Disusun oleh:
Nama
NIM
Prodi
: Yeni Purwati
: 8136142024
: Pendidikan Kimia B
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan
makalah yang bertema Keterkaitan Moral, Nilai, Tanggung Jawab Sosial
Ilmuwan, Intervensi Penguasa dan Agama terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan tepat pada waktunya
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Sains. Dalam penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki oleh penyusun.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI..
BAB I PENDAHULUAN..
BAB II PEMBAHASAN...
1. Pengertian Aksiologi..
2. Pengertian dan Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan
3. Pengertian Moral.
4. Hubungan antara Ilmu dan Moral...
5. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
6. Ilmu, Antara Bebas atau Terikat Nilai..
7. Intervensi Penguasa dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dalam Menegakkan Kebenaran Ilmu...................................................
8. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Hubungannya dengan Nilai..............
9. Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Perkembangan Ilmu Agama............................................................... ......
BAB III PENUTUP................
DAFTAR PUSTAKA..
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan
keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang
memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, Dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Perkembangan ilmu pada masa modern ditandainya dengan munculnya
pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik
dari pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tidak boleh
mencari untung, namun harus bersifat kontemplatif, diganti dengan pandangan
bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk
memperkuat kemampuan manusia dibumi ini.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan
mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan
manusia, dan dengan itu pula muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada
jantung setiap ilmu pengetahuan dan para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk
penemuan. Kecenderungan lain adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang
dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.
Keinginan manusia semakin meningkat, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan
membabi buta, yang akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya terkadang tidak
manusiawi lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau mempunyai
kaitan langsung atau tidak dengan struktur sosial dan politik.
Secara umum, orang merasa bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk
mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Proses
ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan
oleh manusia/ masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Untuk itulah
tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat
yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Ajaran moral
tentang kebenaran harus benar-benar lepas dari keinginan subjektivitas agar tidak
menimbulkan permasalahan.
Untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai berkah penyelamat bagi
manusia diharapkan dalam perkembangannya ilmu pengetahuan harus bebas dari
intervensi penguasa (pemerintah), agama, dan ilmu pengetahuan tersebut harus
bersifat bebas nilai.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti
nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut
Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 : 234).
Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan
membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu. (Ihsan,
2010 :231)
Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan
pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan
tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris Science, yang
berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
kesukaan pribadi.
d. Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke
dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan
peranan dari bagian-bagian itu.
e. Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.
(Ihsan.2010:113)
3. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau
cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,
2009:147).
Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan
etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis
dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat
yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271).
Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan
yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,
serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral
tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147).
dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus
menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana
yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri, 2000:234).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan
harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri, 2000:235).
Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang
dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah. Penerapan dari ilmu pengetahuan
dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai
pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan
kodrat
manusia,
martabat
manusia,
menjaga
keseimbangan
ekosistem,
maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai
penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang
baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi
memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana
caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari proses
penemuan kebenaran secara ilmiah.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara
moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri.
Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap,
berpihak kepada kemanusiaan.
Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas
putih. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu,
apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang
akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar
balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka
pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.
Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya.
Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Seorang ilmuwan
juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses
penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas
dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang
memberikan nilai.
dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan
dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya
secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif
yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai
bebas nilai alias tidak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap
persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap
benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran
yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang
dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan
sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata
seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan
sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai
dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau
terikat nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai
dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan
ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dan
sebagainya.
7. Intervensi Penguasa Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam
Menegakkan Kebenaran Ilmu
Perkembangan ilmu pengetahuan disuatu wilayah umumnya cenderung
ditangan penguasa/pemerintahnya. Hal ini sebenarnya dilatar belakangi bahwa
para penguasa meletakkan ilmu pengetahuan dan lebih menekankan pada aspek
kebijaksanaan. Menurut mereka, kebijaksanaan merupakan intervensi yang
mereka lakukan dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran, keamanan,
pertahanan menuju kestabilan ideologi, politik sosial dan budaya pada daerah
sehingga diharapkan
hidup
masyarakat
tidak
kacau.
ilmu
pengetahuan yang
digunakan
untuk
maksud
baik harus dilandasi dengan landasan etis, baik etika individu, etika sosial
maupun etika lingkungan. Ilmu pengetahuan berkembang seharusnya bebas nilai
agar perkembangannya diharapkan murni berkembang sebagai mana mestinya,
namun tidak terlepas dengan tanggungjawab.
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan bersifat ambifalen, yang
artinya disamping segi positifnya terdapat pula akibat-akibat negatif yang
agama
juga mempengaruhi
dalil-dalil
dan
pernyataannya tentang sebuah konsep agama dengan suatu teori ilmu pengetahuan
baru yang diperoleh. Jika manusia (ilmuan dan masyarakat) tidak mampu
memilah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, maka akan terjadi keadaan
yang statis, tidak berkembang dan tidak ada kemajuan ilmu pengetahuan.
Namun, yang hanya berlandaskan agama (fanatisme) cenderung tidak toleransi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baru. Banyak tema-tema yang
berkembang dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang terkadang dihambat oleh
dalil-dalil agama yang tidak dapat diterima oleh konsep ilmu pengetahuan seperti
perkembangan rekayasa genetika, teknologi informasi, maupun teori partikel
elementer lainnya. Maka seharusnya para ilmuan mengkonfersikan agama
terhadap intelektual, yang berlandaskan moral dan nilai sosial. Hal ini disebabkan
karena integritas religius memungkinkan untuk menempatkan diri seseorang
secara positif dalam melakukan aktivitas keilmuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan membentuk pandangan intelektual yang
selalu berubah, yang mempersiapkan akal manusia untuk menerima dan menjalani
perubahan serta kontinuitasnya. Perkembangan ilmu pengetahuan juga hendaknya
menjalin keharmonisan antara perkembangan baru dan warisan lama di
masyarakat, di samping mempersiapkan individu untuk menerima pranata-pranata
baru serta berusaha memahaminya, sehingga pengetahuan ilmu agama harus
berwatak dinamis dan merupakan bagian integral dari konsep tentang risalah
kehidupan.
BAB III
PENUTUP
dari
intervensi
penguasa
(pemerintah),
agama,
dan
ilmu
DAFTAR PUSTAKA