Anda di halaman 1dari 2

Sepak Terjang Aborsi Dari Zaman ke Zaman

Secara singkat, aborsi merupakan tindakan pengguguran janin baik disengaja ataupun
tidak. Sejak zaman filsuf Yunani Kuno pada abad 460 SM hingga saat ini, aborsi masih
menuai pro dan kontra.
Salah satu faktor adanya pro dan kontra terhadap aborsi adalah belum tercapainya
kesepakatan apakah janin memiliki hak untuk dilindungi hidupnya atau tidak. Pasalnya,
para ahli belum menyepakati bahwa janin bisa disebut sebagai persona atau individu.
Beberapa ahli berpendapat janin tidak boleh digugurkan setelah adanya kehidupan,
yakni ditandai dengan masuknya ruh ke dalam janin. Akan tetapi, permasalahan ruh
dibantah oleh para ahli lain yang berpandangan bahwa permasalahan ruh adalah berkaitan
dengan teologi dan bukan biologi ataupun kesehatan. Oleh karenanya, berdasarkan ilmu
kesehatan, janin dinilai mulai hidup setelah adanya pergerakan, atau dalam istilah medis
dikenal dengan quickening.
Teori quickening pun diyakini hingga beberapa lamanya. Tokoh yang memercayai
teori ini adalah Hipocrates, Plato, dan Aristoteles. Namun orang-orang yang pro-life (anti
aborsi) membantah teori ini seiring dengan semakin canggihnya teknologi. Dengan
kemajuan teknologi, pergerakan bayi dapat dideteksi lebih dini, sehingga perkiraan sudah
bergerak atau belumnya janin dalam kandungan bisa meleset. Apalagi, hanya dengan
teori pergerakan bayi dalam kandungan ini semakin memperbesar celah seorang wanita
yang tidak menginginkan janinnya untuk menggugurkannya. Hal ini karena pergerakan
janin hanya dirasakan oleh ibunya, sehingga ibunya bisa memberikan kesaksian palsu
sehingga permohonan aborsinya diterima.
Pada tahun 580-500 SM, salah seorang filsuf Yunani yaitu Phytagoras melarang
aborsi dengan dikeluarkannya Sumpah Hypocrates. Sumpah ini kemudian dikenal
sebagai sumpah dokter hingga saat ini.
Salah satu yang menyebabkan maraknya praktik aborsi adalah gerakan feminisme.
Para feminis menganggap janin merupakan salah satu hal yang menyebabkan tidak
setaranya wanita dan pria. Oleh karenanya, wanita berhak melakukan aborsi karena janin
tersebut berada di dalam tubuhnya. Tubuhnya merupakan otoritasnya, sehingga dalam hal
ini wanita berhak melakukan apapun terhadap tubuhnya, termasuk menggugurkan
kandungannya bila memang ia tidak menginginkannya.
Di Indonesia sendiri, sampai saat ini aborsi merupakan tindakan illegal kecuali
adanya indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu. Dalam Pasal 10 Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki) disebutkan Setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Itu artinya, dokter Indonesia dilarang
menggugurkan janin kecuali itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan si
ibu dan euthanasia (suntik mati). Dalam UU No 23 tahun 1992 Pasal 15 ayat 1
disebutkan: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Dalam penjelasan resminya
dari ayat 1, tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya
menyelamatkan jiwa dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis
tertentu.
Penjelasan tersebut terkesan kontradiksi dengan penjelasan sebelumnya, yaitu di

bagian menyelamatkan jiwa dan atau janin yang dikandungnya. Hal ini karena janin yang
digugurkan pasti mati karena sebelum berusia 30 minggu sangat kecil kemungkinan bayi
untuk bisa hidup.
Banyak pendapat yang menyatakan aborsi diperbolehkan berdasarkan pandangan
tertentu, misalnya usia kandungan, hak dan kewajiban, status si janin, dan lain-lain.
Seperti yang sudah sedikit disinggung di atas, ada pandangan bahwa janin dengan usia
tertentu boleh digugurkan karena dinilai belum bernyawa. Selain itu, pandangan lain
menyatakan bahwa janin belum bisa melakukan kewajibannya sebagai manusia, karena
itu ia juga tidak memiliki hak yang sama seperti manusia, seperti hak untuk hidup dan
hak untuk mendapat perlindungan. Tapi dewasa ini banyak ahli yang menyatakan itu
semua tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh janin.
Pada kasus pemerkosaan hingga menimbulkan kehamilan, seringkali dijadikan
pembenaran untuk aborsi. Hal ini dinilai dapat mengurangi beban psikologis dari si
wanita. Trauma yang dirasakan dinilai bisa hilang. Padahal, sebenarnya beban psikologis
itu bisa hilang dengan terapi dan bukan dengan membunuh karena bila traumanya sudah
hilang, yang kemudian dirasakan si wanita adalah rasa bersalah karena telah melakukan
aborsi. Artinya, beban psikologis yang diterima si wanita justru akan bertambah.

Anda mungkin juga menyukai