PENDAHULUAN
menyebabkan rendahnya hasil baik secara kuantitas maupun kualitas, juga berakibat
ketidakstabilan pertanian secara nasional. Faktor penyebab risiko pertanian antara
lain fluktuasi dan penyimpangan iklim, ketidaktepatan peramalan iklim dan
perencanaan usahatani serta pemilihan komoditas/varietas yang kurang sesuai dengan
kondisi iklim.
Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas dari
berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan
persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena pangan adalah kebutuhan
pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan BPS tahun 2010 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat
sebesar 15,21% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan
pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan
nasional. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan
sekaligus meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak
hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan kendala
tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan upaya strategis
lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama yang berkaitan dengan
fenomena alam dan perubahan iklim (Nurdin, 2012).
Perubahan iklim di samping berdampak pada sektor pertanian khususnya
sektor tanaman pangan, akan berdampak pula terhadap ketahanan pangan. Akibat
menurunnya produksi pertanian karena perubahan iklim, maka akan berdampak pada
menurunnya persediaan bahan makanan, serta menurunkan akses masyarakat
terhadap pangan yang mengakibatkan menurunnya tingkat ketahanan pangan, karena
kedua hal tersebut merupakan indikator ketahanan pangan. Laboratorium Iklim di
Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa selama kurun waktu 1981-1990, setiap
kabupaten di Indonesia setiap tahunnya mengalami penurunan produksi padi 100.000
ton dan pada kurun waktu 1992-2000, jumlah penurunan ini meningkat menjadi
300.000 ton (UNDP Indonesia, 2007).
Perubahan iklim akan bertindak sebagai pengganda dari ancaman yang ada
terhadap ketahanan pangan. Pada tahun 2050, risiko kelaparan diproyeksikan
meningkat sebesar 10 - 20%, dan anak malnutrisi diantisipasi akan 20% lebih tinggi
dibandingkan dengan tidak adanya skenario perubah iklim. Kunci mencapai
iklim,
kepemilikan
sumberdaya,
nilai-nilai
budaya,
lingkungan
terbatas. Agar pengambilan keputusan berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibuat
berdasarkan informasi yang lengkap, petani membutuhkan informasi tentang: (a)
konsekuensi yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim, (b) persepsi masyarakat
tani tentang konsekuensi tersebut, (c) opsi adaptasi perubahan iklim yang tersedia,
serta (d) manfaat memperlambat akselerasi perubahan iklim (Olorunfemi dalam
Adiyoga et al., 2012). Kepedulian dan persepsi tentang suatu masalah, misalnya
perubahan iklim, akan membentuk aksi atau inaksi terhadap masalah tersebut
(Nzeadibe and Ajaero, 2010). Dengan demikian, pemahaman terhadap persepsi petani
tentang perubahan iklim sangat penting karena persepsi tersebut membentuk kesiapan
petani untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian teknik budidayanya
(Speranza, 2010). Dengan adanya persepsi yang baik terhadap perubahan iklim,
maka petani akan lebih berhati-hati dalam hal berusahatani padi maupun
mempertahankan ketahanan pangan rumah tangganya.
Dalam rangka mengantisipasi dampak perubahan iklim, maka diperlukan
adanya strategi antisipasi yaitu mitigasi dan adaptasi. Salah satu teknologi mitigasi
dan adaptasi yang dilakukan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim
adalah penerapan pertanian organik (FAO, 2010). Pertanian organik memancarkan
tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang jauh lebih rendah dan cepat, terjangkau
dan efektif mengaramkan karbon ke dalam tanah. Pertanian organik mengurangi gas
rumah kaca terutama nitro oksida, karena tidak menggunakan pupuk nitrogen kimia
dan kehilangan nutrisi dapat diminimalkan. Selain itu, pertanian organik membuat
lahan dan manusia lebih tahan terhadap perubahan iklim, terutama karena airnya
efisien, tahan terhadap cuaca ekstrim dan risiko kegagalan panen yang lebih rendah.
(Purwati, 2010).
Pertanian organik mendapat tempat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB
(KTT Iklim PBB) di Kopenhagen lalu dengan Perundingan Meja Bundar tentang
Pertanian Organik dan Perubahan Iklim. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
Hal ini menyebabkan petani berpaling pada pertanian organik dengan hanya
memanfaatkan bahan-bahan di sekitarnya. Petani tidak lagi menggunakan pupuk
kimia yang mahal, melainkan hanya menggunakan pupuk kandang atau kompos.
Pupuk kandang hanya diambil dari limbah peternakan seperti peternakan sapi atau
ayam, sedangkan kompos dapat dibuat sendiri dengan teknik yang sangat mudah dan
sederhana. Sementara untuk memberantas hama, petani hanya menggunakan ramuan
alami yang berasal dari bahan-bahan tanaman yang ada di sekitarnya dengan
demikian dapat menurunkan biaya produksi.
Menurut Andoko (2004) biaya operasional untuk membudidayakan padi
organik hanya 72% dari biaya budidaya padi non-organik. Hasil penelitian di
beberapa daerah mengungkapkan bahwa, usahatani padi organik memiliki kuntungan
yang lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non-organik .
Keunggulan utama padi organik dibanding padi non-organik adalah relatif
aman untuk dikonsumsi, selain itu, rasa nasi dari beras organik lebih empuk dan
pulen. Keunggulan padi organik lainnya adalah warna dan daya simpannya lebih baik
dibanding padi non-organik, sesudah ditanak beras organik akan menjadi nasi yang
warnanya lebih putih dibanding beras non-organik. Nasi dari padi organik pun dapat
bertahan selama 24 jam, sementara dari beras non-organik mulai basi setelah 12 jam.
Dari berbagai keunggulan, dapat dipastikan bahwa nilai ekonomis padi organik
menjadi lebih tinggi dibanding padi non-organik (Andoko, 2004).
b.
c.
d.
e.
f.
g.
adaptasi terhadap perubahan iklim, maka sejak tahun 2002 sudah dimulai adanya
penanaman padi organik tetapi masih semi organik. Hal ini didukung juga oleh
Gerakan Pertanian Organik yang dicanangkan Menteri Pertanian sejak tahun 2001
dengan moto Go Organik 2010 sebagai antisipasi dalam menghadapi perubahan
iklim.
Pengembangan padi organik di Provinsi Lampung terdapat di Kabupaten
Tanggamus tepatnya di Kecamatan Pematang Sawa, Pekon Tampang Tua. Petani di
Pekon Tampang Tua tersebut sudah sejak dulu mengusahakan padi secara organik,
karena wilayahnya terisolir dan terletak di seberang lautan, sehingga menyulitkan
untuk mengakses sarana produksi seperi pupuk kimia, karena transportasi satusatunya hanya menggunakan kapal laut. Oleh karena itu, petani di wilayah Pekon
Tampang Tua telah terbiasa menggunakan bahan organik dari produksi lokal untuk
pemupukan dan pemberantasan hama. Kondisi ini sangat cocok untuk dikembangkan
pertanian padi organik, terlebih lagi memiliki sumber mata air dari pegunungan.
Oleh karena itu sejak tahun 2009 wilayah ini dijadikan sebagai proyek
pengembangan padi organik Provinsi Lampung. Pembinaan budidaya padi organik
dilakukan dengan bekerjasama antara Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Lampung dengan WWF Indonesia dan Lembaga Pertanian Alternatif
Sumatra Utara (PANSUS), yang dimulai sejak tahun 2009 sampai dengan tahun
2011. Luas lahan untuk tanaman padi organik di Pekon Tampang Tua baru mencapai
48 ha, namun yang telah mendapatkan sertifikasi sebanyak 30 ha. Produktivitas padi
10
organik yang dicapai tidak berbeda dengan produktivitas padi non organik
(konvensional) berkisar antara 6-7 ton/ha pada musim rendeng, sedangkan pada
musim gado berkisar antara 4-5 ton/ha. Hasil pembinaan usahatani padi organik di
Pekon Tampang Tua tersebut diperolehnya sertifikat beras organik tahun 2012 dari
Indoneian Organic Farming Certification (INOFICE).
Kabupaten Tanggamus mengalami perubahan iklim dari tipe iklim D1
berdasarkan data curah hujan tahun 1976-1990 menjadi tipe iklim D2 berdasarkan
data curah hujan tahun 1991-2010, yang menunjukkan telah terjadi perubahan tipe
iklim kearah tipe iklim yang lebih panas menurut tipe iklim Oldeman.
637
700
409
500
2011
62
100
137
2012
65
63
65
40
62
25
263
261
238
74
103
147
64
100
91
96
200
202
300
241
400
135
600
0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
11
Berdasarkan data curah hujan tahun 2011 dan 2012 yang tersaji pada Grafik 1,
Tahun 2012 Kabupaten Tanggamus khususnya di Kecamatan Pematang Sawa terjadi
kekeringan pada musim tanam kemarau (gadu), yang menyebabkan penurunan
produksi sampai pada gagal panen. Hal ini ditunjukkan dengan adanya data rata-rata
curah hujan antara bulan Juli sampai September yang sangat rendah dan jauh di
bawah curah hujan normal (Grafik 1). Kondisi ini sesuai hasil survei bahwa seluruh
masyarakat di Kecamatan Pematang Sawa mengemukan telah terjadi kekeringan pada
musim gadu tahun 2012. Adanya kegagalan panen, akibat kekeringan yang melanda
daerah tersebut akan menyebabkan menurunya produksi, ketersediaan pangan dan
akses masyarakat terhadap pangan. Oleh karena itu penelitian mengenai strategi
adaptasi perubahan iklim, dan keterkaitannya dengan produktivitas dan ketahanan
pangan rumah tangga petani padi penting untuk dikaji.
1.2. Rumusan Masalah
Sektor pertanian khususnya sektor tanaman pangan merupakan sektor yang
paling terkena dampak dengan adanya perubahan iklim. Sektor tanaman pangan
khususnya padi memperoleh dampak yang paling serius akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim tersebut dapat berupa perubahan pola hujan, peningkatan kejadian
iklim ekstrem (banjir/kekeringan), peningkatan suhu udara, dan peningkatan
permukaan air laut, yang akhirnya berdampak pada periode waktu curah hujan yang
pendek, waktu kemarau yang panjang, bergesernya musim tanam, berubahnya pola
tanam, kekurangan air/kekeringan, adanya banjir, timbulnya hama dan penyakit
12
tanaman,
13
Strategi yang dapat dilakukan dalam ketahanan pangan akibat perubahan iklim antara
lain meliputi: menyediakan stock pangan, mengurangi frekuensi makan, melakukan
diversifikasi tanaman, ternak dan ikan, melakukan diversifikasi pendapatan (on-farm
dan off-farm), dan pemberdayaan anggota rumah tangga dalam memperoleh
tambahan pendapatan.
Apabila petani telah memiliki persepsi yang baik tentang perubahan iklim dan
mampu melakukan strategi adaptasi perubahan iklim, maka petani akan mampu
mempertahankan produksi padi dan ketahanan pangan rumah tangganya, sehingga
tidak terjadi kekurangan pangan. Dalam rangka menghadapi perubahan iklim, petani
dituntut tidak hanya mampu mengalokasikan faktor-faktor produksi yang digunakan,
tetapi juga mampu menggunakan faktor-faktor produksi seperti varietas, pupuk,
pestisida, yang sesuai dengan perubahan iklim yanga ada, sehingga tujuan usahatani
yaitu peningkatan produktivitas dan pendapatan dapat tercapai. Oleh karena itu,
alokasi penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dan efektif, serta mampu
beradaptasi dengan perubahan iklim sangat menentukan tercapainya produksi yang
optimal, dan peningkatan pendapatan,sehingga pada akhirnya ketahanan pangan
dapat tercapai.
Di sisi lain, setiap rumah tangga atau penduduk memiliki kerentanan yang
berbeda dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu perlu adanya
penyesuaian-penyesuaian atau adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, agar
rumah tangga dapat bertahan menghadapi dampak perubahan iklim. Dengan
14
demikian, perlu adanya kajian tentang adaptasi dan antisipasi perubahan iklim dan
dampaknya pada produktivitas dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi
organik dan non organik.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah persepsi dan strategi adaptasi petani padi organik dan non organik
terhadap perubahan iklim?
2. Bagaimanakah tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga petani padi organik
dan non organik terhadap perubahan iklim?
3. Bagaimanakah pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap efisiensi
teknis usahatani padi organik dan non organik?
4. Bagaimanakah pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan
pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik?
15
1. Mengetahui persepsi dan strategi adaptasi perubahan iklim petani padi organik
dan non organik.
2. Mengukur tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga petani padi organik dan
non organik terhadap perubahan iklim.
3. Mengukur pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap efisiensi teknis
usahatani padi organik dan non organik.
4. Mengukur pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan
rumah tangga petani padi organik dan non organik.
16
17
dan non organik terhadap perubahan iklim secara deskriptif; (2) Mengukur
produktivitas padi organik dan non organik secara deskriptif akibat perubahan iklim
(kekeringan); (3) Mengkaji pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim yang
diterapkan petani dalam berusahatani padi terhadap efisiensi teknis usahatani padi
organik dan non organik, dengan menggunakan fungsi produksi stokhastik frontier
yang diestimasi dengan Maximum Likelihood Estimation (MLE); dan (4)
Menganalisis antisipasi petani terhadap perubahan iklim dengan menganalisis error
term dari hasil analisis frontier yaitu error yang dapat diantisipasi oleh petani (u) dan
membandingkan nilai error u antar padi organik dan non organik dengan uji beda t
tes yang masih jarang dikaji dalam penelitian ekonomi pertanian.
Penelitian kerentanan penghidupan terhadap dampak perubahan iklim sudah
banyak dilakukan, diantaranya Hahn et al. (2009) meneliti kerentanan rumah tangga
di Mozambique dengan menggunakan Livelihood Vulnerability Index (LVI)
berdasarkan indikator Natural disaster and climate variability, social demographic
profile, livelihood strategies, social networks, health, food dan water di dua
kabupaten yaitu Moma dan Mabote. Puhlin dan Tapia (2006), mengkaji kerentanan
penduduk terhadap perubahan iklim di Pabtabangan-Carranglan Watershed
Philippina, menggunkan indikator food, water, livelihood, health, dan namely dan
menguji pengaruh variabel demografi, socioeconomic, geografi dan jumlah coping
mechanism terhadap kerentanan rumah tangga terhadap perubahan iklim dan iklim
ektrem dengan analisis korelasi Spearmen dan regresi.
18
indikator
kecukupan
ketersediaan
pangan,
frekuensi
makan,
19
digunakan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kebaruan dari segi topik,
variabel, analisis, dan lokasi yang digunakan.
20