Anda di halaman 1dari 50

Refrat

REHABILITASI MEDIS PADA PENYIMPANGAN TUMBUH KEMBANG ANAK

Oleh :
Wahyu Aprillia

G99141072

Dyonisa Nasirochmi P.

G99142079

Himmatul Fuad

G99141073

Novandi Lisyam P.

G99142080

Isna Noor Rakhmawati

G99141074

Rurin Ayurinika P.

G99142081

Faisal Hafidh

G99141075

Rizky Hening S.

G99142082

Larissa Amanda

G99141076

Desrina Pungky AS.

G99142083

Bani Zakiyah

G99141152

Pembimbing
Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
1

HALAMAN PENGESAHAN
Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian Rehabilitasi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Refrat ini telah disetujui dan dipresentasikan :
Hari

: Sabtu

Tanggal : 24 Oktober 2015


Oleh :
Wahyu Aprillia

G99141072

Himmatul Fuad

G99141073

Isna Noor Rakhmawati

G99141074

Faisal Hafidh

G99141075

Larissa Amanda

G99141076

Bani Zakiyah

G99141152

Dyonisa Nasirochmi P.

G99142079

Novandi Lisyam P.

G99142080

Rurin Ayurinika P.

G99142081

Rizky Hening S.

G99142082

Desrina Pungky AS.

G99142083

Mengetahui dan menyetujui


Pembimbing

Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.KFR


2

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayatNya sehingga penulis mampu menyelesaikan refrat sebagai salah satu
syarat dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik di SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Refrat ini dapat tersusun dengan baik berkat bimbingan, petunjuk, dan bantuan
maupun sarana dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM., selaku pembimbing sekaligus kepala bagian
SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Para staf SMF Rehabilitasi Medik selaku pembimbing pada SMF Rehabilitasi
Medik
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian refrat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan refrat ini.
Semoga saran dan koreksi dapat penulis jadikan masukan. Semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta,

Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Elizabeth (1978) pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development)
sebenarnya memiliki makna yang berbeda, tetapi antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Pertumbuhan menunjukkan arti perubahan kuantitatif, pertambahan dalam ukuran dan struktur.
Sejalan dengan pertumbuhan otak anak, dia memiliki kapasitas belajar lebih besar untuk belajar,
mengingat, dan bernalar. Perkembangan dapat didefinisikan sebagai kemajuan terurut
berkesinambungan, perubahan-perubahan koheren (menyatu). Kemajuan artinya perubahan itu
berlanjut ke arah depan. Terurut dan koheren, artinya terdapat relasi tertentu antara perubahan
yang sedang terjadi dan apa yang dilalui atau berikutnya. Berkembang, yaitu menunjukkan
perubahan kuantitatif dan kualitatif berikutnya (Elisabeth, 1978).
Proses pertumbuhan dan perkembangan anak tidak selamanya berjalan sesuai dengan
yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhinya baik faktor
yang dapat dirubah/dimodifikasi yaitu faktor keturunan, maupun faktor yang tidak dapat dirubah
atau dimodifikasi yaitu faktor lingkungan.
Penyimpangan tumbuh kembang anak adalah keadaan proses pertumbuhan dan
perkembangan yang tidak wajar atau terganggu/terhambat, bisa terjadi pada tahap intra uterine,
kelahiran dan pasca lahir. Deteksi dini penyimpangan sangat penting untuk dapat melakukan
intervensi secara tepat guna sehingga proses tumbuh kembang selanjutnya dapat berlangsung
optimal. Kegiatan deteksi dimaksudkan untuk penapisan / penjaringan adanya penyimpangan
tumbuh kembang anak, dan pengkajian faktor risiko yang mempengaruhi sehingga tindakan
intervensi dapat dilakukan sedini mungkin.
Untuk melaksanakan deteksi secara baik diperlukan pengetahuan tentang proses
pertumbuhan dan perkembangan anak yang wajar/normal (tidak menyimpang) dahulu, kemudian
disusul pengetahuan untuk mengenali penyimpangan yang bisa terjadi pada proses tumbuh
kembang anak.
Di bidang kedokteran terdapat kecenderungan para ahli memfokuskan diri pada keahlian
khusus yang begitu sempit sehingga seringkali melupakan sasaran pelayanan secara utuh dan
menyeluruh (holistik) pada penderitanya. Padahal menurut etik kedokteran yang terpenting
adalah ditujukan pada bagaimana mengupayakan hal yang terbaik untuk penderita, sehingga
5

diperlukan pendekatan multidisipliner yang komprehensif untuk mencapainya, termasuk dalam


hal rehabilitasi anak. Rehabilitasi anak merupakan sebuah cabang spesialisasi kedokteran yang
fokus pada rehabilitasi ada anak. Rehabilitasi pada anak berbeda dengan rehabilitasi pada dewasa
karena pada anak segala sesuatu berubah seiring bertambahnya usia.
Persamaan pengertian dan bahasa yang dipergunakan dalam pendekatan multidisiplin tata
laksana pada penyimpangan tumbuh kembang anak merupakan prasyarat dalam pelayanan
kesehatan anak di era millenium ini. Pelayanan kesehatan anak secara komprehensif yaitu
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif sudah harus diterapkan oleh semua subdivisi bidang
ilmu guna mencapai kualitas hidup anak untuk menjadi manusia yang berkualitas optimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUMBUH KEMBANG ANAK
1. Pengertian Tumbuh Kembang
Menurut Doyle (2009), pertumbuhan atau physical growth adalah peningkatan
dalam ukuran tubuh yaitu tinggi badan, berat badan dan juga bertambah besarnya ukuran
organ kecuali jaringan limfa yang akan mengecil ketika usia anak bertambah.
Dorland Medical Dictionary (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah
proses normal dari pembesaran ukuran organisme yang disebabkan oleh accretion
(pertumbuhan) jaringan tubuh. Sedangkan Tanuwidjaya (2002), mendefinisikan
pertumbuhan sebagai bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,
yang bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan mempergunakan satuan panjang
atau satuan berat.
Doyle (2009) menyatakan bahwa perkembangan adalah peningkatan fungsi dan
kapabilitas seorang anak. Dalam mempelajari perkembangan dapat dibagi atas beberapa
kategori yang spesifik seperti gerakan motorik kasar, gerakan motorik halus,
perkembangan bahasa, sosial dan emosional. Pada anak yang normal, proses
perkembangan terjadi dalam kecepatan yang berbeda misalnya ada anak yang berjalan
dalam usia yang lebih cepat dari sebagian anak lain namun lambat dalam perkembangan
berbicaranya dan Tanuwidjaya (2002) menyebutkan bahwa perkembangan anak ialah
bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dan bersifat
kualitatif.
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua peristiwa yang sifatnya
berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit di pisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Sedangkan pengertian mengenai apa yang di maksud dengan pertumbuan
dan perkembangan per definisi adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan
ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan
keseimbanga metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).
7

b. Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam


struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini menyangkut adanya proses
diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang
berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampat terhadap
aspek

fisik,

sedangkan

perkembangan

berkaitan

dengan

pematangan

fungsi

organ/individu. Walaupun demikian kedua peristiwa itu terjadi secara sinkron pada setiap
individu.
Sedangkan untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada
potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seseorang, merupakan hasil
interaksi berbagai factor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan biofisikopsiko-sosial dan perilaku. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda yang
memberikan cirri tersendiri pada setiap anak.
Tujuan ilmu tumbuh kembang adalah mempelajari hal yang berhubungan dengan
segala upaya untuk menjaga dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak baik fisik,
mental, dan social. Juga menegakkan diagnosis dini setiap kelainan tumbuh kembang dan
kemungkinan penanganan yang efektif, serta mencari penyebab dan mencegah keadaan
tersebut.
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak, yaitu :
a. Faktor genetik.
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang
telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantintas pertumbuhan. Ditandai
dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap
rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor
genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis
kelamin, suku bangsa atau bangsa. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
8

berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang
optimal.
Gangguan pertumbuhan di negara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor
genetik ini. Sedangkan di negara yang sedang berkembang, gangguan pertumbuhan
selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga faktor lingkungan yang kurang memadai
untuk tumbuh kembang anak yang optimal, bahkan kedua faktor ini dapat
menyebabkan kematian anak-anak sebelum mencampai usia Balita. Disamping itu,
banyak penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan kromosom, seperti
sindrom Down, sindrom Turner, dll.
b. Faktor lingkungan.
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya
potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya
potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan ini
merupakan lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap
hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Faktor lingkungan ini secara garis
besar dibagi menjadi ;
1) Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam
kandungan (Faktor prenatal).
2) Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir
(Faktor postnatal).
2. Masa Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan secara garis besar terbagi dua tahap, yaitu masa
prenatal, dan masa post natal. Masa prenatal, adalah masa janin didalam kandungan, dan
terdiri atas dua periode yaitu masa embrio dan masa fetus. Masa embrio adalah periode
setelah konsepsi hingga umur kehamilan 8 minggu, dimana ovum yang dibuahi akan
mengalami diferensiasi yang berlangsung cepat hingga membentuk suatu sistem organ
dalam tubuh.
Masa fetus adalah kehamilan pada awal minggu ke 9, dan dibagi pada dua tahap
yaitu masa fetus dini dan masa fetus lanjut. Masa fetus dini mulai saat kehamilan berusia
9 minggu sampai dengan trimester kedua. Pada tahap ini, terjadi kecepatan yang
9

meningkat pada pertumbuhan dan pembentukan janin, sehingga membentuk manusia


dengan organ organ tubuh yang mulai berfungsi.
Masa akhir trimester kedua memasuki trimester ketiga, menunjukkan fasa fetus dini
memasuki fase fetus lanjut dimana, pertumbuhan berlangsung dengan pesat dan
perkembangan fungsi-fungsi tubuh mulai terlihat. Pada fase ini juga terjadi transfer
immunoglobulin G (IgG) dari darah ibu melalui plasenta sedangkan di daerah otak dan
retina fetus terjadi akumulasi asam lemak essensial dari seri omega 3 dan omega 6
(Tanuwidjaya.S, 2002).
Sesudah lahir, tahap pertumbuhan dan perkembangan akan masuk ke masa post
natal. Masa post natal terdiri dari beberapa periode, yaitu masa neonatal (0-28 hari), masa
bayi (bayi dini dan bayi lanjut), masa prasekolah, masa sekolah atau pra-pubertas dan
masa remaja (adolescent). Tahap awal neonatus adalah beradaptasi terhadap lingkungan,
yang termasuk perubahan sirkulasi darah dan mulainya berfungsi berbagai organ organ
tubuhnya yang lain seperti parunya (Tanuwidjaya. S, 2002).
Setelah berakhirnya masa neonatus, fase berikutnya adalah fase bayi, yang terbagi
dua fase yaitu bayi dini dan bayi lanjut. Fase bayi dini yang berawal dari usia 1 bulan
hingga 12 bulan. Pada fase bayi dini pertumbuhan akan terjadi dengan pesat dan proses
pematangan organ akan berlangsung secara berkelanjutan terutama meningkatnya fungsi
sistem saraf (Tanuwidjaya.S, 2002).
Setelah bayi mencapai usia 1 tahun, ia akan masuk ke masa bayi akhir, yang
berlangsung hingga ia mencapai usia 2 tahun, ditahap ini kecepatan pertumbuhan mulai
menurun dan ada kemajuan pada perkembangan motorik dan fungsi ekskresi. Pada saat
usianya masuk 2 tahun, dia akan memasuki tahap prasekolah (preschooler), di usia ini
pertumbuhan anak akan berlangsung dengan stabil dan terjadi perkembangan dengan
aktifitasnya sehari-hari dan meningkatnya keterampilan dan proses berpikir. Masa
sekolah atau masa prapubertas terjadi pada anak wanita dikalangan usia 6 hingga 10
tahun, sedangkan anak laki laki usia 8 hingga 12 tahun, diperiode ini anak-anak akan
mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan masa prasekolah,
keterampilan dan intelektual makin berkembang, dia senang bermain berkelompok
dengan jenis kelamin yang sama.

10

Anak wanita biasanya akan memasuki masa adolesensi 2 tahun lebih cepat
dibandingkan anak laki-laki. Usia anak wanita memasuki masa adolesensi adalah antara
usia 10 hingga 18 tahun, sedangkan anak laki -laki akan mengalami masa adolensensi
diusia 12 hingga 20 tahun. Masa ini merupakan transisi periode anak memasuki tahap
menjadi seorang dewasa. Ada terjadi percepatan pertumbuhan berat badan dan tinggi
badan yang sangat pesat yang disebut Adolescent Growth spurt yang disertai juga dengan
terjadi pertumbuhan dan perkembangan pesat dari alat kelamin dan timbulnya tandatanda kelamin sekunder (Tanuwidjaya. S, 2002).
Monitoring pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dilakukan dengan
parameter ukur tertentu seperti fisik, gizi, maturitas dan penilaian milestones
perkembangan (Narendra, 2002). Penilaian pertumbuhan anak menggunakan parameter
ukuran antropometrik yang sering dipakai pada penilaian pertumbuhan fisik yaitu berat
badan, tinggi badan, lingkaran kepala, tebal lipatan kulit dan lingkaran lengan atas
panjang (Narendra, 2002).
Untuk berat badan pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan
seperti timbangan injak. Berat badan merupakan ukuran antropometrik terpenting, karena
merupakan hasil keseluruhan peningkatan jaringan-jaringan tulang, otot, lemak dan juga
cairan tubuh. Berat badan pada saat ini merupakan indikator yang baik untuk menentukan
status gizi anak serta keadaan tumbuh kembang anak (Narendra, 2002).
Pengukuran tinggi badan pada usia hingga 2 tahun diukur dengan menggunakan
alat infantometer. Bayi dalam posisi berbaring diantara alat, dan satu bagian dari alat
menempel dibagian ubun-ubun bayi. Untuk anak usia diatas 2 tahun dapat digunakan alat
seperti stadiometer, microtoise, dan tinggi duduk. Tujuan dari pengukuran ini adalah
mendapatkan jarak tinggi dari permukaan kepala hingga telapak kaki, atau hingga ujung
tulang sacrum pada tinggi duduk. Anak biasanya disarankan untuk menarik nafas dalamdalam dan berdiri tegak untuk meluruskan posisi tubuh jika sang anak menderita kifosis
atau lordosis. Keistimewaan dari pengukuran tinggi badan adalah nilai tinggi badan yang
terus meningkat walaupun laju tumbuh akan berubah dari masa ke masa. Tinggi badan
hanya menyusut pada usia lanjut maka dari itu nilai tinggi badan dapat digunakan untuk
dasar perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti berat badan dan
lingkaran lengan atas (Narendra, 2002).
11

Pengukuran lingkaran kepala dilakukan pada daerah occipitofrontal anak, dan


mencerminkan volume intrakranial yang merupakan ukuran pertumbuhan otak. Laju
tumbuh akan pesat dalam waktu 6 bulan pertama semenjak lahir, dan akan terus
berkurang hingga usia 3 tahun. Maka manfaat pengukuran lingkaran kepala terbatas
hingga usia 3 tahun kecuali pada kasus hidrosefalus (Narendra, 2002).
Lingkaran lengan atas dilakukan dari biasanya pada lengan kiri. Lengan dibiarkan
menggantung bebas disamping badan. Batas pengukuran adalah pertengahan antara
akromion dan olekranon pada lengan dibengkokkan 90 derajat. Pengukuran lingkaran
lengan mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak dipengaruhi
terlalu banyak oleh jumlah cairan tubuh seperti berat badan. Ini juga bisa dipakai untuk
menilai status gizi dan keadaan tumbuh kembang pada anak di dalam kelompok usia
prasekolah (Narendra 2002).
Ketebalan lipatan kulit atau skinfold, dilakukan agar dapat menilai tebalnya lemak
subkutan. Alat yang dapat digunakan adalah Harpenden skinfold caliper dan pengukuran
dilakukan pada daerah biceps, triceps, subskapula dan daerah panggul. Tebalnya lipatan
kulit pada daerah triceps dan subskapuler merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan
lemak di bawah kulit, yang merceminkan kecukupan energi. Dalam keadaan defisiensi
lipatan kulit akan menipis dan dalam keadaan gizi yang berlebihan seperti obesitas lipatan
kulit dapat menebal (Narendra, 2002).
Selain menggunakan pengukuran antropometrik untuk menilai pertumbuhan anak,
dapat juga dilakukan pemantauan terhadap bentuk tubuh, perbandingan bagian kepala,
tubuh dan bagiannya, pertumbuhan rambut termasuk warna rambut, diameter ketebalan
atau ketipisan rambut dan akar rambut.Pemantauan juga dapat dilakukan terhadap gigi,
melihat kapan gigi susu anak tumbuh atau erupsi dan penggantian dengan gigi permanen
(Narendra, 2002).
Kemajuan perkembangan pada anak dapat ditentukan oleh kemampuan
fungsionalnya yang dicapainya dengan prinsip-prinsip seperti terdapat pola kemajuan
perkembangan yang nyata dan konsisten dan dapat digambarkan dengan patokan
kemampuan

perkembangan

(milestones)

berjenjang

yang

penting.

Kemajuan

perkembangan pada setiap tahap harus dipertimbangkan tercapai dalam batasan usia yang
sesuai patokan dan dalam jangka waktu yang tepat (Narendra, 2002).
12

Perkembangan anak pada fase awal dapat dibagi menjadi 4 aspek kemampuan
fungsional yaitu motorik kasar, motorik halus serta penglihatan, berbahasa, berbicara dan
pendengaran dan juga secara sosial emosi dan perilaku. Adanya kekurangan pada salah
satu aspek kemampuan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan-kemampuan seperti
perhatian, kemampuan konsentrasi dan sejauh mana kemampuan individual anak
terintegrasi (Narendra, 2002). Terdapat variasi pada pola batas pencapaian dan kecepatan
baik pada perkembagan motorik sosial maupun perilaku. Kurangnya stimulasi mungkin
berkaitan dengan keterlambatan perkembangan terutama pada kemampuan berbicara,
bahasa dan sosial. Selain mencapai tahap perkembangan, kualitas yang dicapai juga
penting. Anak mungkin akan mencapai tolok ukur berbahasa, menyusun kalimat, pada
tahap yang sesuai akan tetapi tidak mampu atau lemah dalam berdikusi atau
berkomunikasi dengan orang dilingkungannya (Narendra, 2002).
Penilaian perkembangan anak kecil dilakukan diprogram kegiatan surveilans dan
skrining, kepedulian orang tua dan apabila terdapat hal-hal yang ganjil ditemukan oleh
para profesional pada perkembangan anak (Narendra, 2002). Skrining perkembangan
adalah instrumen yang standard dan valid yang telah diteliti kepekaannya untuk
mendeteksi gangguan perkembangan pada anak. Instrumen standard pengukuran
memerlukan kepekaan dan spesifisitas sebanyak 70-80% (Glascoe, 2004).
Ada beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk deteksi gangguan
perkembangan anak, salah satu yang paling sering digunakan secara internasional adalah
DDST (Denver Developmental Screening Test) (Narendra, 2002). Sedangkan di
Indonesia alat yang paling sering digunakan oleh para ahli medis seperti dokter, bidan,
perawat dan juga dikalangan masyarakat oleh petugas PADU terlatih atau Guru TK
terlatih, adalah KPSP atau Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 2005).
KPSP adalah suatu kuesioner yang berisi 9 hingga 10 pertanyaan yang disusun
merurut umur anak. Sasaran KPSP adalah anak umur 0 hingga 72 bulan. Acuan yang
digunakan dalam penyusunan KPSP adalah 'Prescreening Developmental Questionaire'
(PDQ) dari Frankenburg dkk pada tahun 1976.

13

3. Penyimpangan Tumbuh Kembang


Sesuai dengan definisi proses tumbuh (pertumbuhan) yaitu perubahan ukuran fisik
dan struktur tubuh, dan proses kembang (perkembangan) yaitu perobahan fungsi dan
pematangan organ, psikomotor, dan perilaku anak dari tahap intra uterine hingga dewasa.
Oleh karena itu yang dimaksud penyimpangan tumbuh kembangpun perlu ditelaah
masalahnya dari proses yang berlangsung sejak intra uterine hingga dewasa pula.
Dalam praktek pelayanan kesehatan anak, masalah penyimpangan tumbuh kembang
secara praktis dapat dibagi 2 yaitu :
a. Penyimpangan pertumbuhan dengan menggunakan tolok ukur pertumbuhan, yaitu
ukuran tubuh (anthropometri) dan bentuk morfologi yang menyimpang dari normal.
b. Penyimpangan perkembangan dengan menggunakan tolok ukur perkembangan
1). Motorik kasar
2). Motorik halus
3). Kepribadian sosial
4). Bahasa
Telah diketahui bersama bahwa pada kurva distribusi normal dari Gauss terdapat
kelompok mayoritas dalam batas normal, kemudian terdapat kelompok yang
menyimpang lambat atau cepat. Begitu pula perkembangan yang dibandingkan dengan
milestones baku (standard). Dengan tolok ukur yang ada misalnya dengan menggunakan
instrumen Denver II dapat dinilai penyimpangan yang terdapat pada sekelompok anak
dalam proses tumbuh kembangnya. Walaupun pada hakekatnya proses pertumbuhan dan
perkembangan anak itu berlangsung secara simultan (bersama-sama dan bertahap), akan
tetapi dalam sistematika prosedur menetapkan penilaian menuju diagnosis perlu
difokuskan pada pertumbuhan dahulu kemudian pada perkembangannya juga.
a. Penyimpangan Pertumbuhan Anak
Penyimpangan pertumbuhan anak dapat diketahui dengan cara pemantauan dan
pemeriksaan seksama sejak kehamilan misalnya dengan memperhatikan kenaikan
berat badan ibu setiap bulan dan USG untuk kemungkinan kelainan organik. Beberapa
hal berikut perlu diperhatikan sebagai tanda adanya penyimpangan pertumbuhan:
1) Bentuk tubuh , ukuran, simetris atau tidak :
14

Kepala (fontanella, pembengkakan), muka (posisi mata, bentuk palpebra,


pupil, lensa, telinga, bentuk mandibula, maxilla, hidung dan bibir), dada/thorax,
jarak puting susu, umbilicus, otot perut, vertebra scoliosis/kyphosis, spina dan
posisi serta adanya anus. Pada remaja; bentuk dan ukuran genitalia,payu dara,
rambut pubis dan axilla.
2) Anthropometri :
Ukuran tinggi/panjang badan, berat badan, lingkaran kepala,lingkaran
lengan, lingkaran dada, panjang lengan/tungkai. Data-data pengukuran yang
dilakukan dengan tepat dan benar diplot dan dibandingkan dengan standard yang
sudah disepakati untuk negara bersangkutan atau oleh WHO untuk digunakan.
3) Gagal tumbuh (Failure to thrive)
Terminologi ini sekarang disebut juga sebagai Growth Deficiency
didefinisikan sebagai melambatnya kecepatan tumbuh yang mengakibatkan garis
pertumbuhan memotong 2 garis persentil pertumbuhan dibawahnya pada kurva
pertumbuhan anak. Gagal tumbuh bukanlah suatu penyakit akan tetapi suatu tanda
dari keadaan galur (pathway) umum dari banyak masalah medik, psikososial dan
lingkungan yang mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat pada anak.
Walaupun konsep awal gagal tumbuh diklasifikasikan sebagai organik dan non
organik, akan tetapi sekarang telah difahami bahwa gagal tumbuh merupakan
interaksi antara lingkungan dengan kesehatan anak, perkembangan dan perilaku.
Evaluasi pada anak dengan pertumbuhan yang lambat atau tidak tumbuh sama
sekali, merupakan tantangan bagi kemampuan dokter anak untuk secara simultan
mengevaluasi informasi biomedik dan psikososial yang didapatkan melalui anamnesa
dan pemeriksaan fisik. Masalah yang penting adalah pada tahap penegakkan diagnosis,
karena kondisi anak bisa saja dalam penyakit yang gawat atau dalam keadaan
kegawatan lingkungan psikososial. Akan tetapi kebanyakan kasus gagal tumbuh
disebabkan oleh gizi yang tidak adekuat dikarenakan faktor biologi dan lingkungan
yang tidak saling menunjang sehingga menyulitkan tercapainya status gizi yang baik.
Dalam buku Lange Current Pediatric Diagnosis&Treatment (2005) tercantum 3
pola Growth deficiency sebagai berikut:

15

1) Tipe I. Berat badan lebih tertekan daripada tinggi badan, lingkaran kepala tidak
terganggu pertumbuhannya. Umumnya karena masukan kalori tidak cukup,
pengeluaran kalori yang berlebihan, masukan kalori yang berlebihan, atau ketidak
mampuan tubuh perifer menggunakan kalori. Kebanyakan kasus merupakan
akibat dari kegagalan pada penyampaian (delivery) kejaringan yang dituju.
Kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor kemiskinan, kesenjangan hubungan
pengasuh dan anak, pola makan yang abnormal atau kombinasi dari faktor-faktor
tersebut.
2) Tipe II. Ditandai oleh tubuh kecil yang proporsional, lingkaran kepala dalam batas
normal. Berkaitan dengan faktor genetik pada perawakan pendek,endokrinopati,
pertumbuhan lambat konstitusional, penyakit jantung atau ginjal, displasia tulang.
3) Tipe III. Ditandai oleh ketiga parameter (tinggi, berat dan lingkaran kepala)
dibawah normal. Tipe ini berkaitan dengan Susunan Syaraf Pusat yang abnormal,
defek pada khromosom, dan gangguan perinatal.
b. Penyimpangan Perkembangan Anak
Penilaian perkembangan anak meliputi identifikasi dini masalah-masalah
perkembangan anak dengan screening (skrining/ penapisan/ penjaringan) dan
surveillance ukuran standard atau non standard, yang juga digabungkan dengan
informasi tentang perkembangan sosial, riwayat keluarga, riwayat medik dan hasil
pemeriksaan mediknya. Penyimpangan perkembangan biasanya dibahas bersama-sama
dengan penyimpangan perilaku dalam bab yang sama, dengan kelainan yang sangat
luas variasinya.
Tolok ukur perkembangan meliputi motorik kasar, halus, berbahasa, perilaku
sosial dipakai dalam skrining pada Denver Developmental Screening Test (DDST) dan
Denver II misalnya. Sedangkan untuk IQ (Intelligence Qotient, SQ (Social Qotient),
EQ (Emotional Qotient) yang dilakukan oleh para psikolog diperlukan untuk
menetapkan batas-batas kemampuan kurang, normal, atau berbakat (pada gifted
children), pada test pemilihan sekolah/pendidikan yang tepat (placement test). atau
semacam fit and proper test pada orang dewasa. Dikatakan terdapat penyimpangan

16

perkembangan apabila kemampuan anak tidak sesuai dengan tolok ukur (milestones)
anak normal.
Dalam survai diperoleh dari informasi kepedulian orang tua terhadap
perkembangan dan perilaku anaknya. Kategori kepedulian orang tua dalam deteksi
penyimpangan perkembangan anak :
1) Emosi dan perilaku
2) Berbicara dan berbahasa
3) Ketrampilan sosial dan menolong diri sendiri
4) Motorik kasar
5) Motorik halus
6) Membandingkan dengan lingkungan
7) Masalah anak yang orang tuanya tidak mengeluh
4. Deteksi Penyimpangan Tumbuh Kembang
a. Anamnesa
Keluhan orang tua dan riwayat tumbuh kembang (lisan dan tertulis/ kuesioner
skrining perkembangan anak).
b. Pemeriksaan
Observasi dan pemeriksaan (bentuk muka, tubuh, tindak tanduk anak,
hubungan anak dengan orang tua/pengasuhnya, sikap anak terhadap pemeriksa).
Dilakukan juga pengukuran anthropometri:
Rutin: Tinggi badan, berat badan, lingkaran kepala, lingkaran lengan.
Atas indikasi: Lingkaran dada, panjang lengan (armspan), panjang tungkai, tebal
kulit (skinfold).
c. Penilaian pertumbuhan
Plot pada kurva pertumbuhan yang sesuai dengan standard:
1) PB /U, PB/BB,BB/U : NCHS/CDC 2000
2) BB/U : KMS WHO
3) Lingkaran kepala Nellhaus
4) Lingkaran lengan (Depkes RI)

17

5) Lingkaran dada, panjang lengan/tungkai: buku referensi untuk anak normal


ataukah untuk keadaan khusus, KMS/Buku KIA.
d. Penilaian maturitas
Penilaian pertumbuhan pubertas berdasar Tanner yaitu anak perempuan
ditandai dengan pertumbuhan payudara, haid, rambut pubis. Anak laki-laki ditandai
pertumbuhan testis, penis, rambut pubis. Umur tulang (bone age) juga bisa
digunakan sebagai penanda.
e. Penilaian perkembangan
Skrining dengan instrumen Denver II, Munchen, Bayley, Stanford Binnet atau
lainnya. Pilihlah test yang paling dikuasai oleh pemeriksa.
f. Pemeriksaan lain yang diperlukan atas indikasi
1) Radiologi: Umur Tulang ( Bone Age), Foto tengkorak, CT scan/MRI.
2) Laboratorium: Darah (umum atau hormonal), urine tergantung penyakit atau
kelainan organik yang mendasari.
3) Fungsi Pendengaran (TDD)
4) Fungsi Penglihatan(TDL), Funduskopi, Lapang pandang
5) Pemeriksaan otot (EMG)
g. Klasifikasi / Diagnosis Kerja
Setelah dilakukan skrining kemudian perlu ditetapkan apakah anak termasuk
kategori normal atau menyimpang (terlambat atau terlalu cepat).
h. Rujukan
Menetapkan indikasi rujukan, lalu tentukan kemana? Persiapan apa saja?
Apabila penderita tidak bisa dikirim? Penggunaan telemedicine? Perlu dipersiapkan
pada intervensi/tindakan invasif Perlu information for consent dan disusul dengan
informed consent ?

B. AUTISME
1. Definisi
18

Istilah autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri (Suryana, 2004). Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala
psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner
pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Sindrom Kanner dicirikan
dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan
sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan
bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain
repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam
Widihastuti, 2007).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak
berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim DTM&H, MPH (dalam Suryana,
2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana
terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap
sekitar, sehingga anak autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke
dalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan
perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan
kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan yang
sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik.
2. Etiologi
Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor, yaitu:
a. Kerusakan jaringan otak
Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa korelasi antara autis
dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan
jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti
19

lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis, bagian otak yang
mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada
semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli
neorologi Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah
bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi yang normal mempunyai kadar
protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010).
b. Terlalu banyak vaksin Hepatitis B
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B bisa
mengakibatkan anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini
mengandung zat pengawet Thimerosal.
c. Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah
Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang
terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang
mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa teori yang
didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab
dan proses terjadinya autis.
3. Kriteria Diagnosis
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria
diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
a. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari (1), dan
satu dari masing-masing (2) dan (3):
1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidaktidaknya dua dari hal berikut:
a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal
seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk
mengatur interaksi sosial.

20

b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut


tahap perkembangan.
c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan,
ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya
menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
d) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya
satu dari hal berikut:
a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak
disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari
komunikasi, seperti gestur atau mimik).
b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan
kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang
lain.
c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang
aneh.
d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau
permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap, ketertarikan
dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk
tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.
c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan
tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
b. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan
permulaan terjadi pada usia 3 tahun:
1) interaksi sosial
2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau
3) permainan simbolik atau imajinatif.
21

c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau Childhood
Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5:1.
Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas
autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada
orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan.
Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak
berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan
hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang
autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam
membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
4. Gangguan pada Anak Autis
Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autisme adalah :
a. Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal.
Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan
berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan
kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi
dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Katakatanya tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo (Ekolalia),
menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya (Yatim, 2007) .
b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau
menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga
tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan
menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu
untuknya. Ketika bermain, ia selalu menjauh bila didekati.
c. Gangguan dalam bermain.
Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan aneh,
misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama sebuah botol
22

minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas, gambar, kartu, atau guling,
terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
Lebih menyukai benda-benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya.
Tidak spontan, reflex, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering
memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau angin yang bergerak
(Yatim, 2007) .
d. Perilaku yang ritualistic
Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila berpergian harus
melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat dari gejala sering dianggap
sebagai anak yang senang kerapian, harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya
(Yatim, 2007).
e. Hiperaktif
Anak dapat terlihat hiperaktif, misalnya mengulang suatu gerakan tertentu
(menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri,
seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding (walaupun tidak semua
anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi pasif (pendiam), duduk diam, bengong
dengan tatapan mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh
perhatian pada suatu benda, ide, aktifitas, ataupun orang (Yatim, 2007).
f. Gangguan perasaan dan emosi
Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri,
menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak terkendali,
terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
g. Gangguan dalam persepsi sensoris
Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya,
pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai ringan sampai berat,
menggigit, menjilat, atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara
keras, ia akan menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak
nyaman bila diberi pakaian tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan
diri dari pelukan (Yatim, 2007)
23

5. Perkembangan Anak Autis


Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat
dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode perkembangan
yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanakkanak tengah. M
a. Masa infant dan todler
Tabel 1. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant dan toddler
No
1.

Faktor

Perkembangan Normal

Anak Autis

Pembeda
Pola
tatapan Usia 6 bulan sudah mampu
mata

Pandangan

mereka

melakukan kontak sosial melalui melewati orang dewasa yang


tatapan

mencegah

perkembangan

Toddler: menggunakan gaze pola interaksi melalui tatapan


sebagai

2.

Affect

pemenuhan

sinyal

vokalisasi

mereka

mengundang

partner

Lebih

sering

atau kemana-mana

melihat

daripada

ke

untuk orang dewasa

bicara
Usia 2,5-3 bulan sudah Tidak ada senyum sosial
melakukan senyum sosial

Usia 30-70 bulan melihat


dan

tersenyum

terhadap

ibunya, tapi tidak disertai


dengan

kontak

mata

dan

kurang merespon senyuman


3.

Vokalisasi

ibunya
Usia 2-4 bualn anak dan ibu Karakter mutism mereka
terlibat

dalam

pola

yang tampak

dari

kurangnya

simultan dan berganti vokal babbling yang menghambat


yang
4.

menjadi

awal

bagi jalan interaksi sosial ini

komunikasi verbal selanjutnya.


Imitasi Sosial: Langsung muncul setelah Usia 8-26 bulan dapat
berkaitan

lahir

meniru ekspresi wajah tapi


24

5.

dengan

melalui sejumlah keanehan

responsifitas

dan respon mekanikal yang

sosial, bermain

mengindikasikan

bebas

dan

perilaku ini bagi mereka

bahasa
Inisiatif

dan Merespon stimulus yang ada Anak menjadi penerima

Reciprocity

sehingga timbul reciprocity

sulitnya

pasif dari permainan orang


dewasa dan tidak berinteraksi

6.

secara ktif dengan mereka


Kelekatan pada anak autis

Attachment

diselingi dengan karakteristik


pengulangan
motorik

pergerakan

mereka

seperti

tepukan tangan, goncangan


7.

Kepatuhan dan

dan berputar-putar
Anak autis patuh terhadap

negativisme

permintaan. Jika permintaan


tersebut

sesuai

dengan

kapasitas intelektual mereka,


mereka

dapat

merespon

secara pantas saat mereka


dalam

lingkungan

terstruktur

dan

yang
dapat

diprediksi.
Anak autis memiliki sifat
negativistik secara berlebihan
b. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah
1) Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah
pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak autis
kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara afektif
25

terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama dengan orang
tersebut.
2) Reciprocity
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam
interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup mereka.
6. Penanganan Autisme
Menurut Danuatmaja, (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat
disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini,
terpadu, dan intensif. Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak
bisa bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi
dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi.
Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
a. Berat atau ringannya gejala, terganting pada berat-ringannya gangguan di dalam sel
otak.
b. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin
besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel
otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
c. Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autism tidak mampu bicara
seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun,
ada pula yang mampu bicara dengan lancer. Anak autis yang tidak mampu bicara (non
verbal) bisa diajarkan ketrampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan
bahasa isyarat atau melalui gambar-gambar.
d. Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari. Di samping
itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain :
a. Terapi obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki
komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilakuperilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian obat pada anak autis
harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan
ketat terhadap efek samping obat dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa
setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan
26

efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehatihatian dari orang tua dalam pemberian
obat yang umumnya berlangsung jangka panjang (Danuatmaja, 2003).
Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga
diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depresan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara
neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini
adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping.
Pemakaian obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap
lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila
kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan
dihentikan (Danuatmaja, 2003).
b. Terapi biomedis
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak-anak dengan masalah
alergi makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh
melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya
gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak autis, seperti gangguan
pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat.
Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang akan mempengaruhi fungsi otak.
Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein
Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang
berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung
pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung
protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga
pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun
bagi otak). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang
berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Danuatmaja, 2003). Menurut
Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk mengasup
makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian
besar dari mereka.
c. Terapi wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme
mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya
cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya
27

untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara
(speech therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan, tetapi
pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis).
d. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang bersifat selfmaladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang
dapat diterima oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk membantu
anak ini agar lebih bisa menyesuaikan diri didalam masyarakat. (Danuatmaja, 2003).
e. Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan
motorik kurang baik yang dilakukan melalui gerakan-gerakan. Terapi okupasi ini dapat
membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari
tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan
melakukan semua hal yang membutuhkan ketrampilan otot jari tangannya seperti
menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya
(Danuatmaja, 2003).
f. Terapi sensori integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan mengartikan seluruh
rangsang yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan
respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf
pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktifitas ini
merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa
meningkatkan kapasitas untuk belajar.
C. ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
1.

Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan

perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu diagnosis untuk pola perilaku anak yang
berlangsung dalam jangka waktu paling sedikit 6 bulan, dimulai sebelum usia 7 tahun,
yang menunjukkan sejumlah gejala ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian atau
sejumlah gejala perilaku hiperaktif-impulsif, atau kedua-duanya (Plizka, 2007). Menurut
panduan DSM V terdapat perubahan dalam hal onset timbulnya gejala yaitu sebelum usia
12 tahun (DSM V, 2013).
2.

Epidemiologi
28

ADHD merupakan gangguan neurobehavioral pada anak yang terbanyak, meliputi


kira-kira 50% yang dirujuk ke neurologis anak, neuropsikologis, behavioral pediatrician,
dan psikiatri anak (Shaywitz, 1999; Simms, 2004). Prevalensi gangguan ini sebesar 2,2%
untuk tipe hiperaktif-impulsif, 5,3% untuk tipe campuran hiperaktif-impulsif dan inatensi,
serta 15,3% untuk ADHD tipe inatensi (Wiguna, 2010). Terjadi pada 3-5% populasi anak
dan didiagnosa 2-16% pada anak usia sekolah (Bahtera, 2007). Menurut Saputro (2005),
dari total populasi anak Sekolah Dasar di Indonesia, 16% anak mengalami ADHD.
Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus.
Terdapat kecenderungan ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan perbandingan 3 : 1 (Wiguna, 2010; Bahtera, 2007).
3.

Etiologi
Penyebab ADHD dipahami sebagai disregulasi neurotransmiter tertentu di dalam

otak yang membuat seseorang lebih sulit untuk memiliki atau mengatur stimulus-stimulus
internal dan eksternal. Beberapa neurotransmiter, termasuk dopamine dan norepinephrine,
mempengaruhi produksi, pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain juga beberapa
struktur otak. Adanya peningkatan ambilan kembali dopamin ke dalam sel neuron daerah
limbik dan lobus prefrontal dikatakan mengendalikan fungsi eksekutif perilaku. Fungsi
eksekutif bertanggung jawab pada ingatan, pengorganisasian, menghambat perilaku,
mempertahankan perhatian, pengendalian diri dan membuat perencanaan masa depan
(Wiguna, 2010; Warner, 2002).

29

Gambar 1. Dopamin di otak


Perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan merupakan akibat dari
otak yang bermasalah dalam meredam bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-gerakan
motorik dan respon-respon emosional. Hal itulah yang membuat anak tidak dapat
menunggu, menunda pemuasan dan menghambat tindakan. Hasil penelitian oleh Cantwell
(1975) dan Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis anak
ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan dengan orangtua adopsi anak
ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran herediter sangat besar sebagai salah satu faktor
penyebab gangguan ini (Wiguna, 2010; DSM IV, 1994).
Penelitian neuropsikologis menunjukkan korteks frontal dan sirkuit yang
menghubungkan fungsi eksekutif adalah ganglia basalis. Katekolamin adalah fungsi
neurotransmiter utama yang berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis. Pada penderita
ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan
kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh proses editing perilaku, menurunnya
kesadaran diri, dan dalam penghambatan respon otomatis terhadap rangsangan pada otak.
Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan yang tinggi yang dialami oleh anak
sewaktu kecil, karena anak cemas maka pikirannya bekerja sangat aktif, memunculkan
berbagai mental atau buah pikir, dengan tujuan agar anak bisa sibuk memikirkan gambar
mental atau buah pikir itu sehingga dengan sendirinya kecemasan mereka akan berkurang.
Berdasarkan gambaran di atas, maka nampak bahwa penyebab ADHD cukup kompleks,
antara lain neurologis, herediter dan lingkungan (Wiguna, 2010; DSM IV, 1994).
Berikut akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mungkin berperan dalam
terjadinya ADHD, yaitu:
a. Faktor Genetik
Penelitian molekular genetik telah mengungkapkan beberapa gen yang muncul
untuk dihubungkan dengan ADHD karena efeknya pada reseptor dopamin, transportasi
dopamin, dan dopamin beta-hidroksilase (DSM V, 2013).
Mutasi gen pengkode neurotransmiter dan reseptor dopamin (D2 dan D4) pada
kromosom 11p memegang peranan terjadinya ADHD. Terdapat lima reseptor dopamin
yaitu D1, D2, D3, D4 dan D5, sedangkan yang berperan terhadap ADHD adalah
reseptor D2 dan D4. Neurotransmiter dan reseptor dopamin pada korteks lobus frontalis
30

dan subkorteks (ganglia basalis) berperan terhadap sistem inhibisi dan memori,
sehingga apabila terjadi gangguan disini akan menyebabkan gangguan inhibisi dan
memori. Selain dopamin, gen pengkode sistem noradrenergik dan serotoninergik terkait
dengan patofisiologi terjadinya ADHD (Antshel et al, 2009; Warner, 2002).
Beberapa penelitian genetik juga menemukan bahwa, saudara kandung dari anak
dengan ADHD mempunyai risiko 5-7 kali lebih besar untuk mengalami gangguan
serupa. Orang tua yang menderita ADHD mempunyai kemungkinan sekitar 50% untuk
menurunkan gangguan ini pada anak mereka. Bukti-bukti untuk dasar genetik untuk
gangguan ini adalah lebih besarnya angka kesesuaian dalam kembar monozigotik
dibandingkan kembar dizigotik (Wiguna, 2010).
b. Cedera Otak
Telah lama diperkirakan bahwa beberapa anak yang terkena ADHD mendapatkan
cedera otak yang minimal dan samar-samar pada sistem saraf pusatnya selama periode
janin dan perinatalnya. Cedera otak mungkin disebabkan oleh efek sirkulasi, toksik,
metabolic, mekanik, stress, serta kerusakan fisik pada otak selama masa bayi yang
disebabkan oleh infeksi, peradangan, dan trauma.
Tomografi komputer (CT) kepala pada anak-anak dengan gangguan defisitatensi/hiperaktivitas tidak menunjukkan temuan yang konsisten. Penelitian dengan
menggunakan tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography)
ditemukan penurunan aliran darah serebral dan kecepatan metabolisme di daerah lobus
frontal anak-anak dengan gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas. Satu teori menyatakan
bahwa lobus frontalis anak-anak dengan gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas tidak
secara adekuat mengerjakan mekanisme inhibisinya pada struktur yang lebih rendah,
yang menyebabkan disinhibisi (Wiguna, 2010).
c. Faktor Neurokimiawi
Banyak neurotransmiter telah dihubungkan dengan gejala defisit-atensi dan
hiperaktivitas. Sebagian temuan adalah berasal dari pemakaian banyak medikasi yang
menimbulkan efek positif pada gangguan. Obat yang paling banyak diteliti dalam terapi
gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas adalah stimulan yang mempengaruhi dopamin
maupun norepinefrin, yang menghasilkan hipotesis neurotransmiter yang menyatakan
kemungkinan disfungsi pada sistem adrenergik dan dopaminergik.
31

Stimulan meningkatkan katekolamin dengan mempermudah pelepasannya dan


dengan menghambat ambilannya. Stimulan dan beberapa obat trisiklik, sebagai contoh,
desipramine (Norpramine) menurunkan 3methoxy-4-hidroxyphenilglycol (MHPG)
urin; yang merupakan metabolik dari norepinefrin, Clonidine (Catapres), suatu agonis
norepinefrin, berguna dalam mengobati hiperaktivitas. Obat lain yang menurunkan
hiperaktivitas adalah obat trisiklik dan inhibitor monoamin oksidase (MAOI). Secara
keseluruhan, tidak ada bukti-bukti yang jelas yang melibatkan satu neurotransmiter
tunggal dalam perkembangan gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas, tetapi banyak
neurotransmiter yang mungkin terlibat dalam proses ini (DSM V, 2013).
d. Struktur Anatomi
Pemeriksaan brain imaging yang dilakukan pada anak dengan ADHD, menunjukkan
pengecilan volume otak yang bermakna pada korteks prefrontal dorsolateral, kaudatus,
palidum, korpus kalosum, dan serebelum (Maggie et al, 2014). Rapport dkk dari
National Institute of Mental Health melakukan penelitian pada anak dengan ADHD
menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging), menyatakan adanya pengecilan
lobus prefrontal kanan, nukleus kaudatus kanan, globus palidus kanan, serta vermis
(bagian dari serebelum) jika dibandingkan dengan anak tanpa ADHD. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi bagian-bagian otak di atas adalah meregulasi fungsi
perhatian seseorang. Lobus prefrontal dikenal sebagai bagian otak yang terlibat dalam
proses editing perilaku, mengurangi distraktibilitas, membantu kesadaran diri dan waktu
seseorang, sedangkan nukleus kaudatus dan globus palidus berperan dalam menghambat
respon otomatik yang datang pada bagian otak, sehingga koordinasi rangsangan tersebut
tetap optimal. Fungsi serebelum adalah mengatur keseimbangan. Meskipun demikian,
masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dari pengecilan
lobus atau bagian otak tersebut (DSM V, 2013).
Otak manusia normalnya menjalani kecepatan pertumbuhan utama pada beberapa
rentang usia: 3 sampai 10 bulan, 2 sampai 4 tahun, 6 sampai 8 tahun, 10 sampai 12
tahun dan 14 sampai 16 tahun. Beberapa anak mengalami maturasi pertumbuhan secara
berurutan dan menunjukkan gejala ADHD yang tampaknya sementara. Pada beberapa
kasus, temuan EEG menjadi normal dengan berjalannya waktu.
e. Faktor Psikososial
32

Anak-anak dalam institusi seringkali hiperaktif dan memiliki rentan atensi yang
rendah. Tanda tersebut terjadi akibat adanya pemutusan hubungan emosional yang lama,
dan gejala menghilang jika faktor pemutus dihilangkan, seperti melalui adopsi atau
penempatan di rumah penitipan. Kejadian fisik yang menimbulkan stres, suatu
gangguan dalam keseimbangan keluarga, dan faktor yang menyebabkan kecemasan
berperan dalam awal terjadinya atau berlanjutnya ADHD. Faktor predisposisi mungkin
termasuk temperamen anak, faktor genetik-familial, dan tuntutan sosial untuk mematuhi
cara berkenalan dan bertindak yang rutin. Status sosial ekonomi tampaknya bukan
merupakan faktor predisposisi.
4.

Klasifikasi
ADHD mempunyai 3 subtipe:
a. Predominan hiperaktif-impulsif (ADHD/HI)
Merupakan simptom terbanyak (enam atau lebih) adalah kategori hiperaktifimpulsif. Kurang dari enam simptom dari inatensi, walaupun inatensi masih ada pada
beberapa derajat.
b. Predominan inatensi
Simptom terbanyak (enam atau lebih) adalah kategori inatensi dan kurang dari
enam simptom dari hiperaktif-impulsif, walaupun hiperaktif-impulsif masih ada pada
beberapa derajat. Anak dengan subtipe ini kurang berperan atau mempunyai
kesulitan bersama dengan anak lain. Mereka duduk tenang, tetapi tidak memberikan
perhatian kepada apa yang mereka lakukan. Orang tua mungkin tidak memperhatikan
simptom ADHD.
c. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatensi
Enam atau lebih simptom inatensi dan enam atau lebih simptom hiperaktifimpulsif. Kebanyakan anak dengan ADHD mempunyai tipe kombinasi (Warner,
2002; DSM IV, 1994).

5.

Diagnosis
Kriteria diagnostik ADHD berdasarkan DSM-IV:
- Salah satu (1) atau (2) dari:

33

a. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi): enam (atau lebih) gejala inatensi berikut
telah menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang
maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
1) Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan

tidak

teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya.


2) Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian
terhadap tugas
atau aktivitas bermain.
3) Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung. Sering tidak
mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan seharihari, atau tugas di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak
dapat mengikuti instruksi)
4) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas.
5) Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang
memiliki usaha mental yang lama (seperti tugas sekolah dan pekerjaan rumah).
6) Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas atau
aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan)
7) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar.
8) Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
b. Hiperaktivitas impulsivitas: enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-impulsivitas
berikut ini telah menetap selama sekurang-kurangnya enam bulan sampai tingkat
yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
1) Hiperaktivitas
a) Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di tempat
duduk.
b) Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau di dalam situasi yang
diharapkan anak tetap duduk.
c) Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak
seharusnya.
d) Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang
secara tenang.
e) Sering dalam keadaan siap bergerak/pergi (atau bertindak seperti digerakkan
oleh mesin).
f) Sering bicara berlebihan.
2) Impulsivitas
34

a) Tidak sabar, sering menjawab pertanyaan tanpa berpikir lebih dahulu sebelum
pertanyaan selesai.
b) Sering sulit menunggu giliran.
c) Sering menyela atau mengganggu orang lain sehingga menyebabkan hambatan
dalam lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
-

Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah

ada sebelum usia 7 tahun.


Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi.
Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam

fungsi sosial, akademik, atau fungsi pekerjaan.


Gejala tidak semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan pervasif,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan lebih baik oleh

gangguan mental lain.


- Kode berdasarkan tipe :
a. 314.01 ADHD tipe kombinasi : jika kriteria A1 dan A2 ditemukan selama 6 bulan
yang lalu.
b. 314.00 ADHD predominan tipe inatensi : jika kriteria A1 ditemukan tetapi kriteria
A2 tidak ditemukan selama 6 bulan yang lalu.
c. 314.01 ADHD predominan tipe hiperaktif-impulsif : jika kriteria A2 ditemukan tetapi
kriteria A1 tidak ditemukan selama 6 bulan yang lalu.
Kriteria diagnosis ADHD menurut DSM IV dan DSM IV TR ini telah mengalami
revisi melalui DSM V. Daftar gejala pada DSM V tidak berbeda dengan DSM IV dan IV
TR. Perebedaan yang tampak adalah pada DSM V setelah dituliskan gejala akan
diberikan beberapa contoh yang dapat muncul pada penderita ADHD, termasuk contoh
gejala yang timbul pada masa remaja dan dewasa. Selain itu perbedaan ditunjukkan pada
onset timbulnya gejala ADHD yang dimulai pada usia 12 tahun.
Kriteria diagnostik ADHD berdasarkan DSM-V:
- Meliputi salah satu dari 1 atau 2:
a.

Enam (atau lebih) dari simptom inatensi berikut ini yang menetap selama minimal 6
bulan sampai ke tingkat yang tidak sesuai dengan level perkembangan. Catatan:
untuk remaja dan dewasa (usia 17 tahun atau lebih) diperlukan paling tidak 5 gejala.
1) Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan tidak teliti
dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya (misalnya
mengabaikan suatu pekerjaan yang detil, bekerja dengan tidak teliti).
35

2) Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau


aktivitas bermain (misalnya sulit untuk tetap fokus selama jam pelajaran,
percakapan dengan orang lain, atau membaca dalam jangka waktu yang lama).
3) Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung (misalnya pikiran
seperti berada di tempat lain, meskipun tidak menunjukkan gangguan yang nyata).
4) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelessaikan tugas sekolah,
pekerjaan sehari-hari, atau tugas di tempat kerja (bukan karena sikap menentang
atau gagal memahami perintah) (seperti dapat memulai suatu tugas atau pekerjaan
tetapi mudah hilang fokus dan teralihkan).
5) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas (misalnya sulit
untuk mengerjakan pekerjaan yang runut, sulit untuk menetap pada satu
pekerjaan, pekerjaan tidak terorganisir dengan baik, memiliki pengaturan waktu
yang buruk, gagal untuk menyelesaikan tugas/pekerjaan dalam waktu yang
ditentukan).
6) Sering menghindari, tidak suka atau enggan terlibat dalam tugas yang
memerlukan upaya mental yang lama (misal pekerjaan rumah atau sekolah, untuk
remaja dan dewasa, mempersiapkan laporan, menyelesaikan suatu formulir,
meninjau ulang suatu dokumen panjang)
7) Sering kehilangan atau ketinggalan hal-hal yang diperlukan untuk tugas atau
aktivitas (misalnya mainan, tugas sekolah, pensil, buku, atau alat-alat, dompet,
kacamata, telepon genggam).
8) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar (untuk remaja dan
dewasa dapat termasuk pikiran yang tidak berkaitan dengan pembicaraan).
9) Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari (seperti mengerjakan pekerjaan sehari-hari,
ketika disuruh, untuk remaja dan dewasa, menghubungi kembali, membayar
b.

tagihan, menepati janji).


Enam (atau lebih) dari simptom hiperaktifitas-impulsivitas di bawah ini menetap
selama minimal 6 bulan sampai ke tingkat yang maladaptif dan tidak sesuai dengan
tingkat perkembangan. Catatan untuk remaja dan dewasa (usia 17 tahun atau lebih)
diperlukan paling tidak 5 gejala.
1) Sering gelisah dengan tangan atau kaki bergerak-gerak terus atau menggeliat di
kursi.
2) Sering meninggalkan kursi di ruangan kelas atau pada situasi lain di mana
diharapkan tetap duduk diam (misalnya banyak meninggalkan tempat duduknya
36

ketika berada di kelas, di kantor atau ruangan kerja yang lain, atau pada situasi
lainnya yang memerlukan untuk tetap berada di tempat duduk).
3) Sering berlari berkeliling atau memanjat dengan berlebihan pada situasi yang
tidak seharusnya (catatan: pada remaja atau dewasa mungkin terbatas pada
perasaan tidak kenal lelah).
4) Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang
dengan tenang.
5) Sering bergerak atau beraksi seperti jika digerakkan oleh mesin (misalnya tidak
mampu atau tidak nyaman untuk menunggu, seperti saat di restoran, rapat,
mungkin hal lain yang dapat dialami adalah tidak kenal lelah atau sulit untuk
6)
7)
8)
9)

berhenti).
Sering berbicara berlebihan.
Sering berbicara tanpa berpikir, menjawab sebelum pertanyaan lengkap.
Sering sulit menunggu.
Sering menyela atau mengganggu orang lain (misal memotong percakapan atau
permainan).

Beberapa simptom hiperaktif-impulsif atau inatensi menyebabkan impairment

sebelum usia 12 tahun.


Beberapa simptom hiperaktif-impulsif atau inatensi muncul pada 2 tempat atau lebih

di rumah, di sekolah (tempat kerja), dengan teman; atau di aktivitas lainnya)


Jelas terbukti signifikan secara klinis impairment pada fungsi sosial, akademik atau

pekerjaan, atau menurunkan kualitas hidup.


Simptom tidak terjadi semata-mata selama keadaan gangguan perkembangan,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lain dan tidak dapat diterangkan oleh gangguan
mental lain (misal gangguan mood, gangguan cemas, gangguan disosiasi atau
gangguan kepribadian).

6.

Diagnosis Banding

Autism

Spectrum Disorder (ASD)

Global

developmental delay

Gangguan

intelektual

Gangguan

perkembangan bahasa speech delayed

Gangguan

pendengaran

Gangguan

kecemasan

Gangguan

depresi
37

Gangguan

bipolar

Intermittent
Gangguan

explosive disorder.

psikotik

Obsessive-compulsive

disorder

(DSM V, 2013)
Dalam praktik sehari-hari, ADHD sering kali memiliki gejala yang tumpang tindih
dengan autism spectrum disorder (ASD) dan communication disorder - speech delayed.
Pada penderita speech delayed sendiri harus dipastikan ada tidaknya gangguan
pendengaran, retardasi mental atau kurang stimulasi. Persamaan ADHD dengan ASD
adalah adanya gangguan konsentrasi, tak mampu menunggu giliran, meminta sesuatu
dengan cara non verbal, kurang peduli dengan lingkungan dan bila marah sulit
ditenangkan.
Tabel 2. Perbedaan antara ADHD, ASD dan speech delayed
Stimulasi
Objek bermain
Bila diarahkan
Reaksi
Emosi marah
Sosialisasi
Gangguan perilaku
Persepsi sensorik
Pengobatan
7.

ASD
Maju lambat dan sulit
Ingin terus sama
Sangat sulit
Sering aneh
Sangat sulit diredakan
Tidak mau
Sering menyimpang
Menolak dibelai
Antipsikotik

GPPH
Maju bertahap
Berganti terus

Speech Delayed
Maju bertahap
Berganti bila

Sulit
Kadang aneh
Sulit diredakan
Ingin tetapi ditolak teman
Kadang-kadang
Kadang mau dibelai
Psikostimulansia

sudah bosan
Mudah
Wajar
Mudah diredakan
Tidak
Tidak ada
Senang dibelai
Tanpa obat

Penatalaksanaan
ADHD adalah gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi klinis yang

beragam. Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk
menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan evidence based, National
Institute of Mental Health, serta organisasi profesi lainnya di dunia seperti AACAP
(American Academy of Child and Adolescent Psychiatry), penanganan anak dengan ADHD

38

adalah dengan pendekatan

komprehensif

berdasarkan prinsip pendekatan yang

multidisiplin dan multimodal (Wiguna, 2010).


Tujuan utama penanganan anak dengan ADHD adalah:
Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari
terutama dengan memperbaiki fungsi pengendalian diri.
Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk kemampuan
adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal ini maka terapi
yang diberikan dapat berupa obat, diet, latihan, terapi perilaku, terapi kognitif dan latihan
keterampilan sosial, juga psikoedukasi kepada orang tua, pengasuh serta guru yang seharihari berhadapan dengan anak tersebut. (Austin et al, 2007).
a.

Medikamentosa
Pemakaian medikamentosa dapat mengontrol ADHD sampai 70-80%. Obat
yang merupakan pilihan pertama adalah obat golongan psikostimulan. Meskipun obat
ini disebut stimulan, namun pada dasarnya obat ini memiliki efek yang menenangkan
pada penderita ADHD.4,5 Yang termasuk stimulan antara lain:
Amphetamine-dextroamphetamine (Adderall)
Dexmethylphenidate (Focalin)
Dextroamphetamine (Dexedrine, Dextrostat)
Lisdexamfetamine (Vyvanse)
Methylphenidate (Ritalin, Concerta, Metadate, Daytrana)
Pemberian obat psikostimulan dikatakan cukup efektif mengurangi gejalagejala ADHD. Obat ini mempunyai pengaruh pada sistem dopaminergik atau
noradrenergik korteks lobus frontalis-subkortikal circuit, meningkatkan kontrol
inhibisi dan memperlambat potensiasi antara stimulasi dan respon, sehingga
mengurangi gejala impulsif dan tidak dapat menyelesaikan tugas. Efek sampingnya
adalah penarikan diri dari lingkungan sosial, fokus yang berlebih, iritabel, sakit
kepala, cemas, sulit tidur, hilang nafsu makan, sindrom Tourette, serta munculnya tic

b.

(DSM V, 2013; Bahtera, 2007).


Diet

39

Menghindari pewarna makanan buatan dan bahan pengawet sintetik dari diet
anak dapat merupakan upaya untuk mencegah terjadinya gejala ADHD. Metaanalisis menemukan bahwa menghindari pewarna makanan buatan dan bahan
pengawet sintetik secara statistik bermanfaat untuk anak dengan ADHD.12
Keseimbangan diet karbohidrat dan asam amino (triptophan sebagai serotonin
substrate) juga dapat menjadi upaya lain dalam diet ini. 12 Belum ada bukti bahwa
pemanis buatan seperti aspartam memperburuk ADHD (Austin et al, 2007).
c.

Terapi Perilaku
Strategi spesifik yang dapat dilakukan untuk terapi perilaku ini adalah:
Reward system (anak diberikan hadiah bila dapat menyelesaikan tugas atau
berperilaku baik).
Time out (misal: anak yang memukul adiknya dihukum duduk di pojok ruangan
selama 5 menit).
Response cost (misal: anak dilarang nonton tv bila tidak menyelesaikan PR).
Token economy (anak mendapatkan bintang bila menyelesaikan tugas dan
kehilangan bintang bila berjalan-jalan di kelas jumlah bintang menentukan
reward yang diterima).
Penting pula ditekankan bahwa dukungan orang tua sangat menentukan
suksesnya terapi sehingga terapi perilaku ini disertai dengan edukasi dan pelatihan
pasien dan keluarga

8.

Prognosis
Perjalanan ADHD bervariasi, ada yang mengalami remisi, ada yang menetap.

a. Persisten atau menetap. Pada 40-50% kasus, gejala akan persisten hingga masa remaja
atau dewasa. Gejala akan lebih cenderung menetap jika terdapat riwayat keluarga,
peristiwa negatif dalam hidupnya, komorbiditas dengan gejala-gejala perilaku, depresi
dan gangguan cemas. Dalam beberapa kasus, hiperaktivitasnya akan menghilang, tetapi
tetap mengalami inatensi dan kesulitan mengontrol impuls (tidak hiperaktif, tetapi
impulsif dan ceroboh). Anak ini rentan dengan penyalahgunaan alkohol dan narkoba,
kegagalan di sekolah, sulit mempertahankan pekerjaan, serta cenderung melakukan
pelanggaran hukum.

40

b. Remisi. Pada 50% kasus, gejalanya akan meringan atau menghilang pada masa remaja
atau dewasa muda. Biasanya remisi terjadi antara usia 12 hingga 20 tahun. Gejala yang
pertama kali memudar adalah hiperaktivitas dan yang paling terakhir adalah
distractibility.
1) Remisi total. Anak yang mengalami remisi total akan memiliki masa remaja dan
dewasa yang produktif, hubungan interpersonal yang memuaskan, dan memiliki
gejala sisa yang sedikit.
2) Remisi parsial. Pada masa dewasanya, anak dengan remisi parsial mudah menjadi
antisosial, mengalami gangguan mood, sulit mempertahankan pekerjaan, mengalami
kegagalan di sekolah, melanggar hukum, dan menyalahgunakan alkohol serta
narkoba (Tamin, 2007)
Dampak dari ADHD terhadap tumbuh kembang seorang anak yaitu:

Gangguan
perilaku

Usia pra
sekolah

Kesulitan akademik
Sosialisasi buruk
Terdapat problem citra diri
Berurusan dengan hukum
Merokok
Risiko untuk mendapat
trauma atau cedera

Usia
sekolah

Remaja

Gangguan perilaku
Kegagalan akademik
Terganggunya hubungan
dengan teman
Terdapatnya problem citra diri

Kegagalan dalam pekerjaan


Problem dalam membina
hubungan interpersonal
Risiko mendapat cedera
atau kecelakaan

Usia saat di
perguruan
tinggi

Dewasa

Kegagalan akademik
Kesulitan dalam pekerjaan
Terdapatnya problem citra diri
Penggunaan zat/ obat-obatan
Risiko mendapat cedera/
kecelakaan

41

BAB III
REHABILITASI MEDIK PADA ANAK DENGAN AUTISME DAN ATTENTION
DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
A.

Okupasi Terapi
1. Terapi Relaksasi
Adalah terapi yang menggunakan kekuatan pikiran dan tubuh untuk mencapai
suatu perasaan rileks. Terapi relaksasi bertujuan untuk dapat mengontrol ansietas, stres,
ketakutan dan ketegangan, memperbaiki konsentrasi, meningkatkan kontrol diri,
meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta meningkatkan kreativitas (Wiguna,
2007).
2. Cognitive Behavior Therapy (Terapi Perilaku Kognitif)
Terapi kognitif merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk mengubah perilaku
seseorang dengan mengubah pemikiran dan persepsi terutama pola berpikirnya. Terapi
perilaku berfokus untuk mengurangi respon kebiasaan (seperti marah, takut, dan
sebagainya) dengan cara mengenal situasi atau stimulus. Terapi perilaku kognitif
melatih kemampuan berpikir, menggunakan pendapat dan membuat keputusan, dengan
fokus memperbaiki defisit memori, konsentrasi dan atensi, persepsi, proses belajar,
membuat rencana, serta pertimbangan. Pada anak-anak, terapi ini memerlukan
dukungan penuh dari orang tua atau anggota keluarga lain. Intervensi pada terapi ini
juga harus menarik seperti menggunakan media gambar kartun, role play, menggunakan
bahasa menarik sesuai usianya, media latihan yang menyenangkan dan penuh warna.
Bentuk lain dari intervensi ini dapat juga berupa metode self recording (Hersen, 2008).
3. Sensori integrasi
Tujuan terapi sensori integrasi adalah meningkatkan kemampuan proses sensoris
dengan cara:
a. Mengembangkan modulasi sensoris yang berhubungan dengan atensi dan kontrol
perilaku
b. Mengintegrasikan informasi sensoris untuk membentuk skema persepsi baik sebagi
dasar ketrampilan akademis, interaksi sosial dan kemandirian fungsional (Waiman,
2011).
42

Fokus terapi diarahkan untuk memunculkan motivasi intrinsik anak untuk


bermain interaktif dan bermakna. Terapi sensori integrasi memberikan stimulasi sensori
dan interaksi fisik untuk dapat meningkatkan integrasi sensori dan peningkatan
kemampuan belajar dan perilaku. Terapi ini merupakan terapi modalitas yang kompleks
yang memerlukan partisipasi aktif pasien dan bersifat individual melalui aktivitas yang
bertujuan melibatkan stimulasi sensorik untuk perbaikan organisasi dan proses
neurologis. Para ahli di Amerika telah menyusun konsensus tentang elemen inti dari
terapi sensori integrasi yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. Elemen inti terapi sensori integrasi
Elemen Inti
Deskripsi Sikap dan Perilaku Terapis
Memberikan
rangsangan Memberikan kesempatan pada anak untuk mengalami berbagai
sensorik

pengalaman sensori, yang meliputi taktil, vestibular, dan/atau


proprioseptif; intervensi yang diberikan melibatkan lebih dari satu

Memberikan

tantangan

yang

tepat

modalitas sensorik
Memberikan aktivitas yang bersifat menantang, tidak terlalu sulit
maupun terlalu mudah, untuk membangkitkan respon adaptif anak

terhadap tantangan sensori dan praksis


Kerjasama menentukan pilihan Mengajak anak berperan aktif dalam proses terapi, memberikan
aktivitas

kesempatan pada anak mengontrol aktivitas yang dilakukan, tidak

Memandu organisasi mandiri

menetapkan jadwal dan rencana terapi tanpa melibatkan anak


Mendukung dan memandu anak untuk mengorganisasi perilaku
secara mandiri, memilih dan merencanakan perilaku yang sesuai
dengan kemampuan anak, mengajak anak untuk berinisiatif,

Menunjang stimulasi optimal

mengembangkan ide, dan merencanakan aktivitas.


Menjamin lingkungan terapi yang kondusif untuk mencapai atau
mempertahankan

stimulasi

yang

optimal,

dengan

mengubah

lingkungan atau aktivitas untuk menarik perhatian anak, engagement,


Menciptakan konteks bermain

dan kenyamanan.
Menciptakan permainan yang membangun motivasi intrinsik anak
dan

Memaksimalkan

kesenangan

dalam

beraktivitas;

memfasilitasi

atau

mengembangkan permainan objek, sosial, motorik, dan imaginatif.


kesuksesan Memberikan atau memodifikasi aktivitas sehingga anak dapat

anak

berhasil pada sebagian atau seluruh aktivitas, yang menghasilkan

Menjamin keamanan fisik

respon terhadap tantangan tersebut


Meyakinkan bahwa secara fisik anak dalam kondisi aman, dengan
43

menggunakan peralatan terapi yang aman atau senantiasa ditemani


Mengatur
interaksi anak
Memfasilitasi

ruangan

oleh terapis
untuk Mengatur peralatan dan ruangan sehingga dapat memotivasi anak

kebersamaan

dalam terapi

untuk terlibat dalam aktivitas


Menghormati emosi anak, memberikan pandangan positif terhadap
anak, menjalin hubungan dengan anak, serta menciptakan iklim
kepercayaan dan keamanan emosi

Gambar 2. Ruangan dan peralatan untuk sensori integrasi


4. Terapi Snoezellen
Terapi Snoezellen merupakan suatu aktivitas terapi yang dilakukan untuk
mempengaruhi sistem saraf pusat melalui pemberian rangsangan yang cukup pada
sistem sensori primer (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, penciuman) dan
juga pada sistem sensori internal (vestibular dan proprioseptif). Snoezellen merupakan
metode terapi multisensoris yang berasal dari Belanda. Kata Snoezellen sendiri
merupakan gabungan dari 2 kata snufflen yang berarti eksplorasi aktif dan doezelen
yang berarti relaksasi atau pasif. (Perdosri, 2013; Challenor, 1996)
Tujuan terapi snoezellen pada adalah:
a. Anak mampu konsentrasi dan atensi terhadap satu stimulus
b. Anak mampu rileks secara psikis sehingga mengurangi perilaku impulsif
c. Anak mampu memberikan reaksi yang tepat terhadap lingkungan
d. Anak mampu melakukan kontak dengan orang lain
e. Anak punya rasa percaya diri
f. Anak mampu mengeksplorasi lingkungan
44

g. Anak mampu rileks secara fisik yang ditandai dengan penurunan muscle tension
Ruangan snoezellen khusus dirancang untuk memberi stimulasi pada berbagai
sensasi, menggunakan efek lampu/cahaya, warna, musik, wangi-wangian dan
sebagainya. Kombinasi dari bahan berbeda pada dinding dieksplorasi menggunakan
sensasi taktil, dan pada lantai disesuaikan untuk merangsang sensasi keseimbangan.
Idealnya, snoezellen merupakan terapi yang tidak diarahkan dan dapat bertahap
memberikan pengalaman multisensorik atau fokus pada 1 sensorik saja, secara
sederhana melalui adaptasi terhadap lampu/cahaya, atmosfer, suara, dan tekstur kepada
kebutuhan spesifik pasien. Snoezellen dianggap sebagai toolbox dengan berbagai jenis
peralatan sensorik untuk memenuhi kebutuhan sensorik yang berbeda dari orang yang
menggunakannya.
Lingkungan Snoezellen memberikan stimulasi langsung dan tidak langsung dari
modalitas sensorik dan dapat digunakan secara individu atau berkelompok untuk
memberikan pendekatan sensorik. Peralatannya disesuaikan dengan tiap-tiap anak:
a. Stimulasi visual: serat optik semprot, proyektor dengan gambar.
b. Stimulasi pendengaran (suara): kaset relaksasi, getaran suara dari peralatan musik.
c. Olfaktori (bau): aroma terapi dapat mengurangi tingkat kecemasan.
d. Gustatori (rasa): setiap zat makanan menyediakan rasa yang berbeda atau tekstur.
e. Stimulasi taktil (sentuhan): bantal dan kasur dengan vibrasi, kain bertekstur.
f. Rangsangan proprioseptif dan vestibular (gerakan): kursi goyang, rocking horses.
Ada beberapa macam ruang snoezellen yang ditata dengan tujuan yang berbeda
contohnya:
a. Ruang relaksasi
Ruang ini dipenuhi dengan warna yang lembut dan tidak mencolok
Lagu-lagu lembut atau musik relaksasi
Pemberian aroma ruangan dengan aroma yang lembut
Lampu penerangan yang lembut
b. Ruang aktivitas/adventure
Ruangan ini dipenuhi dengan warna-warna yang mencolok
Stimulasi visual yang dinamis
Musik yang dinamis
45

Alat-alat permainan aktif


c. Ruang natural
Berupa ruangan yang alami seperti kebun bunga/taman
Kolam ikan/aquarium
Terdapat pasir, tanah, dan air

Gambar 3. Terapi snoezellen


5. Terapi Musik
Merupakan terapi efektif dan alat edukasi untuk anak dan dewasa dengan
gangguan perkembangan sehingga dapat mempengaruhi perubahan keterampilan yang
penting pada gangguan belajar atau retardasi mental.
a. Keterampilan kognitif
Musik dapat menstimulasi dan memfokuskan atensi dan terutama untuk orang yang
tidak respon dengan intervensi lain. Seluruh intervensi terapeutik akan terstruktur
dengan musik, untuk mempertahankan atensi.
b. Keterampilan fisik
Terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ritme teratur dapat menstimulasi dan
mengorganisasikan respon otot untuk menimbulkan rasa rileks.
c. Keterampilan komunikasi
Efektif untuk menstimulasi dan memotivasi bicara, serta memberi ruang untuk
komunikasi nonverbal.
d. Keterampilan sosial
Memberi kesempatan untuk orang dengan disabilitas perkembangan untuk
berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
e. Keterampilan emosional
46

Musik memberi kesempatan untuk mengekspresikan dan merasakan berbagai emosi.


Keinginan untuk berpartisipasi pada musik dapat membantu untuk mengontrol emosi
yang meledak-ledak, mengubah mood, serta dapat mencapai efek positif dari harga
diri.
B.

Psikoterapi
Psikoterapi yang diberikan pada anak termasuk dalam pelatihan kepada orang tua
untuk memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah. Ada berbagai pendekatan
psikoterapi yang dapat dilakukan oleh psikolog dan psikiatri, penggunaannya tergantung
kepada pasien dan simptomnya. Meliputi support groups, parent training, dan social skills
training.
Memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah dapat memperbaiki perilaku
anak. Namun kendalanya adalah orang tua memperlihatkan kekurangan yang sama
terhadap diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak dapat cukup membantu anaknya
dengan kesulitannya. Intervensi pendidikan yang berbeda untuk orang tua disebut sebagai
Parent Management Training. Teknik ini meliputi operant conditioning yaitu sebuah
aplikasi rewards untuk suatu perilaku yang baik dan hukuman untuk perilaku yang buruk.
Manajemen di dalam kelas (edukasi kepada guru) dilakukan sama dengan parent
management training yaitu guru diajari tentang gangguan pada anak dan teknik untuk
memperbaiki perilaku yang diaplikasikan di ruangan kelas. Strategi yang digunakan
meliputi peningkatan penyusunan aktivitas di kelas atau daily feedback. (Austin et al,
2007)

47

BAB III
KESIMPULAN

Penyimpangan Tumbuh kembang anak dapat terjadi dalam kurun waktu proses
pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sejak intra uterine hingga dewasa. Faktor-faktor
yang berpengaruh adalah faktor genetik, dan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan
dan peyakit-penyakit yang dialami anak. Deteksi dini dan intervensi yang tepat guna, dapat
mengoptimalkan kualitas tumbuh kembang anak selanjutnya.

48

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (Fourth ed.). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
American Psychiatric Association. (1995). Diagnostic and statistical manual of mental disorder.
Fourth Edition. Washington DC: APA Arlington, VA.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (Fifth ed.). Washington, DC: American Psychiatric Publishing; p. 59-65.
Antshel KM, Macias MM, Barkley RA. (2009). The Child with Attention Deficit Hyperactivity
Disorder. In: David RB, editor. Clinical Pediatric Neurology. New York; Demos medical.
Austin M, Reiss NS, Burgdorf. (2007). ADHD Attention deficit hyperactivity disorder.
http://www.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=13871&cn=3

diakses

pada

Oktober 2015.
Bahtera T. (2007). Manajemen penderita gangguan perhatian dan hiperaktivitas. Dalam :
Purwanti A, Mexitalia, Wistiani, Mellyana O, penyunting. Symposium dan workshop early
detection on neurodevelopmental disorders. Semarang : Badan Penerbit UNDIP; p. 29-35.
Challenor Y B, Borkow R B. (1996). Central nervous system plasticity and cognitive
remediation. Boston : Butterworth Heinemann.
Coleman K, King B. (1996). Music therapy and developmental disabilities. Available from :
http://www.preludemusictherapy.com/dd.html diakses pada Oktober 2015.
Dawson G dan CastelloeF (1985). Autism. New York: Wiley and Sons.
Hersen M, Gross AM. (2008). Handbook of Clinical Psychology, Children and Adolescents. New
jersey: John Wiley and son inc.
Hurlock EB (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Maggie A, Pataki, dkk. (2014). Pediatric Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/912633-overview. Diakses pada Oktober
2015.
National Institute of Mental Health. (2015). Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Available

from:

http://www.nimh.nih.gov/health/topics/attention-deficit-hyperactivity-

disorder-adhd/index.shtml#part_145451 diakses pada Oktober 2015.

49

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia. (2013). Layanan
kedokteran fisik dan rehabilitasi. Jakarta: PB Perdosri; 186-90.
Pliszka S. (2007). Practice parameter for the assessment and treatment of children and
adolescents with attention deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry; 46:894.
Shaywitz B, Fletcher J, Shaywitz S. (1999). Attention deficit hyperactivity disorder. In : Swiman
K, Ashwal S, ed. Pediatric neurology principles and practice. 3 rd ed. St Louis : Mosby;
p.585-94.
Suryana A (2004). Terapi autisme: Anak berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta: Progres.
Tamin TZ. (2007). Relaxation therapy. In : Workshop relaxation therapy. Manado : Perdosri
Waiman E, Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Endyarni B. (2013). Sensori integrasi: dasar
efektivitas dan terapi. Sari Pediatri; 13: 129-32.
Warner J, Roger. (2002). Attention deficit hyperactivity disorder. In: Howlin P, Udwin O.
Outcomes in neurodevelopmental and genetic disorders. New York: Cambridge University
Press
Widihastuti S (2007). Pola pendidikan anak autis: Aktivitas pembelajaran di sekolah autis Fajar
Nugraha. Yogyakarta: CV. Datamedia.
Wiguna T. (2010). Apakah anak dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPPH)
memerlukan obat?. Dalam : Pusponegoro H, Widodo D, Mngunadmaja I, penyunting. A
journey to child neurodevelopmental : application in daily practice. Jakarta : IDAI.
Wiguna T. (2010). Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), dalam: Elvira SD,
Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
441-454.
Wiguna T. (2007). Gejala, Latar belakang Permasalahan dan Kebutuhan Anak dengan GPPH dan
Spektrum Autistik. Dalam : Buku Prosiding Simposium Sehari Kesehatan Jiwa. Jakarta.
IDI; h 68-71.
Yatim F (2007). Autisme : Suatu gangguan jiwa pada anak-anak. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
Yusuf EA (2003). Autisme: Masa kanak. USU Digital Library.
Veskariyanti AG (2008). 12 Terapi autis paling efektif & hemat : Untuk autisme, hiperaktif, dan
retardasi mental. Yogyakarta : Percetakan Galangpress.

50

Anda mungkin juga menyukai