Oleh
Danny Syahril Ardiyansyah
Terungkap melalui obrolan ringan ala warung kopi hotel ternama, nasib dan
dinamika bangsa indonesia bisa diatur oleh segelintir orang. Walau ringan, dan
diklaim sebagai guyon, substansinya mengalahkan surat berkop resmi lembaga
eksekutif negara untuk urusan hajat hidup orang banyak. Walau gelap dan terus
diurai keabsahannya, namun sudah sanggup menghenyakkan mata publik tentang
kekuatan negosiasi ala lobi-lobi warung kopi.
Negosiasi atau Lobi
Negosiasi Alam Sadar
Negosiasi lebih bersifat formal. Agenda dan tujuan negosiasi telah saling
disampaikan kepada kedua belah pihak secara terbuka. Bahkan, ada dokumentasi
formal dalam proses negosiasi baik berupa surat undangan, berita acara, sampai
hasil dari negosiasi yang dituangkan dalam produk hukum bersama. Intinya adalah
jalannya negosiasi sudah diketahui secara terbuka kemana arah kedua belah pihak
akan bermuara.
Menurut Oliver (astriyan, 2014), negosiasi adalah sebuah transaksi dimana kedua
belah pihak mempunyai hak atas hasil akhir. Hal ini memerlukan persetujuan kedua
belah pihak sehingga terjadi proses yang saling memberi dan menerima sesuatu
untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Kedua belah pihak memiliki posisi
yang sama, dan wajib mendapatkan perlakuan dan hasil yang seimbang. Tanpa itu,
dan apabila dikehendaki oleh salah satu pihak, negosiasi bisa batal dan dilakukan
negosiasi ulang. Mulia memang sifat dasar negosiasi, yang terbuka dan seimbang.
Namun di sisi lain, sifatnya yang terbuka seringkali membuat negosiasi dijadikan
tameng dan kambing hitam atas sebuah kondisi. Beratnya tekanan kepentingan,
khususnya
politis
berlangsungnya
dan
maupun
golongan,
ketika
membuat
menanggapi
perputaran
hasil
opini
negosiasi
pada
saat
menjadi
tidak
terkendali. Sebagai contoh baru baru ini, bagaimana sebuah surat yang dilayangkan
sorang menteri, atas nama negara, kepada salah satu perusahaan tambang
terbesar di negeri ini menjadi sumber polemik panjang.
Kurang baikkah teori negosiasi dipraktekkan? Atau memang negeri ini segala
sesuatu harus diawali dengan yang tertutup dan terskenario, sehingga formal
benar-benar berarti hanya sebuah formalitas? Perlukan seorang negosiator akhirnya
mengalah, duduk bersama dengan semua pemangku dan yang mengaku sebagai
pemangku kepentingan, untuk menjadi dirigen dan meneriakkan suara yang sama
saat proses formal negosiasi terjadi? Tentunya menargetkan kesamaan di alam
sadar, bahkan alam bawah sadar jika bisa. Menjadi sebuah fakta yang menarik
untuk dibahas.
Lobi, sisi lain Negosiasi
Di sisi lain, ada sebuah proses senyap yang hakikatnya sama dengan negosiasi
formal, namun sedikit berbeda. Lobi namanya. Obrolan ini tidak terikat prosedur,
tidak terikat tempat, dan dapat dilakukan kapan saja dimana saja melalui cara apa
saja, asal kedua pihak sepakat. Cara ini bisa dikategorikan untuk level pihak yang
lebih expert dalam hal negosiasi, lebih handal membaca timeline, lebih jago
membaca situasi audiens, bahkan lebih unggul dalam segala skill persuasif.
Hebatnya dari lobi ini justru tekanan jadi menghilang. Aktivitas ini lebih
menitikberatkan pada tujuan mempengaruhi pimpinan organisasi lain maupun
orang yang memiliki kedudukan penting dalam organisasi dan pemerintahan
sehingga dapat memberikan keuntungan untuk diri sendiri ataupun organisasi dan
perusahaan pelobi (Iwan Subhan, 2014). Bahkan, jika terdapat rapat mulai dari
sekelas fraksi di lembaga legistlatif negara, kebuntuan menjelang mufakat biasanya
sengaja diluangkan waktu dengan istilah lobi-lobi. Jika dilihat memang cukup
kental dengan aroma informal, namun terbukti cukup handal.
Lobi berarti tidak seimbang?
Masih tentang lobi dan aroma informalnya yang ketat, justru inilah metode yang
tepat untuk mearik prinsip seseorang kepada titik yang seharusnya bukan
seimbang.
Selain
karena
tidak
wajib
dilaksanakan
dengan
segala
aturan
keprotokoleran resmi dan terdokumentasi, wadah ini juga sebagai ajang obrolan
yang sering diobrolkan di balik panggung, tidak terikat hukum. Tak jarang, faktor
inilah yang membuat pihak yang terlibat dalam lobi rela keputusan ada di berat
sebelah. Karena, ketidakseimbangan pihak yang diwakili dalam lobi diimpaskan
dengan bermacam sajian, bisa kopi, gorengan, bahkan saham.
ini
untuk
menghindari
terjadi
hal-hal
yang
tidak
diinginkan
sehingga
juga dengan warung kopinya. Intinya, seorang pelobi minimal memiliki mental guru
besar, memiliki insting intelinjen, dan memiliki kemauan kuat seperti pejuang
kemerdekaan.
umumnya
handal
dalam
berkomunikasi,
bahkan
luas
wawasan
dan
tentang
teknis
proyek
dan
pinjaman.
Kesempatan
juga
untuk