Anda di halaman 1dari 109

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

TIGA DALAM SATU


BINTANG MALAM

Sumber: [sumber_ebook]
EBook: [pembuat]

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

SEPULUH MATI BERBARENGAN

ETIKA Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang


batu kembali kagetnya seperti disambar geledek.
Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di
atas jalur-jalur kayo besi penutup kolam tak ada lagi!
"Jahanam!" Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil
kepalkan dua tinjunya hingga mengeluarkan suara
berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu!
Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari
tempat ini. Tak ada jalur kayu yang patah. Tak ada tulang
belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak memangsanya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!"
Kelelawar Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda
pincang muncul. Rapatkan dua tangan di atas kepala,
memberi hormat seraya bungkukkan tubuh.
"Pincang! Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada
di sini?!"
"Tahu sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang.
"Kau lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya
lumpuh. Dia tak mungkin kabur dari sini! Berarti ada yang
membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa yang kau
ketahui! Apa yang kau lihat?!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak
mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak tadi saya
berada di ruang belakang."

"Kalau bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat


ini pasti ada pengkhianat di sini! Pincang! Panggil Tuyul
Orok!"
"Maaf Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar
ketiduran ibunya. Dalam keadaan cidera. Dia tak mampu
berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus memanggilnya juga?"
"Kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu.
Suruh mereka menghadapku sekarang juga!"
Si pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di
kursi batu. Menunggu dengan penuh rasa tidak sabar. Tak
lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi
dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke
tempat itu. Berdiri berjejer, rapatkan tangan di atas kepala
dan membungkuk berikan hormat pada Sang Pemimpin.
Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung
dengan cepat.
"Kalian cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian
yang lain?!"
Salah seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu
tindak, letakkan dua tangan di atas kepala baru menjawab.
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara
kami telah dibantai di Teluk oleh seorang pemuda
berambut gondrong berpakaian serba putih."
Kelelawar Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu,
bangkit berdiri. Matanya yang sipit membuka lebar.
"Tidak bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki
pemuda gondrong itu?!"
"Kami tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan
memancarkan cahaya putih yang panasnya sepuluh kali
sinar matahari."
"Omong kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung
Roh. "Di atas kolam itu tadi menggeletak seorang nenek.
Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek sudah lenyap!

Apa yang kalian ketahui? Kalian melihat apa?!"


Diam. Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawankawannya tidak membuka suara. Beberapa diantara
mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin
segera maklum ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh
kelelawar kepala bayi yang merupakan anak-anaknya itu
menyembunyikan sesuatu.
"Semua kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian
mengetahui sesuatu. Kalian melihat sesuatu! Lekas ada
yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian
bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!"
Masih diam. Tak ada yang bergerak atau membuka
mulut.
"Baik. Kalian memilih mati percuma!"
Sang Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan
perlahan-lahan diangkat ke atas. Di antara para kelelawar
kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang
terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya
rapatkan tangan di atas kepala, membungkuk. Suaranya
agak gemetar karena takut.
"Mohon maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya
menjalankan perintah."
"Perintah? Perintah apa? Perintah siapa?!"
"Perintah Tuyul Orok."
Kelelawar Pemancung Roh kerenyitkan kening dan
pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi yang berdiri di
depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada
sembilan kelelawar lainnya.
Sambil meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar
Kelelawar Pemancung Roh bergumam.
"Hemmm... Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di
tempat ini!" Lalu makhluk bertubuh tinggi besar ini
membentak. "Lekas terangkan apa yang terjadi!"
"Kami kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki

Bukit Jati."
Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa
jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar
Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini
bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar
disebutnya Bukit Jati.
"Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu
kalian tinggalkan?"
"Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru."
"Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber
air minumku! Kalian berani membawanya kesana!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya
menjalankan perintah."
"Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu
pada kalian?"
"Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh
ibunya menuju kamar ketiduran."
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke
lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam
menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam
melompat sampai beberapa kali.
"Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan
kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan!
Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!"
"Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar
berkepala bayi berucap berbarengan.
"Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus
mampus semua!"
Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke
atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian.
Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan,
saling berangkulan satu sama lain.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari mendatangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda

berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan


diri di depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan
ratap permohonan.
"Sang Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami.
Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan mereka."
Sesaat Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi
delapan perempuan yang kesemuanya adalah istri-istri
paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang
garang. Menyusul suara tawa bergelak.
"Kelihatannya semua ini seperti sudah diatur!
Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan tempat
ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan
Seribu Hawa Kematian!"
"Sang Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami,
kami rela ikut mati bersama mereka." Perempuan yang
berlutut paling depan berikan jawaban.
Kelelawar Pemancung Roh menggereng marah. "Baik,
kalau itu mau kalian! Buka mata kalian lebar-lebar!
Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata
begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah
sepuluh kelelawar kepala bayi. Tangan dan kakinya bergerak tiada henti.
"Bukkk!"
"Praaak!"
"Duuukkk!"
"Praakk!"
Sepuluh kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh
mereka mencelat lalu jatuh di lantai batu dalam keadaan
tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau
kepala pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada
henti. Jeritan mereka bertambah keras ketika menyaksikan
bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang
adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian
secara mengerikan seperti itu. Sepuluh sosok hancur tak

bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap.


"Tinggalkan tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti
itu?!"
Delapan perempuan mudaa masih menjerit. Salah
seorang diantaranya berteriak.
"Terkutuk kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas
dirimu! Kau membunuh anakmu sendiri!"
"Plaak!"
Satu tamparan kerass membuat perempuan itu melintir
dan jatuh terkapar di lantai batu. Pingsan dengan mulut
pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali masingmasing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman
mereka yang pingsan meninggalkan tempat itu.
"Setan semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar
Pemancung Roh. Dia hendak duduk di kursi batu tapi tidak
jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani melangkahi
kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu!
Dimana kalian berdua saat ini?!"
Habis memaki dan merutuk begitu makhluk ini,
melangkah cepat ke dinding kiri ruangan. Di situ ada
sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang
berhubungan dengan satu bangunan di bawah tanah.
Dimana terdapat belasan kamar.
***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

PERKELAHIAN DI BAWAH TANAH

ELELAWAR Pemancung Roh berjalan cepat menuju


bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia
membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan
membuat dia tidak mau menempuh, lorong yang
membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar
tidur selusin istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan
makhluk penguasa Teluk Akhirat ini ternyata benar. Seperti
diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia
memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar
bersama Bintang Malam, salah seorang dari dua belas
istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari
pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung
menggebuk dengan pukulan tangan kanan.
Jotosan yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh
ke dada Pendekar 212 demikian hebatnya. Tidak beda
dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan
kati! Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng
terkapar megap-megap di dalam kolam yang terdapat di
kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh
ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada
yang mencekik hingga dia sulit bernafas.
Selagi Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam
kolam Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan
Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan

ini.
"Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat
penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu!
Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun
Seribu Hawa Kematian!"
"Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak
mengenal pemuda itu. Dia masuk...."
"Plaakk!"
Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang
Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir
sebelah kiri pecah. Darah mengucur.
"Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada
yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua
perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh
makhluk tidak berguna ini!"
Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah mencekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur.
Bintang Malam terpekik.
"Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu.
"Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau
tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang
sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!"
"Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa.
Aku...."
Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar.
Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di
mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul
Orok bergerak.
"Kreekkk!"
Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur.
Bintang Malam menjerit keras.
Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus
lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam.
"Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh

seraya melangkah mendekati Bintang Malam. Tangan


kanan diulurkan.
"Tidak! Jangan! Ampun...." Perempuan itu hanya bisa
berteriak dengan muka pucat, sepasang mata mendelik.
Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan
Kelelawar Pemancung Roh berkelebat.
Sesaat lagi lima jari tangan yang kukuh akan
mencengkeram leher Bintang Malam, tiba-tiba dari
samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!"
Kelelawar Pemancung Roh melenguh pendek.
Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak
diperdulikan. Bayangan putih kembali berkelebat.
Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya sambil
membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis.
"Bukkk!"
Dua lengan beradu keras.
Kelelawar Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan
hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat mengimbangi
diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancarkan serangan jatuh terduduk tli lantai.
Bintang Malam kembali terpekik. Dia berusaha
mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul Orok terkapar.
"Anakku!" ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan
hendak memegang Tuyul Orok yang telah menemui ajal
dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun
kembali sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat
menyentuh tubuh anaknya, sosok Tuyul Orok mengepul,
berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan
mata. Bintang Malam memekik sekali lagi.
Kelelawar Pemancung Roh menggereng. Melangkah
mendekati Bintang Malam.
"Lari! Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro.
Dalam bingungnya perempuan hamil itu masih terus

menjerit.
"Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!"
teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam
menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian.
Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa
dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena,
maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi
ratusan serpihan kecil!
Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto
Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat
jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
"Wusss!"
Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa
menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan
Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan
tubuh Bintang Malam.
Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu
dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu
diselimuti asap berwarna kelabu.
Bintang Malam menjerit.
Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar
ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk
sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212
Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan
kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh
dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit.
Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu.
Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh
melangkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya.
Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati
Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala
Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan meng-

hancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh


Wiro berputar. Kaki kanannya melesat ke atas. Kelelawar
Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya serangan
kilat itu tapi tak sempat mengelak.
"Bukkk!"
"Kraaakk!"
Jeritan Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di
seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke dinding. Dua
tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak
menyeringai.
"Pendekar 212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta
kesaktian! Seumur hidup kau tak bisa membunuhku!
Sekarang terima kematianmu!"
Begitu berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar
Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng, kumpulkan sisa
tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di
depan sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri
bertolak pinggang. Kepala setengah didongakkan. Sepasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini mendelik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup
menyedot panjang dan dalam.
Murid Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu
hawa luar biasa dahsyat menyedot tubuhnya ke depan. Dia
berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada.
Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas!
"Gila! Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk
Wiro. Sedotan hawah aneh membuat dia tak bisa bernafas.
Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya, hidung
dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau
bertanggalan. Jantungnya laksana mau copot! Dalam
keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke arah Kelelawar
Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar
hebat seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan
hidung Kelelawar Pemancung Roh. Inilah ilmu yang

dinamakan Seribu Hawa Penyedot Roh.


Makhluk tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam
menghirup dia juga mampu keluarkan tawa bergelak. Dua
tangannya kemudian diangkat ke atas.
"Sreekk!"
"Sreekk!"
Sepuluh jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah
menjadi sepuluh cakar besi, panjang runcing mengerikan
karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan
merah. Darah!
Di saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat
dihindari itu Wiro berteriak keras kerahkan seluruh tenaga
dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul ke
depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau
membuat leleh seantero ruangan. Air kolam bergemericik
seperti mendidih.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung
Roh Makhluk ini cepat tekuk lutut dan rundukkan kepala.
"Wuss!"
Pukulan Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepalanya, membakar sebagian rambutnya yang kasar awutawutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di
belakang sana.
"Keparat jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh.
Gerakan dua tangannya di percepat. Satu ke dada, yang
lain ke perut Wiro.
"Jebol jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto
Gendeng dalam hati. Tangan kirinya cepat menyelinap ke
balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut Naga
Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara
sepuluh jari tangan lawan sudah berada dekat sekali.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro menyentuh
sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak,
bukan batu hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda

apa? Wiro sentakkan benda itu dari pinggangnya. Ternyata


benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu
yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa
waktu lalu.
Wiro ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi
Hitam itu. "Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di
kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu
kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa
menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu."
Tidak menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat
kepala yang terbuat dari kain sutera hitam di tangan kirinya
ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya pelangi
menderu dari batu hitam yang menempel di kain.
Kelelawar Pemancung Roh bukan saja kesilauan tapi
seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya
hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur.
Dua tangan yang tadi hendak mencakar ganas ke dada
dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk melindungi
sepasang matanya.
Serangan yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari
ikat kepala kain sutera ternyata bukan hanya berupa sinar
menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara
menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tibatiba melesat keluar kepala seekor srigala putih bermata
merah. Besar kepala binatang jejadian ini dua kali ukuran
kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung
panjang, lalu dengan mulut menganga melompat
menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh.
Sesaat Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap.
Namun dilain kejap dia membentak keras.
"Makhluk jahanam! Kembali ke asalmu!"
Sambil membentak Kelelawar Pemancung Roh
hantamkan kepalannya ke kepala srigala jejadian.
Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala

jejadian ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit


setinggi langit. Keningnya robek ditoreh taring srigala
jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat
tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung
sosok tinggi besarnya berputar. Wiro cepat mengejar tapi
sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh telah lenyap
dari tempat itu.
Wiro memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada
lagi di tempat itu.
"Celaka! Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk
jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga tidak melihat sosok
mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas
tempat tidur.
Tiba-tiba Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi
dengan mata melotot tangan kirinya.
"Astaga!" Sang pendekar terkejut besar.
Kain ikat kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan
kirinya dan dipergunakan untuk menyerang Kelelawar
Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang,
selinapkan tangan mencari-cari
"Sialan! Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat
kepala sutera hitam pemberian Pelangi Indah!" Wiro
memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri.
Bukan saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar
Pemancung Roh, tapi benda sakti pemberian Ketua
Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan!
Wiro melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang
dikatakan Bintang Malam dia membelok ke kiri lalu
berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah
hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam
besarnya.
***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

KAKEK DALAM KERANGKENG BESI

EPERTI diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar


Pemancung Roh memasuki ruangan yang ada kolam
ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam
keadaan lumpuh tidak mungkin si nenek melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya keluar dari tempat itu. Sesuai
pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang
kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul
Orok, bersama sembilan temannya kelelawar muka bayi
tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru.
Sinto Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam
keadaan tertotok di atas jalur-jalur kayu besi di perrnukaan
kolam buka dua matanya yang terpejam ketika mendengar
suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu
itu.
"Makhluk-makhluk jahanam," desis si nenek begitu
melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar bermuka bayi. Di
ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam.
"Mau apa mereka. Mau menggerogoti tubuhku?"
Sepuluh makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup
kolam, mengelilingi sosok Sinto Gendeng. Untuk kesekian
kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga
dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai
dua kali untuk mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh
dari sepasang matanya. Pertama ketika, berhadapan

dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia


ditinggal sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnahkan Ikan Dajal di dalam kolam sebelum ikan itu nanti
dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan
mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua matanya bergetar saja tak bisa dilakukannya. Masih untung dia
dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke berbagai
jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok
tubuhnya. Totokan yang dilakukan agaknya bukan totokan
biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan walau
telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak
bisa mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya
hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak dapat dikeluarkan.
"Kalian mau apa?!" hardik Sinto Gendeng.
Tak ada satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan
jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu menggigit dan
mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai
mengangkat tubuhnya, setengah terseret setengah diterbangkan, Sinto Gendeng kembali membentak.
"Makhluk celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!"
Tetap tak ada yang menjawab.
Ketika akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka
di tepi pantai, dibawa ke arah utara, nenek ini masih belum
bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar
bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat
jahat untuk mencelakai.
Karena sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya
dengan kaki di sebelah depan maki Sinto Gendeng dapat
memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang
ditempuh bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk.
Mereka melewati sebuah pohon kelapa buntung bekas
disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang
berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret
memasuki goa batu berwarna biru. Sepanjang lantai goa

terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di tempat itu


terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi
Sinto Gendeng mulai merasa-rasa bahwa sepuluh
kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud jahat
terhadapnya.
Di ujung lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat
telaga ini Sinto Gendeng jadi menggerendeng dalam hati.
"Sialan! Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan
dalam telaga. Disuruh mandi!" Si neriek mendadak terdiam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di
dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal membantai diriku seperti Ikan Dajal di kolam batu." Si nenek
langsung berteriak keras.
"Tahan! Tunggu! Turunkan aku di sini!"
Sepuluh kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi
memenuhi perintah. Ternyata si nenek tidak diceburkan ke
dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu
masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan
cukup besar di dinding batu.
Dua mata Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan
satu pemandangan luar biasa di depannya, hingga tidak
menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah
meletakkan tubuhnya di lantai batu.
Di dalam cegukan besar di dinding batu, hanya dua
langkah dari tubuhnya digeletakkan duduk seorang kakek
berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi
satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias
sepasang matanya yang berwarna kebiru-biruan, bening
tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi mengenakan
jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai
batu. Yang luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek.
Mulai dari bagian atas sampai ke leher, kepalanya
terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat.
Bagian atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang

dikaitkan pada sebuah gelang besi yang menyembul di


langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi
jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya
dapat menjulurkan kaki, menggerakkan ke dua tangan.
Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu dilakukan
lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng
besi,yang menjepit lehernya berbentuk mata gergaji, besar
dan amat tajam. Pada leher si kakek kelihatan guratanguratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian
kelihatannya masih baru.
"Gusti Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan
manusia satu ini?!" membatin Sinto Gendeng.
Anehnya walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si
kakek tampak tenang, malah tersenyurn kecil sewaktu
melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya.
Sepuluh kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di
atas kepala lalu berbarangan berkata. Ki Sepuh Tumbal
Buwono, terima salam hormat kami untukmu."
Kakek berjubah biru gombrong kedipkan mata.
Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas terdengar ketika
dia keluarkan ucapan.
"Sepuluh kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau
antar ke hadapanku? Udara di tempat ini mendadak
menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau
nenek ini?"
Sepuluh kelelawar muka bayi tak berani menjawab,
hanya saling pandang satu sama lain.
Sinto Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu
mendengar ucapan si kakek. Tapi dia diam saja karena
ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala
bayi.
Salah seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas
kepala, membungkuk lalu berkata.
"Ki Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak

tahu siapa adanya nenek ini. Kami hanya menjalankan


perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa
dirinya ke sini."
"Kalau begitu siapa yang memberikan perintah?"
Bertanya si kakek.
"Tuyul Orok."
"Tuyul Orok?"
"Putera Sang Pemimpin dengan seorang perempuan
bernama Bintang Malam."
Orang tua bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam
sejenak, seperti tengah berpikir dan mengingat-ingat. Lalu
tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya
kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi
yang mencengkeram kepalanya sampai ke leher.
"O ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai
mengangguk segala!" kata Sinto Gendeng dalam hati.
"Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang mengazabnya
seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak
seperti ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di
kepalanya!"
Salah seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur
hormat letakkan dua tangan di atas kepala.
"Ki Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalankan. Kami mohon diri."
Sepuluh kelelawar muka bayi melangkah mundur.
"Tunggu!" Kakek rambut putih berkata sambil angkat
tangan kirinya. "Sebelum pergi ada sesuatu yang harus
kalian lakukan."
"Mohon Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami
laksanakan," ujar kelelawar kepala bayi yang barusan
minta diri.
"Ceburkan nenek bau pesing itu ke dalam telaga!"
Sepuluh kelelawar muka bayi tercengang, sama
keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng sendiri berseru

kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah,


memandang mengancam pada sepuluh kelelawar muka
bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu
mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk
tak karuan.
***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

SINTO GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA

ARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka


bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal
Buwono menegur.
"Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku.
Mengapa tidak dilaksanakan?"
"Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang
tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya
menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan
perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang
Pemimpin. Jika sampai dicemari...."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa.
"Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang
Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia
mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya
dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke
dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai
gantinya!"
Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka
bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal
jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja
dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau
lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya,
menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.

Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak


bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng.
"Hai! Awas kalau kalian berani...." Sinto Gendeng
berteriak.
Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu
dilempar. Byuurr!
"Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Tertelentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi
tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang
buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakutkannya tidak terjadi. "Eh...?" Sinto Gendeng putar sepasang
matanya.
Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar
memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah
keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja
orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di
permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto
Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini
mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti
juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa
sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek.
Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka
bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya
kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya
sambil senyum-senyum.
"Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyumsenyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!"
Ucap Sinto Gendeng dalam hati.
Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang
menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas
air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua
saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air
mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat
kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir

terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau


yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lamalama menjadi bersih.
Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada
dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua
kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya
dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih
jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya
senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk
mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini
tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat
kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan,
tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada
dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri.
Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia
bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik
ke arah si kakek.
"Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah
menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga.
Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di
dalam telaga ini?
"Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam
air sejuk. Kau ingin naik sekarang?"
"Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?"
tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya
sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak
untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar,
kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua
tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di
sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong
mengeluarkan aku dari dalam telaga?"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain."
Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.

"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!"


"Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang
seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau
dari dalam telaga."
"Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran.
Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama
di dalam air.
"Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul..."' jawab Ki
Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku
harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia
bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat."
"Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng
bertanya.
"Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh."
"Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam
itu?!"
"Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya
adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong."
"Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang
sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh,
kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap
burung di udara, burung dalam celana dilepaskan."
Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum.
"Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi.
Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek
gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa.
***
BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis.
Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi
istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan.
Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat

membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri


saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita
mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau
Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak darah daging yang
dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak
yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri!
Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil
itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang
lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya
begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan
kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang
berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat
perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi
siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang
punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah
diberi wewenang untuk membunuh.
Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga
puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah
menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung
Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng.
Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar
Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian.
Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar
seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup
itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor
diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada
yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu
makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah
dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan
dengan pandangan sayu.
Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa
binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti
itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat

itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul


Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam
kamar di dalam bangunan di bawah tanah.
"Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu.
Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada
seseorang yang bisa menolong Ibu...." Ucapan Tuyul Orok
terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro
terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang
Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan
anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, menggendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat
kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang
anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh
oleh ayahnya sendiri!
Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang
Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati.
Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga
pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak
tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan
satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung
Roh.
Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap
kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati.
Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak
kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari.
"Gusti Allah...." Bintang Malam menyebut nama Tuhan.
"Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya
Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh
tahun...."
Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di
telinganya mengiang satu suara.
"Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu.
Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah
kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa

yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga


langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk
ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau
menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke
dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur
aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan
menemukan diriku di seberang telaga air biru."
Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap
telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling.
"Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku
hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu
mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku
masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar
Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku.
Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian menghabisiku di tempat itu!"
Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu.
"Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu.
Lekas berjalan kesini...." Suara mengiang kembali
memasuki telinga.
"Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan
menolongku.
Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam
hati. Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan
suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung
Roh." Semakin bingung perempuan ini.
"Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam
jika berada di luar sana."
"Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu,
selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah
memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah
mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki
Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui
pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara

tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan


semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya
Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak
belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui
mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam
goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air
berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan
batu ini.
Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja,
Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar.
Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat
sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di
dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam
membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya
langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si
kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit
sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini
letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut
menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat
sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam
telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.
***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

KALAJENGKING PUTIH

I DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak


berkesip pada perempuan yang baru masuk ke
dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah

takut.
"Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang
bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto
Gendeng berseru.
Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit
lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan
itu.
"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di
tempat yang aman. Kemari mendekat...."
"Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara
pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya.
"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita
tentang dirimu padaku...."
"Maksud Kakek, Tuyul Orok?"
"Ya."
"Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh
Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri."
Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam.
Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana."
Perlahan-lahan si kakek buka matanya.
"Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku

akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong


harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari
dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku
sebelah belakang."
Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki
Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik.
Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto
Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang
dikatakan Ki Sepuh.
"Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan
menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu
diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto
Gendeng tetap saja memaki panjang pendek.
"Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja
bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!"
Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang
Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari
dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah
hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia
pegang dua kaki Sinto Gendeng.
"Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku
tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku
terpaksa, menarik kakimu."
Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara.
Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana
caranya terserah kamu!"
Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup
susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke
belakang Ki Sepuh.
"Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata
Bintang Malam.
"Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang
berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagilagi membuat Sinto Gendeng mengomel.

Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si


kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki
Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam
jubah.
"Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini!
Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!!
Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak
senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng berteriak.
"Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat."
Berkata Ki Sepuh.
Sinto Gendeng memaki.
Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah
menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa.
Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting
cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!
Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh
Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar
ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti
dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama
disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja!
Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!
Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji."
"Janji apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek.
Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan.
"Kau kakek-kakek lucu!"
"Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?"
"Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak
tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng.
"Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau
sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi.
Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?"
"Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu

padamu! Buat apa!"


Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa
tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih
sendirian atau bagaimana."
"Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku
tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!"
"Nah tepat dugaanku!"
"Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek,
berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu?
Aduh...!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau
lakukan?!"
"Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi
punggungmu!"
Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi
tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang
kakek nenek itu.
"Ba... baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo
tanyakan apa yang hendak kau ketahui."
"Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar
Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan
di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa
kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng...."
"Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku
tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha...
ha... ha!"
"Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan
Kelelawar Pemancung Roh!"
"Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja
tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto
Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan,
saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika
kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh
musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja

dia berada dalam sarang harimau?


Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar
kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi
dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah
bicara padanya.
"Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu
tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur.
Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata.
"Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku
lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu
Hawa Kematian."
"Tidak heran." Sahut si kakek.
"Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng.
"Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang
lain."
Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam
terbelalak.
"Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus
kepalamu dengan kerangkeng besi ini?"
"Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya
sengsara...."
"Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji
terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam.
"Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng.
"Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang.
Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam
akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya.
Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia
minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku
dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku
menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu padanya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia mencelakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada
gunanya. Semua sudah terjadi."

"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng.


"Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana
kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang
Malam.
"Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?"
Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam.
"Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan
murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk
menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak
pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar
sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar.
Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini
sudah kotor dan busuk."
"Aneh..." ucap Bintang Malam.
"Luar biasa," ujar Sinto Gendeng.
"Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat
kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang
ada diantara kalian?"
"Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang
Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan
selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada
sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku
habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah
kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat.
Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun
yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung
jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau
tidak bisa mendidiknya!"
Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk
ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas
kebodohanku sendiri."
"Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa membebaskan diri?" tanya Bintang Malam.
"Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang

membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama


ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah
satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya.
Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam,
hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mempunyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat
dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa
berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket
seperti ini aku jarang sekali bisa tidur..."
"Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok
jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua
tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam
untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin
kau tahu caranya agar aku bisa bebas?"
"Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan
yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya
jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan
itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa
senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu."
"Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto
Gendeng.
"Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup
sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak
totokan."
"Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu mendengar ucapan Ki Sepuh.
"Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan
Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari
totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan.
"Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku
mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa
ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang
bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu
Hawa Kematian?"

"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang


memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari
aku."
"Obat
apa?
Bagaimana
bentuknya?
Dimana
disimpannya?"
"Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak
bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu
bulan gelap...."
"Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto
Gendeng.
"Bukan,"
jawab
Ki
Sepuh
lalu
meneruskan
keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja
dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari."
Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanamkan ucapan si kakek dalam benaknya.
"Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada muridmu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?"
Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah
kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak
tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana
"Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di
puncak Pegunungan Dieng...."
"Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu
lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah
terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga
matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah
semuanya bersama pepohonan lain."
"O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa
sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng
dalam hati.
"Ki Sepuh...."
"Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong
ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang

mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk


ke dalam jubahku di samping si nenek."
"Kek...."
"Aku sudah tahu siapa yang datang...." Ucap Sinto
Gendeng.
"Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di
samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada
yang bergerak. Usahakan menahan nafas!"
Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa
banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap
masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.

TAMAT
SEGERA TERBIT :
DOSA YANG TERSEMBUNYI

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

ALAM semakin larut ketika lolongan anjing


terdengar untuk yang kesekian kalinya. Entah dari
mana datangnya. Suasana tetasa sepi mencekam.
Hanya sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan yang
tertiup angin. Sementara gemericik air sungai di kolong
jembatan itu meski sayup-sayup tapi berkesinambungan.
Hujan, telah lama tidak turun, sehingga volume air berkurang. Permukaan air sungai itu terlihat turun sekitar
setengah meter.
Lolongan anjing kembali terdengar. Tapi pemilik gubuk
kardus yang berada di kolong jembatan itu tidak peduli. Ia
tidak menangkap firasat apa-apa. Mungkin karena hatinya
telah beku, sehingga ketidak peduliannya pada apapun
semakin menggunung. Baginya anjing itu mau melolong
ratusan kalipun tidak akan membawa perubahan hidup
untuknya.
"Yang kita butuhkan saat ini adalah sebungkus nasi
dengan lauk-pauknya," gumamnya lemas. "Perutku lapar
sekali. Tapi malam-malam begini mau cari makanan di
mana?" Dielus-elusnya kucing hitam yang berada dalam
pelukannya sejaktadi. Ia berharap dengan mengelus-elus
hewan itu siapa tahu rasa laparnya bisa berkurang. Kucing
adalah hewan jinak yang apabila dielus-elus maka ia akan

semakin anteng. Tapi kali ini tidak. Hewan itu gelisah.


Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Sepasang matanya
tajam mengawasi ke segala arah. Sementara kedua
telinganya tegak berdiri, seolah hendak menangkap suara
sekecil apapun yang mencurigakan.
"Iya, ya. Aku tahu, kau pun pasti lapar. Tahan sajalah.
Besok kita cari makanan sebanyak-banyaknya biar perut
kita kenyang. Sekarang selain lapar aku juga ngantuk.
Mending kita tidur saja," katanya sambil menguap lebar.
Kucing itu tidak peduli. Kegelisahannya semakin
bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah.
Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian
dengan tiba-tiba ia berontak dan melompat dari pelukan
majikannya.
"Eeeh, mau ke mana kau? Ayo, sini!" Reflek ia bangun
dan bermaksud mengejar. Tapi saat itu juga terdengar
teriakan seseorang dari arah depan.
Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya
lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih
dalam jarak yang berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari
sekencang-kencangnya, bahkan nyaris beberapa kali
terjatuh seperti dikejar-kejar setan.
"Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriaknya dengan suara agak serak. Dari jarak dekat terlihat di
wajahnya ada bekas luka cakar yang masih baru. Tubuhnya
yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang
sama. Si Gembel yang masih mematung di tempatnya
masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempedulikan saat pria kurus itu, terJerembab di dekatnya.
"To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku.
Tolong...."
"Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk
memandang ke segala arah, dan tidak melihat apa serta
siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.

"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan membunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya
gemetar ketakutan.
"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin membunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam."
Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya
yang tadi kabur entah ke mana.
Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar,
berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin
membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolonglah."
"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula
kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang
bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu
tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!"
Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon
asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam
kegelapan.
"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!"
cegah si pria itu seraya menarik tangannya.
"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauhjauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan membunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja
dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis
kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mempedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya
atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil
memanggil-manggil si Manis.
Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya
tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan
cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel
terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang
bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan
lepas begitu saja.

"Si... siapa kau?!" tanyanya dengan suara gagap


ketakutan melihat si Manis benar-benar berwujud seorang
wanita muda yang berparas cukup manis.
Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot
matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang
berada di belakang si Gembel. Tenang dan perlahan
dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus
kabur. Sikap wanita itu masih tenang, demikiah pula
langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang aneh.
Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah,
dan tahu-tahu telah melayang ke hadapan pria yang
sedang dikejarnya.
"Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris
kebingungan kemudian berbalik arah. Tapi ke mana saja ia
melangkah wanita itu selalu telah berada di hadapannya.
Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam
tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan
diri.
"Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau
tidak mengenaliku? Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku
Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?"
Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan.
Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak terlihat perubahan pada mimik wajahnya mendengar katakata pria yang mengaku bernama Burhan itu.
"Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini?
Setan apa yang telah merasuki tubuhmu? Lestari, aku
Burhan, kekasihmu. Apakah kau tidak mengenaliku?
Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!"
bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya.
Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti
semula, tidak terlihat sedikit pun perubahan pada mimik
wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya yang
berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan diangkat-

nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jarijari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam,
siap dihunjamkah ke tubuhnya.
"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah
menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kukukuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah
jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka
tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung
korban yang dipenuh darah.
Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil
sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari
tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti
terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan
sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya
yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang
bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari
kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya.
Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan
semangatnya terbang entah ke mana.
"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan,
tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum
mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah
hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang
memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak
pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti
yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau
makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin.
Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain,
tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika
perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu
tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel
celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke
sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir
kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu

tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia


lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari
sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
***
Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama
beberapa wartawan cetak maupun elektronik, juga tidak
ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat
Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi.
"Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas
kejadian ini, dan sejauh mana usaha polisi untuk
mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan
pulpen dan notes di tangan..
Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan
berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang
wartawati itu sejenak, kemudian pada wartawan lainnya
yang siap mencatat dan merekam jawabannya.
"Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguhsungguh akan menangkap pelakunya untuk diajukan ke
pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang
berlaku...."
"Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa
kira-kira pelaku pembunuhan itu?" tanya seorang
wartawan.
"Kami akan berusaha sungguh-sungguh."
"Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain.
"Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu
tidak objektif sebab kami sedang mengumpulkan bukti
sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan dan
keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjukkan bahwa kita dalam mencurigai dan menuduh seseorang
menggunakan prosedur yang telah ditetapkan perangkat
hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan

polisi itu mengakhiri jawabannya dan menghindar dari


kerumunan para wartawan. Meski satu atau dua wartawan
masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaanpertanyaan yang usil, namun dengan lihai ia menolak.
Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling
tempat itu dengan teliti.
Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya
agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan
yang tengah dilakukannya. Namun ketika wartawati yang
pertama kali mengajukan pertanyaan itu mengikutinya, ia
memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba
mencegah untuk membiarkannya saja.
"Pertanyaan apa itu? Kau memancing yang lainnya
untuk menanyakan hal-hal yang sulit untuk kujawab,"
katanya setelah wartawati itu mendekat.
"Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada
petugas yang bertanggung jawab dalam suatu masalah?"
Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek.
"Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan
terlalu dibesar-besarkan."
"Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka
tidak mendapat informasi yang jelas, dan selalu was-was
kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang. Ini
akan menimbulkan dampak yang tidak baik."
Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam
pada si wartawati. "Saras, kali ini aku bicara kepada
seorang teman bukan kepada wartawati, oke?"
"Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya,
sampai sejauh mana informasi yang telah kau kumpulkan
dalam kasus pembunuhan ini?"
"Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi
kita bisa melihatnya dari poin-poin yang penting. Seperti
kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku masih tetap
kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum

menemukan motif, apa yang membuat mereka melakukan


hal seperti itu."
Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi,
kemudian matanya memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu, sebelum kembali memandang tawan bicaranya.
"Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah
kukatakan tempo hari?"
"Soal apa?"
"Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?"
Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun
diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu
mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras
menawarkan alternatif, kalau pembunuhan itu ada
kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu
melecehkannya dan menganggapnya irrasional sehingga
membuat Saras kesal dan marah.
"Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu
itu?"
"Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban
pertama tewas di tebing terjal, tidak jauh dari lokasi ada
pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...."
"Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di
sungai, dan lokasi itu jauh dari pohon asam," tukas letnan
polisi itu.
"Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali
dia tewas, kan? Dan sampai sekarang belum terungkap,"
jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga,
keempat, kelima, bahkan sampai korban yang sekarang.
Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing,
walaupun itu cuma sekedar antara permukaan sungai dan
permukaan tanah di atasnya pada ketinggian dua atau tiga
meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak
terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak
berusaha untuk memancing si pelaku yang sebenarnya?"

"Memasang jebakan maksudmu?"


"Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan."
"Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari
sisi yang lain."
"Apa maksudmu?"
"Ini
bukanlah
rangkaian
pembunuhan
yang
direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang
yang belum jelas motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak
lama pun akan terungkap."
"Dengan menangkap pelaku yang sementara ini
menunjukkan bukti-bukti kuat?"
"Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki
maka si pelaku sudah jelas melakukan pembunuhan.
Apalagi yang mau dicari? Saras, kita tidak perlu berpikir
yang macam-macam, dan menarik garis terlalu jauh untuk
mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah dibekali ilmu
khusus untuk mengusut masalah semacam ini."
"Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?"
"Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksudkan? Setiap korban yang jatuh, maka beberapa pihak
dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling
bisa untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian
bukti dikumpulkan, lalu semua digabungkan dan fakta
membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam
pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?"
"Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka
pelaku pembunuhan merasa yakin kalau mereka tidak
merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk
membunuh. Mereka tidak mengetahui dari mana bukti terkumpul sehingga mereka tersudut menjadi tersangka...."
"Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak
untuk didakwa sebagai tersangka," tukas letnan polisi itu.
"Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata
mereka yang jujur? Tidak bisakah kau melihat mereka

melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak


berdusta?"
"Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela
nafas, kemudian melirik anak buahnya. Sebagian dari
mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua
insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka
mengalihkan perhatian.
"Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan
kalau polisi harus selalu mengandalkan bukti-bukti dalam
segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati nurani,
kan?"
"Syukurlah kalau kau telah mengerti...."
"Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna faktafakta serta bukti-bukti yang ada? Fakta selalu terlihat kalau
cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan korban
pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika
korban mencapai angka seratus, maka seratus orang
pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan
pembunuhan dengan metoda yang sama. Apakah ini tidak
menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir?
Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya
yang mengomandani mereka. Apakah kau cukup puas
dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiarkan anggota lainnya terus berkeliaran mencari mangsa?
Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap
dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar permasalahan sampai tuntas sehingga tidak ada lagi korban
baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?" Katakata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat
bercampur dengan perasaan jengkel, sehingga nadanya
agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi itu kembali
melirik pada mereka.
Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasanalasan yang diungkapkan Saras, atau memikirkan apa yang

sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka berdua.


Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata
anak buahnya tentang hubungan mereka, bukan lagi
antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai
seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejarNya, dan sebaliknya. Tapi hubungan itu seperti
berkembang ke arah lain.
Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang
bertugas meliput berita-berita kriminal. Dan dalam
menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan
dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab
terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang
oknum polisi itu adalah Letnan Hendri, perwira polisi
berusia tiga puluh empat tahun yang masih berstatus
bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang
cukup tinggi, di mana dan kapan saja dalam situasi yang
berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib yang ramai
diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara
kedua insan itu ada hubungan bilateral yang cukup intim.
Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka
pembicaraan
formil
ditiadakan,
dan
keduanya
berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat,
sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang terlontar begitu saja tanpa sungkan-sungkan. Seperti
kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu menanggapi masukan yang dilemparkannya seputar masalah
yang sedang mereka hadapi.
Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu
sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau
begitu kita cari tempat yang nyaman untuk membicarakannya. Dalam suasana yang tidak diliputi ketegangan."
"Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias.
"Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah
delapan malam?"

Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng


geli.
"Apakah ini ajakan kencan?"
"Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri
mengangkat bahu dengan kedua telapak tangan terbuka.
"Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku."
"Oke. Terserahmu saja."
"Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan
notes dan pulpen ke dalam tas yang disandangnya. Tanpa
banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu diiringi
tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya.
***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

NJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan


pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno
padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko
sehingga orang kepercayaannya itu terpaksa datang ke
rumahnya untuk menitipkan laporan.
Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di
meja. Pukul sebelas malam.
"Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau
lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk.
"Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang
angkat. Ke mana?" tanya wanita itu.
"He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada
mesin mobil. Untung ketahuan. Coba kalau dipakai untuk
perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan berabe. Eh, jadi
nggak besok berangkat?" sahut Anjar.
"Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh,
Jar. Kali ini nggak bisa lagi...."
"Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal
dengan kamu."
"Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi
tugasku belum bisa ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?"
Anjar terdiam.

"Jar?"
"Ya, ada apa?"
"Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta
maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir
mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya
begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan.
"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?"
"He-euh!"
"Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi
kamu...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu.
"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan
selamat."
"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya
saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya
bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta ditempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?"
"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?"
Saraswati ketawa cekikikan.
Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli
ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saraswati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi
ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai
lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu
suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan
petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah
yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan
bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam
karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika
berarung jeram bersama kawan-kawan prianya.
Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang
feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia
merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia
terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan

kelemahan, sesuatu yang tidak disukai, bahkan tidak


pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara kepadanya.
"Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar
mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia
bilang seseorang menjemputmu."
"Kenapa? Kamu mau jadi wartawan juga coba-coba
ngorek aku?"
Anjar bisa membayangkan bola mata wanita itu
mendelik, dan bibirnya tersenyum mengejek. Tapi meski
dalam mimik apapun, bahkan dalam mimik yang terburuk
pun ia menilai kalau face Saraswati tetap cantik. Hidungnya yang kecil dan mancung, bola matanya agak menyipit
mirip Claudia Schiffer namun memiliki sorot yang tajam bila
memandang lawan bicara, kemudian sepasang alisnya
yang teba1 menunjukkan kemauannya yang kuat dan
keras. Belum lagi ditambah sepasang bibirnya yang sensual, dan selalu merah merekah meski jarang disapu gincu.
"Aku mudah percaya pada orang lain, dan sifat itu tidak
cocok untuk menjadi wartawan." Didengarnya hela nafas
Saraswati, halus sekali sebelum menjawab.
"Letnan Hendri. la menjemputku untuk membicarakan
kasus yang sedang ditanganinya," sahut Saiaswati singkat.
"Sejak kapan kamu menjadi konsultannya?"
"Aku menangkap kesan sinis, tapi okelah, tidak
mengapa. Aku berusaha memaklumi kecemburuanmu.
Hubungan kami saling membutuhkan. Dia butuh masukan
dariku dalam menjalankan tugasnya, begitupun aku butuh
komentarnya sebagai seorang yang bertanggung jawab
dalam kasus yang sedang kuliput. Hanya itu. Terasa ada
tekanan dalam dua kata terakhir yang diucapkannya,
berharap Anjar mempercayainya.
"Kuharap memang begitu...
"Jangan keterlaluan, Jar. Kau tahu aku wartawati, dan

tiap saat berhubungan dengan banyak orang, entah pria


atau wanita bahkan banci sekali pun. Tidak ada alasan
untuk cemburu buta."
Anjar diam saja. Ia sudah sering mendengar alasan
seperti itu. Saraswati menjawabnya dengan sederhana.
Mungkin saja logikanya bisa menerima, tapi entah
mengapa hatinya tidak. Dan mengemukakan perasaan di
depan Saraswati seperti membenturkan kepala ke tembok.
"Jar, kamu masih mendengarkan?"
"Ya. Suaranya pelan, seperti menggumam.
"Kuharap aku tidak perlu lagi mengulang-ulang
penjelasanku, bukan? Kau mesti percaya padaku," tekan
Saraswati.
Anjar kembali terdiam. Nun jauh di seberang telepon
sana, Saraswati sedang menduga-duga apa yang sedang
dipikirkan Anjar. Perbedaan mereka cukup besar. Dia tipe
gadis independen dan cuek, sedang Anjar agak perasa,
dan melakukan sesuatu penuh pertimbangan dan pemikiran. Wajar saja kalau Saraswati harus menekankan
beberapa kali agar Anjar percaya dengan kata-katanya
sebab menyadari mungkin saja Anjar tidak mempercayainya. Minimal di dalam hati.
"Gimana kabar kamu? Sehat? Oke, sekali lagi aku minta
maaf, ya? Mungkin lain waktu kita bisa bersama-sama
mengunjungi orangtuamu. Bye!"
Anjar meletakkan gagang telepon setelah mendengar
suara klik di seberang sana. Termangu beberapa saat, bergelut dengan pikirannya. Pantaskah ia mencurigai Saraswati? Hubungan mereka telah berlangsung tiga tahun, dan
selama itu baik-baik saja. Ia bisa memahami tugas gadis
itu, dan menepiskan jauh-jauh kecemburuann dalam hatinya bila membayangkan Saraswati berdekatan dengan
orang-orang yang menjadi sumber beritanya. Tapi dengan
yang satu ini perasaannya berbeda. Seperti ada sesuatu

yang ganjil!
"Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua
minggu yang lalu Kusno melihat Saraswati dan seorang
polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran.
"Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan
polisi itu sempat memegang-megang tangannya Mbak
Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya
wajah Anjar menjadi keruh, seperti memendam kesal.
"Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa
yang saya ceritakan ya memang begitu. Tidak ditambahtambahi," lanjutnya.
Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian
menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan
berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian
dari tugas Saraswati. "Nggak ada apa-apa. Masak cuma
pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam? Lagi
pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya
kesal? Kok berani-beraninya cemburu? Apalagi kalau
sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan mendampratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru
merasakan puber.
Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensiklopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar
tidak sempat mengantarkan karena ketika toko tutup kebetulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul
di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan
hari ini. Sepulang dari sana Kusno melaporkan kalau
Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu itu
sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya
melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih
dari itu, entah bagaimana perasaan Anjar.
Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang
selalu ada di meja tugasnya, sedang tersenyum padanya.
Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya

terasa tidak full.


Gadis itu duduk dengan gelisah sambil meremas handytalky di tangannya. Sementara cahaya bulan menerangi
sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan kaos T-shirt
putih dibalut sweater coklat. Sementara sepasang kakinya
dibalut jeans agak ketat dan telapak kakinya dibungkus
sepatu kets putih. Rambutnya yang panjang dan pirang,
mungkin dicat pirang, dibiarkan lepas menutupi sebagian
punggungnya. Dari terpaan bias cahaya rembulan terlihat
kalau wajah gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu
cukup manis.
"Maya, kamu nggak apa-apa, kan?" Terdengar suara dari
handy-talky di tangannya.
"Ya," Gadis itu menyahut pendek seraya menoleh ke
belakang, di balik belukar semak bambu yang tumbuh
rimbun tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Cobalah berusaha tenang. Jangan khawatir, kami akan
selalu melindungimu." Suara di handy talky itu kembali
terdengar. Gadis itu mengangguk.
Selang beberapa saat suara dari handy-talky itu kembali
terdengar.
"Sekarang kamu berjalan. Melangkah pelan saja. Kami
akan tetap mengikuti dan menjagamu."
Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menapaki
ruas jalan berbatu selebar dua meter menuju arah selatan
dan membelakangi cahaya rembulan.
Suasana di tempat itu memang suram. Seandainya saja
tak ada cahaya bulan, mungkin akan menjadi tempat yang
cukup menyeramkan. Dari tempat duduknya tadi kira-kira
lima puluh meter ke utara, terdapat sebuah gubuk tua yang
kelihatannya sudah tidak berpenghuni. Tapi kadangkadang suka juga diisi oleh para gelandangan yang datang
dan keluar silih berganti. Dan di belakang gubuk itu, sekitar
dua puluh meter terlihat sebatang pohon asam yang besar.

Keadaan ini sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh


Saraswati.
Mereka telah mencapai kata sepakat, dan Letnan
Hendri mulai mengatur siasat sesuai masukan yang diperolehnya dari Saraswati. Mereka akan menjebak pelaku
utama pembunuhan sadis yang belakangan ini cukup
gencar mencari korban.
"Sukarelawan itu harus berusia muda. Minimal di bawah
dua puluh tiga tahun. Jangan tanya kenapa," kata
Saraswati di sela-sela masukan yang diberikannya pada
letnan polisi itu. "Akupun telah mengukur jarak lokasi satu
korban dengan korban lainnya. Tidak ada yang lebih dari
lima sampai tujuh kilometer....''
"Sampai seteliti itu kau mengukurnya," tukas Letnan
Hendri, entah memuji atau meledek.
Saraswati tidak mempedulikannya. "Gubuk yang tidak
terpakai, pohon asam, dan tebing terjal, meski cuma tebing
sungai," tambahnya, "Semua itu telah kucatat dengan
rapih. Kita harus berhasil menangkapnya!" lanjutnya
optimis.
"Seyakin itukah perkiraanmu?" Sebelum gadis itu
melotot marah karena merasa disepelekan, letnan polisi itu
buru-buru menambahkan. "Maksudku kau berpraduga
bahwa pelaku kejahatan ini makhluk halus. Lalu apakah
kau sudah menyiapkan sesuatu untuk menangkalnya?
Maksudku, untuk mengalahkannya dan sekaligus meringkusnya?"
"Aku tidak mutlak mengatakan bahwa itu perbuatan
makhluk gaib, karena aku tidak percaya makhluk gaib bisa
membunuh orang. Hanya saja aku masih bisa percaya bila
makhluk gaib ikut andil di dalamnya, dengan cara
mempengaruhi seseorang, dan seseorang itu kuyakin
makhluk kasar seperti kita, maka sudah barang tentu bisa
kalian tangkap," tegas Saraswati.

Letnan Hendri tidak banyak bicara lagi. Sedikit banyak ia


percaya dengan argumen gadis itu, kalau tidak mana
mungkin ia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa
seorang anak buahnya untuk dijadikan umpan. Semula ia
memilih pria, tapi Saraswati menganjurkan agar umpan itu
wanita saja, dengan pertimbangan dari sekian banyak
korban yang jatuh kebanyakan wanita.
Sementara itu waktu terus merambat pelan tapi pasti.
Makhluk yang mereka tunggu-tunggu belum juga terlihat
batang hidungnya. Maya mulai gelisah. Meskipun semula ia
merasa tegar dan berani, namun dalam suasana begini
mau tidak mau rasa takut itu muncul juga perlahan
menusuk keberaniannya.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam ketika
terdengar lolongan anjing, yang entah dari mana
datangnya. Lokasi tempat ini boleh dikatakan di ujung kota,
tapi bukan berarti dekat dengan daerah hutan. Sehingga
tidak tepat dikatakan kalau suara itu lolorigan serigala,
sebab dikatakan berirama panjang tidak, pendek juga
bukan. Hanya saja iramanya memang aneh.
Maya semakin bergidik ngeri. Matanya liar memandang
ke sekeliling tempat saat angin bertiup agak kencang.
Udara malam yang dingin terasa semakin dingin saja.
Ranting-ranting pepohonan bergerak-gerak seperti tangantangan makhluk aneh yang hendak menggapainya. Ia
berjalan lambat, sambil sesekali melirik ke rerimbunan
semak untuk meyakinkan kalau keselamatannya terjamin
oleh Letnan Hendri beserta anak buahnya.
Lolongan anjing kembali terdengar. Gadis itu tersirap
darahnya saat seekor tikus melintas cepat di depannya.
Nyaris ia menjerit ketakutan.
Gerak refleknya menghindar saat tikus tadi melintas
diantisipasi oleh Letnan Hendri.
"Kamu di sini dulu. Aku mau mengambil jarak yang lebih

dekat dengannya," perintahnya pada Saraswati tanpa


meminta persetujuan cewek itu dan terus bergerak cepat
merunduk menyusuri semak dan merendengi langkah
Maya dalam jarak kurang lebih sebelas meter.
Maya menghentikan langkah ketika mendengar suara
langkah kaki dari arah sampingnya. Reflek ia menoleh.
"Apakah itu Anda, Letnan?" tanyanya melalui handy talky.
Tak ada sahutan. Gadis itu mengulangi pertanyaannya.
Untuk yang kedua kali tidak juga terdengar sahutan. Ia
sedikit panik. Matanya tajam mengawasi semak-semak di
sebelah kirinya. Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya
kilat membelah angkasa, diikuti oleh suara gemuruh yang
merambat perlahan. Lagi-lagi gadis itu kaget dibuatnya.
Hatinya sudah tidak tenang. Keberanian yang ada hanya
tinggal seperempat. Apalagi ketika ia sempat melihat
bayangan hitam di balik pohon asam yang ada di sebelah
kirinya. Setahunya Letnan Hendri dan yang lain berada di
sisi sebelah kanannya. Lalu sosok siapakah itu? ltukah
yang sedang mereka tunggu-tunggu?
"Letnan, Andakah yang berada di balik pohon asam itu?"
bisiknya pelan sekali lewat handy-talky. "Letnan, jawablah.
Andakah itu?" tanyanya sekali lagi setelah menunggu
sesaat tidak juga ada jawaban.
Sementara sosok yang sedang diperhatikannya seolah
tanpa berkedip mulai bergerak. Pelan mendekatinya.
Kedua kakinya meski menapak di atas permukaan tanah,
tapi rasanya seperti melayang. Bahkan Maya belum
sempat memutuskan, apakah ia mampu memberanikan
diri menghadapinya ataukah kabur saja ketika sosok itu
telah berada di dekatnya dalam jarak hanya tiga meter.
"Kau?!" seru Maya kaget, kemudian menghela nafas
lega ketika bola matanya menangkap jelas sosok tubuh di
hadapannya. "Kukira siapa. Kenapa menakut-nakuti
begitu?"

Pria bertubuh jangkung dengan potongan rambut


pendek serta badan yang atletis itu diam saja. Hanya sepasang matanya yang memandang gadis itu dengan sorot
aneh.
Perlahan pria itu semakin mendekat. Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada handy-talky yang ada dalam genggaman Maya. Saat itu terdengar suara Saraswati yang menanyakan keadaannya.
"Aku baik-baik saja..." Belum lagi selesai kalimatnya, pria
itu mendadak merampas handy-talky itu dengan kasar dan
membuangnya jauh-jauh. Kemudian tangan kirinya menampar sebelah pipi gadis itu membuat Maya terhuyunghuyung ke samping, hampir jatuh. Tamparan itu keras
sekali, membuat pipinya terasa perih dan kepalanya pusing
seketika. Ia merasa ada darah yang menetes di sudut
bibirnya.
Belum lagi ia sempat menyadari situasi, pria itu tiba-tiba
melompat dan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga.
"Kau harus mati. Pengkhianat sepertimu harus mati!"
Suaranya menggeram dan serak, dibarengi perasaan benci
dan dendam serta nafsu untuk membunuh.
Maya baru menyadari ada kelainan pada pria yang
dikenalnya dengan baik itu. Sepasang matanya berkilau
mengeluarkan cahaya hijau kebiru-biruan dan menakutkan. Suara yang keluar dari tenggorokannya pun aneh.
Bukan suara yang dikenalnya, tapi suara orang lain yang
mirip suara wanita!
Saraswati buru-buru bertindak setelah melihat kejadian
itu ketika melihat kalau Letnan Hendri yang entah di mana
saat ini, belum juga memberikan pertolongan. Pada saat
yang bersamaan, lima anak buah Letnan Hendri pun
serentak mengepung tempat itu. Salah seorang dari
mereka melepaskan tembakan peringatan.
Makhluk itu terkejut. Matanya liar memandang ke

sekeliling. Tiga pria berada di belakang dan samping kanan


kirinya. Sementara dua pria lainnya beserta seorang wanita
berada di depannya. Wanita yang tidak lain dari Saraswati
itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia yang sejak tadi
telah siap dengan tustelnya segera membidik makhluk itu.
"Aaargh...!" Makhluk yang berwujud manusia itu
menggeram buas seraya menghalangi wajahnya dengan
tangan dengan reflek dilepaskannya leher Maya yang
sedang dicekik, dan lompat menerjang Saraswati.
"Berhenti! Atau kami tembak?!" teriak salah seorang
polisi. Namun makhluk itu tidak menghiraukannya dan
terus mencoba menyerang Saraswati. Merasa peringatan
itu diabaikan salah seorang polisi langsung melepaskan
tembakan. Makhluk itu meraung kesakitan ketika bahu
kanannya diterjang timah panas. Matanya nyureng
memandang polisi yang tadi melepaskan, seolah hendak
mengancam. Entah merasa takut, atau karena posisinya
tidak menguntungkan, tiba-tiba saja makhluk itu melesat
ke depan, melompati Saraswati kemudian menghilang di
kegelapan malam dengan gerakan yang amat cepat.
"Dua orang ikut saya, lainnya memberikan pertolongan
pada Maya!" ajak sang polisi yang tadi melepaskan
tembakan, kemudian terus berlari mengejar makhluk tadi
diikuti oleh kedua kawannya.
Keadaan Maya agak kritis. Wajahnya agak membiru
karena kekurangan oksigen saat dicekik tadi. Bukan cuma
itu, tapi dari lehernya pun mengucurkan darah. Besar
kemungkinarmya kuku-kuku makhluk tadi menghunjam
lehernya saat mencekik. Salah seorang polisi buru-buru
menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan
ambulan, sementara polisi yang seorang lagi memberikan
pertolongan pertama terhadap korban.
Lima belas menit kemudian ambulan muncul. Pada saat
yang bersamaan, Letnan Hendri muncul beserta tiga anak

buahnya yang tadi mengejar makhluk itu. Setelah


memeriksa keadaan Maya sebelum diangkut oleh
ambulan, Saraswati mendekatinya dengan mata mendelik
tajam.
"Seandainya aku tahu siapa Anda, aku tidak akan
pernah mau dijadikan umpan," sindirnya sinis.
"Apa maksudmu?"
"Anda telah mengecewakan gadis itu dan membuatnya
terluka. Mana tanggung jawab Anda? '
Letnan polisi itu menghela nafas sesak seraya
mengangguk. "Yaaah, aku tahu. Tapi aku telah berusaha
sebisanya...."
"Sebisanya?" dengus Saraswati sinis. "Gadis itu memanggil-manggil lewat handy-talky, tapi aku tidak
mendengar jawaban Anda. Itukah yang Anda maksudkan
berusaha sebisanya?" tuding Saraswati, masih dengan
nada sinis dan bersikap formil dengan menyebut Anda
kepada letnan polisi itu.
"Benarkah? Ah, aku sudah menduganya." Letnan Hendri
gelengkan kepala menyesal. "Waktu aku berusaha mendekatinya dalam jarak yang lebih dekat, handy-talky itu
terjatuh. Aku berusaha mencarinya, dan saat kutemukan
terdengar letusan pistol. Aku buru-buru menghampiri gadis
itu, tapi sekilas kulihat sekelebatan bayangan melewatiku,
maka kuputuskan untuk mengejar orang itu yang kuyakin
makhluk yang sedang kita tunggu. Tapi sayang, aku
kehilangan jejaknya. Dan ketika kembali aku bertemu
dengan tiga anak buahku," lanjutnya menjelaskan.
Saraswati memandangi pria itu sejurus lamanya, seolah
hendak mencari kebenaran lewat tatapan matanya,
kemudian perlahan ia berbalik. "Ya, sudahlah. Kalau begitu
aku pulang lebih dulu," katanya terus melangkah.
"Biar kuantar," sahut Letnan Hendri menawarkan diri
seraya memburunya.

"Ng... kurasa tidak perlu aku lelah sekali," tolak


Saraswati setelah berpikir sebentar. Biasanya bila pria itu
menawarkan diri untuk mengantarnya, ia tidak bisa
menolak saat pria itu mampir ke rumahnya. "Lagipula aku
akan mencuci film sebentar, sebab besok aku harus
mengirimkan laporan."
"Film?" Dahi letnan polisi itu berkerut. "Jadi kau berhasil
mengambil gambarnya?" Dan ketika dilihatnya wanita itu
mengangguk, ia melanjutkan. "Kalau begitu atas nama
hukum aku minta kau menyerahkan film itu padaku."
"Tentu saja, tapi nanti setelah aku mencucinya. Kau
tentu akan mendapatkan beberapa lembar."
"Biar pihak kepolisian yang akan menanganinya. Serahkan film itu padaku," kata Letnan Hendri menegaskan.
"Apakah aku mendengar adanya paksaan?" sindir
Saraswati. "Film dalam kameraku belum habis dan aku
mungkin saja memerlukan film-film sisanya untuk hal-hal
lain. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan
kepolisian. Ini hak milik pribadi, dan kalau polisi memang
menginginkan gambar makhluk itu mestinya dari awal
telah menyiapkan segala sesuatu dan kalaupun aku mau
memberikan pada kalian beberapa lembar hasil fotoku, itu
karena kemurahan hatiku saja. Jadi, jangan coba
memaksakan kehendak dalam hal ini!" tegas Saraswati
cepat dengan nada ketus kemudian terus melangkah pergi.

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

AMPIR dini hari Saras tiba di rumah. Tubuhnya letih


sekali. Kalau saja tidak ingat akan tugasnya, ingin
rasanya ia langsung ke ranjang dan tidur sepuasnya.
Tapi atasannya meminta ia agar selekasnya menyampaikan laporan tentang tugas yang selama ini diembannya.
Dan foto yang tadi dijepretnya tentang makhluk itu pasti
akan menjadi spektakuler. Bukti otentik atas tulisan-tulisan
yang selama ini dibuatnya tentang pelaku pembunuhan
berantai yang belakangan ini marak terjadi sehingga
menimbulkan keresahan masyarakat.
Setelah memproses negatif film di kamar gelap di salah
satu sudut kamarnya, Saraswati dikagetkan oleh suara
kaleng yang ditendang keras dekat kamar itu. Ia tertegun
sejenak, coba mendengar dengan seksama. Tidak ada apaapa. Tapi saat mulai hendak memeriksa hasil foto yang
masih direndam dalam larutan kimia, kembali terdengar
suara aneh. Kali ini ia mendengar suara beberapa buah
kerikil yang dibenturkan ke tembok. Merasa curiga, Saraswati keluar dari kamar itu setelah menggantungkan beberapa lembar foto yang masih basah dan belum sempat
diamati hasilnya.
Ia memeriksa ruang depan, tapi tidak terlihat hal mencurigakan. Kemudian ke belakang mengamati keadaan

dapur dan pintu belakang, juga tidak mendapati hal-hal


yang aneh. Demikian pula ruangan kamar tidurnya, masih
tetap dalam keadaan sebelum ditinggalkannya. Tapi ketika
kembali ke depan, ia melihat kain hordeng jendela
melambai-lambai di tiup angin, dan jendela terbuka lebar.
Untuk beberapa saat ia tercekat kaget, dan jantungnya berdetak lebih kencang. Perlahan gadis itu mundur dan mengambil pisau yang berada di laci meja tempat ia biasa
mengetik, kemudian dengan memberanikan diri ia
memeriksa keadaan jendela itu dengan seksama. Tidak
terlihat hal-hal yang mencurigakan. Perlahan ditutupnya
jendela, lalu menguncinya. Mungkin saat meninggalkan
rumah ia lupa mengunci jendela-jendela itu.
Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tiba-tiba
saja lampu padam, dan saat membalikkan tubuhnya terlihat sesosok tubuh berdiri persis dalam jarak kurang lebih
empat meter di hadapannya. Yang membuat gadis itu
bergidik ketakutan adalah sepasang mata yang menyorot
tajam memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan, seperti
mata seekor kucing dalam kegelapan.
"Si-siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya
coba memberanikan diri. "Jangan coba-coba mendekat
atau..."
Saraswati mengangkat sebelah tangan menunjukkan
pisau, tapi sesosok tubuh itu seperti tidak peduli dan
melangkah pelan mendekatinya. Wanita itu merapat ke
jendela.
"Berhenti! Aku tidak main-main. Kalau kau coba-coba
mendekat maka pisau ini akan bicara!" gertaknya. Dan
Saraswati benar-benar mengayunkan pisau di tangannya
ketika sosok itu terus mendekat, tak mempedulikan
ancamannya. Pergelangan tangannya kena ditangkap dan
langsung dipelintir oleh makhluk itu. Tenaganya kuat luar
biasa, dan Saraswati tidak bisa membiarkan begitu saja

tulangnya patah. Dengan bekal ilmu bela diri karate yang


pernah dipelajarinya sewaktu masih di SMA, tubuhnya
jumpalitan mengikuti arah lengannya yang dipelintir dan
masih sempat mengirimkan satu tendangan ke muka
makhluk itu.
Ia merasa gerakannya cepat dan kuat, namun tidak
disangka-sangka ternyata makhluk itu mampu menangkap
pergelangan kakinya, dan sebelum gadis itu sempat
berbuat apa-apa, tubuhnya melayang deras menghajar
sofa. Pisau di tangannya terlepas, entah ke mana. Tulang
belakangnya terasa sakit sekali. Dan sebelum ia sempat
bangun, makhluk itu telah berdiri di hadapannya, kedua
tangannya mencekik lehernya dengan kuat sampai gadis
itu sulit untuk bernafas. Saraswati berusaha melepaskan
diri. Kedua kakinya menendang ke ulu hati makhluk itu
dengan sekuat tenaga. Tapi makhluk itu cuma bergeming
sedikit. Tidak keluar keluh kesakitan dari mulutnya.
Saraswati jadi putus asa, dan merasa kali ini ajalnya pasti
tiba. Mendadak saat itu telepon berdering.
Makhluk itu terkejut. Reflek ia menoleh ke arah
datangnya suara, dan tanpa sadar cekikannya sedikit
mengendor. Saraswati seperti mendapat peluang. Dengan
sekuat tenaga ia menepiskan kedua tangan makhluk itu
sambil kembali menendang dengan sekuat tenaga.
Makhluk itu terhuyung dua langkah ke belakang sambil
mengeluarkan suara menggeram marah. Merasa tidak
mampu menghadapi seorang diri Saraswati berteriak
sekuat-kuatnya dan berharap tetangga-tetangganya berdatangan memberikan pertolongan. Ia berusaha bangkit
dan berlari ke arah pintu. Tapi makhluk itu tidak memberi
kesempatan. Tangan kanannya melayang menampar
sebelah pipi gadis itu dan membuat Saraswati kembali
terjungkal. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, makhluk itu
telah menjambak rambutnya, dan kembali menghempas-

kannya ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah


berantakan.
Saraswati tidak mampu lagi mengadakan perlawanan.
Seluruh tubuhnya terasa remuk. Pandangannya berkunangkunang sebelum akhirnya gelap. Ingatannya berangsurangsur terbang entah ke mana. Hanya saja lapat-lapat ia
mendengar suara-suara ribut yang entah dari mana
datangnya sebelum akhirnya telinganya tidak mendengar
suara apapun.
Yang pertama kali dilihatnya ketika siuman adalah
wajah Anjar. Pria itu tersenyum padanya. Ia merasakan
usapan tangannya mengusap-usap lengannya. Kepalanya
masih terasa sakit, begitu juga dengan tubuhnya. Ada
selang infus yang dihubungkan dengan sebelah lengannya,
sementara beberapa perban menghiasi lehernya.
"Kau merasa lebih baik?" sapa Anjar.
"Yah, kukira begitu." Suaranya terdengar lemah, dan
tenggorokannya terasa kering dan sakit saat pita suaranya
bergetar.
"Hampir lima belas jam kau tidak sadarkan diri. Apa
yang terjadi? Tetanggamu mengatakan seseorang masuk
ke dalam rumah dan menyerangmu. Orang itu melarikan
diri setelah beberapa orang berdatangan ke rumahmu."
Saraswati terdiam. Ia coba mengingat kejadian itu, tapi
kepalanya terasa sakit sekali, dan entah mengapa
jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa ketakutan
yang membayanginya saat mengingat kejadian dini hari
tadi. Sosok makhluk itu, dengan sepasang matanya yang
buas memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Itu jelas
bukan maling, karena yang diincar adalah dirinya. Apakah
makhluk itu mengadakan pembalasan terhadapnya karena
Saraswati berhasil memotret dan mengambil gambarnya?
"Menurutku itu bukan pekerjaan seorang pencuri. Aku
sempat memeriksa keadaan rumahmu, dan rasanya tidak

ada barang-barangmu yang hilang. Letnan Hendri pun


sempat melihat ke sana setelah kau dibawa ke rumah
sakit. Kami ngobrol sebentar, dan aku melihat wajahnya
penuh dengan kekhawatiran. Apakah kau punya musuh?"
Saraswati diam tak menjawab. Untuk saat ini rasanya ia
tidak ingin membicarakan tentang makhluk itu pada
siapapun.
"Atau barangkali makhluk yang kau buru itu ingin
memperkenalkan diri secara langsung?"
Gadis itu memandang pria itu di hadapannya dengan
seksama. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin juga ia
tidak memikirkan apa-apa. Cuma sedikit heran, mengapa
Anjar punya kesimpulan seperti itu.
"Makhluk itu sudah terkenal buas, dan korban yang
ditimbulkannya pun sudah cukup banyak. Aku
mengkhawatirkan keselamatanmu, oleh karena itu
hentikanlah memburunya. Tidak perlu ia diusik lagi," lanjut
Anjar.
Saraswati tetap membisu. Ia masih merasakan sakit di
tenggorokannya bila pita suaranya bergetar, lagipula ia
belum berminat mendiskusikan hal itu pada Anjar. Dari
awal pria itu memang sudah tidak setuju dengan apa yang
diliputnya belakangan ini. Tapi bagi Saraswati hal itu
membuatnya semakin penasaran. Semakin misterius suatu
masalah, maka makin tertantang jiwa petualangannya.
Tidak peduli apakah hal itu akan membahayakan jiwanya.
"Aku bisa mengerti kalau kau merasa penasaran bila hal
itu tidak dituntaskan," lanjut Anjar seperti biasa membaca
apa yang sedang bergulat dalam pikiran gadis itu. "Tapi ini
menyangkut masalah yang bisa mencelakakanmu. Masih
untung kau bisa selamat, tapi entah bagaimana di lain
waktu. Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat
pasti akan jatuh juga. Begitu juga denganmu meski kau
berusaha untuk menjaga diri darinya, tapi suatu saat naas

itu akan menimpamu. Dan terus-terang aku tidak ingin hal


seperti ini terjadi lagi padamu."
Saraswati memejamkan mata. Ia tidak ingin mendengar
kata-kata pria itu lebih lanjut. Bujukan yang berusaha
menghalangi niatnya. Bukan kata-kata seperti itu yang saat
ini ingin didengarnya. Apapun dan siapa pun yang berusaha
menghalangi niatnya, sungguh ia tidak mau mendengarkan.
"Aku lelah sekali. Kalau tidak keberatan bolehkah aku
tidur dulu...?" pintanya dengan suara lemah.
Anjar menghela nafas, kemudian bangkit berdiri.
"Baiklah. Silahkan istirahat, dan tidur yang nyenyak,"
katanya seraya meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia
membuka pintu, Anjar membalikkan badan. "O, ya. Aku
lupa. Tadi Letnan Hendri ke sini, tapi kau belum siuman.
Dia titip bunga mawar itu," tunjuknya pada rangkaian
mawar yang ada di atas kepala tempat tidur, dan di
sebelah mawar itu terdapat sekuntum melati dalam vas
bening. "Dan melati itu dariku. Selamat beristirahat.
"Setelah itu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Saraswati bisa merasakan kekesalan, dan kekecewaan
dalam sikap dan intonasi kalimat Anjarr yang belakangan.
Dan ia bisa memakluminya. Anjar menyayanginya, dan
kadang-kadang ia merasa rasa sayangnya itu terlalu
berlebihan. Sampai-sampai membatasi ruang geraknya
dalam melakukan banyak hal yang selama ini sudah
terbiasa dilakukannya. Dulu saat refreshing bersama
koleganya yang kebanyakan pria, dengan mengadakan
acara panjat tebing, Anjar berusaha melarangnya dengan
alasan membahayakan jiwanya. Pernah juga saat ia coba-coba mengikuti olahraga arung jeram di Aceh, lagi-lagi
Anjar berusaha mencegah dengan alasan yang sama.
Bahkan saat ia hendak meliput berita tentang suasana
terakhir di Timor Timur yang sedang dilanda kemelut, Anjar

mati-matian mencegahnya, dan minta agar ia ditugaskan


ke tempat lain saja.
Saraswati merasa tidak pernah menyembunyikan
identitas dirinya sejak pertama kali mereka bertemu di toko
buku TEMPO, milik Anjar. Waktu itu ia sedang mencari
buku-buku yang berhubungan dengan dunia mistik. Mereka
berkenalan. Ia mengaku dirinya wartawan, dan buku-buku
yang dicarinya dibutuhkan sebagai pembanding, masukan,
atau apalah namanya untuk melengkapi laporan dan
sekaligus penyelidikannya tentang suatu kasus aneh yang
sedang ditanganinya.
Sepintas saja Anjar mengetahui kalau gadis yang berwawasan luas itu tomboi. Belakangan ketika mereka makin
sering bertemu, ia mengetahui kalau aktifitas gadis itu
seabrek-abrek. Dari mulai bangun pagi lalu olahraga, termasuk diantaranya mengangkat barbel, lalu pergi ke
kantor mengendarai motor trail. Selama dua kali dalam
seminggu ia menyempatkan diri latihan karate, kemudian
sebulan dua kali tiap akhir pekan ia hiking di gunung, atau
kalau tidak bermain-main ke pantai. Lalu kalau ada cuti
selama seminggu lebih, ia pergunakan untuk berpetualang
menjelajahi tempat-tempat yang telah masuk dalam daftar
agendanya. Sehingga boleh dikatakan, sedikit sekali waktu
yang tersisa untuk Anjar, untuk berdua-duaan. Dan dari
semula Anjar sudah siap menerima konsekwensi itu.
Mereka telah sepakat untuk tidak saling mengganggu
kesibukan masing-masing, oleh karena itu sulit bagi
Saraswati untuk bisa menerima perasaan sentimentil pria
itu tentang keselamatan jiwanya dalam menjalankan tugas
yang disukai dan diminatinya, meski dengan alasan kasih
sayang sekalipun!
Hal sebaliknya pun dirasakan oleh Anjar. Meski
menyadari eksistensi gadis itu, dan semua keberadaan
yang ada dalam dirinya, tetap saja ia berharap suatu saat

Saraswati akan berubah. Minimal lebih feminim dan lebih


romantis, hal yang teramat jarang sekali dilakukan gadis
itu. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mencintai gadis
seperti itu, yang menjadikan ia sebagai kekasih nomor dua
setelah tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas yang dilakukan
gadis itu.
Anjar menyayanginya, dan tidak ingin ia mempertaruhkan nyawa demi menjalankan tugas, atau sekedar
memenuhi hasrat kepenasaran. Tapi percuma saja bila
ketidakinginannya itu diungkapkan lewat omongan atau
larangan. Saraswati pasti menolak, seolah Anjar telah
memveto kebebasannya, terlalu mencampuri urusan
pribadi, dan lain sebagainya. Kalau cuma karena ketidak
sesuaian pendapat tentang beberapa masalah, bukan
berarti jalan keluarnya mereka harus putus. Anjar menyadari betul kalau hubungan mereka bukan seperti ABG,
oleh karena itu ia berpikir, bagaimana caranya menyelesaikan persoalan itu.
"Saya cari jalan yang mudah saja, Bang. Kalau tidak
putus, ya cari dukun pelet yang ampuh," sahut Kusno
ketika Anjar meminta pendapat padanya tentang bagaimana caranya menundukkan pacar yang keras kepala.
"Dukun, memang kamu kira akan menyelesaikan
masalah?" semprot Anjar setelah ketawanya reda.
"Lho, hal seperti itu sering berhasil, Bang!" bela Kusno.
"Berhasil apanya? Kamu jarang baca koran dan majalah,
sih. Banyak diantara dukun jaman sekarang itu palsu.
Mereka cuma mengejar uang, dan hawa nafsu. Pernah
dengar tentang dukun cabul, nggak?"
"Ya, jangan dukun yang begituan, dong! Abang pasti
lebih tahu. Lihat-lihat dulu dukunnya. Eh, bicara tentang
dukun saya jadi teringat teman abang yang punya profesi
itu. Dulu dia sering ke sini, kan? Saya pernah dikasih
ajimat, lho dan ternyata manjur!" Kusno terkekeh.

"Siapa? Danang?"
"Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat
yang diberikan Danang, tapi Anjar tidak begitu serius
mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang
kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya?
Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan.
Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus
kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang
menjual barang-barang antik. Disamping itu ia pun ahli
kebatinan, dan sering mendapat pasien yang berhubungan
dengan hal-hal mistik.
Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD.
Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawankawan lain ngeri mendatangi tempat-tempat yang angker,
Danang malah sebaliknya. Ia betah nongkrong berjam-jam
di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai
tempat yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya
yang terkilir, masuk angin, pusing, dan sebagainya ia bisa
menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu
dari tubuh kawannya itu, dan sembuh.
Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya
ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut
kedatangannya dengan gembira.
"Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku,
tapi karena kau yang datang tentu mana bisa kutinggalkan
begitu saja," katanya setelah mempersilahkan sobatnya itu
duduk. Gimana? Ada kemajuan dalam usahamu?"
"Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit
padamu, dan sekaligus minta bantuan, kalau tidak
keberatan."
"Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya
Danang seraya mengeluarkan air es dari kulkas, dan
menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya.
Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh

Saraswati sampai kepada kejadian yang menimpa gadis


itu. "Aku datang kepadamu karena ada kecenderungan
yang sama seperti yang disimpulkan oleh Saraswati,"
tambahnya, "Bahwa peristiwa itu menyangkut sesuatu yang
gaib, dan pelakunya adalah makhluk gaib. Bagaimana
menurutmu?"
Danang menyandarkan punggungnya di sofa sambil
menghela nafas. "Ya." Ia mengangguk pelan. "Akupun
mengikuti perkembangan berita itu, dan tidak
menyalahkan kesimpulan Saraswati. Pelaku pembunuhan
beruntun itu memang didalangi makhluk halus."
"Jadi kau mengetahuinya juga?"
Danang mengangguk. "Ceritanya panjang, tapi
kusingkatkan saja. Menurut literatur yang pernah kubaca,
juga dari legenda masyarakat tempat asal cerita itu,
bermula dari sebuah kerajaan yang berada dalam
kekuasaan Kerajaan Galuh. Sang Prabu mempunyai
seorang putri yang bernama Dayang Sari. Sang Putri
mempunyai kekasih bernama Wanara Bodas. Pada suatu
hari, salah seorang panglima Sang Prabu yang bernama
Taji Saluyu agaknya terpikat oleh Putri Dayang Sari yang
digambarkan cantik jelita, maka dengan segala daya dan
upaya ia berusaha merayu Sang Putri sampai akhirnya
terpikat. Putri Dayang Sari benar-benar kepincuk olehnya
sampai melupakan cinta Wanara Bodas yang tulus. Tapi
agaknya Taji Saluyu ini seorang playboy, sebab pada hari
naasnya itu ia kepergok sedang main gila dengan salah
seorang selir Sang Prabu yang masih belia. Putri Dayang
Sari benar-benar terhenyak dan tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Dia betul-betul sakit hati dan merasa
dikhianati. Sebaliknya, Taji Saluyu entah karena merasa
malu atau takut aibnya terbongkar, dia tega membunuh
kedua wanita itu, lalu menimpakan kesalahan kepada
Wanara Bodas..."

Anjar mengangguk-angguk mendengarkan cerita


sobatnya itu. "Lalu apa hubungannya cerita itu dengan
peristiwa yang terjadi belakang ini?"
"Kuat dugaanku kalau roh Dayang Sari bangkit dan
melakukan balas dendam."
"Balas dendam? Kepada siapa? Keturunan Taji Saluyu?"
tebak Anjar.
"Bukan." Danang gelengkan kepala. "Dayang Sari
merasa alangkah sakitnya mereka yang dikhianati. Seperti
Wanara Bodas yang dikhianatinya, juga seperti ia dikhianati
Taji Saluyu. Ia membuat perhitUngan kepada pasanganpasangan yang suka berkhianat."
"Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
"Sebab Dayang Sari sempat membuat peringatan
dengan darahnya sebelum ajalnya datang, bahwa ia benci
dikhianati, dan ia akan menuntut balas kepada si
pengkhianat sepanjang masa. Dalam literature diceritakan
bahwa korban pertamanya adalah Taji Saluyu," jelas
Danang.
"Lalu..." Anjar diam sejenak.
"Apa? Kau ingin tanya mengapa Dayang Sari sampai
mencelakakan Saraswati?"
Anjar diam tak menjawab. Ia khawatir bila dugaan
Danang benar. Motif pembunuhan itu adalah seperti
hukuman. Hukuman bagi salah seorang pasangan yang
mengkhianati pasangannya. Dan kalau Saraswati sampai
terancam jiwanya oleh makhluk itu berarti....
"Curiga boleh saja, tapi sebaiknya diselidiki lebih dulu,"
kata Danang seperti biasa membaca pikiran sobatnya itu.
"Itukan baru dugaanku saja. Apakah kau mencurigai orang
ketiga dalam hubungan kalian?"
"Entahlah, apakah aku pantas curiga atau tidak. Tapi
sepertinya Saraswati akrab dengan seorang polisi yang
sering bertemu dengannya."

"Ada baiknya juga bila kau selidiki hubungan mereka."


"Memata-matai?" Anjar gelengkan kepala. "Aku tidak
bisa melakukannya. Itu seperti perbuatan remaja yang baru
pertama mengenal cinta dan takut kehilangan kekasihnya."
"Setidaknya kau boleh mencari bukti."
Anjar terdiam beberapa saat lamanya, kemudian
memandangi sobatnya itu sejurus lamanya. "Bukti
bagaimana maksudmu?"
"Ya, apa saja. Surat, tulisan, hadiah kalau memang ada.
Banyak, kan? Apalagi saat ini Saraswati sedang berada di
rumah sakit, kau bisa masuk ke rumahnya. Eh, jangan
salah! Aku bukan mengajarimu untuk jadi maling."
Saran Danang rasanya bisa diterima. Kebetulan ketika
mereka sedang kasmaran tempo hari, Saraswati pernah
memberikan sebuah kunci rumahnya dengan harapan
Anjar bisa bebas keluar masuk rumahnya. Dan kunci itu
masih disimpannya sampai saat ini meski belum pernah
sekalipun digunakannya.
***

DRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

IGA hari setelah pertemuannya dengan Danang, Anjar


menjenguk Saraswati di rumah sakit. Menurut
keterangan dokter, sore hari nanti gadis itu sudah
boleh keluar dari rumah sakit.
Letnan Hendri telah berada di ruangan itu saat Anjar
masuk. Mereka kelihatan ngobrol serius ketika sebelumnya
Anjar mengintip lewat jendela kaca dan ia tidak ingin
langsung mengganggu. Baru setelah letnan polisi itu berdiri
dan memandang keluar lewat jendela yang lain ia
memberanikan diri masuk.
"Sudah lama?" sapanya.
Letnan Hendri melihat arlojinya. "Kira-kira lima belas
menit. Dokter mengatakan kalau Saraswati diperbolehkan
pulang sore ini."
"Ya, saya telah diberitahu tadi." Anjar meletakkan
bungkusan berisi buah-buahan di meja dekat tempat tidur
sebelum menghampiri gadis itu.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah agak mendingan?"
"Yaah," sahut Saraswati pendek, kelihatan tidak begitu
bersemangat.
Anjar melirik sekilas pada letnan polisi itu, dan yang
dilirik agaknya mengerti kemudian segera angkat kaki.
"Sebaiknya kau harus banyak istirahat, bahkan kalau

perlu mintalah cuti," katanya sebelum menutup pintu.


Saraswati cuma tersenyum. Matanya masih melirik ke
arah pintu meskipun sudah tertutup.
"Letnan Hendri menaruh perhatian besar padamu...."
Saraswati mengalihkan perhatian pada Anjar yang membelakanginya, mengambil sebuah apel kemudian mengupaskannya kecil-kecil untuk disuapkan pada gadis itu.
"Aku masih kenyang, nanti saja."
"Baiklah." Dengan perasaan kecewa Anjar meletakkan
apel itu kembali ke meja, lalu melangkah ke jendela yang
mengarah keluar. Keduanya terdiam sesaat lamanya
sebelum pria itu kembali bicara.
"Langit agak gelap, mungkin siang nanti akan turun
hujan," katanya seperti bicara pada diri sendiri, lalu
menoleh pada gadis itu. "Kau ingat ketika pertemuan kita
yang pertama kali? Waktu itu hari sedang hujan dan kau
masuk ke dalam tokoku...."
"Maaf, Anjar. Aku sedang tidak berselera untuk bernostalgia," tukas gadis itu.
Pria itu tersenyum, perlahan menghampiri gadis itu
setelah menyeret sebuah kursi dan duduk persis di bibir
ranjang. "Baiklah, apa yang saat ini kau suka? Pembicaraan tentang persoalan yang sedang kau liput, atau
tentang Letnan Hendri?"
Sepasang bola mata gadis itu agak melebar ketika
wajahnya menyiratkan kegarangan.
"Oke, oke! Jangan marah dulu. Aku toh datang ke sini
untuk menjenguk dan sekaligus menghiburmu. Dulu ketika
aku sakit nenek sering menghiburku dengan menceritakan
dongeng-dongeng. Eit, jangan potong dulu!" tukas Anjar
ketika gadis itu hendak menyela. "Nah, kali ini aku akan
mendongeng untukmu tentang seorang putri raja bernama
Dayang Sari. Tersebutlah kisah Putri Dayang Sari mempunyai seorang kekasih yang amat mencintainya dengan

setulus hati. Pria itu bernama Wanara Bodas. Ia seorang


pria biasa-biasa saja, juga sikapnya terhadap wanita.
Berbeda dengan Taji Saluyu, salah seorang pembantu
dekat Sang Raja. Ia seorang pria perayu dan amat
romantis, sehingga Dayang Sari kepincut padanya dan meremehkan Wanara Bodas. Tapi suatu hari ia menemukan
Taji Saluyu sedang main gila dengan salah seorang selir
Sang Raja. Putri. Dayang Sari geram bukan main. Ia merasa
dikhianati. Sebaliknya Taji Saluyu merasa khawatir
perbuatannya itu dilaporkan kepada Sang Raja, maka
iapun membunuh kedua wanita itu untuk menghilangkan
jejak..
"Cukup! Tidak perlu diteruskan!" teriak Saraswati.
Anjar langsung terdiam. Dipandanginya gadis itu untukbeberapa saat larnanya.
Saraswati sendiri merasa kalau ia agak keterlaluan.
Selama ini belum pernah ia membentak begitu lantang
kepada Anjar. Perlahan ia memalingkan wajahnya.
"Kenapa, Saras? Ada apa denganmu?"
"Tidak ada apa-apa. Aku cuma tidak ingin kau
memperlakukanku seperti anak kecil," sahutnya tanpa
menoleh.
"Bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi mengapa aku
mencium bau pengkhianatan dalam hatimu."
Gadis itu kembali bepaling, dan kini sepasang matanya
memandang tajam pada pria itu. "Apa yang kau
maksudkan?"'
"Bau pengkhianatan," tegas Anjar seraya bangkit dari
duduk dan membelakangi gadis itu saat melangkah tenang
ke jendela. "Sabtu, 2 Juni: Kujemput kau di restoran. 5
Juni: Aku senang kau mau datang ke rumahku dan berkenalan dengan kedua orang tuaku. 10 Juni: tidak apa
kalau kau belum bisa memutuskan, tapi ketahuilah aku
mencintaimu. 17 Juni: Aku senang kau mau menerima

ajakanku untuk nonton." Anjar menghela nafas sesaat.


"Aku tidak tahu tulisan siapa itu, yang jelas aku tidak
pernah melihat tulisanmu seperti itu."
"KKau...!"
"Sepanjang bulan Juni banyak sekali catatan-catatan,"
tukas Anjar tak peduli apa yang hendak diucapkan gadis
itu. "Demikian pula pada bulan Juli, Agustus, dan
September. Kemudian aku melihat banyak sekali hadiah
yang disembunyikan dalam lemari. Tak perlu disebutkan
hadiah-hadiahnya, tapi aku tertarik pada tulisan yang
menempel di hadiah itu, seperti: My Dear, Saras. Untuk
Sarasku. Mudah-mudahan Sayangku senang, dan lain
sebagainya. Dan diakhir kalimat selalu tertulis: H-e-n-d-r-i,"
lanjut Anjar mengeja kata terakhir yang diucapkannya.
"Cukup! Kau sungguh keterlaluan!" semprot Saraswati
garang. "Lancang sekali kau membuka-buka buku diary
dan lemariku. Tidak kusangka kau akan melakukan
perbuatan rendah itu," cibirnya sinis.
Anjar membalikkan tubuh. Wajahnya datar, seolah tak
mempedulikan kejengkelan gadis itu. "Perbuatan rendah?
Kau seorang wartawati, pasti bisa mendefinisikan dua kata
itu dan apa saja yang termasuk katagorinya. Apakah
seorang wanita yang telah mempunyai kekasih kemudian
berselingkuh dengan pria lain termasuk dalam katagori
dua kata itu?"
Hela nafas gadis itu terasa panas, seolah hendak
membakar tubuh Anjar hidup-hidup. Untuk sesaat ia tak
tahu apa yang harus dikatakannya selain mendelik garang
pada pria itu.
"Saras, tenanglah. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kalau
ada persoalan mestinya kan bisa dibicarakan...."
"Apakah sebaiknya nasehat untuk dirimu saja? Tidak
ada angin tidak ada hujan, kau masuk ke rumahku
kemudian membongkar privacyku, ada apa denganmu?"

"Ada apa? Apakah kau kira aku ini makhluk bernyawa


yang tidak memiliki perasaan? Atau barangkali kau berharap perasaanku memang tidak ada? Apakah kau
mengira aku tidak merasakan perubahan sikapmu terhadapku belakangan ini, atau tepatnya sejak bulan Juni?"
"Cukup! Kau mengada-ada dan mengarang suatu
pembelaan untuk melegalisir apa yang telah kau perbuat
atas hak privacyku. Sekarang pergilah. Diantara kita sudah
tidak ada apa-apa lagi. Kau bebas tidak perlu khawatir dan
was-was memikirkanku, sebaliknya akupun bebas
melakukan apa saja yang sudah biasa kulakukan sebelum
bertemu denganmu!" tegas Saraswati.
Anjar tersenyum. "Aku benar, jadi sebenarnya memang
keputusan seperti itu yang kau inginkan. Baiklah, diantara
kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi sebelum aku pergi
dari kamar ini, juga pergi dari hatimu, ingatlah: dongeng
yang kuceritakan tadi suatu legenda yang ada kaitannya
dengan liputanmu tentang makhluk gaib itu. Dan satu hal
terpenting, kau harus pandai jaga diri, sebab kali ini
giliranmu! Waspadalah terhadap orang terdekatmu."
"Bila benar itu pasti kau!" tuduhnya enteng.
"Mungkin saja," angguk Anjar seenteng tuduhan gadis
itu, kemudian angkat bahu. "Tapi apakah aku mempunyai
wajah pembunuh? Lalu apa motifnya? Karena cemburu?
Hm, itu terlalu sepele. Aku yakin sepenuhnya Anjar
bukanlah tipe pria seperti itu. Aku bukanlah seorang idealis
dalam bercinta, tapi realis. Bila seorang wanita sudah tidak
menyukaiku, maka aku akan mencari wanita yang
menyukaiku, sebab aku yakin dunia ini masih banyak
makhluk dari jenis wanita. Yang cantik banyak, yang baik
tersedia, dan yang setia pun ada. Mungkin ini agak
menyimpang dari hukum kebiasaan manusia tentang
percintaan karena mereka beranggapan cinta adalah milik
mutlak perasaan. Tapi bagiku soal cinta adalah

keseimbangan antara perasaan dan akal," lanjut Anjar


mengakhiri kalimatnya dan langsung menutup pintu tanpa
mempedulikan jawaban gadis itu.
Betapapun, dan apapun yang diucapkannya kepada
Saraswati tetap saja Anjar tidak bisa membohongi diri
sendiri. Ia memang mencintai gadis itu, dan keputusan
yang telah mereka jatuhkan bersama tentang hubungan
yang selama ini dibina teramat menyakitkan. Meski begitu
ia berusaha untuk konsekwen dengan apa yang telah
diucapkannya, sebab terlalu mengikuti perasaan bisa
mencelakakan diri sendiri.
"Aku sudah bisa menduganya," komentar Danang ketika
mereka kembali bertemu sore ini. Anjar merasa enggan
pulang ke rumah, juga enggan ke toko, dan entah mengapa
kakinya begitu kuat mengajaknya ke tempat sahabatnya
itu. "Apa kau merasa menyesal telah bertemu denganku
sehingga kau mengambil keputusan seperti itu yang
kemudian berakibat fatal dengan berakhirnya hubungan
kalian?"
Anjar tidak langsung menjawab. Perlahan disulutnya
sebatang rokok, kemudian mempermainkan asapnya.
"Apakah kau yakin ia akan menjadi korban?" tanyanya
sambil memandang sobatnya itu seolah tidak mempedulikan pertanyaan Danang tadi.
"Kenapa? Kau khawatir?"
"Entahlah. Aku cuma tidak ingin dia menjadi korban..."
sahut Anjar agak gelisah. "Kalau ada sesuatu yang bisa
kulakukan untuk mencegahnya."
Danang terdiam, menarik nafas agak panjang sebelum
bicara. "Apakah itu berarti kau masih mencintainya? Atau
kau ingin menolong sekedar rasa kemanusiaan?"
"Aku teringat ceritamu. Menurutmu seandainya Wanara
Bodas mengetahui kalau Taji Saluyu akan membunuhnya
apakah ia mau menolong?"

"Sayang sekali. Menurutku Wanara Bodas tidak berpikir


ke arah itu. Logikanya mengatakan kalau Taji Saluyu akan
mencintai dan melindungi Dayang Sari. Dan menurutkupun
itu masuk di akal.
"Memang. Tapi saat ini situasinya sedikit berbeda.
Akupun percaya kalau Letnan Hendri tidak akan
membunuh Saraswati. Tapi bila roh Dayang Sari menyusup
ke dalam raganya, apakah ia mampu menahannya? Ironis
sekali kan? Dan aku tidak sanggup membayangkannya."
"Mengapa kau begitu yakin kalau roh Dayang Sari akan
menyusup ke dalam raga Letnan polisi itu?
"Pada liputannya yang terakhir, Saraswati berhasil
memotret wajah makhluk itu. Sudah menjadi kebiasaannya
untuk mencuci film dari jepretan kameranya. Dan saat aku
menggeledah rumahnya, aku sempat masuk ke kamar
gelapnya, kemudian melihat hasil fotonya...."
"Jadi...?!" tukas Danang kaget seperti telah mengetahui
kelanjutan kalimat sobatnya itu.
"Betul! Foto yang dijepret Saraswati adalah letnan polisi
itu," sahut Anjar menjelaskan.
Danang tercenung seperti memikirkan sesuatu.
Kemudian setelah itu dipandanginya wajah Anjar sejurus
lamanya. "Apakah... kau menyimpan foto itu?"
Anjar mengangguk. "Aku tidak mempunyai maksud apaapa. Entahlah apakah yang kulakukan itu salah atau benar.
Mungkin saja Saraswati mencintai letnan polisi itu, dan bila
ia sempat mengetahui, atau memang sudah melihatnya, ia
tentu akan sangat kecewa. Aku cuma tidak ingin ia
kecewa...."Danang tersenyum sambil gelengkan kepala.
"Kadang-kadang sulit bagiku untuk mengerti cara
berpikirmu. Di jaman sekarang ini orang menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuannya, dan bila ada lawan
menghadang, ia akan berusaha menjegalnya mati-matian.
Tapi yang kau lakukan justru menutupi kelemahan lawan

untuk melanggengkan hubungan lawanmu dengan


kekasihmu...."
"Mantan," tukas Anjar meralat.
"Apapun nama yang kau berikan aku yakin Saraswati
masih tetap berada di hatimu."
"Setidaknya aku tidak berada lagi di hatinya."
Keduanya terdiam untuk beberapa saat lamanya
sebelum Anjar kembali bicara.
"Bagaimana menurutmu? Apakah tidak berlebihan bila
aku berniat membantunya?"
"Itu terserahmu. Sebagai teman aku berusaha
mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku."
Danang angkat bahu. "Hanya saja kuperingatkan, jangan
berharap terlalu banyak kalau kau mampu mengatasi
persoalan ini."
"Aku berhadapan dengan dunia yang berbeda, dan oleh
karena kutahu kau mengerti lebih banyak dariku soal-soal
seperti itu maka aku minta dukunganmu."
"Seperti yang telah kukatakan, aku akan mendukung
dan membantumu sekuat kemampuanku."
"Terima kasih, Nang. Sekarang apakah kau punya ide
langkah apa yang pertama kali harus kita lakukan?"
Danang bangkit berdiri kemudian memberi isyarat pada
sobatnya itu untuk mengikutinya ke sebuah kamar.
Danang duduk bersila di atas hamparan permadani kecil
dan menghadap ke salah satu tembok pada jarak sekitar
dua meter. Sementara Anjar duduk di belakangnya agar
menyerong sadikit ke kanan. Suasana ruangan begitu
temaram dan hanya diterangi cahaya lampu lima watt
warna biru.
Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh
sahabatnya itu, sebab hal seperti ini belum pernah
dilihatnya. Hanya saja Anjar pernah membaca dan
mendengar bila suasana seperti ini maka seseorang akan

berhubungan dengan makhluk dari dunia yang berbeda,


dari dimensi lain. Apakah itu artinya Danang mengajaknya
untuk berhubungan dengan makhluk halus? Atau lebih
tepatnya dengan Dayang Sari? Apakah ia punya kekuatan
untuk melakukan hal itu?
Ruangan itu hanya memiliki ventilasi kecil yang ditutupi
oleh kawat nyamuk sehingga udara terasa pengap dan
sedikit panas. Kalau saja Danang sampai membakar
kemenyan mungkin ia tidak akan tahan berlama-lama di
sini. Tapi syukur saja kawannya itu tidak melakukannya.
Suasana masih terasa hening. Ia tidak berani mengganggu Danang meski untuk suatu pertanyaan seperti, apa
yang sedang dilakukannya? Tapi perlahan terasa ruangan
itu dipenuhi hawa magis. Ia sulit menjelaskannya dengan
kata-kata, ataukah mungkin itu cuma perasaannya saja?
Atau barangkali ilusi mata? Yang jelas ia melihat ada
semacam kabut yang datang dari arah ventilasi memenuhi
isi ruangan. Tidak menyesakkan nafas, juga tidakmemerihkan mata. Kabut itu bergulung di lantai
membentuk ketinggian sekitar dua jengkal. Tak lama
kemudian terdengar suara koor yang sayup-sayup
terdengar, seperti datang dari kejauhan, ditingkahi suara
gending yang mengalun lambat. Kabut yang menggumpal
di lantai bergoyang-goyang seperti riak ombak.
Suasana seperti itu berlangsung kurang lebih sepuluh
menit, sebelum ia dikagetkan oleh sebuah sinar kecil yang
melesat cepat ke dalam ruangan melewati ventilasi.
Berputar-putar di atas kepala mereka kemudian menggantung di hadapan Danang. Anjar bisa memastikan kalau
sinar yang memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan itu
cuma sebesar kelereng yang paling besar.
Tidak terdengar olehnya percakapan, kalaupun sinar itu
bisa bicara. Yang jelas tidak berapa lama kemudian sinar
itu bergulung-gulung sebelum akhirnya kembali melesat

keluar.
Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut
yang tadi menggenangi lantai ruangan. Dan bersamaan
dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat
terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya
kembali tidak terdengar.
Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih
belum mengerti apa yang telah terjadi ketika Danang
membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya
masih tetap dalam posisi duduk menyila.
"Kau telah melihatnya tadi, kan? Roh Dayang Sari telah
datang menemui kita."
"Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar
hijau kebiru-biruan itu yang dimaksudkan Danang? Apakah
wujud roh memang begitu? Hal itu masih tanda tanya
besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik
kalimat berikut yang dilontarkan sahabatnya itu.
"Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia
akan melakukannya. Sumpahnya tak bisa dicabut, dan
rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai kapan."
Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangkaprasangka yang ada dalam benaknya.
"Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati
pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya.
Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia
menyarankan agar kita tidak ikut campur dalam urusannya."
"Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya
Anjar akhirnya.
"Bisa kedua-duanya."
"Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengannya?"
Danang mengangguk.
"Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan-

nya untuk mencabut sumpahnya sendiri, sebab ia tidak


bersumpah kepada siapapun sehingga apabila sumpah itu
dicabut, tidak ada yang merasa kecewa dan dirugikan?"
"Kau tidak mengerti. Sumpah seperti itu disaksikan
langit dan bumi, dan seluruh makhluk yang ada di
dalamnya. Kepada merekalah ia bersumpah. Selagi dunia
ini masih ada, maka sumpahnya masih tetap akan berlaku.
Lagipula, tidak ada gunanya mendebatkan soal itu sebab
bagaimanapun ia akan tetap melaksanakan apa yang telah
menjadi keputusannya."
Anjar kembali terdiam. Diam-diam ia bergidik ngeri
membayangkan nasib yang akan menimpa Saraswati kalau
benar ia menjadi incaran roh Dayang Sari. Lalu apa yang
bisa dilakukannya untuk mencegah hal itu terjadi? Minta
bantuan pada Danang?
"Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mencegahnya,"
kata Danang angkat bahu seperti mengerti jalan pikiran
sahabatnya itu.
"Apakah... bila kau memaksakan diri akan... membahayakan jiwamu?" tanya Anjar ragu.
"Bisa saja terjadi."
Anjar mengeluh dalam hati. Apa yang kini harus
diperbuatnya? Di satu sisi ia tak ingin Saraswati celaka,
tapi di sisi yang lain ia pun tidak menghendaki Danang
celaka karena terpaksa harus membantunya. Lagipula ia
tidak punya hak untuk memaksa sahabatnya itu membantu
persoalannya.
"Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
Saraswati, Nang?"
"Entahlah.
Jika
saja
ia
tidak
melanjutkan
penyelewengannya, mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi
jangan salah, kemungkinan itu tetap sebuah kemungkinan
yang berarti bisa salah, bisa juga benar. Seandainyapun
setelah itu ia kembali lagi padamu juga bukan merupakan

jaminan kalau ia akan selamat."


"Suatu pilihan yang sulit," desah Anjar menghela nafas
berat. Apa yang mesti dilakukannya? Menguntit ke mana
langkah Saraswati sehingga sebisa mungkin menyelamatkannya, atau membiarkan segala sesuatu terjadi dengan
sendirinya. Kalaupun ia hidup ataupun tewas sebagai
korban, toh nanti takdir yang akan bicara.
***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI

AKTU telah menunjukkan pukul sepuluh malam


ketika ia tiba di rumah. Di halaman depan tengah
terparkir sebuah motor trail. Ia tahu betul, itu
adalah motor Saraswati.Tapi ada apa gadis itu malammalam ke rumahnya?
Tiba di ambang pintu dilihatnya gadis itu sedang ngobrol
dengan Kusno. Sambil texsenyum ia duduk di hadapan
gadis itu.
"Sudah lama?"
"Kurang lebih dua jam yang lalu," sahut Saraswati tanpa
ekspresi.
"Seharusnya kamu istirahat di rumah." Anjar melihat
kalau leher gadis itu masih dibalut perban meskipun ada
syal dari rajutan wol yang melilit di situ.
"Mestinya begitu, tapi karena keperluannya mendesak
aku memaksakan diri ke sini," sahut gadis itu masih
dengan nada datar sambil melirik pada Kusno.
Yang dilirik seperti mengerti dan langsung, angkat kaki
ke belakang.
"Saya permisi dulu, Bang. Tadi sedang membetulkan
saluran air di kamar mandi. Belum kelar. Mari, Mbak."
Anjar mengangguk kecil, sedang Saraswati diam saja tak
bereaksi.

"Tidak perlu setegang itu. Ada apa? Katakan saja."


"Aku minta foto-foto yang kau ambil dari rumahku
dikembalikan. Tidak ada gunanya bagimu!" tandasnya
dengan sorot mata tajam perwujudan rasa sinis di hatinya.
"Foto yang mana?" Anjar pura-pura tidak mengerti.
"Foto-foto yang sedang kukeringkan di kamar gelap!"
"O, itu? Ya, aku mengerti. Tapi mengapa kau begitu
yakin kalau aku yang mengambil foto-foto itu?"
"Tidak usah berbelit-belit! Kembalikan saja dan aku
segera angkat kaki dari sini."
"Bagaimana mungkin kau meminta sesuatu dari
seseorang yang kau sendiri tidak mempunyai bukti kalau
orang itu telah mengambilnya dari tempatmu?"
"Anjar, jangan bermain-main! Aku memerlukan foto-foto
itu. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan kau?"
Anjar menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin seorang wartawati sepertimu menulis sebuah berita tanpa mengadakan
investigasi yang teliti, kemudian mencap kalau berita yang
ditulisnya adalah benar. Dimana letak tanggung jawabmu
terhadap pembaca?"
"Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan foto-foto itu.
Lekas, berikan saja foto-foto itu atau...."
"Atau apa? Kau ingin melaporkannya ke Pak Polisi?"
Nada bicara Anjar agak sinis ketika mengucapkan dua kata
terakhir.
"Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, dan dengan seenaknya membongkar-bongkar arsip-arsip rahasia yang menyangkut masalah privacy. Itu suatu pelanggaran serius."
Anjar tertawa kecil "Kau belum paham juga kalau aku
amat teliti dalam bekerja? Siapa yang akan mempercayai
ceritamu itu? Barang-barang masih berada di tempatnya
kecuali foto-foto itu, dan jangan katakan kalau aku yang
mengambilnya, sebab kau akan kecewa karena tidak bisa

membuktikannya. Ingat, orang lain bisa masuk ke tempatmu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak
punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumahmu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah
kau hendak membuat pernyataan bahwa aku telah merampas kunci rumahmu? Silahkan laporkan kepada polisi!"
Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang
tajam sekali. Entah mengandung kebencian ataukah
dendam. Atau mungkin kedua-duanya.
"Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada
hubungan apa-apa lagi...."
"Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas
Anjar. "Berarti dengan kata lain kau hendak menjadikan
aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak
dikenal?"
"Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak
melunak. "Mengingat hubungan kita yang pernah ada,
maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku."
"Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku
melakukan sesuatu yang terbaik untukmu. Jangan berprasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah menuduh
aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulakukan untukmu adalah demi kebaikanmu sendiri."
"Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan
saja foto-foto itu kepadaku."
"Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar terdengar lebih serius. "Kau sedang menghadapi sesuatu
yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku menolongmu...."
"Kau akan sangat menolong bila mengembalikan fotofoto itu padaku."
"Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan
membuatmu panik."
"Dari mana kau tahu? Kau bukan Tuhan yang bisa

mengetahui apa yang akan terjadi nanti."


"Memang betul. Tapi apakah kau belum melihat isi fotofoto itu?"
"Yang kutahu aku amat membutuhkannya!"" tegas gadis
itu.
"Meskipun kau belum mengetahui isi foto itu?"
"Sudahlah, Jar. Aku tidak mau terus berdebat denganmu. Kembalikan foto-foto itu. Tidak ada gunanya bagimu.
Kau akan sangat menolongku bila mengembalikan fotofoto itu," ulang Saraswati.
Anjar terdiam. Ia jadi ragu apakah Saraswati mengetahui
isi foto itu atau tidak. Kalau memang ia mengetahuinya,
berarti ia bermaksud menyembunyikan seseorang yang
berada datam foto-foto itu. Tapi kalau ia tidak mengetahuinya, Anjar bisa membayangkan kalau gadis itu akan sangat
panik nantinya.
"Foto itu tidak ada padaku. Kau sia-sia datang ke sini
kalau cuma karena itu!" tegasnya. Ia telah mengambil
keputusan tidak akan menyerahkan fotofoto itu pada
Saraswati.
"Jadi kau tidak mau mengembalikannya?!"
"Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apakah
pendengaranmu juga ikut terganggu akibat makhluk itu?"
Saraswati mendengus sinis seraya bangkit berdiri.
"Baiklah. Kalau kau tidak mau menyerahkannya secara
baik-baik maka aku akan memperkarakan masalah ini.
Selamat tinggal." Gadis itu terus berlalu keluar. Dan tak
berapa lama terdengar raungan motornya meninggalkan
halaman rumah.
Dengan membawa perasaan jengkel yang memuncak
sampai ke ubun-ubunnya, Saraswati melajukan motornya
dengan kecepatan tinggi. Ia betul-betul sebal melihat
tingkah Anjar. Meskipun tak ada bukti, tapi ia merasa yakin
kalau Anjar yang telah mengambil foto-foto itu dari rumah-

nya. Kalau bukan, lalu siapa?" Anjar telah membongkar


lemari rahasia yang menyimpan arsip-arsip hubungannya
dengan Letnan Hendri. Dan bukan tidak mungkin pria itu
telah menggeledah seluruh isi rumahnya termasuk kamar
gelap di mana foto-foto itu sedang dikeringkannya sebelum
makhluk terkutuk itu datang dan menganiayanya.
Seekor kelelawar terbang cepat melintas di depan persis
dekat wajahnya. Saraswati kaget bukan main dan reflek
memalingkan muka sambil memejamkan mata.
"Binatang keparat!" gerutunya geram. Tapi belum lagi
habis rasa kagetnya, mendadak melintas seekor kucing
yang menyeberangi jalan. Ia yang sudah begitu kesal, tidak
mempedulikannya dan langsung menabrak hewan itu. Tapi
ajaib, kucing itu tiba-tiba saja menghilang. Raib entah ke
mana.
Gadis itu merasa heran, dan melambatkan laju
motornya sebelum berhenti sama sekali. Ia yakin betul
dengan pandangan matanya kalau kucing tadi persis
berada di depan ban, dan menurut perhitungan, hewan
tadi pasti tergilas. Tapi aneh, karena ia sama sekali tidak
melihat bangkai kucing itu.
Ketika melirik jam tangannya waktu menunjukkan pukul
sebelas lewat beberapa menit. Ia tidak sedang berada di
tengah hutan, tapi sebaliknya bpeada di tengah kota.
Namun suasana sepi tempat itu persis seperti kota mati.
Tak satupun sejak tadi ia berpapasan dengan pengendara
motor lain ataupun mobil. Ini sungguh aneh! Karena meski
larut malam sekalipun daerah ini tetap ramai. Ia
mengingat-ingat, malam apa sekarang? Benar, malam
Jum'at. Entah Kliwon, Legi, atau Pahing, ia tidak tahu. Tapi
apakah ada hubungannya?
Suara anjing terdengar melolong dari kejauhan. Entah
mengapa bulu kuduknya merinding. Ada perasaan ngeri
yang tiba-tiba saja merayap ke tubuhnya. Saraswati

menstarter motor. Tak menyala! Ia mencoba sekali lagi,


tapi tetap tidak ada tanda-tanda kalau motornya mau
bergerak. Ia berusaha mendorongnya, tapi entah mengapa
motor itu terasa berat sekali. Seolah tidak mau bergeser
sedikit pun dari tempatnya.
"Brengsek! Ada apa dengan motor ini?" umpatnya geram
setelah memeriksa busi, platina dan lain sebagainya.
Bahkan bensinnya pun terisi penuh. Rem berfungsi baik.
Lalu apa yang menjadi masalah?
Belum lagi ia menemukan jawaban, mendadak terdengar suara gending dari kejauhan, yang perlahan-lahan
mendekat. Ini mengherankannya, karena ia tidak melihat
ada tanda-tanda orang yang sedang hajatan di sekitar situ.
Dari mana datangnya suara itu?
Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, dan rasa takut
semakin menjadi-jadi menyelimuti hatinya. Pertanda apa
ini? Atau barangkali ia sedang bermimpi? Tapi... ah, tidak.
Ini kenyataan. Pada saat itu terlihat cahaya terang dari
depan, perlahan mendekatinya, membuatnya silau. Reflek
ia memejamkan mata. Tapi ketika ia hendak membukanya
lagi, cahaya itu te!ah berada di dekatnya, berputar-putar
mengelilingi sambil menimbulkan suara bising yang
memekakkan telinga. Di antara suara bising itu terdengar
lapat-lapat satu suara yang memanggilnya berulang-ulang.
"Saraswati... Saraswati...!"
"Siapa itu? Siapa yang memanggilku?!" teriak gadis itu
berputar-putar mencari arah datangnya suara.
"Saraswati.... Kau penghianat. Kau pengkhianat...!"
"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan?"
"Saraswati... pengkhianat. Pengkhianat harus mati!
Pengkhianat harus mati!" Jantungnya seperti berhenti berdetak, dan tubuhnya terasa melayang dengan ringan ketika
cahaya yang mengelilinginya dengan cepat semakin mendekat. Terasa udara panas yang menyengat kulit, dan paru-

parunya sesak untuk bernafas. Dan dengan satu sentakan


keras, terasa sesuatu mencekik lehernya dengan kuat
sekali. Meski gadis itu mati-matian mempertahankan diri,
tapi tetap saja ia tidak mampu berbuat satu apapun untuk
menghindar dari sesuatu yang mencekiknya.
Lapat-lapat sebelum kesadarannya hilang sama sekali
terdengar olehnya suara teriakan yang mengguntur.
"Jangaaan!!"
Ia tidak mengetahui berapa lama berada di sini. Namun
ketika terjaga, suasananya berubah total. Seluruh ruangan
terlihat putih bersih. Ketika melirik ke samping, terlihat
seraut wajah yang dibencinya. Seketika itu juga ia
memalingkan muka.
"Syukurlah kau te!ah sadar," ucap Anjar lega. "Hampir
dua puluh empat jam kau tidak sadarkan diri. Tidak perlu
banyak bicara, karena ada sedikit kerusakan pada
tenggorokanmu. Dokter mengatakan bahwa kau masih
perlu dirawat agak lama di sini. Akupun menganjurkan
begitu. Aku sudah menghubungi pimpinan redaksimu.
Siang tadi beliau datang ke sini menjengukmu, tapi kau
belum siuman."
Saraswati diam saja. Dia melirik lengannya yang dihubungkan dengan tabung infus. Seandainya pun ia
leluasa berbicara, rasanya enggan untuk menimpali
ocehan pria ini.
"Sepulangnya kau dari rumahku," sambung Anjar, "Aku
merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi
padamu, maka secepatnya kau kuikuti. Ternyata benar
saja. Aku bersyukur bisa datang tepat pada waktunya."
Gadis itu kembali memalingkan muka, menatap pria itu
seolah hendak minta penjelasan apa yang telah terjadi
pada dirinya. Tapi dilihatnya pria itu bukannya memberikan
jawaban, malah bangkit berdiri memunggunginya.
"Aku tahu kau tidak menginginkan kehadiranku di sini.

Tidak apa. Aku permisi dulu." katanya melangkah tenang


menuju pintu. Tapi sebelum keluar ia sempat menoleh."
Barangkali kau membutuhkan kehadiran Letnan Hendri
untuk menghiburmu. Aku telah menghubunginya sejak jam
delapan tadi pagi. Tapi tidak bertemu langsung dengannya.
Seseorang yang mengangkat telepon mengatakan kalau ia
sedang pergi, maka aku titip berita saja bahwa kau berada
di sini. Mudah-mudahan dia mau datang menjengukmu.
Selamat malam. Selamat istirahat." Setelah itu ia terus
berlalu, tak peduli ketika Saraswati berusaha mengangkat
sebelah lengannya sebagai isyarat untuk menahannya
sesaat.
Saraswati hanya bisa memandangi punggung pria itu
sebelum pintu tertutup. Ia menghela nafas berat.
Pikirannya berkecamuk ditambah lagi kepalanya agak sakit
seperti terkena benturan keras. Berdenyut-denyut. Apa
yang telah terjadi padanya malam itu? Ia merasa maut
telah begitu dekat dengannya, sebelum teriakan keras itu
membuyarkan segalanya. Siapa yang berteriak itu?
Anjarkah? Apakah ia sengaja datang untuk menolongnya?
Untuk apa? Setelah mengetahui perselingkuhannya
dengan Letnan Hendri, apa pedulinya lagi terhadap dirinya?
Anjar pasti merasa sakit hati, lalu apa gunanya dia
menolong?
Ia tidak tahu apakah hubungannya dengan letnan polisi
itu pantas disebut perselingkuhan? Mereka tidak melakukan hal-hal yang diluar batas, tapi memang, ia merasa
tertarik dengan pria itu. Letnan Hendri terlihat lebih gagah
dan berwibawa. Dan kebersamaan mereka selama ini
membuat kedua hati semakin terpaut erat. Tetapi bukan
berarti ia melupakan Anjar. Semula ia tidak membenci pria
itu, sampai ketika dianggapnya Anjar terlalu lancang mengacak-acak rahasia pribadinya. Dan menurutnya hal itu
sudah melewati batas, dan menumbuhkan kebencian. Tapi

benarkah ia begitu benci pada pria yang pernah dicintainya? Pernah? Kalau ada perkataan itu berarti definisinya
saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi
pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi
mencintai Anjar?
Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu diketuk. Seorang pria berseragam polisi masuk ke dalam.
Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum
manis begitu wajah mereka berpapasan.
"Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?"
tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis
itu.
Saraswati tersenyum kecil, dan berusaha menggeleng
lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah tenggorokannya yang masih diperban.
"Kenapa? Kau mengalami peristiwa mengerikan itu
lagi?"
Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa
sakit sekali. Pita suaranya seperti tak mau bergetar.
"Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah memberitahukan kondisimu padaku. Aku menyesal sekali tak
ada saat kejadian itu menimpamu."
Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu
yang muram. Ada bias dendam dan kebencian yang menyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan kekecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak
mampu menolong gadis itu.
"Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya
setelah beberapa saat membisu. "Pagi tadi aku mengurus
korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam
setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang
dilakukannya sama seperti sebelumnya."
Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh
minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama

sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki permasalahan sampai tuntas, meski ia sendiri hampir saja
menjadi korban.
"Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..."
lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...."
Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata
terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya? Bukankah
itu gadis yang mereka jadikan umpan untuk menjebak
pelaku pembunuhan itu?
"Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum
lagi membaik. Aku sungguh menyesal tidak menjaganya
dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam
permasalahan ini."
Berdosa? Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya,
tapi Saraswati pun merasakan hal yang sama. Bukankah
ide itu berasal darinya? Hanya saja memang bukan ia yang
memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan bersedia menjadi umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan
Hendri sampai memilihnya.
"Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu
kita dalam menuntaskan masalah ini," lanjut letnan polisi
itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya.
"Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!"
Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak menggodanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di
benak gadis itu.
"Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu.
Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang
pintu. Saraswati mengerutkan dahi. Ia sama sekali belum
pernah melihat wajah itu sebelumnya.
"Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian,"
kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan
Saraswati, kemudian memberi isyarat pada si gadis yang
berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam. "Kami

datang berdua ke sini. Ini Christine, sepupuku. Pagi tadi ia


baru datang dari Amerika. Christine kuliah pada jurusan
Anthropologi, dan khususnya pada budaya bangsa-bangsa
Timur."
Letnan Hendri memperkenalkan keduanya.
Saraswati merasakan jabatan tangan gadis itu yang
hangat dan erat, penuh persahabatan. Diamatinya sekilas.
Wajahnya mirip bintang film kenamaan: Paramitha Rusady,
tapi Christine memiliki kelebihan pada tinggi badannya.
"Mas Hendri banyak cerita tentang Anda pada saya, dan
menurut saya tidak berlebihan bila ia mengatakan Anda
cantik. Kenyataannya memang demikian," puji gadis itu. "Ia
juga cerita tentang masalah yang ditanganinya belakangan
ini, yang dalam hal ini Anda pun meliputnya. Dan terus
terang, saya ikut tertarik mengamati perkembangannya."
Saraswati curna bisa tersenyum.
Saraswati baru pertama kali kenal dengan gadis itu, pun
namanya. Karena selama ini Letnan Hendri sama sekali
tidak pernah menyinggungnya. Pria itu pun jarang bercerita
tentang saudara-saudaranya. Jadi pengetahuan Saraswati
tentang keluarganya sangat minim. Ia sendiri tidak tahu
apakah mesti percaya atau tidak kalau Christine ini betul
sepupunya Letnan Hendri. Dan ia merasa hal itu belum
perlu, sebab ia sendiri tidak tahu apakah di hatinya ada
perasaan cemburu atau tidak melihat kehadiran Christine.

TAMAT
SEGERA TERBIT :
MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG
SARI II

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI

JONI CARI PENGALAMAN II

on!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar


suara yang memanggil dirinya.
"He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil
dirinya itu adalah teman baiknya, Midun.
"Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun.
"Aku sedang melamun."
"He, apa yang kamu lamunkan?"
"Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku
khawatir nanti kamu ikut-ikutan."
"Ikut-ikutan apa?"
"Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi
orang kaya."
"Ah, kamu Jon. Kukira apa? Masa cuma melamun aja
aku iri."
"He, siapa tahu."
"Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu
sepi? Ke mana emakmu?"
"Emakku sedang pulang kampung."
"Kamu nggak diajak?"
"Kamu ini bagaimana sih, Dun? Kalau aku diajak sama
Emakku, mana mungkin kau bisa bicara sama aku saat
ini?"
"Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?"
"Ya, begitulah."
"Wah, kamu asyik dong bisa bebas."
"Seharusnya begitu."

"Kok seharusnya?"
"Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini
nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri
tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang."
"Sudah pasti."
"Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin
aku bisa melakukan sesuatu."
"Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?"
"Ngasih. Lima juta."
"Lima juta?"
"Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding."
"Maksudmu?"
"Aku cuma diberi uang lima ribu perak."
"Untuk berapa hari?"
"Katanya sih untuk beberapa hari."
"Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal
membuat kamu kelaparan."
Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari
Emak pergi aku sudah nggak punya uang."
"Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih!
Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?"
"Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!"
Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?"
"Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku
sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?"
"Dan lamunanmu itu berhasil?"
Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya
semakin nampak murung.
"Aku punya saran,"
Joni memandang sahabatnya itu.
"Apa saranmu?"
"Sebaiknya kau menyusul emakmu saja."
"Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan
kaki kesana?
"Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh."
Joni menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.

Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja."


"Di mana tempat tinggal pamanmu itu? Apa kau tahu
alamatnya?"
"Tahu."
"Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini,
sebaiknya kau lekas pergi ke tempat tinggal pamanmu!"
"Tapi bagaimana kalau Emakku pulang? Past! Emak
bakal mencari-cariku?"
"Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu
emakmu, bahwa kau pergi ke rumah pamanmu."
"Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima
kasih. Tapi.??"
"Tapi apa lagi?"
"Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan
menjaganya? Aku khawatir nanti ada barang-barang
berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi,
pasti Emak bakal marah sekali!"
"Barang berharga? Memangnya emakmu banyak
memiliki barang berharga? Setahuku di dalam rumahmu
nggak ada apa-apa kecuali cuma tempat tidur reotmu itu!"
"Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak
memiliki barang simpanan yang harganya tak ternilai.
Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku
dibanding dengan kekayaan milik Emakku!"
"Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih
keturunan raja minyak dari Arab?"
"Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang
kaya cuma pura-pura miskin."
"Pura-pura apa miskin beneran?"
"Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa
dibelinya buat kandang ayam, tahu. Kamu nggak percaya?
Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di
Jakarta itu punya siapa?"
"Punya Emakmu?"
"Gila! Punya Pemerintah, goblok!"
"Oh, aku kira punya emakmu."
"Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.

Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa


meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah."
"Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diamdiam emakmu banyak memiliki harta simpanan Jon."
"Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilangbilang sama orang lain lagi ya, nanti bisa bahaya. Rumahku
bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya celaka!"
"Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain."
"Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu
cuma kamu aja! Lain orang nggak ada yang tahu. Mereka
cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang nggak
punya."
"Nggak tahunya Kong Melarat."
"Hus, Konglomerat!"
Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara percaya dan tidak percaya. Apa benar emak si Joni banyak
memiliki kekayaan? Setahu Madun, selama ini emak si Joni
adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya miskin
dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya
Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan
semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni
sendiri, sepulang temannya itu Joni tertawa terbahakbahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang
itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu
sudah reot, sehingga menimbulkan suara cukup gaduh.
"Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun
percaya kalau Emak punya simpanan berharga dalam
rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa,
selain punya diriku dan gubuk reot ini!"
***

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI

JONI CARI PENGALAMAN II

ONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun


dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk dipejamkan. Itu sebabnya sedari tadi Joni cuma terlentang saja di atas tempat tidur sambil matanya memandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak
berlapis. Menyebabkan genteng rumahnya yang banyak
berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau hujan
rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang
telah pecah dan rengat.
Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hatinya sedih. Dari mana ia bisa memperoleh uang untuk
memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu?
"Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya
rejeki yang banyak. Jangan cuma pas-pasan untuk makan
aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua gara-gara
pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua
orang sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak
bakal senang betul hatinya. Karena dengan begitu Emak
pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah
nasib Emak dan diri saya!"
Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai
telinganya mendengar suara ketokan.
"Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke
arah pintu.

"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati


Joni curiga. Ia tidak segera membuka pintu rumahnya,
karena suara yang didengarnya itu tidak dikenalnya. Suara
seorang lelaki.
"Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?"
"Saya!"
"Saya siapa?"
"Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu
ini saya dobrak!"
"Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti
Emak saya marah!"
"Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi
sama emakrnu, saya sih tidak"
"Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka.
Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya.
Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di
hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh besar
bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar
tawanya.
"Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa
dipersilahkan langsung menerobos masuk dan duduk.
Joni bengong seperti sapi ompong.
"Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang
mengaku seorang rampok.
"Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang
kampung!"
"Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi
barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada
perabotnya."
"Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin."
"Rumah orang miskin? Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak
percaya. Soalnya di Jakarta ini banyak sekali orang kaya
yang pura-pura miskin."
"Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benarbenar miskin. Sungguh saya nggak bohong dan nggak purapura."
"Jadi sungguh kamu miskin beneran?"

Ya "
"Kasihan."
"Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang
kasihan sama diri saya dan Emak saya."
"Begitu?"
"Ya, begitu."
"Kalau begitu, mereka itu semua tolol!"
"Kok, kamu bisa bilang begitu?"
"Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi
sama kamu yang pura-pura miskin!"
"Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh."
"Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi
terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu
yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang
lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?
"Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya
simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan
di Wc.!"
"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu
semua oranq juga punya."
"Jadi...?"
"Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik
emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima
menit, nyawamu melayang."
"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake
melayang segala."
"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!"
"Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di
kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa
mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu
Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah
alamat. Lha, orang miskin kok di rampok."
"Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya
simpanan barang berharga?"
"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak
penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma
kecoa!"

"Brengsek!"
"Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih?
Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang
kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung
belum jatuh kroban nyawa."
''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas
kaya."
"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya
juga pingin."
"Kamu juga pingin kaya?"
Joni menganggukkan kepala,
"Wah, kalau begitu kita sama dong."
"Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan."
"Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak
punya simpanan apa-apa, saya permisi."
"He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?"
"Pulang."
"Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?"
"Terimakasih."
"Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang
mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa
langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni.
"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan
emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya
ya!"
"Beres. He, nggak. Enak aja!"
Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang
menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
"Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang
punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan
hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman.
Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar
bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika
tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa
takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan
rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni
justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal

pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau tidak salah


pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan
raya, tak jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada
lampu merah, sedang disebelah kirinya yang Joni ingat ada
toko!
Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya
secara tepat, apakah pamannya itu tinggal di Bandung, di
Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali tidak tahu.
Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat
tinggal pamannya itu.
"Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus,
Jadi sekarang ini aku harus naik bus!" kata Joni dalam hati.
Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik? Ketika
ada sebuah bus yang lewat Joni mempehatikan dengan
hati ragu.
"Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak
kondektur bus. Padahal penumpang yang ada di dalam bus
itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden.
"Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si
kondektur lagi memaksa Joni naik. Tapi Joni menolak
sambil mengelengkan kepala.
"Mau ke mana Dik? Senen!" tanya si kondektur sama
Joni setengah memaksa.
Joni menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur
matanya melotot.
"Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!"
"Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si
kondektur marah-marah.
Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali
ini busnya tidak begitu padat dengan penumpang.
"Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni.
"Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni.
Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si
kondektur sewot. Joni tersenyum, diapun lalu naik bus itu.
Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni
harus berdiri sambil menggelantungan seperti Tarzan.

Tidak berapa lama setelah bus berjalan.


Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa
menagih ongkos.
Ongkos.... ?" kata si Kondektur.
"Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum.
"Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang.
"Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni.
Membuat mata si Kondektur terbelalak.
"Nggak punya uang? Jadi...?"
"Numpang Oom. Dekat aja kok."
"Betul dekat?"
"Ya, Oom."
"Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki.
Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong
hampir saja Joni jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi
karena melihat badan si Kondektur yang cukup besar dan
tampangnya seram, hati Joni jadi ciut.
"Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu
Joni setelah diturunkan dari bus. Tapi percuma, makian
Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah
menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi
terlakan si Kondektur.
"Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!"

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai