Anda di halaman 1dari 6

PERTUSIS

Alex Chairulfatah, Anggraini Alam


Pendahuluan
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta,
violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah
penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang
disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk
kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel
saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom
yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada
mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga
pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan
rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari
droplet penderita selama batuk. Merupakan salah satu penyakit yang
paling menular yang dapat menimbulkan attack rate sebesar 80-100%
pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada abad
pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B.
pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada
tahun 1906.
Epidemiologi
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang
dari 10% kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai
dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis,
dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak
itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan
seumur hidup, sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk
usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada
bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi
pertusis rutin yang luas. Centers of Disease Control and Prevention
(CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu
angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian
pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi
diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu
dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari,
ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar
997 per 100.000.
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan
67% kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003)
sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun.
Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber
penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk
mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit,
dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan
adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya
kejadian luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 1519 tahun dan 13,9 bila ibu batuk >7 hari. Hal yang menarik

disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu yang lebih tua
tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pertusis.

Gambar 1 Laporan Kasus Pertusis 1922-2004 di AS


Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium,
yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut
paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi
klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai
berikut: 72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70%
muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap
karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau
penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi
batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala.
Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat
mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif
memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik
>1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan
hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop,
atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki
peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan
anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit,
meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan
profilaksis.
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi.


Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan
karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar
organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada
tahap ini kuman mudah diisolasi
Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara
yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan
distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama
di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah
batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan
apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan
muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan
akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan
timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi
berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan
adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas
yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada
pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.00050.000/L dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak
menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai
untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou.
Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal
94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu
berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan
kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu
setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini
merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang
tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium
lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu
dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG,
dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT

menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit


atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif
dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah
imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat
memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau empisema.
PENYULIT
Peneliti Inggris (1977-1979) melaporkan diantara 2.295 kasus
didapatkan penyulit 16,8% berat badan menurun, 9,8% bronkitis akut,
0,3% atelektasis, 0,88% bronkopneumonia, 1,1% apnea, 0,6% kejang,
dan 7,5% otitis media. Pneumonia dapat disebabkan oleh B. pertussis,
namun lebih sering lagi disebabkan infeksi bakteri sekunder (H.
influenzae, S. pneumoniae, S. aureus, S. pyogenes). Tuberkulosis laten
dapat juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder dari sumbatan
mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan
pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh
bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstisial/subkutan dan pneumotoraks, termasuk
perdarahan subkonjungtiva.
Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma,
ensefalitis, hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of
inappropiate diuretiuc hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik
mungkin dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan muntah
persisten.
Tabel 1 Komplikasi Pertusis 1989 - 1991 (CDC), USA
Persentase Komplikasi
(tanpa penggolongan usia)
Pneumonia
12%
Kejang
2%
Ensefalopati
0,1%
Kematian
0,2%
Memerlukan rawat inap
41%

Pengelolaan
Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.
Pemberian eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi
pilihan pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50
mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari)
dapat mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari.
Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila diberikan pada pasien

dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode penularan.


Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid terbaru yaitu
azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal
500 mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2
dosis peroral, maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif
dengan eritromisin, namun memiliki efek samping lebih sedikit. Terapi
suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan
serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya
diberikan pada distres pernapasan yang akut dan kronik.
Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.
Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka
kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi.
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat
dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi
bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan
ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin
pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
Isolasi:
mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi,
diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien
setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari
14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk
paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
Karantina:
kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7
tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh
berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat
antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau
ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien
pertusis
PROGNOSIS
Prognosis tergantung usia, remaja memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan bayi yang memiliki risiko kematian (0,5-1%)
akibat ensefalopati.
Kepustakaan

Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the Control of Pertussis
Outbreaks. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention; 2000. Pediatr
Infect Dis J. 2005;24(6 suppl):S109S116
Centers for Disease Control and Prevention. Preventing tetanus, diphtheria and
pertussis among adolescents: use of tetanus and diphtheria toxoids and acellular

pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization


Practices (ACIP). MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2006; In press
Committee on Infectious Diseases Prevention of Pertussis Among Adolescents:
Recommendations for Use of
Tetanus Toxoid, Reduced Diphtheria Toxoid, and Acellular Pertussis (Tdap) Vaccine.
Pediatrics. 2006;117:965-978.
Greenberg DP. Pertussis in adolescents: increasing incidence brings attention to the
need for booster immunization of adolescents. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:721728
Hewlett EL, Edwards KM. Pertussis: not just for kids. N Engl J Med. 2005;352:12151222
Lee GM, Lett S, Schauer S, et al. Societal costs and morbidity of pertussis in
adolescents and adults. Clin Infect Dis. 2004;39:15721580
Strebel P, Nordin J, Edwards K, et al. Population-based incidence of pertussis among
adolescents and adults, Minnesota, 19951996. J Infect Dis. 2001;183:13531359

Anda mungkin juga menyukai