Anda di halaman 1dari 19

Tugas Filsafat Pendidikan Sains

KETERKAITAN MORAL, NILAI, TANGGUNG JAWAB SOSIAL


ILMUWAN, INTERVENSI PENGUASA DAN AGAMA TERHADAP
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Sains


Dalam Ampuan
Dr. Daulat Saragih, M.Hum

Disusun oleh:
Nama
NIM
Prodi

: Yeni Purwati
: 8136142024
: Pendidikan Kimia B

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


MEDAN
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan
makalah yang bertema Keterkaitan Moral, Nilai, Tanggung Jawab Sosial
Ilmuwan, Intervensi Penguasa dan Agama terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan tepat pada waktunya
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Sains. Dalam penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki oleh penyusun.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca.

Medan, September 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI..
BAB I PENDAHULUAN..
BAB II PEMBAHASAN...
1. Pengertian Aksiologi..
2. Pengertian dan Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan
3. Pengertian Moral.
4. Hubungan antara Ilmu dan Moral...
5. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
6. Ilmu, Antara Bebas atau Terikat Nilai..
7. Intervensi Penguasa dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dalam Menegakkan Kebenaran Ilmu...................................................
8. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Hubungannya dengan Nilai..............
9. Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Perkembangan Ilmu Agama............................................................... ......
BAB III PENUTUP................
DAFTAR PUSTAKA..

BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan
keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang
memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, Dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Perkembangan ilmu pada masa modern ditandainya dengan munculnya
pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik
dari pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tidak boleh
mencari untung, namun harus bersifat kontemplatif, diganti dengan pandangan
bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk
memperkuat kemampuan manusia dibumi ini.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan
mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan
manusia, dan dengan itu pula muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada
jantung setiap ilmu pengetahuan dan para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk
penemuan. Kecenderungan lain adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang
dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.
Keinginan manusia semakin meningkat, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan
membabi buta, yang akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya terkadang tidak
manusiawi lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau mempunyai
kaitan langsung atau tidak dengan struktur sosial dan politik.
Secara umum, orang merasa bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk
mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Proses
ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan

oleh manusia/ masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Untuk itulah
tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat
yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Ajaran moral
tentang kebenaran harus benar-benar lepas dari keinginan subjektivitas agar tidak
menimbulkan permasalahan.
Untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai berkah penyelamat bagi
manusia diharapkan dalam perkembangannya ilmu pengetahuan harus bebas dari
intervensi penguasa (pemerintah), agama, dan ilmu pengetahuan tersebut harus
bersifat bebas nilai.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti
nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut
Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 : 234).
Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan
membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu. (Ihsan,
2010 :231)
Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan
pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan
tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.

2. Pengertian dan Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris Science, yang
berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam

berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan


berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. (Ihsan.2010:108)
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987)
mempunyai 5 ciri pokok :
a. Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
b. Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan

pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.


c. Objektif, berarti ilmu pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan

kesukaan pribadi.
d. Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke

dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan
peranan dari bagian-bagian itu.
e. Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.

(Ihsan.2010:113)
3. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau
cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,
2009:147).
Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan
etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis
dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat
yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271).
Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan
yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,
serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral
tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147).

Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku


manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai
positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan
manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral
adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan
manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang
berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik,
begitu juga sebaliknya.

4. Hubungan antara Ilmu dan Moral


Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam
bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat
dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang
seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi
(Suriasumantri, 2000 : 229).
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan
sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang,
sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan
untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka.
Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan
kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan
manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun
keadaan justru sebaliknya yaitu manusia lah yang akhirnya harus menyesuaikan
diri dengan ilmu.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya
lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya,

dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus
menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana
yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri, 2000:234).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan
harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri, 2000:235).
Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang
dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah. Penerapan dari ilmu pengetahuan
dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai
pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan
kodrat

manusia,

martabat

manusia,

menjaga

keseimbangan

ekosistem,

bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang,


dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan, 2010:280).
Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan
dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk
menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih
lanjut.
Jadi jelaslah bahwa ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak
mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi
rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta
mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan
seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan
pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi monster
yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian bisa setiap
saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih
jahat dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak
berilmu.

5. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis


bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral
yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang
meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan
mempengaruhi pandangan moral. (Suriasumantri,1998:244).
Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh
jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah

maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai
penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang
baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi
memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana
caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari proses
penemuan kebenaran secara ilmiah.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara
moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri.
Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap,
berpihak kepada kemanusiaan.
Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas
putih. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu,
apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang
akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar
balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka
pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.
Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya.
Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Seorang ilmuwan
juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses
penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas
dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang
memberikan nilai.

6. Ilmu, Antara Bebas atau Terikat Nilai


Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui
logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide
baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana
netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar objeknya.
Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau mitologi.
Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi
dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu
(aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu
sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa
kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis
yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita
dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirikal tidak netral. Sains
empirikal merupakan wujud konkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan
sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan
paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil
penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi
sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara
yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik, sementara di luar itu terdapat nilainilai lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar
dirinya karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri
sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya
untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya,
sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai.
Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan,
jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, masalah yang mereka anggap penting
dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan

dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan
dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya
secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif
yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai
bebas nilai alias tidak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap
persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap
benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran
yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang
dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan
sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata
seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan
sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai
dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau
terikat nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai
dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan
ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dan
sebagainya.
7. Intervensi Penguasa Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam
Menegakkan Kebenaran Ilmu
Perkembangan ilmu pengetahuan disuatu wilayah umumnya cenderung
ditangan penguasa/pemerintahnya. Hal ini sebenarnya dilatar belakangi bahwa
para penguasa meletakkan ilmu pengetahuan dan lebih menekankan pada aspek
kebijaksanaan. Menurut mereka, kebijaksanaan merupakan intervensi yang
mereka lakukan dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran, keamanan,
pertahanan menuju kestabilan ideologi, politik sosial dan budaya pada daerah

tersebut. Penguasa cenderung memutar balikkan fakta yang ada tentang


kebenaran sebuah ilmu. Namun kecenderungan ini pada prinsipnya hanya karena
kepentingan politik negara semata, yang tidak jarang diikuti oleh kepentingankepentingan pribadi yang sebenarnya merupakan perselingkuhan antara moral
dengan tujuan yang sebenarnya. Intervensi penguasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari pertimbangan etika bernegara, yang mutlak
diperlukan untuk keteraturan dan keberlangsungan hidup masyarakat, yang
akhirnya melahirkan keotoritasan penguasa/negara. Otoritas menjadi salah satu
sumber pembenaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Di Indonesia, yang negara demokrasi kebebasan warga negara dibatasi oleh
undang-undang,

sehingga diharapkan

hidup

masyarakat

tidak

kacau.

Kediktatoran dianggap implementasi dari kebijaksanaan mengatur manusia


dengan baik, tetapi mereka tidak mempunyai kebebasan, yang berlawanan dengan
keadaan negara anarki dimana warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas,
tetapi hidup dalam kekacauan. Dalam satu sisi, intervensi negara di butuhkan,
tetapi disisi lain intervensi ini juga akan mengkaburkan bahkan mematikan
kebenaran ilmu pengetahuan tersebut.
Contoh intervensi penguasa dalam hal ini pemerintah di Indonesia adalah
penemuan para ilmuwan tentang bahaya pencemaran beberapa pabrik/industri
yang meresakan masyarakat dan mengancam keselamatan hidup masyarakat.
Akhirnya demi kepentingan ekonomi dan kestabilan negara bahkan mungkin
kepentingan pribadi penguasanya, temuan itu disampaikan kemasyarakat dengan
hasil yang sebaliknya.
8. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Hubungannya Dengan Nilai
Perkembangan

ilmu

pengetahuan yang

digunakan

untuk

maksud

baik harus dilandasi dengan landasan etis, baik etika individu, etika sosial
maupun etika lingkungan. Ilmu pengetahuan berkembang seharusnya bebas nilai
agar perkembangannya diharapkan murni berkembang sebagai mana mestinya,
namun tidak terlepas dengan tanggungjawab.
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan bersifat ambifalen, yang
artinya disamping segi positifnya terdapat pula akibat-akibat negatif yang

ditimbulkannya, sehingga perlu nilai sebagai pembatasan akan perkembangannya


membutuhkan tanggung jawab profesional keilmuan agar orang tidak cenderung
dan gegabah dalam melakukan kegiatan serta keputusan-keputusan intelektual
yang justru menyusahkan manusia itu sendiri. Tanggungjawab ini bukan
bermaksud mencegah usaha pengembangannya tetapi memberikan arah dan
dorongan bagi perkembangan tersebut. Bagi manusia, tanggung jawab adalah
sebuah nilai (value), dengan ini manusia disebut bermartabat dan berbudaya.
Tanggung jawab kultural dalam pengembangan ilmu pengetahuan
mensyaratkan integritas pribadi yang menegaskan integritas intelektual. Manusia
tidak dapat hidup tanpa pedoman, sehingga inti pengembangan ilmu pengetahuan
bukan semata-mata terletak pada usaha mengejar prestasi, tetapi lebih dari itu, ia
merupakan sebuah nilai (value) dan panggilan tugas kemanusian. Perkembangan
ilmu pengetahuan harus dibatasi nilai, baik nilai kemanusiaan itu sendiri maupun
nilai-nilai yang dianut/disepakati oleh suatu daerah. Tanpa nilai, perkembangan
ilmu pengetahuan akan melenceng dari tujuan dasarnya, mensejahterakan
kehidupan manusia menjadi bumerang bagi manusia. Kesadaran akan aspek-aspek
negatif yang melekat pada perkembangan ilmu pengetahuan menuntut tanggung
jawab keilmuan. Masalah tanggung jawab terhadap nilai pada suatu daerah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan diiharapkan dapat mengatasi dan menjaga
keseimbangan alam dalam tatanan kehidupan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang spektakuler di satu sisi dan nilainilai moral yang bersifat statis dan universal di sisi lain dapat dijadikan arah
dalam menuntun perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan
moral terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin
mensejahterakan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan
kehidupan manusia. Pada saat ini tepat rasanya pesan ini disampaikan agar ilmu
tidak kebablasan, ilmu hanya untuk ilmu.
9. Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Perkembangan
Ilmu Agama
Pernyataan bahwa perkembangan ilmu agama selalu terlambat daripada
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga agama selalu mencurigai ilmu

pengetahuan dan kadang menghukumnya dengan dalil-dalil yang tidak dapat


diterima ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah : sumber dalil agama berdasarkan
kitab sucinya, yang diturunkan melalui wahyu untuk kepentingan ummatnya,
sedangkan ilmu pengetahuan merupakan refleksi dari kemampuan manusia untuk
membentuk peradaban global dan membawa akibat-akibat besar terhadap kodrat
kemanusian yang dipandang sebagai salah satu unsur dasar kebudayaan, yang
selalu berkembang seakan tanpa batas sesuai dengan kehendak dan harapan
manusia untuk mencapai keinginannya.
Ilmu agama yang berdasar kitab sucinya ditafsirkan para pemuka agama
terkadang sering hanya berdasarkan keadaan pada saat zaman Nabi, pada saat
ayat-ayat itu diturunkan, padahal ajaran agama sebenarnya fleksibel mengikuti
kebutuhan umat pada zamannya dengan tidak mengabaikan ajaran-ajaran dasar
yang pokok/Tauhid. Artinya ilmu agama yang ditafsirkan dengan tidak mengikuti
perkembangan kemajuan masyarakatnya/pranata masyarakat sesudahnya, akan
mengakibatkan kontroversial dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada.
Dalam pandangan agama, ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan
aspek kehidupan ummat manusia yang tinggi, sedangkan ilmu pengetahuan
hingga kini dianggap sebagai pengawal ummat manusia yang akhir-akhir ini
secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan
dan pencemaran fisik, biologi, sosial dan budaya.
Ungkapan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta dan agama tanpa
ilmu adalah lumpuh, secara mendasar menunjukkan integritas religius yang
menggerakkan aktivitas keilmuan seseorang. Kemajuan ilmu pengetahuan,
misalnya dibidang genetika tanpa disadari melampaui ajaran agama. Dalam
konteks ilmu agama rekayasa genetika misalnya selalu bertentangan dengan dalildalil agama sehingga seakan-akan agama mengharamkan perkembangan ilmu
kearah tersebut. Keuntungan semu jangka pendek yang dilahirkan ilmu
pengetahuan tidak mustahil dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan
kerugian dalam jangka panjang. Ajaran agama yang mengatakan kehidupan yang
sebenarnya harus karena dari Tuhan akan bertentangan dengan salah satu
kemajuan ilmu, seperti rekayasa genetika.

Penafsiran para ahli

agama

juga mempengaruhi

dalil-dalil

dan

pernyataannya tentang sebuah konsep agama dengan suatu teori ilmu pengetahuan
baru yang diperoleh. Jika manusia (ilmuan dan masyarakat) tidak mampu
memilah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, maka akan terjadi keadaan
yang statis, tidak berkembang dan tidak ada kemajuan ilmu pengetahuan.
Namun, yang hanya berlandaskan agama (fanatisme) cenderung tidak toleransi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baru. Banyak tema-tema yang
berkembang dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang terkadang dihambat oleh
dalil-dalil agama yang tidak dapat diterima oleh konsep ilmu pengetahuan seperti
perkembangan rekayasa genetika, teknologi informasi, maupun teori partikel
elementer lainnya. Maka seharusnya para ilmuan mengkonfersikan agama
terhadap intelektual, yang berlandaskan moral dan nilai sosial. Hal ini disebabkan
karena integritas religius memungkinkan untuk menempatkan diri seseorang
secara positif dalam melakukan aktivitas keilmuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan membentuk pandangan intelektual yang
selalu berubah, yang mempersiapkan akal manusia untuk menerima dan menjalani
perubahan serta kontinuitasnya. Perkembangan ilmu pengetahuan juga hendaknya
menjalin keharmonisan antara perkembangan baru dan warisan lama di
masyarakat, di samping mempersiapkan individu untuk menerima pranata-pranata
baru serta berusaha memahaminya, sehingga pengetahuan ilmu agama harus
berwatak dinamis dan merupakan bagian integral dari konsep tentang risalah
kehidupan.

BAB III
PENUTUP

Dari penyajian makalah tentang keterkaitan moral, nilai, tanggung jawab


sosial ilmuwan, intervensi penguasa dan agama terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
2. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan
bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
3. Hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha
manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman
dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham
ideologi dalam bersikap dan bertindak.
4. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang
ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian
permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih
penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan
hidup bermasyarakat.
5. Untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai berkah penyelamat bagi
manusia diharapkan dalam perkembangannya ilmu pengetahuan harus
bebas

dari

intervensi

penguasa

(pemerintah),

pengetahuan tersebut harus bersifat bebas nilai.

agama,

dan

ilmu

DAFTAR PUSTAKA

Ihsan,Fuad. 2010. Filsafat Ilmu . Jakarta : Rineka Cipta


Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional
Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta :
Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S.1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer .Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S.2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer .Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai