Sirhepp
Sirhepp
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Hepar
Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan
atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena
kaya akan persediaan darah (Sloane, 2004). Beratnya 1200-1800 gram,
dengan permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan
bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar
sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas
dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk
cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta
hepatis (Amirudin, 2009).
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan diposterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum
venosum (Hadi, 2002). Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus
kiri dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus
dan lobus quadrates. Menurut Sloane (2004), diantara kedua lobus terdapat
porta hepatis, jalur masuk dan keluar pembuluh darah, saraf dan duktus.
Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan
dibungkus peritoneum pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya
(Hadi, 2002).
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika
yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri
hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh
darah tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta
tersebut vena porta dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke
lobus kiri dan ke lobus kanan (Hadi, 2002). Darah dari cabang-cabang arteri
hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler
yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat diantara barisan
sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua lobulus hati menyatu
untuk membentuk vena hepatika (Sherwood, 2001).
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang
mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang
berjalan diantara lembaran sel hati (Amirudin, 2009).
Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis
T7-T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus vagus dexter dan
sinister serta phrenicus dexter (Sherlock, 1995).
2.2.
Fungsi Hepar
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ
2.3.
Sirosis Hepatis
2.3.1. Definisi
Sirosis hepatis merupakan keadaan yang menggambarkan akhir dari
perjalanan histologi pada berbagai macam penyakit hepar kronik. Istilah
sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec tahun 1826. Istilah ini
diambil dari bahasa Yunani yaitu scirrhus yang digunakan untuk
mendeskripsikan permukaan hepar yang berwarna oranye jika dilihat pada
saat autopsi. Tapi karena kemudian arti kata sirosis atau scirrhus banyak
yang salah menafsirkannya akhirnya istilah ini berubah artinya menjadi
pengerasan. Berbagai bentuk dari kerusakan sel hepar ditandai dengan
adanya fibrosis. Fibrosis merupakan peningkatan deposisi komponen
matriks ekstraseluler (kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di hepar. Respon
terhadap kerusakan sel hepar ini sering bersifat irreversibel. Secara
histologis sirosis merupakan proses yang difus pada hepar ditandai adanya
fibrotisasi dan konversi dari struktur arsitektur hepar normal menjadi
struktur nodul yang abnormal. Progresi dari kerusakan sel hepar menuju
sirosis dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan bertahuntahun. Pasien dengan hepatitis C dapat mengalami hepatitis kronik selama
40 tahun sebelum akhirnya menjadi sirosis (Doubatty, 2009).
2.3.2. Insidens
Menurut Sutadi (2003), penderita sirosis hepatis lebih banyak
dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1
dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40-49 tahun.
2.3.3. Klasifikasi
Menurut laporan GALAMBOS (1975) klasifikasi sirosis hepatis
dibagi dalam dua golongan (Hadi, 2002), yaitu :
2.3.4. Etiologi
Menurut Hadi (2002), penyebab sirosis hepatis bermacam-macam.
Ada penyebab didapat maupun genetik. Di Amerika Serikat alkoholisme
kronis dan hepatitis C merupakan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis.
Sedangkan di Indonesia penyebab terbanyak adalah karena virus hepatitis
tipe B dan C.
misanyal
hemokromatosis,
penyakit
Wilson,
perubahan struktur dan ukuran hepar yang disebabkan oleh proses fibrotisasi
(Doubatty, 2009). Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah
lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi.
Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma (Nurdjannah, 2009).
Menurut Sherlock (1995) secara klinis sirosis hepatis dibagi atas dua tipe,
yaitu :
1. Sirosis kompensata atau sirosis laten
Gejala klinis yang dapat terlihat adalah pireksia ringan, spider
vaskular, eritema palmaris atau epistaksis yang tidak dapat dijelaskan,
edema pergelangan kaki. Pembesaran hepar dan limpa merupakan tanda
diagnosis yang bermanfaat pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen
dan salah cerna pagi hari yang samar-samar bisa merupakan gambaran
dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai konfirmasi dapat dilakukan tes
biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati aspirasi.
2. Sirosis dekompensata atau sirosis aktif
2.3.6. Patogenesis
Peningkatan atau gangguan sintesis kolagen dan komponen jaringan
ikat atau membran basal lain matriks ekstrasel diperkirakan berperan dalam
terjadinya fibrosis hati dan dengan demikian berperan juga dalam
patogenesis sirosis. Fibrosis hati tampaknya terjadi pada tiga situasi : (1)
sebagai suatu respon imun, (2) sebagai bagian dari proses penyembuhan
luka dan (3) sebagai respon terhadap agen yang memicu fibrogenesis
primer. Virus hepatitis B adalah contoh agen yang menyebabkan fibrosis
dengan dasar imunologis. Agen seperti karbon tetraklorida atau hepatitis A
yang menyerang dan mematikan hepatosit secara langsung adalah contoh
agen yang menyebabkan fibrosis sebagai bagian dari penyembuhan luka.
Agen tertentu seperti etanol dan besi dapat menyebabkan fibrogenesis
primer dengan secara langsung meningkatkan transkripsi gen kolagen
sehingga juga meningkatkan jumlah jaringan ikat yang diekskresikan oleh
sel (Nguyen, 2011).
Penyebab utama dari semua mekanisme peningkatan fibrogenesis ini
mungkin adalah sel penyimpan-lemak di sistem retikuloendotel hati.
Sebagai respons terhadap sitokin, sel-sel ini berdiferensiasi dari sel inaktif
dengan vitamin A yang disimpan ke dalam miofibroblas, yang kehilangan
kemampuannya menyimpan vitamin A dan menjadi aktif menghasilkan
matriks ekstrasel. Fibrosis hati tampaknya berlangsung dalam dua tahap.
Tahap pertama ditandai oleh perubahan komposisi matriks ekstrasel dari
kolagen yang tidak berikatan silang dan tidak membentuk fibril menjadi
kolagen yang lebih padat dan mudah membentuk ikatan silang. Pada tahap
ini cedera hati masih reversibel. Tahap kedua melibatkan pembentukan
ikatan-silang kolagen sub-endotel, proliferasi sel mioepitel dan distorsi
arsitektur hati disertai kemunculan nodul-nodul regenerasi (Nguyen, 2011).
Tahap kedua ini bersifat ireversibel. Perubahan komposisi matriks
ekstrasel dapat memprerantarai perubahan fungsi hepatosit dan sel lain.
Karena itu, perubahan pada keseimbangan kolagen mungkin berperan
penting dalam perkembangan cedera hati kronik reversibel menjadi bentuk
ireversibel dengan ikut mempengaruhi fungsi hepatosit (Nguyen, 2011).
Secara histopatologis semua bentuk sirosis ditandai oleh tiga
temuan: (1) distorsi berat arsitektur hati, (2) pembentukan jaringan parut
akibat meningkatnya pengendapan jaringan fibrosa dan kolagen dan (3)
nodul-nodul regeneratif yang dikelilingi oleh jaringan parut (Nguyen, 2011).
Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi
sirosis adalah kematian sel hati, regenerasi dan fibrosis progresif. Dalam
kaitannya dengan fibrosis, hati normal mengandung kolagen interstisium
(tipe I, III dan IV) di saluran porta dan sekitar vena sentralis, dan kadangkadang di parenkim. Di ruang antara sel endotel sinusoid dan hepatosit
(ruang Disse) terdapat rangka retikulin halus kolagen tipe IV. Pada sirosis,
kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di
semua bagian lobulus san sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenetrasinya.
Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang
berlubang-lubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit,
menjadi saluran vaskular tekanan tinggi beraliran cepat tanpa pertukaran zat
terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara hepatosit dan plasma
sangat terganggu (Crawford, 2007).
Infeksi virus hepatitis B dan C akan menimbulkan peradangan sel
hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas,
terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen.
Tingkat awal yang terjadi adalah terbentuknya septa yang pasif oleh
jaringan retikulum penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian
2.3.7. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
A. Diagnosa Sirosis hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi
Na dalam urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
dalam
bentuk
makrositer
yang
disebabkan
splenoportografi,
Percutaneus
Transhepatic
Porthography (PTP).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
hati,
tepi
biasanya
tumpul.
Seringkali
didapatkan
pembesaran limpa.
2.3.8. Penatalaksanaan
Menurut Doubatty (2009), penatalaksanaan pasien sirosis hepatis
sangat tergantung dengan etiologi maupun keadaan klinis. Terapi ditujukan
untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang
dapat menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
Pada pasien sirosis hepatis kompensata terapi ditujukan untuk mengurangi
progresi kerusakan hati, pasien diminta untuk menghilangkan etiologi
(alkohol dan bahan-bahan lainnya). Sedangkan pada pasien sirosis hepatis
dekompensata terapi definitifnya adalah transplantasi hepar. Namun
sebelum dilakukan transplantasi, resipien harus memepenuhi beberapa
b.
c.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hepatis akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti :
1. Asites
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic
2.3.9. Komplikasi
Menurut Hadi (2002), komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi
antara lain:
1.
Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya
pada sorosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus.
Sifat
perdarahan
yang
ditimbulkan
ialah
muntah
darah
atau
Koma Hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat
rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali.
Koma hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya
kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati
yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolisme
tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum
sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan
hati secara langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena
perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-obatan dan
pengaruh substansia nitrogen.
3.
Ulkus Peptikum
Kemungkinan timbul karena adanya hiperplasia noduler yang akan
berubah menjadi adenoma multipel dan akhirnya menjadi karsinoma
yang multipel.
4.
Karsinoma hepatoselular
5.
Infeksi
Misalnya : peritonitis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,
glomerulo
nephritis
kronis,
pielonephritis,
sistitis,
peritonitis,
2.3.10. Prognosis
Menurut Doubatty (2009), prognosis sirosis hepatis dipengaruhi
beberapa faktor :
1. Etiologi
Pasien dengan sirosis alkoholik prognosisnya lebih baik daripada
sirosis kriptogenik.
2. Sirosis dekompensata yang mengikuti perdarahan, infeksi atau
alkoholisme lebih baik prognosisnya dibanding sirosis yang muncul
secara spontan, sebab faktor pencetusnya dapat dikoreksi.
3. Respon terhadap terapi
4. Ikterus
Ikterus yang menetap merupakan suatu pertanda yang serius.
5. Komplikasi neurologi
Jika berkembang menahun dan disertai sirkulasi kolateral maka
prognosis akan lebih baik. Ensefalopati hepatikum merupakan
komplikasi neurologi paling sering pada sirosis hepatis. Patogenesis
ensefalopati hepatikum adalah hiperamonemia dan penurunan kadar
neurotransmitter sentral.
6. Ukuran hati
Jika ukuran besar maka prognosisnya akan lebih baik karena
mungkin masih terdapat lebih banyak sel-sel yang berfungsi.
1.
Bilirubin (mg%)
< 2.0
2-<3
> 3.0
Albumin (gr%)
> 3.5
< 2.8
INR
< 1.70
1.70 2.20
> 2.20
Asites
minimal sedang
banyak
(+) (++)
(+++)
std I dan II
std III
Hepatic encephalopathy
tidak ada
dan IV
Kelas A = 5-6
Kelas B = 7-9
Kelas C = 10-15
kelas
one yearsurvival
two year
5-6
100%
85%
7-9
81%
57%
10-15
45%
35%
survival
2.
Rumus :
3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x
log(e)(kreatinin,
mg/dl)
Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD </= 11 lebih
baik daripada pasien sirosis hepatis dengan skor MELD >11.
2.4.
replikasi virus didalam hati dan keadaan imunologi pasien. Virus tidak
langsung sitopatik dan lisis hepatosit terinfeksi dengan progresivitas ke
kronik tetapi tergantung atas respon imun hospes. Jika respon imun selular
terhadap virus buruk, maka terjadi sedikit atau tidak ada kerusakan hati dan
virus kontinu berproliferasi dengan adanya fungsi hati yang normal.
Keadaan tersebut akan menjadi carrier yang terlihat sehat. Pasien dengan
respon imun seluler yang sedikit lebih baik memperlihatkan nekrosis sel hati
kontinu, tetapi respon tak cukup untuk membersihkan virus dan timbul
hepatitis kronik.
Virus penyebab hepatitis pertama kali menginfeksi hepatosit. Selama
masa tunas, terjadi replikasi virus yang intens di sel-sel hati yang
menyebabkan munculnya komponen-komponen virus dalam urine, tinja dan
cairan tubuh lain. Kemudian terjadi kematian sel hati dan respons
peradangan terkait, yang diikuti oleh perubahan-perubahan pada uji
laboratorium fungsi hati dan munculnya berbagai gejala dan tanda penyakit
hati (Sherlock, 1995).
meningkatnya
kadar
aminotransferase
serum
(menunjukkan
kerusakan hati). Dalam beberapa bulan, IgM anti-HBc digantikan oleh IgG
anti-HBc. Munculnya antibodi anti-Hbe mengisyaratkan infeksi akut telah
memuncak dan sekarang mulai mereda. IgG anti-HBs belum meningkat
sampai penyakit akut berlalu dan biasanya tidak terdeteksi selama beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah hilangnya HbsAg. Anti-HBs dapat
menetap seumur hidup, memberikan perlindungan; ini merupakan dasar
bagi strategi vaksinasi saat ini.
Infeksi HBV berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif,
HBV-DNA terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion
lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi HBsAg dan HBcAg di
permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas 1 menyebabkan
kronis
memiliki
virion
didalam
hepatosit
mereka
tanpa
hepatitis
yang
diisyaratkan
oleh
menigkatnya
kadar
2.5.
terutama didalam hati. Individu sehat tidak dapat memetabolisme lebih dari
160-180 g alkohol perhari. Alkohol menginduksi enzim yang digunakan
asam
asetat.
Biotransformasi
ini
menimbulkan
sejumlah
konsekuensi metabolik antara lain (1) etanol adalah sumber energi yang
substansial (kalori kosong) dan hal ini menyebabkan malnutrisi dan
defisiensi,
terutama
vitamin
B.
(2)
Kelebihan
NADH
berperan