200110140175
Hartiwi Andayani
200110140176
Nandar Ridwan
200110140177
Ega Erlangga
200110140178
Rismayanti
200110140179
I
PENDAHULUAN
1. 1
Pendahuluan
Populasi sapi potong di Indonesia sekitar13,4 juta ekor (Ditjen
terfokus dengan baik. Padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang
sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak.
Oleh sebab itu, pada makalah ini akan mereview atau menjelaskan
perkembangan beberapa aspek bioteknologi reproduksi antaralain transfer embrio
(TE) dalam upaya mendorong peningkatan produktivitas sapi potong, termasuk
kemungkinan mempercepat perkembangan populasi sapi yang berkualitas.
1. 2
Identifikasi Masalah
1.
2.
3.
1. 3
1.
2.
3.
II
PEMBAHASAN
2. 1 Transfer Embrio (TE)
Teknologi TE (transfer embrio) pada sapi merupakan generasi kedua
bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Pada prinsipnya teknik
TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon
superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur
hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB
sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari donor
dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk resipien sampai terjadi
kelahiran. TE memungkinkan induk betina unggul memproduksi anak dalam
jumlah banyak tanpa harus bunting dan melahirkan. TE dapat mengoptimalkan
bukan hanya potensi dari jantan saja tetapi potensi betina berkualitas unggul juga
dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada proses reproduksi alamiah, kemampuan
betina untuk bunting hanya sekali dalam 1 tahun (9 bulan bunting ditambah
persiapan untuk bunting berikutnya) dan hanya mampu menghasilkan 1 atau 2
anak bila terjadi kembar. Menggunakan teknologi TE, betina unggul tidak perlu
bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa
ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas genetik ratarata tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
2. 2 Faktor Utama yang Mempengaruhi Aplikasi Transfer Embrio (TE)
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi. Teknologi pembekuan embrio yang
dihasilkan secara in vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan(Voekel dan
HU, 1992; Situmorang et al, 1993; Han et al, 1994). Dalam melakukan
pembekuan embrio ini menggunakan sejenis bahan kimia yang bernama
krioprotektan. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan
adalah antara lain 1), lama pemaparan (Taha dan Schellander, 1992) dimana lama
pemaparan 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10 menit (Rayos et al., 1994).
2. 3 Teknik yang dilakukan dalam Transfer Embrio (TE) dalam Pengembangan
Sapi Potong
a. Produksi embrio secara In Vivo
Produksi embrio secara in vivo juga dikenal dengan teknologi Multiple
Ovulation Embrio Transfer(MOET). Teknologi ini sudah sangat luas
diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir ini (CUNNINGHAM, 1999),
seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan negara maju lainnya. Tujuan
dari teknologi ini adalah untuk menghasilkan embrio yang banyak dalam satu
kali siklus. Hal ini dapat dicapai dengan penyuntikan hormon gonadotrophin
(FSH, PMSG) secara intra muscular pada siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan
PMSG dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH diberikan umumnya 2 x
sehari dengan interval waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian.
Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang tertampung lebih tinggi
dengan pemberian FSH dibanding PMSG (SEIDELdan SEIDEL,1982;
BOLANDdan ROCHE, 1991; SITUMORANGet al,1993, 1995). Tidak didapat
perbedaan yang nyata antara jenis dan produk dan metode pemberian FSH (3, 4
dan 5 hari) terhadap jumlah embrio yang tertampung (SITUMORANGet
al.,1993, 1994,1995) lebih lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga
dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hCG atau penyuntikan
FSH tunggal pada siklus berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah embrio yang
tertampung (SITUMORANGet al,1998). Saat ini produksi embrio dapat
mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 57 embrio/koleksi
yang layak untuk ditransfer atau dibekukan.Sehingga seekor sapi (donor)
secara teoritis dapat menghasilkan 2030 embrio per tahun. Donor yang
memberikan respons yang baik pada perlakuan superovulasi pertama juga
memberikan respons yang sama pada superovulasi yang berikutnya
(SITUMORANGet al,1993).
yang paling umum digunakan saat ini adalah FSH, estrogen dan LH (FUKUIet
al,1989; WIMERet al,1991; ZUELKEdan BRACKETT, 1993; EYESTONEdan
BOER,1993; KEFERet al,1993; SITUMORANGet al,1994). Penggunaan serum
sapi betina yang sudah estrus (ES) dilaporkan dapat digunakan untuk mengganti
penggunaan hormon sintetik (WAHYUNINGSIHet al,2003).
Keberhasilan pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
spermatozoa. Proses kapasitasi dapat dilakukan pada medium BO ataupun
CR1aa yang telah diberi tambahan kafein, heparin (RORENKRASS dan FIRST,
1991; NIWAet al,1993). TRIWULANNINGSIHet al. (2003) melaporkan bahwa
dengan menggunakan metoda kapasitasi sperma menggunakan metoda Percoll
gradient 45% dan 90% sebanyak 0,5 ml/lapis ternyata dapat meningkatkan
persentase perolehan expanded blastosis menjadi 33,02% (n = 1055 oosit) dari
21,06% (n = 1007 oosit) bila lapisan Percoll 2 ml/lapis. Media untuk pembiakan
yang banyak digunakan adalah media CR1aa, KSOM (protein free pottasium
simplexoptimize medium) maupun Synthetic oviductal fluid(SOF). Dilaporkan
bahwa medium CR1aa ternyata lebih cocok digunakan untuk kultur embrio sapi
dibandingkan medium KSOM (TRIWULANNINGSIHet al.,2002). Dengan
menggunakan media CR1aa telah diperoleh 31,2% expandedblastosis dari
61,5% blastosis (n = 1549 oosit), sementara dengan medium KSOM hanya 5,1%
yang berkembang dari 38,5% blastosis (n-675 oosit). Penambahan bovine
oviductal cells (BOEC) dan cumuslus granulosa monolayer sel sudah banyak
dilaporkan dapat meningkatkan persentase blastocyst (GOTOet al,1988;
WANGet al,1989; FUKUDAet al,1990; XUet al,1992; WAHYUNINGSIHet
al.,2003).
Secara umum teknologi pematangan, pembuahan dan pembiakan untuk
tujuan memproduksi embrio secara in vitrosudah sangat tersedia dan bukan lagi
merupakan hambatan untuk penerapan secara luas. Walaupun didapat variasi
persentase blastosist yang disebabkan perbedaan metode pematangan,
pembuahan dan pembiakan secara keseluruhan rataan persentase blastosist
adalah 3050%. Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur baik
c. Pembekuan embrio
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer
adalah kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa
sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi. Teknologi pembekuan
embrio yang dihasilkan secara in vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan
(VOEKELdan HU, 1992; SITUMORANGet al,1993; HANet al,1994). Menurut
GORDON(1994) krioprotektan yang biasa digunakan untuk pembekuan sel
dibagi dua kelompok yaitu 1) kelompok extrasellular yaitu krioprotektan yang
mempunyai molekul yang besar dan tidak mampu menembus membran antara
lain PVP (Polivinil pirolidon ), sukrosa, rafinosa, laktosa, dll., dan 2) kelompok
krioprotektan intrasellular yaitu dengan molekul kecil dan dapat melewati
membrane termasuk antara lain glycerol, dimethylsulfiuxida (DMSO), ethylene
glycol, 1,2 propanideol. Krioprotektan ethylin glycol dilaporkan lebih baik
dibanding DMSO maupun glycerol (SITUMORANGet al.,1993;
WAHYUNINGSIHet al.,2003).
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan adalah antara
lain 1), lama pemaparan (TAHAdan SCHELLANDER, 1992) dimana lama
pemaparan 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10 menit (RAYOSet
al.,1994), 2) konsentrasi krioprotektan (VICENTEdan GARCIA XIMENEZ,
1994).
d.Transfer embrio (TE)
Keberhasilan teknologi TE dengan menggunakan embrio baik secara in
vivo maupun in vitro ditunjukkan dengan keberhasilan menghasilkan anak yang
dilahirkan dengan kwalitas yang di inginkan. Kesiapan ternak resipien sangat
memegang peranan penting. Koleksi dan TE saat ini sudah dapat dilakukan
dengan cara non-operasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya
disamping biayanya relatif lebih ekonomis. Keberhasilan transfer embrio segar
dapat mencapai 5565%, sedangkan embrio beku sekitar 5060% (HASLER,
1995). Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai
10% (LOHUIS, 1995) yang jauh diatas metoda konvensional yang hanya sekitar
III
KESIMPULAN
1. Pada prinsipnya teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina
unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam
jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa
unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul.
2. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
kemampuan untuk membekukan embrio seperti halnya spermatozoa sehingga
memudahkan penyimpanan dan transportasi.
3. Beberapa teknik transfer embrio yang dilakukan dalam pengembangan sapi
potong adalah produksi embrio secara in vivo, produksi embrio secara in vitro,
pembekuan embrio, dan transfer embrio.
DAFTAR PUSTAKA
A
MSTRONG
,
D.T. 1993. Recent advances in
superovulation of cattle.
Theriogenology
39:
7-24.
A
SHWORTH
,
C.J. 1992.Synchrony embryo-uterus.
In:
Clinical Trends and Basic Research in
Animal Reproduction.Elsevier. AmsterdamLondon-New York-Tokyo. pp. 259-267.
B
OLAND
,
M.P.
and
J.F.
R
OCHE
. 1991. Embryo
production:
Alternatives
methods.
International
Trend of the Research on Animal Embryo
Transfer. pp. 2-13.
B
REM
.
D.
2002. Enchancing efficiency in cow -calf
production. http;//www
.colostate.e
du/depts/
AES/projs/670.htm.
C
AMBELL
,
K.H.S.,
J.
M
W
HIR
,
W.A.
R
ITCHIE
and
I.
W
ILNUT
.
1996. Sheep cloned by nuclear
transfer from a cultured cell line.
Nature
380:
64-66.
C
UNNINGHAM
,
E.P. 1999. Recent developments in
biotecnology as they related to animal genetic
resources for food and agricultural.
Commision on Genetic Resources for Food
and Agriculture.
D
IWYANTO
,
K.,
S
UPAR
dan
T
RIWULANNINGSIH
,
E.
2000. Perkembangan bioteknologi peternakan
dan prospek penerapannya di Indonesia.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Bioteknologi Pertanian. Badan Litbang
Deptan.
D
OWSON
,
R.M.C.,
D.C.
E
LLIOT
,
W.H.
E
LLIOT
dan
K.M.
J
ONES
.
1986. data for biochemical
research 3
rd
M.
K
AIIN
,
M.
G
UNAWAN
.,
S
YAHRUDDIN
S
AID
dan
B.
T
APPA
.
2004. Fertilisasi dan
perkembangan oosit sapi hasil IVF dengan
sperma hasil pemisahan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.hlm. 31.
E
YESTONE
,
W.H.
and
N.L.
F
IRST
. 1989. Co-culture
of early bovine embryos to the blastocyst
stage with oviductal tissue or in conditioned
medium.
J. Reprod. Fert
. 85: 715-720.
F
UKUDA
F.,
M.
I
CHIKAWA
.,
K.
N
AITO
and
Y.
T
OYODA
.
1990 Birth of normal calves
resulting from bovine oocytesmatured,
fertilized and cultured with cumulus cells
invitro up to the blastocyst stage.
Biol.
Reprod.
42:114-119
F
UKUI
,
Y.,
M.
F
UKUSHIMA
and
O
NO
. 1989. Effect of
sera, hormone and granulosa cells added to
culture media for
in vitro
maturation,
fertilization, cleavage and development of
bovine oocytes.
J. Reprod. Fert
. 86:501-506.
G
ORDON
,
I. (1994). Laboratory Production of Cattle
Embryos. Cab International, University Press,
Cambridge.
G
OTO
,
K.,
Y.
K
AJIHARA
.,
S.
K
OSAKA
.,
M.
K
OBA
.,
Y.
N
AKANISHI
and
K.
O
GAWA
. 1988. Pregnancies
after co-culture of cumulus cells with bovine
embryos derived from
in vitro
fertilization of
invitro matured fo
lliculars oocytes.
J. Reprod.
Fert.
83: 753-758.
H
AN
,
Y.M.,
H.
Y
AMASHINA
.,
N.
K
OYAMA
.,
K.K
L
EE
dan
Y.
F
UKUI
.
Effect of quality and
development stage on the survival of FIVderived bovine blastocyst cultured
in vitro
after freezing and thawing.
Theriogenology
42: 645-654.
H
AFEZ
,
E.S.E. 1993.Reproduction in Farm Animals.
6
th
,
J.F.
1995. Production, freezing and transfer
of bovine IVF embryos and subsequent
calving results.
Theriogenology
43:141-152.
I
SNAINI
.
N.,
S
UYADI
.,
I.K.
S
UTAMA
dan
P.
S
ITUMORANG
.
2002. Penggunaan hepes dan butiran
efervesen dalam sistim incubasi pada produksi
embrio domba secara
in vitro
. Thesis Doktor
pada Program pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
K
EEFER
,
C.L.,
S.L
S
TICE
and
A.M
P
APROCKI
.
1993.
Effect of Follicle Stimulating Hormone and
Lutenizing hormone during bovine
in vitro
mob ion on development following invitro
fertilization and nuclear transfer.
J. Mol.
Reprod. and Dev.
, 36: 469-474.
K
VASNICKII
,
A.V.
,
B.W.
and
R.L.M
ONSON
. 1993.
Sensitive sex determination assay applicable
to bovine embryos derived from IVM and
IVF. J.Reproduction and Fertility 98:335-340.
K
ANAGAWA
,
H.,
O
A
BAS
-M
AZNI
and
C.A.V
ALDEZ
.
1995. Oocyte maturation and
in vitro
fertilization.
In:
FAO Biotechnology for
Livestock Production. pp. 79-95.
K
ATO
,
Y.,
T.T
ANI
,
Y.S
OTOM
.
RU
,
K.K
UROKAWA
,
J.K
ATO
,
H.D
OGUCHI
,
H.Y
ASUE
and
Y
T
SUNODA
,
F.B
and
Q.E
S
EIDEL
. 1986.
Embryo Transfer
in Animals
.
In:
Developmental Biology Vol 4.
Manipulation of Mammalian Development.
G
WATKIN
,
M.M. 1995. Potential benefits of bovine
embryo-manipulation technologies to genetic
improvements programs.
Theriogenology
43:
51-60.
L
UBIS
,
A.M.
P.
S
ITUMORANG
,
E.
T
RIWULANNINGSIH
dan T.
S
UGIARTI