MENGGUNAKAN TANK MODEL: Masalah dan Tantangan di Provinsi Aceh Indonesia Model curah hujan limpasan adalah tema penelitian yang sedang berkembang. Salah satu model curah hujan limpasan adalah dengan tank model, diperkenalkan oleh Sugawara, seorang ahli hidrologi Jepang untuk menjelaskan fenomena aliran air dari daerah aliran sungai. Pada awalnya penggunaan tank model hanya populer di Jepang, namun karena tank model dianggap sederhana dan terbukti memberikan hasil simulasi yang baik sehingga mengundang banyak peneliti dari luar Jepang yang menggunakan tank model untuk menganalisis hubungan curah hujan limpasan. Banyak peneliti melaporkan tank model telah menunjukkan kemampuannya untuk model dari perilaku hidrologi dari berbagai daerah aliran sungai. Penelitian tentang penggunaan tank model di Jepang, di Malaysia, di Indonesia menghasilkan banyak literatur tentang analisis hubungan curah hujan limpasan daerah aliran sungai. Para peneliti menggunakan tank model untuk memprediksi banjir dan ketersediaan air pada suatu daerah aliran sungai. Tank model dianggap mampu menjelaskan fenomena aliran air dengan menggunakan data curah hujan sebagai input dan menghasilan pembuangan sebagai output. Sebuah tank model adalah konsep sederhana yang menggunakan satu atau lebih tanki diilustrasikan sebagai waduk pada daerah aliran sungai yang mempertimbangkan curah hujan sebagai input dan menghasilkan output sebagai limpasan permukaan, aliran bawah permukaan, aliran menengah permukaan, sub aliran dasar dan aliran dasar sebagai output. Peningkatan kinerja tank model dilakukan dengan trial dan kesalahan atau otomatis dengan membandingkan debit sejarah dengan debit simulasi yang dihasilkan dari tank model. Ada beberapa masalah dan tantangan dalam penggunaan tank model, khususnya untuk Aceh, Indonesia. Pertama adalah kurangnya diamati pembuangan karena kurangnya AWLR (Automatic Water Level Recorder) untuk memantau observasi harian. Debit sungai di stasiun hidrometri. Secara umum, AWLR (jika tersedia) diatur dalam outlet sungai utama dan jarang dilakukan untuk semua outle nak sungai dari daerah aliran sungai. Kedua, data curah hujan sebagai masukan tidak cukup tersedia karena kurangnya perwwakilan dari stasiun curah hujan. Ketiga, total debit diamati yang digunakan untuk mengkalibrasi tank model berasal dari beberapa jenis tanah dan penggunaan lahan yang didistribusikan di berbagai daerah aliran sungai. Curah hujan dimasukkan dalam tank palin atas, dan penguapan atau evapotranspirasi dikurangi dari tanki atas. Jika tidak ada air dari tanki atas, penguapan dikurangi dari tangki kedua. Jika tidak terdapat air di tank atas maupun tank kedua, penguapan dikurangi dari tanki ketiga dan seterusnya. Output dari outlet sisi dianggap sebagai limpasan. Output dari tanki atas dianggap sebagai limpasan permukaan, dan limpasan sub permukaan, keluaran dari tanki kedua sebagai aliran menengah, dari tangki ketiga sebagai aliran sub base, dan output dari tanki keempat sebagi aliran dasar. Proses air masuk ke tanah dianggap sebagai infiltrasi dan jika infiltrasi konstant maka perkolasi akan muncul. Banyak faktor yang mempengaruhi fenomena curah hujan limpasan diberbagai daerah aliran sungai seperti jenis tanah, jenis penggunaan lahan, dan curah hujan. Secara umum, pengaruh faktor faktor ini diabaikan. Para peneliti mungkin berfikir bahwa mereka tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja tank model. DAS memiliki beberapa jenis tanah yang didistribusikan ke seluruh daerah aliran sungai. Lima besar daerah aliran sungai (Aih Babat, Krueng Aceh, Lawe Alas, Krueng Pase dan Krueng Peusangan) di Provinsi Aceh, Indonesia, misalnya memiliki beberapa jenis tanah seperti Inceptisol, Andisol, Entisol, Ultisol dan Histosol. Masing masing jenis tanah ini memiliki tanah khusus misalnya tanah, tekstur, struktur dan bahan organik, yang berbeda dari yang lainnya. Infiltrasi dan fenomena limpasan dari berbagai daerah aliran sungan dipengaruhi oleh kandungan tanah. Masalah dan tantangan dalam menganalisis model curah hujan limpasan menggunakan tank model di provinsi Aceh adalah kurangnya debit yang diamati dan data curah hujan serta keberagaman dari berbagai daerah aliran sungai seperti jenis tanah, jenis penggunaan lahan dan intensitas hujan. Data penggunaan lahan dapat ditingkatkan dengan menggunakan foto udara untuk mendukung validasi jenis penggunaan tanah yang ada.