3 Bintang Malam
3 Bintang Malam
WIRO SABLENG
Sumber: [sumber_ebook]
EBook: [pembuat]
WIRO SABLENG
BINTANG MALAM
Bukit Jati."
Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa
jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar
Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini
bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar
disebutnya Bukit Jati.
"Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu
kalian tinggalkan?"
"Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru."
"Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber
air minumku! Kalian berani membawanya kesana!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya
menjalankan perintah."
"Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu
pada kalian?"
"Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh
ibunya menuju kamar ketiduran."
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke
lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam
menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam
melompat sampai beberapa kali.
"Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan
kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan!
Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar
berkepala bayi berucap berbarengan.
"Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus
mampus semua!"
Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke
atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian.
Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan,
saling berangkulan satu sama lain.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari mendatangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda
WIRO SABLENG
BINTANG MALAM
ini.
"Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat
penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu!
Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun
Seribu Hawa Kematian!"
"Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak
mengenal pemuda itu. Dia masuk...."
"Plaakk!"
Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang
Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir
sebelah kiri pecah. Darah mengucur.
"Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada
yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua
perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh
makhluk tidak berguna ini!"
Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah mencekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur.
Bintang Malam terpekik.
"Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu.
"Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau
tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang
sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!"
"Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa.
Aku...."
Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar.
Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di
mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul
Orok bergerak.
"Kreekkk!"
Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur.
Bintang Malam menjerit keras.
Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus
lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam.
"Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh
menjerit.
"Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!"
teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam
menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian.
Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa
dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena,
maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi
ratusan serpihan kecil!
Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto
Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat
jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
"Wusss!"
Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa
menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan
Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan
tubuh Bintang Malam.
Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu
dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu
diselimuti asap berwarna kelabu.
Bintang Malam menjerit.
Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar
ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk
sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212
Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan
kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh
dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit.
Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu.
Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh
melangkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya.
Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati
Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala
Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan meng-
WIRO SABLENG
BINTANG MALAM
WIRO SABLENG
BINTANG MALAM
WIRO SABLENG
BINTANG MALAM
KALAJENGKING PUTIH
takut.
"Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang
bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto
Gendeng berseru.
Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit
lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan
itu.
"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di
tempat yang aman. Kemari mendekat...."
"Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara
pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya.
"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita
tentang dirimu padaku...."
"Maksud Kakek, Tuyul Orok?"
"Ya."
"Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh
Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri."
Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam.
Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana."
Perlahan-lahan si kakek buka matanya.
"Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku
TAMAT
SEGERA TERBIT :
DOSA YANG TERSEMBUNYI
ADRIAN MAPALADKA
"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan membunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya
gemetar ketakutan.
"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin membunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam."
Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya
yang tadi kabur entah ke mana.
Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar,
berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin
membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolonglah."
"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula
kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang
bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu
tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!"
Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon
asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam
kegelapan.
"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!"
cegah si pria itu seraya menarik tangannya.
"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauhjauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan membunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja
dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis
kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mempedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya
atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil
memanggil-manggil si Manis.
Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya
tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan
cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel
terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang
bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan
lepas begitu saja.
nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jarijari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam,
siap dihunjamkah ke tubuhnya.
"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah
menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kukukuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah
jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka
tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung
korban yang dipenuh darah.
Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil
sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari
tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti
terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan
sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya
yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang
bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari
kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya.
Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan
semangatnya terbang entah ke mana.
"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan,
tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum
mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah
hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang
memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak
pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti
yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau
makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin.
Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain,
tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika
perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu
tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel
celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke
sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir
kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu
ADRIAN MAPALADKA
"Jar?"
"Ya, ada apa?"
"Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta
maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir
mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya
begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan.
"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?"
"He-euh!"
"Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi
kamu...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu.
"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan
selamat."
"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya
saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya
bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta ditempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?"
"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?"
Saraswati ketawa cekikikan.
Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli
ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saraswati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi
ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai
lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu
suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan
petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah
yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan
bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam
karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika
berarung jeram bersama kawan-kawan prianya.
Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang
feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia
merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia
terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan
yang ganjil!
"Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua
minggu yang lalu Kusno melihat Saraswati dan seorang
polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran.
"Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan
polisi itu sempat memegang-megang tangannya Mbak
Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya
wajah Anjar menjadi keruh, seperti memendam kesal.
"Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa
yang saya ceritakan ya memang begitu. Tidak ditambahtambahi," lanjutnya.
Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian
menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan
berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian
dari tugas Saraswati. "Nggak ada apa-apa. Masak cuma
pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam? Lagi
pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya
kesal? Kok berani-beraninya cemburu? Apalagi kalau
sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan mendampratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru
merasakan puber.
Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensiklopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar
tidak sempat mengantarkan karena ketika toko tutup kebetulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul
di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan
hari ini. Sepulang dari sana Kusno melaporkan kalau
Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu itu
sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya
melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih
dari itu, entah bagaimana perasaan Anjar.
Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang
selalu ada di meja tugasnya, sedang tersenyum padanya.
Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya
ADRIAN MAPALADKA
"Siapa? Danang?"
"Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat
yang diberikan Danang, tapi Anjar tidak begitu serius
mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang
kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya?
Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan.
Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus
kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang
menjual barang-barang antik. Disamping itu ia pun ahli
kebatinan, dan sering mendapat pasien yang berhubungan
dengan hal-hal mistik.
Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD.
Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawankawan lain ngeri mendatangi tempat-tempat yang angker,
Danang malah sebaliknya. Ia betah nongkrong berjam-jam
di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai
tempat yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya
yang terkilir, masuk angin, pusing, dan sebagainya ia bisa
menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu
dari tubuh kawannya itu, dan sembuh.
Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya
ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut
kedatangannya dengan gembira.
"Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku,
tapi karena kau yang datang tentu mana bisa kutinggalkan
begitu saja," katanya setelah mempersilahkan sobatnya itu
duduk. Gimana? Ada kemajuan dalam usahamu?"
"Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit
padamu, dan sekaligus minta bantuan, kalau tidak
keberatan."
"Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya
Danang seraya mengeluarkan air es dari kulkas, dan
menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya.
Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh
DRIAN MAPALADKA
keluar.
Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut
yang tadi menggenangi lantai ruangan. Dan bersamaan
dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat
terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya
kembali tidak terdengar.
Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih
belum mengerti apa yang telah terjadi ketika Danang
membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya
masih tetap dalam posisi duduk menyila.
"Kau telah melihatnya tadi, kan? Roh Dayang Sari telah
datang menemui kita."
"Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar
hijau kebiru-biruan itu yang dimaksudkan Danang? Apakah
wujud roh memang begitu? Hal itu masih tanda tanya
besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik
kalimat berikut yang dilontarkan sahabatnya itu.
"Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia
akan melakukannya. Sumpahnya tak bisa dicabut, dan
rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai kapan."
Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangkaprasangka yang ada dalam benaknya.
"Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati
pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya.
Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia
menyarankan agar kita tidak ikut campur dalam urusannya."
"Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya
Anjar akhirnya.
"Bisa kedua-duanya."
"Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengannya?"
Danang mengangguk.
"Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan-
ADRIAN MAPALADKA
membuktikannya. Ingat, orang lain bisa masuk ke tempatmu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak
punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumahmu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah
kau hendak membuat pernyataan bahwa aku telah merampas kunci rumahmu? Silahkan laporkan kepada polisi!"
Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang
tajam sekali. Entah mengandung kebencian ataukah
dendam. Atau mungkin kedua-duanya.
"Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada
hubungan apa-apa lagi...."
"Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas
Anjar. "Berarti dengan kata lain kau hendak menjadikan
aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak
dikenal?"
"Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak
melunak. "Mengingat hubungan kita yang pernah ada,
maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku."
"Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku
melakukan sesuatu yang terbaik untukmu. Jangan berprasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah menuduh
aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulakukan untukmu adalah demi kebaikanmu sendiri."
"Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan
saja foto-foto itu kepadaku."
"Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar terdengar lebih serius. "Kau sedang menghadapi sesuatu
yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku menolongmu...."
"Kau akan sangat menolong bila mengembalikan fotofoto itu padaku."
"Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan
membuatmu panik."
"Dari mana kau tahu? Kau bukan Tuhan yang bisa
benarkah ia begitu benci pada pria yang pernah dicintainya? Pernah? Kalau ada perkataan itu berarti definisinya
saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi
pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi
mencintai Anjar?
Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu diketuk. Seorang pria berseragam polisi masuk ke dalam.
Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum
manis begitu wajah mereka berpapasan.
"Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?"
tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis
itu.
Saraswati tersenyum kecil, dan berusaha menggeleng
lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah tenggorokannya yang masih diperban.
"Kenapa? Kau mengalami peristiwa mengerikan itu
lagi?"
Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa
sakit sekali. Pita suaranya seperti tak mau bergetar.
"Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah memberitahukan kondisimu padaku. Aku menyesal sekali tak
ada saat kejadian itu menimpamu."
Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu
yang muram. Ada bias dendam dan kebencian yang menyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan kekecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak
mampu menolong gadis itu.
"Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya
setelah beberapa saat membisu. "Pagi tadi aku mengurus
korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam
setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang
dilakukannya sama seperti sebelumnya."
Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh
minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama
sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki permasalahan sampai tuntas, meski ia sendiri hampir saja
menjadi korban.
"Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..."
lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...."
Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata
terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya? Bukankah
itu gadis yang mereka jadikan umpan untuk menjebak
pelaku pembunuhan itu?
"Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum
lagi membaik. Aku sungguh menyesal tidak menjaganya
dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam
permasalahan ini."
Berdosa? Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya,
tapi Saraswati pun merasakan hal yang sama. Bukankah
ide itu berasal darinya? Hanya saja memang bukan ia yang
memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan bersedia menjadi umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan
Hendri sampai memilihnya.
"Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu
kita dalam menuntaskan masalah ini," lanjut letnan polisi
itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya.
"Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!"
Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak menggodanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di
benak gadis itu.
"Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu.
Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang
pintu. Saraswati mengerutkan dahi. Ia sama sekali belum
pernah melihat wajah itu sebelumnya.
"Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian,"
kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan
Saraswati, kemudian memberi isyarat pada si gadis yang
berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam. "Kami
TAMAT
SEGERA TERBIT :
MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG
SARI II
QT BEGOAH
"Kok seharusnya?"
"Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini
nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri
tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang."
"Sudah pasti."
"Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin
aku bisa melakukan sesuatu."
"Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?"
"Ngasih. Lima juta."
"Lima juta?"
"Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding."
"Maksudmu?"
"Aku cuma diberi uang lima ribu perak."
"Untuk berapa hari?"
"Katanya sih untuk beberapa hari."
"Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal
membuat kamu kelaparan."
Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari
Emak pergi aku sudah nggak punya uang."
"Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih!
Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?"
"Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!"
Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?"
"Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku
sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?"
"Dan lamunanmu itu berhasil?"
Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya
semakin nampak murung.
"Aku punya saran,"
Joni memandang sahabatnya itu.
"Apa saranmu?"
"Sebaiknya kau menyusul emakmu saja."
"Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan
kaki kesana?
"Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh."
Joni menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.
QT BEGOAH
Ya "
"Kasihan."
"Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang
kasihan sama diri saya dan Emak saya."
"Begitu?"
"Ya, begitu."
"Kalau begitu, mereka itu semua tolol!"
"Kok, kamu bisa bilang begitu?"
"Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi
sama kamu yang pura-pura miskin!"
"Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh."
"Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi
terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu
yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang
lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?
"Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya
simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan
di Wc.!"
"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu
semua oranq juga punya."
"Jadi...?"
"Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik
emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima
menit, nyawamu melayang."
"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake
melayang segala."
"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!"
"Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di
kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa
mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu
Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah
alamat. Lha, orang miskin kok di rampok."
"Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya
simpanan barang berharga?"
"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak
penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma
kecoa!"
"Brengsek!"
"Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih?
Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang
kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung
belum jatuh kroban nyawa."
''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas
kaya."
"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya
juga pingin."
"Kamu juga pingin kaya?"
Joni menganggukkan kepala,
"Wah, kalau begitu kita sama dong."
"Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan."
"Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak
punya simpanan apa-apa, saya permisi."
"He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?"
"Pulang."
"Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?"
"Terimakasih."
"Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang
mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa
langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni.
"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan
emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya
ya!"
"Beres. He, nggak. Enak aja!"
Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang
menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
"Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang
punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan
hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman.
Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar
bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika
tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa
takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan
rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni
justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal
TAMAT