BLOK 5 ENDOKRIN
SKENARIO 1
HUBUNGAN GEJALA KLINIS POLIURIA DAN PARESTESIA
DENGAN KASUS DIABETES MELLITUS TIPE 2
Disusun oleh:
Kelompok 9
Akhmad M. Fazri
(G 0010011)
Kevin Wahyudy P.
(G 0010109)
Debora Marga P.
(G 0010051)
(G 0010145)
Fitria Rahma N.
(G 0010083)
Silvia Imnatika
(G 0010177)
Ilma Anisa
(G 0010099)
Stephanie I. S.
(G 0010181)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poliuria adalah pasase volume urin yang besar dalam periode tertentu. Sedangkan
diabetes adalah adanya berbagai gangguan yang ditandai dengan poliuria (Dorland,
2002). Diabetes umumnya terbagi menjadi 2, yaitu Diabetes Insipidus (DI) dan
Diabetes Mellitus (DM). Namun, umumnya istilah diabetes cenderung merujuk pada
Diabetes Mellitus. DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya
dapat dikendalikan sedemikian rupa agar penderitanya tetap dalam keadaan sehat
secara umum, tidak mengalami komplikasi tertentu. Karena itu, ilmu penyakit
dalamkhususnya endokrinologi, perlu dikaji lebih dalam agar masyarakat juga dapat
menjadi lebih peka dan tanggap terhadap isu DM.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1,
Seorang laki-laki, usia 50 tahun, berat badan 69 kg, tinggi badan 165 cm,
lingkar pinggang 105 cm, datang ke klinik Endokrinologi dan Metabolik RSUD Dr
Moewardi Surakarta dengan keluhan sering kencing (poliuria) yang dirasakan sejak
5 bulan yang lalu disertai kesemutan pada kedua kakinya. Selama ini terjadi
penurunan berat badan sekitar 15 kg. Istrinya juga menderita penyakit yang sama
tetapi sekarang sudah meninggal dan mempunyai 4 anak sekarang tinggal 3.
Anak pertama telah meninggal karena tidak sadar pada usia 15 tahun dan
belum diketahui penyakitnya. Pemeriksaan fisik ditemukan hipoestesi pada
pemeriksaan mikrofilament. Tekanan darah 150/100 mmHg, CT scan abdomen tidak
didapatkan kelainan pada kelenjar pankreas. Laboratorium : HbA1c 12%, gula
darah puasa (GDP) 400 mg/dl, Low Density Lipoprotein Cholesterol (LDL-C) 258
mg/dl, Trigliserid 300 mg/dl, ureum 65 mg/dl, creatinin 2.5 mg/dl, urin rutin : protein
positif (++), reduksi (+++), Esbach 1500 mg/hari.
Oleh dokter pasien diberikan edukasi (perubahan pola hidup), anti diabetik
oral, dan insulin. Penderita juga disarankan untuk dirujuk ke klinik gizi (diet gizi)
dan klinik neurologi. Selain itu penderita dianjurkan untuk latihan jasmani setiap
hari dan kontrol rutin. Penderita disarankan untuk menjadi club Persadia.
Dalam laporan ini, penulis akan mencoba menganalisis kaitan antara poliuria
dan simptom lainnya berkaitan dengan DI dan DM berdasarkan dasar teori
Endokrinologi.
B. Rumusan Masalah
1. Diagnosis apakah yang paling tepat ditentukan untuk kasus?
2. Apakah fungsi dari kelenjar pankreas?
3. Apa persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI?
4. Adakah hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing
dalam kasus?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita DM?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui diagnosis yang paling tepat ditentukan untuk kasus.
2. Mengetahui fungsi dari kelenjar pankreas.
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI.
4. Mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masingmasing dalam kasus.
5. Mengetahui penatalaksanaan penderita DM.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa
mengetahui
dasar
teori
mekanisme
kerja
organ
terkait
endokrinologi.
2. Mahasiswa mengetahui dasar teori diagnosis penyakit terkait endokrinologi.
3. Mahasiswa mengetahui persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI.
4. Mahasasiwa mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelenjar Pankreas
Umumnya, pankreas mempunyai fungsi utama yaitu sebagai kelenjar eksokrin
dan endokrin. Kelenjar eksokrin bertugas untuk mensekresi enzim pencernaan,
sementara kelenjar endokrin bertugas untuk mensekresi hormon.
Adapun jaringan utama pankreas terdiri atas:
1. Asini: yang menyekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum.
2. Pulaupulau Langerhans yang langsung mensekresikan insulin dan glukagon
ke dalam darah.
Pulau Langerhans mengandung 3 jenis sel utama yakni sel alfa, sel beta, dan sel
delta, yang dapat dibedakan satu sama lain melalui cirri morfologi dan pewarnaannya.
Sel Beta kira kira mencakup 60 persen dari semua sel pulau, terutama berada pada
bagian tengah dari setiap pulau dan menyekresikan insulin dan amilin, yaitu suatu
hormon yang sering disekresikan bersama dengan insulin, meskipun fungsinya masih
belum jelas. Sel Alfa, yang kira kira mencakup 25 persen dari seluruh sel,
menyekresikan glukagon. Sel Delta, yang kira kira mencakup 10 persen dari sleuruh
sel, menyekresikan somatostatin. Selain itu, paling sedikit terdapat satu jenis sel lain,
yang disebut Sel PP, terdapat dalam jumlah kecil di Pulau Langerhans dan
menyekresikan hormon yang fungsinya masih diragukan yakni polipeptida pankreas.
(Guyton: 2008)
B. Hormon yang Berkaitan dengan Gula Darah
Pada pasien dengan DI, gangguan ini dapat terjadi akibat destruksi nucleus
hipotalamik yaitu tempat vasopressin disintesis (DI sentral) atau sebagai akibat tidak
responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopressin (DI nefrogenik) walaupun kadar
hormon ini sangat tinggi.
Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan diabetes insipidus, termasuk
tumortumor besar hipofisis yang meluas ke luar sela tursika dan menghancurkan
nucleus hipotalamik, trauma kepala, cedera hipotalamus pada saat operasi, oklusi
pembuluh darah intraserebral, dan penyakit penyakit granulomatosa.
Pasien dengan DI mengalami polidipsia dan poliuria dengan volume urin antara 5
hingga 10 ml/hari. Kehilangan cairan yang banyak melalui ginjal ini dapat
dikompensasi
dengan
minum
banyak
cairan.
Bila
pasien
tidak
mampu
3. Penatalaksanaan
Pasien-pasien dengan gejala DM tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar
glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik
saja. Namun, obat antidiabetik oral tetap dianjurkan mengingat DM tipe 2
merupakan penyakit progresif (Price and Wilson, 2003). Tujuan jangka pendek
penatalaksanaan DM adalah untuk menghilangkan keluhan/gejala, tujuan jangka
panjangnya untuk mencegah komplikasi sehingga mampu menurunkan morbiditas
dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup penderita DM. (Katzung, 2002).
4. Komplikasi
Kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic
non-poliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih
lanjut lagi dapat menyebabkan kebutaan. (Waspadji, 2009). Diabetes juga
merupakan penyebab paling umum stadium akhir gagal ginjal yang memerlukan
dialisis atau transplantasi dan penyebab paling umum amputasi non-traumatik.
Serta merupakan factor peting dalam etiologi serangan jantung dan stoke.
(Nussey, 2001)
Komplikasi makrovaskular seperti jantung koroner, penyakit pembuluh darah
otak, dan penyakit pembuluh darah perifer juga sangat dominan pada penderita
DM tipe 2, walaupun juga terjadi pada DM tipe 1. Kombinasi komplikasi
makrovaskular tersebut dikenal dengan beberapa nama, antara lain syndrome X,
5.
6.
7.
8.
9.
10
.
Tipe kelainan
Hormon yang
mengalami
kelainan
Tipe
Target hormon
Frekunsi kejadian
Pemeriksaan
Kadar gula darah
Kadar Urin
penyebab
11. Komplikai
12
.
Terapi
Hati, otol,
Sering ditemukan
Urin dan darah
>200 mg/dl
Urin dan urea
Genetik
Infeksi virus pada
pankreas
Otak : stroke
Mata : katarak
Jantuk : penyakit jantung
koroner
Ginjal : gagal ginjal
Kaki :gangreng
Impotensi pada laki-laki
Diet
Olahraga
Penambahan insulin
Obat anti dibetik
Kelainan endokrin
Hormon Antidiuretik
Hormon (ADH)
Dehidrasi
Kematian
Patogenesis
Keadaan klinis saat
diagnosis
Kadar insulin darah
DM Tipe 1
Umumnya pada usia muda
<40 tahun
DM Tipe 2
Umumnya pada usia tua
>40 tahun
Faktor genetik, terjadi
Tidak ada/kurang produksi resistensi insulin atau
insulin karena kerusakan
reseptor sel target tidak
sel pankreas
dapat merespon insulin
secara normal
Berat
Ringan
Berat badan
Genetika
Sel Langerhans
Biasanya kurus
Konkordan pada kembar
40%
Insultis dini
Atrofi dan fibrosis
mencolok
Deplesi berat sel
BAB III
PEMBAHASAN
Skenario di atas berisi tentang pasien dengan keluhan poliuria, kesemutan
pada kedua kakinya, dan penurunan berat badan. Hasil laboratorium menunjukkan
adanya kuantitas lebih dari normal dari kadar HbA1c, gula darah puasa, LDL
cholesterol, trigliserid, ureum, dan kreatinin, serta ditemukannya protein positif,
reduksi positif, dan jumlah Esbach lebih dari normal dalam urin pasien. Berdasarkan
beberapa data di atas, pasien dapat didiagnosis menderita penyakit Diabetes Mellitus
(DM) tipe 2 dengan Diabetes Insipidus (DI) sebagai diagnosis banding sebab pasien
mengalami gejala utama yaitu poliuria.
Poliuria (pengeluaran urin berlebihan), polidipsia (minum air berlebihan),
polifagia (makan berlebihan), dan penurunan berat badan merupakan gejala awal dari
DM. Pasien dikatakan menderita DM tipe 2 sebab DM tipe 2 memiliki ciri khas
berupa resistensi insulin, sedangkan jumlah produksi insulin dari pankreas normal
sebab tidak ada kelainan pada kelenjar pankreas pasien. DM tipe 2 dapat bersifat
genetik. Selain itu, peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat berkurangnya
glukosa dalam sel target insulin (sel otot, hepar, dan adiposa) menyebabkan terjadinya
proses glukoneogenesis untuk menghasilkan energi.
Pasien tidak dikatakan menderita DI sebab DI terjadi bila ada kelainan pada
hormon
ADH
dan
tidak
berhubungan
dengan
meningkatnya
HbA1c
menyebabkan
terganggunya
jalur
poliol
sehingga
terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa dalam jaringan saraf sehingga terjadi gangguan
metabolik sel-sel Schwan dan hilangnya akson. Hal tersebut mengakibatkan
berkurangnya
kecepatan
konduksi
motorik
sehingga
terjadi
kesemutan/
berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama
total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit.
Selain langkah diet, pasien tersebut juga harus dikombinasikan dengan
langkah farmakologis berupa terapi obat hipoglikemik oral golongan tiazolidindion
yang berfungsi untuk meningkatkan kepekaan sel tubuh terhadap insulin dan
menurunkan resistensi insulin. Selain obat tersebut ada juga, sulfonylurea,
meglitinid, biguanid, penghambat A-glikosidase. Pemberian obat tersebut harus
terus dipantau secara terkontrol mengingat pasien juga mengalami kalsifikasi
pankreas sehingga produksi insulin terganggu. Apabila kadar insulin tidak mencukupi,
maka terapi obat antidiabetik tersebut dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Berdasarkan perbandingan dengan nilai normal laboratorium dan gejala klinis,
dapat disimpulkan pasien menderita Diabetes Melitus tipe 2.
2. Hiperglikemia ( >200 mg/lt ) disertai dengan gejala khas (poliuris, polifagia,
polidipsia, polineuropati) dapat menjadi dasar diagnosis Diabetes Melitus.
3. Patogenesis genetika Diabetes Melitus belum ditemukan dengan jelas, tetapi
seluruh referensi yang penulis dapatkan merujuk pada adanya kaitan Diabetes
Melitus dengan genetika.
4. Patogenesis poliuris terjadi karena diuretik osmotik dari urin yang
mengandung glukosa berlebih. Polineuropati terjadi akibat akumulasi fruktosa
dan sorbitol sebagai salah satu efek dari hiperglikemia persisten. Sedangkan
berat badab menurun karena lemak dalam jaringan adiposa digunakan untuk
menggantikan glukosa sebagai sumber energi yang tidak dapat masuk ke
reseptor akibat resistensi insulin.
5. Penatalaksanaan pasien diabetes melitus tipe 2 harus memperhatikan kondisi
dan kesehatan serta komplikasi pasien, agar dapat ditemukan terapi yang tepat
untuk pasien. Diutamakan terapi non-farmakologis dahulu, apabila hasilnya
kurang baik maka dapat dapat dibantu dengan terapi farmakologis.
B. Saran
1. Poin terpenting dalam penatalaksanaan penderita diabetes melitus adalah
menjaga agar kadar glukosa darah pasien berada dalam kondisi atau mendekati
normal, dengan demikian dapat menjauhi risiko timbulnya komplikasi.
2. Obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan keadaan pasien
tersebut dan tidak mempunyai kontra indikasi
3. Latihan jasmani yang dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi pasien.
4. Sebaiknya pasien dan keluarganya diberi edukasi untuk tetap menjaga
kesehatan pasien, dengan pola hidup sehat dan patuh terhadap anjuran dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Ligaray
KPL.
2010.
Diabetes
Mellitus,
Type
2.