan jenis kelamin.
4. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan tingkat pendidikan
terakhir.
5. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan pekerjaan.
6. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan status marital.

Universitas Sumatera Utara

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1.4.1. Bagi Peneliti
1.

Sebagai tambahan wawasan serta kesempatan penerapan ilmu yang telah


diperoleh selama mengikuti pendidikan di FK USU.

2.

Sebagai pemenuhan tugas akhir pendidikan di FK USU.

1.4.2. Bagi Pembaca


Dapat menjadi sumber informasi dan kelak dapat dipergunakan dalam hal
yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.

1.4.3. Bagi RSUP.H.Adam Malik Medan


1. Memberikan informasi mengenai jenis IMS yang paling sering didapati di RSUP
Haji Adam Malik Medan.
2. Memberikan informasi mengenai karakteristik dan distribusi populasi pengidap
IMS yang menjalani pengobatan di RSUP Haji Adam Malik Medan.
3. Memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan populasi
yang paling berisiko mengidap IMS, sehingga dapat melakukan diagnosa dini dan
penanganan yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai