Anda di halaman 1dari 21

GENETIKA

Aplikasi dan Inovasi Teknologi Transfer Embrio (TE) untuk Pengembangan


Sapi Potong
Oleh :
Kelompok : 6
Kelas : C
Nok Farida

200110140175

Hartiwi Andayani

200110140176

Nandar Ridwan

200110140177

Ega Erlangga

200110140178

Rismayanti

200110140179

LABORATORIUM PEMULIAAN TERNAK


DAN BIOMETRIKA
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2015

I
PENDAHULUAN
1. 1

Pendahuluan
Populasi sapi potong di Indonesia sekitar13,4 juta ekor (Ditjen

Peternakan,2003), yang sebahagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang


dikelola secara tradisional dan relatif sedikit menggunaka inovasi teknologi.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa dan masih terus bertambah pada
masa yang akan datang, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk
daging dan bahkan saat ini menjadi importer terbesar didunia.
Untuk mengembangkan peternakan sapipotong, pemerintah telah
mengembangkan beberapa kegiatan antara lain meningkatkan kwalitas genetik.
Seleksi atau upaya perbaikan mutu gentik untuk mendapatkan breed baruyang
unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan hasilnya kadang-kadang
tidak memuaskan. Hal ini terjadi karena adanya beberapa kendala yang secara riil
banyak dijumpai di lapang, seperti keterbatasan saranadan prasarana, populasi,
biaya, manajemen, dll. Disamping itu, bila sudah diperoleh sapi betina yang
berkualitas, masih ada kendala lain yaitu cara memperbanyak karena secara alami
seekor induk hanya mampu menghasilkan satuekor anak dalam setahun atau ratarata hanya mampu menghasilkan anak yang berkualita skurang dari 8 ekor
sepanjang hidupnya. Apalagi separuh dari anak yang dihasilkan adalah jantan.
Oleh sebab itu, untuk memperbaiki mutu genetik ternak dapat dilakukan sebuah
inovasi Teknologi Embrio (TE) untuk pengembangan sapi potong.
Aplikasi TE di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini
penelitian dan penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh
berbagai institusi, seperti BALITNAK, Balai Embrio Ternak, LIPI dan beberapa
Perguruan Tinggi seperti IPB, UGM,Brawijaya, Airlangga dll. Keberhasilan
teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan dampaknya untuk
perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih sangat minimal.
Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE masih belum

terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang
sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak.
Oleh sebab itu, pada makalah ini akan mereview atau menjelaskan
perkembangan beberapa aspek bioteknologi reproduksi antaralain transfer embrio
(TE) dalam upaya mendorong peningkatan produktivitas sapi potong, termasuk
kemungkinan mempercepat perkembangan populasi sapi yang berkualitas.
1. 2

Identifikasi Masalah

1.

Apa yang dimaksud dengan transfer embrio (TE).

2.

Apa faktor utama yang mempengaruhi aplikasi transfer embrio (TE).

3.

Bagaimana proses transfer embrio yang dilakukan dalam pengembangan


sapi potong.

1. 3

Maksud dan Tujuan

1.

Mengetahui yang dimaksud dengan transfer embrio (TE).

2.

Apa faktor utama yang mempengaruhi aplikasi transfer embrio (TE).

3.

Mengetahui proses transfer embrio yang dilakukan dalam pengembangan


sapi potong.

II
PEMBAHASAN
2. 1 Transfer Embrio (TE)
Teknologi TE (transfer embrio) pada sapi merupakan generasi kedua
bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Pada prinsipnya teknik
TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon
superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur
hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB
sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari donor
dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk resipien sampai terjadi
kelahiran. TE memungkinkan induk betina unggul memproduksi anak dalam
jumlah banyak tanpa harus bunting dan melahirkan. TE dapat mengoptimalkan
bukan hanya potensi dari jantan saja tetapi potensi betina berkualitas unggul juga
dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada proses reproduksi alamiah, kemampuan
betina untuk bunting hanya sekali dalam 1 tahun (9 bulan bunting ditambah
persiapan untuk bunting berikutnya) dan hanya mampu menghasilkan 1 atau 2
anak bila terjadi kembar. Menggunakan teknologi TE, betina unggul tidak perlu
bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa
ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas genetik ratarata tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
2. 2 Faktor Utama yang Mempengaruhi Aplikasi Transfer Embrio (TE)
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi. Teknologi pembekuan embrio yang
dihasilkan secara in vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan(Voekel dan
HU, 1992; Situmorang et al, 1993; Han et al, 1994). Dalam melakukan
pembekuan embrio ini menggunakan sejenis bahan kimia yang bernama
krioprotektan. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan

adalah antara lain 1), lama pemaparan (Taha dan Schellander, 1992) dimana lama
pemaparan 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10 menit (Rayos et al., 1994).
2. 3 Teknik yang dilakukan dalam Transfer Embrio (TE) dalam Pengembangan
Sapi Potong
a. Produksi embrio secara In Vivo
Produksi embrio secara in vivo juga dikenal dengan teknologi Multiple
Ovulation Embrio Transfer(MOET). Teknologi ini sudah sangat luas
diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir ini (CUNNINGHAM, 1999),
seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan negara maju lainnya. Tujuan
dari teknologi ini adalah untuk menghasilkan embrio yang banyak dalam satu
kali siklus. Hal ini dapat dicapai dengan penyuntikan hormon gonadotrophin
(FSH, PMSG) secara intra muscular pada siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan
PMSG dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH diberikan umumnya 2 x
sehari dengan interval waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian.
Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang tertampung lebih tinggi
dengan pemberian FSH dibanding PMSG (SEIDELdan SEIDEL,1982;
BOLANDdan ROCHE, 1991; SITUMORANGet al,1993, 1995). Tidak didapat
perbedaan yang nyata antara jenis dan produk dan metode pemberian FSH (3, 4
dan 5 hari) terhadap jumlah embrio yang tertampung (SITUMORANGet
al.,1993, 1994,1995) lebih lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga
dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hCG atau penyuntikan
FSH tunggal pada siklus berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah embrio yang
tertampung (SITUMORANGet al,1998). Saat ini produksi embrio dapat
mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 57 embrio/koleksi
yang layak untuk ditransfer atau dibekukan.Sehingga seekor sapi (donor)
secara teoritis dapat menghasilkan 2030 embrio per tahun. Donor yang
memberikan respons yang baik pada perlakuan superovulasi pertama juga
memberikan respons yang sama pada superovulasi yang berikutnya
(SITUMORANGet al,1993).

Untuk tujuan perbanyakan ternak yang berkualitas, teknologi MOET


akan sangat efektif, karena yang diperbaiki adalah hewannya (diploid), bukan
sekedar up-grading (haploid)seperti pada teknologi IB. Oleh karena itu
teknologi TE dapat dipandang sebagai upaya mengganti ternak yang ada
dengan populasi baru (breed replacement). Pada tahun 1997 aplikasi TE di
dunia sudah mencapai sekitar 460.000 embrio (THIBIER,1997) dan di India
aplikasi TE pada kerbau perah telah mencapai sekitar 1000 embrio
(CUNNINGHAM, 1999).
Faktor penghambat teknologi MOET ini adalah respons donor yang
masih sangat bervariasi terhadap perlakuan hormon sehingga satu individu
dapat menghasilkan sampai 30 embrio sedang individu yang lain tidak ada dan
hal ini baru dapat diketahui setelah pemberian hormon (HAFEZ1995).
Disamping itu harga hormon yang cukup tinggi juga menjadi faktor pembatas
didalam aplikasi teknologi MOET secara luas.Pemberian ekstrak hipofise dapat
memperpendek jarak beranak sapi perah dan kemungkinan pemberian ekstrak
ini sebagai pengganti hormon untuk tujuan superovulasi memerlukan penelitian
yang lebih lanjut (ISNAINI et al,2003).
b. Produksi embrio secara in vitro
Produksi embrio secara in vitro mencakup 3 aspek utama yaitu
pematangan sel telur (IVM), pembuahan sel telur (IVF) dan pembiakan embrio
(IVC) secara in vitro. Teknologi IVM/IVF/IVC sudah berkembang dengan
pesat, seperti yang telah dilaporkan oleh KANAGAWAet al (1995). Kelahiran
dari hasil fertilisasi in vitro ini berturut-turut terjadi pada kelinci (1958), mencit
(1968), tikus (1974), manusia (1978), sapi (1982), babi (1986) dan domba
(1986). Sel telur umumnya didapat dari ovari berasal dari rumah potong
hewan.Sel telur dikumpulkan dengan metode aspirasi maupun slising,
secepatnya setelah sapi dipotong kemudian dimatangkan secara in vitro.
Pematangan dilakukan pada media sederhana sampai yang kompleks
yang umumnya mengandung hormon estrogen, FSH, LH, prolactin,
progesterone ataupun protein ovari dan peptida (GORDON, 1994). Hormon

yang paling umum digunakan saat ini adalah FSH, estrogen dan LH (FUKUIet
al,1989; WIMERet al,1991; ZUELKEdan BRACKETT, 1993; EYESTONEdan
BOER,1993; KEFERet al,1993; SITUMORANGet al,1994). Penggunaan serum
sapi betina yang sudah estrus (ES) dilaporkan dapat digunakan untuk mengganti
penggunaan hormon sintetik (WAHYUNINGSIHet al,2003).
Keberhasilan pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
spermatozoa. Proses kapasitasi dapat dilakukan pada medium BO ataupun
CR1aa yang telah diberi tambahan kafein, heparin (RORENKRASS dan FIRST,
1991; NIWAet al,1993). TRIWULANNINGSIHet al. (2003) melaporkan bahwa
dengan menggunakan metoda kapasitasi sperma menggunakan metoda Percoll
gradient 45% dan 90% sebanyak 0,5 ml/lapis ternyata dapat meningkatkan
persentase perolehan expanded blastosis menjadi 33,02% (n = 1055 oosit) dari
21,06% (n = 1007 oosit) bila lapisan Percoll 2 ml/lapis. Media untuk pembiakan
yang banyak digunakan adalah media CR1aa, KSOM (protein free pottasium
simplexoptimize medium) maupun Synthetic oviductal fluid(SOF). Dilaporkan
bahwa medium CR1aa ternyata lebih cocok digunakan untuk kultur embrio sapi
dibandingkan medium KSOM (TRIWULANNINGSIHet al.,2002). Dengan
menggunakan media CR1aa telah diperoleh 31,2% expandedblastosis dari
61,5% blastosis (n = 1549 oosit), sementara dengan medium KSOM hanya 5,1%
yang berkembang dari 38,5% blastosis (n-675 oosit). Penambahan bovine
oviductal cells (BOEC) dan cumuslus granulosa monolayer sel sudah banyak
dilaporkan dapat meningkatkan persentase blastocyst (GOTOet al,1988;
WANGet al,1989; FUKUDAet al,1990; XUet al,1992; WAHYUNINGSIHet
al.,2003).
Secara umum teknologi pematangan, pembuahan dan pembiakan untuk
tujuan memproduksi embrio secara in vitrosudah sangat tersedia dan bukan lagi
merupakan hambatan untuk penerapan secara luas. Walaupun didapat variasi
persentase blastosist yang disebabkan perbedaan metode pematangan,
pembuahan dan pembiakan secara keseluruhan rataan persentase blastosist
adalah 3050%. Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur baik

secara kwantitatif maupun kwalitatif di dalam negeri (Indonesia). Untuk itu


sumber sel telur dari negara yang sudah maju antara lain Australia Selandia
Baru, Amerika maupun Eropa perlu dipikirkan. Hal ini sangat memungkinkan
dilakukan pada era globalisasi ini dengan modifikasi teknologi pematangan.
TRIWULANNINGSIHet al.(2001) melaporkan bahwa oosit dapat
dikultur dalam media TCM-199 pada suhu 300C selama 30 sampai 36 jam dan
setelah difertilisasi dapat terus berkembang menjadi blastosis dan bahkan
expandedblastosis. Kemampuan oosit yang mengalami cleveagememperlihatkan
keadaan oosit tersebut telah cukup matang untuk difertilisasi, namun demikian
kemampuan untuk terus berkembang menjadi expandedblastosis tergantung pula
pada medium kultur yang digunakan, pada penelitian tersebut digunakan
medium KSOM (protein free pottasium simplexoptimize medium) yang telah
dijual secara komersiel di Amerika.
JASWANDI(2002) melaporkan penggunaan hepes dan butiran efervesen
dalam sistem inkubasi produksi embrio domba secara in vitro,memungkinkan
pematangan sel telur dapat dilakukan selama perjalanan tanpa menggunakan
CO2 inkubator yang konventional.Sehingga waktu penerbangan dari negara
maju misalnya Amerika, Australia dll sampai Indonesia menjadi tidak
merupakan halangan yang berarti lagi. Dengan demikian produksi sapi potong
dapat dilakukan secara efisien yaitu memproduksi hygrid embrio dari sel telur
negara maju dan ditransfer ke sapi lokal yang sudah terbukti telah beradaptasi
pada lingkungan tropis dan mempunyai fertilitas yang tinggi. Sistem proksi
seperti ini telah menjadi program IVF secara terbatas di Balitnak dengan
memanfaatkan sel telur sapi perah dari Wisconsin, USA, lalu difertilisasi dengan
sperma Bos sondaicus (Banteng) untuk selanjutnya di transfer ke resipien di
Indonesia (TRIWULANNINGSIH et al., 1999).
Alternatif lain sebagai sumber sel telur dapat diperoleh dari sapi betina
muda (umur 4-6 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya untuk berproduksi
secara normal kembali setelah dewasa. Penelitian telah dilakukan di Balitnak
dimana sel telur ditampung dengan jalan operasi dari sapi betina muda yang

telah sebelumnya mendapatkan perlakuan superovulasi, kemudian sel telur yang


terkumpul di fertilisasi secara in vitro. Kegiatan ini dilakukan setiap bulan
dengan harapan anak sapi tersebut dapat mempunyai anak sebelum dia sendiri
dewasa, sebab blastosist yang dihasilkan akan ditransfer pada resipien yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan teknologi ini diharapkan dapat
dilakukan pembuatan sapi komposit, karena sel telur anak sapi hasil persilangan
(umur 3 bulan) dapat disilangkan lagi dengan bangsa sapi yang lain. Penelitian
yang telah dilakukan di Balitnak, menunjukkan bahwa penggunaan CIDR
(Control Intravaginal Divice Release) yang berisi 0.3 mg progesterone dalam
inert silicone elastomer (InterAg, 558, Hamilton, NZ Asutralia) selama 5 hari
dan dikombinasikan dengan perlakuan injeksi Folicle Stimulating Hormone
(FSH, Research Institute of Animal Science, Malianwa, Haidian, Beijing,
China) selama 3 hari berturut-turut dengan dosis menurun dan interval 12 jam,
dapat meningkatkan jumlah oosit yang dapat dikoleksi (LUBIS et al., 2002).
Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang dikombinasikan dengan FSH
dapat menstimulasi pertumbuhan folikel dan meningkatkan jumlah oosit yang
dihasilkan.Sementara itu AMSTRONG (1992) melaporkan bahwa embrio yang
diperoleh dari oosit anak sapi muda dapat mencapai blatosis (28%), sedangkan
yang dari oosit abattoir diperoleh 17%blastosis. TRIWULANNINGSIHet al.,
(2001) melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama 5 hari dan injeksi 2.4 mg
FSH adalah dosis yang baik untuk juvenileberumur sekitar 4-5 bulan. Karena
dengan dosis tersebut dapat diperoleh oosit dan morula yang paling banyak
dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2 mg dan 3,6 mg).
Namun demikian keberhasilan teknologi ini masih bervariasi diantara
berbagai Laboratorium IVF. Walaupun aplikasi teknik ini secara praktis dapat
mengurangi generasi interval (L), faktor penghambat adalah masih tetap
menggunakan hormon dan proses operasi yang memerlukan biaya yang cukup
mahal.

c. Pembekuan embrio
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer
adalah kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa
sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi. Teknologi pembekuan
embrio yang dihasilkan secara in vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan
(VOEKELdan HU, 1992; SITUMORANGet al,1993; HANet al,1994). Menurut
GORDON(1994) krioprotektan yang biasa digunakan untuk pembekuan sel
dibagi dua kelompok yaitu 1) kelompok extrasellular yaitu krioprotektan yang
mempunyai molekul yang besar dan tidak mampu menembus membran antara
lain PVP (Polivinil pirolidon ), sukrosa, rafinosa, laktosa, dll., dan 2) kelompok
krioprotektan intrasellular yaitu dengan molekul kecil dan dapat melewati
membrane termasuk antara lain glycerol, dimethylsulfiuxida (DMSO), ethylene
glycol, 1,2 propanideol. Krioprotektan ethylin glycol dilaporkan lebih baik
dibanding DMSO maupun glycerol (SITUMORANGet al.,1993;
WAHYUNINGSIHet al.,2003).
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan adalah antara
lain 1), lama pemaparan (TAHAdan SCHELLANDER, 1992) dimana lama
pemaparan 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10 menit (RAYOSet
al.,1994), 2) konsentrasi krioprotektan (VICENTEdan GARCIA XIMENEZ,
1994).
d.Transfer embrio (TE)
Keberhasilan teknologi TE dengan menggunakan embrio baik secara in
vivo maupun in vitro ditunjukkan dengan keberhasilan menghasilkan anak yang
dilahirkan dengan kwalitas yang di inginkan. Kesiapan ternak resipien sangat
memegang peranan penting. Koleksi dan TE saat ini sudah dapat dilakukan
dengan cara non-operasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya
disamping biayanya relatif lebih ekonomis. Keberhasilan transfer embrio segar
dapat mencapai 5565%, sedangkan embrio beku sekitar 5060% (HASLER,
1995). Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai
10% (LOHUIS, 1995) yang jauh diatas metoda konvensional yang hanya sekitar

25%. Penerimaan dan kesuksesan TE sangat berkembang setelah koleksi dan


TE saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara non-operasi, sehingga akan
memudahkan pelaksanaannya disamping biayanya relatif lebih ekonomis
(KUZAN dan SEIDEL, 1986).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan TE dengan non
operasi yaitu antara lain keterampilan dan pengalaman inseminator (PARKet
al.,1991; THIEBERdan NIBART, 1992), sinkronisasi antara donor dan resipien
(SHWORTH, 1992) dan metode sinkronisasi dan deteksi estrus (ROCHE, 1989;
SENGER, 1993). Penelitian menunjukkan bahwa kwalitas corpus luteumyang
baik untuk menghasilkan hormon progesteron yang cukup dalam memelihara
kebuntingan sangat perlu. Penyuntikan hCG untuk memperbaiki ovulasi yang
akhirnya meningkatkan kwalitas corpus luteum dapat meningkatkan persentase
kebuntingan sapi yang mendapatkan TE (SITUMORANGet al.,1999).
Endometerium uterus resipien yang tidak siap dan tidak mampu
mempertahankan kebuntingan akan mengakibatkan kegagalan kebuntingan
setelah 23 bulan. Kerjasama dengan KUD Tanjungsari, Sumedang dalam
transfer embrio hasil fertilisasi in vitromaupun in vivosegar diperoleh hasil yang
cukup baik, dengan rata-rata persentase kebuntingan 50%
(TRIWULANNINGSIH, 2002), pada penelitian tersebut telah diinjeksikan 2 ml
IFN pada resipien di hari ke 11 setelah estrus, dengan harapan resipien dapat
mempertahankan konseptus.
Reproduksi ternak sangat dipengaruhi oleh faktor nutrisi/pakan.Dalam
melaksanakan TE sinkronisasi antara embrio dengan endometrium resipien
sangat berpengaruh pada keberhasilan implantasi embrio. ASHWORTH(1992)
menyatakan bahwa adanya produk konseptus (embrio) untuk menghasilkan
bovine trophoblast protein-one(bTP-1) yang kini disebut sebagai interferon
(IFN),dimana protein tersebut bertanggung jawab pada pencegahan regresi
corpus luteumkarena adanya protaglandin (PGF2), agar corpus luteumtetap
menghasilakan progesteron untuk mempertahankan kebuntingan.

III
KESIMPULAN
1. Pada prinsipnya teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina
unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam
jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa
unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul.
2. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi.
3. Beberapa teknik transfer embrio yang dilakukan dalam pengembangan sapi
potong adalah produksi embrio secara in vivo, produksi embrio secara in vitro,
pembekuan embrio, dan transfer embrio.

DAFTAR PUSTAKA
A
MSTRONG

,
D.T. 1993. Recent advances in
superovulation of cattle.
Theriogenology
39:
7-24.
A
SHWORTH

,
C.J. 1992.Synchrony embryo-uterus.
In:
Clinical Trends and Basic Research in
Animal Reproduction.Elsevier. AmsterdamLondon-New York-Tokyo. pp. 259-267.
B
OLAND

,
M.P.
and
J.F.
R
OCHE

. 1991. Embryo
production:
Alternatives
methods.
International
Trend of the Research on Animal Embryo
Transfer. pp. 2-13.
B
REM

. 1995. Splitting and Sexing of bovine embryo.


In:
FAO Animal Production and Health
Division. Biotechnology for livestock
production. pp. 71-78.
B
URNS

.
D.
2002. Enchancing efficiency in cow -calf
production. http;//www
.colostate.e
du/depts/
AES/projs/670.htm.
C
AMBELL

,
K.H.S.,
J.
M

W
HIR

,
W.A.
R
ITCHIE

and
I.
W
ILNUT

.
1996. Sheep cloned by nuclear
transfer from a cultured cell line.
Nature
380:
64-66.
C
UNNINGHAM

,
E.P. 1999. Recent developments in
biotecnology as they related to animal genetic
resources for food and agricultural.
Commision on Genetic Resources for Food
and Agriculture.
D
IWYANTO

,
K.,
S
UPAR

dan
T
RIWULANNINGSIH

,
E.
2000. Perkembangan bioteknologi peternakan
dan prospek penerapannya di Indonesia.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Bioteknologi Pertanian. Badan Litbang
Deptan.
D
OWSON

,
R.M.C.,
D.C.
E
LLIOT

,
W.H.
E
LLIOT

dan
K.M.
J

ONES

.
1986. data for biochemical
research 3
rd

edition. Oxford Science


Publication. New York:514-515.
E
KAYANTI

M.
K
AIIN

,
M.
G
UNAWAN

.,
S
YAHRUDDIN

S
AID

dan
B.
T
APPA

.
2004. Fertilisasi dan
perkembangan oosit sapi hasil IVF dengan
sperma hasil pemisahan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.hlm. 31.
E
YESTONE

,
W.H.
and
N.L.
F
IRST

. 1989. Co-culture
of early bovine embryos to the blastocyst
stage with oviductal tissue or in conditioned
medium.
J. Reprod. Fert
. 85: 715-720.
F
UKUDA

F.,
M.
I
CHIKAWA

.,
K.
N
AITO

and
Y.

T
OYODA

.
1990 Birth of normal calves
resulting from bovine oocytesmatured,
fertilized and cultured with cumulus cells
invitro up to the blastocyst stage.
Biol.
Reprod.
42:114-119
F
UKUI

,
Y.,
M.
F
UKUSHIMA

and
O
NO

. 1989. Effect of
sera, hormone and granulosa cells added to
culture media for
in vitro
maturation,
fertilization, cleavage and development of
bovine oocytes.
J. Reprod. Fert
. 86:501-506.
G
ORDON

,
I. (1994). Laboratory Production of Cattle
Embryos. Cab International, University Press,
Cambridge.
G
OTO

,
K.,
Y.
K
AJIHARA

.,
S.
K
OSAKA

.,
M.
K
OBA

.,
Y.
N
AKANISHI

and

K.
O
GAWA

. 1988. Pregnancies
after co-culture of cumulus cells with bovine
embryos derived from
in vitro
fertilization of
invitro matured fo
lliculars oocytes.
J. Reprod.
Fert.
83: 753-758.
H
AN

,
Y.M.,
H.
Y
AMASHINA

.,
N.
K
OYAMA

.,
K.K
L
EE

dan
Y.
F
UKUI

.
Effect of quality and
development stage on the survival of FIVderived bovine blastocyst cultured
in vitro
after freezing and thawing.
Theriogenology
42: 645-654.
H
AFEZ

,
E.S.E. 1993.Reproduction in Farm Animals.
6
th

Ed. Lea & Febiger Philadelphia.


H
ASLER

,
J.F.
1995. Production, freezing and transfer
of bovine IVF embryos and subsequent
calving results.
Theriogenology

43:141-152.
I
SNAINI

.
N.,
S
UYADI

.,
I.K.
S
UTAMA

dan
P.
S
ITUMORANG

. 2003. Upaya memperpendek


selang beranak sapi perah anestrus post
partum melalui pemberian ekstrak hipofise
sapi. Laporan PAATP Departemen Pertanian
2003.
J
ASWANDI

.
2002. Penggunaan hepes dan butiran
efervesen dalam sistim incubasi pada produksi
embrio domba secara
in vitro
. Thesis Doktor
pada Program pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
K
EEFER

,
C.L.,
S.L
S
TICE

and
A.M
P
APROCKI

.
1993.
Effect of Follicle Stimulating Hormone and
Lutenizing hormone during bovine
in vitro
mob ion on development following invitro
fertilization and nuclear transfer.
J. Mol.
Reprod. and Dev.
, 36: 469-474.
K
VASNICKII

,
A.V.

1951. Interbreed ovo


transplantations. Animal Breeding Abstract
19: 224.
K
IRPATRICK

,
B.W.
and
R.L.M
ONSON

. 1993.
Sensitive sex determination assay applicable
to bovine embryos derived from IVM and
IVF. J.Reproduction and Fertility 98:335-340.
K
ANAGAWA

,
H.,
O
A
BAS

-M
AZNI

and
C.A.V
ALDEZ

.
1995. Oocyte maturation and
in vitro
fertilization.
In:
FAO Biotechnology for
Livestock Production. pp. 79-95.
K
ATO

,
Y.,
T.T
ANI

,
Y.S
OTOM

.
RU

,
K.K
UROKAWA

,
J.K
ATO

,
H.D
OGUCHI

,
H.Y
ASUE

and
Y
T
SUNODA

. 1998. Eight calves cloned from


somatic cells of a single adult.
Science
282
2095-2098.
K
UZAN

,
F.B
and
Q.E
S
EIDEL

. 1986.
Embryo Transfer
in Animals
.
In:
Developmental Biology Vol 4.
Manipulation of Mammalian Development.
G
WATKIN

R.B.L. (Ed.). Plenum Press, London


L
OHUIS

,
M.M. 1995. Potential benefits of bovine
embryo-manipulation technologies to genetic
improvements programs.
Theriogenology
43:
51-60.
L
UBIS

,
A.M.
P.
S
ITUMORANG

,
E.
T
RIWULANNINGSIH

dan T.
S
UGIARTI

. 2002. Pengaruh stimulasi


CIDR terhadap perkembangan folikel bovine
oosit folikel
juvenile
yang diperoleh melalui

laparotomy. Seminar Nasional Teknologi


Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan. Badan Litbang. Deptan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Alat Dan Bahan Praktikum MTU
    Alat Dan Bahan Praktikum MTU
    Dokumen2 halaman
    Alat Dan Bahan Praktikum MTU
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • Nda
    Nda
    Dokumen4 halaman
    Nda
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • 3 DH
    3 DH
    Dokumen4 halaman
    3 DH
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • Abstrak Dan Kesimpulan (Magda)
    Abstrak Dan Kesimpulan (Magda)
    Dokumen2 halaman
    Abstrak Dan Kesimpulan (Magda)
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • 3 DH
    3 DH
    Dokumen4 halaman
    3 DH
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • ABab
    ABab
    Dokumen7 halaman
    ABab
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • Laporan Praktikum Penentuan Kadar Protein
    Laporan Praktikum Penentuan Kadar Protein
    Dokumen12 halaman
    Laporan Praktikum Penentuan Kadar Protein
    Subhan Aristiadi Rachman
    75% (8)
  • Fok
    Fok
    Dokumen2 halaman
    Fok
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • India John
    India John
    Dokumen1 halaman
    India John
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • Ikan Mas
    Ikan Mas
    Dokumen2 halaman
    Ikan Mas
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • Budaya Selfie
    Budaya Selfie
    Dokumen8 halaman
    Budaya Selfie
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • 2014 Sistem Hormon
    2014 Sistem Hormon
    Dokumen36 halaman
    2014 Sistem Hormon
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • FKKHFKHFKDHF
    FKKHFKHFKDHF
    Dokumen2 halaman
    FKKHFKHFKDHF
    Nandar Ridwan N
    Belum ada peringkat
  • POTENSI HIDUP
    POTENSI HIDUP
    Dokumen9 halaman
    POTENSI HIDUP
    Muhammad Ramdhan Gani
    Belum ada peringkat