Latar Belakang
Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai
yang selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi pasang surut air
laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir
(Indriyanto, 2006). Sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir, hutan
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai
fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain:
pelindung garis pantai, pencegah intrusi air laut, tempat tinggal (habitat), tempat
mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta
sebagai pengatur iklim mikro sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil
keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit
(Rochana, 2006).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km Soegiarto,
(1984) dalam Onrizal dan Kusmana (2008). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi
hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer.
Dipandang dari segi luas areal, hutan mengrove di Indonesia adalah yang terluas
di dunia. Di Indonesia, mangrove tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar
mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua, dengan luas
sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat, kondisi
hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut FAO (1992);
Soemodihardjo, Ongkosono dan Abdullah (1986) dalam Onrizal dan Kusmana
(2008). Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha
sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1997) dalam Onrizal dan Kusmana
(2008) pada tahun 1993 luas hutan mangrove menjadi 3,7 juta ha, sehingga terjadi
penurunan luas 0,55 juta ha dalam kurun waktu 11 tahun atau laju kerusakan 0,05
juta ha/tahun.
Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatera Utara merupakan
salah satu propinsi yang memiliki hutan mangrove terluas. Luas keseluruhan
hutan mangrove di Sumatera Utara mencapai 364.580,95 ha, sebanyak 280.939,71
ha dilaporkan dalam keadaan rusak berat atau sekitar 77,06 %, 47.645,41 ha
dalam keadaan rusak sedang (13,06 %) dan 35.995,83 ha dalam keadaan tidak
rusak atau sekitar 9,87 % hutan mangrove di Sumatera Utara yang masih baik
(Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).
Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat, Propinsi
Sumatra Utara. Jika dilihat di 12 kabupaten/kota yang memiliki hutan mangrove
di Sumatera Utara, kerusakan paling tinggi berada di wilayah Kabupaten Labuhan
Batu yaitu mencapai 121.702,1 ha dari luas yang ada yakni 128.438,2 ha
sedangkan kondisi yang masih baik yaitu 2.250,7 ha. Seperti halnya di Kabupaten
Labuhan Batu, kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat
yakni mencapai 22.387,57 ha dari total keseluruhan yaitu 43.014,47 ha sedangkan
kondisi
hutan
mangrove
yang
masih
baik
hanya
2.711,05
ha
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal.
2. Mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di Kawasan Serapuh
Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara setelah
dieksploitasi.
3. Mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi
hutan mangrove.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat lokal mengenai dampak
kegiatan masyarakat terhadap ekosistem mangrove serta kegunaan dari
hutan mangrove tersebut bagi masyarakat.
2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan para pembaca mengenai dampak
pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut.
3. Masukan bagi pengambil kebijakan untuk pengelolaan hutan mangrove
yang lebih baik di masa akan datang.