Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 5 ENDOKRIN
SKENARIO 1
HUBUNGAN GEJALA KLINIS POLIURIA DAN PARESTESIA
DENGAN KASUS DIABETES MELLITUS TIPE 2

Disusun oleh:

Kelompok 9
Akhmad M. Fazri

(G 0010011)

Kevin Wahyudy P.

(G 0010109)

Christian Ganda W.A (G 0010043)

Madinatul Munawaroh (G 0010119)

Debora Marga P.

(G 0010051)

Nurul Wahda Aulia

(G 0010145)

Fitria Rahma N.

(G 0010083)

Silvia Imnatika

(G 0010177)

Ilma Anisa

(G 0010099)

Stephanie I. S.

(G 0010181)

Tutor : dr. Jarot Subandono, M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poliuria adalah pasase volume urin yang besar dalam periode tertentu. Sedangkan
diabetes adalah adanya berbagai gangguan yang ditandai dengan poliuria (Dorland,
2002). Diabetes umumnya terbagi menjadi 2, yaitu Diabetes Insipidus (DI) dan
Diabetes Mellitus (DM). Namun, umumnya istilah diabetes cenderung merujuk pada
Diabetes Mellitus. DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya
dapat dikendalikan sedemikian rupa agar penderitanya tetap dalam keadaan sehat
secara umum, tidak mengalami komplikasi tertentu. Karena itu, ilmu penyakit
dalamkhususnya endokrinologi, perlu dikaji lebih dalam agar masyarakat juga dapat
menjadi lebih peka dan tanggap terhadap isu DM.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1,
Seorang laki-laki, usia 50 tahun, berat badan 69 kg, tinggi badan 165 cm,
lingkar pinggang 105 cm, datang ke klinik Endokrinologi dan Metabolik RSUD Dr
Moewardi Surakarta dengan keluhan sering kencing (poliuria) yang dirasakan sejak
5 bulan yang lalu disertai kesemutan pada kedua kakinya. Selama ini terjadi
penurunan berat badan sekitar 15 kg. Istrinya juga menderita penyakit yang sama
tetapi sekarang sudah meninggal dan mempunyai 4 anak sekarang tinggal 3.
Anak pertama telah meninggal karena tidak sadar pada usia 15 tahun dan
belum diketahui penyakitnya. Pemeriksaan fisik ditemukan hipoestesi pada
pemeriksaan mikrofilament. Tekanan darah 150/100 mmHg, CT scan abdomen tidak
didapatkan kelainan pada kelenjar pankreas. Laboratorium : HbA1c 12%, gula
darah puasa (GDP) 400 mg/dl, Low Density Lipoprotein Cholesterol (LDL-C) 258
mg/dl, Trigliserid 300 mg/dl, ureum 65 mg/dl, creatinin 2.5 mg/dl, urin rutin : protein
positif (++), reduksi (+++), Esbach 1500 mg/hari.
Oleh dokter pasien diberikan edukasi (perubahan pola hidup), anti diabetik
oral, dan insulin. Penderita juga disarankan untuk dirujuk ke klinik gizi (diet gizi)
dan klinik neurologi. Selain itu penderita dianjurkan untuk latihan jasmani setiap
hari dan kontrol rutin. Penderita disarankan untuk menjadi club Persadia.

Dalam laporan ini, penulis akan mencoba menganalisis kaitan antara poliuria
dan simptom lainnya berkaitan dengan DI dan DM berdasarkan dasar teori
Endokrinologi.

B. Rumusan Masalah
1. Diagnosis apakah yang paling tepat ditentukan untuk kasus?
2. Apakah fungsi dari kelenjar pankreas?
3. Apa persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI?
4. Adakah hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing
dalam kasus?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita DM?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui diagnosis yang paling tepat ditentukan untuk kasus.
2. Mengetahui fungsi dari kelenjar pankreas.
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI.
4. Mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masingmasing dalam kasus.
5. Mengetahui penatalaksanaan penderita DM.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa

mengetahui

dasar

teori

mekanisme

kerja

organ

terkait

endokrinologi.
2. Mahasiswa mengetahui dasar teori diagnosis penyakit terkait endokrinologi.
3. Mahasiswa mengetahui persamaan dan perbedaan antara DM dengan DI.
4. Mahasasiwa mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak.

5. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan DM.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelenjar Pankreas
Umumnya, pankreas mempunyai fungsi utama yaitu sebagai kelenjar eksokrin
dan endokrin. Kelenjar eksokrin bertugas untuk mensekresi enzim pencernaan,
sementara kelenjar endokrin bertugas untuk mensekresi hormon.
Adapun jaringan utama pankreas terdiri atas:
1. Asini: yang menyekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum.
2. Pulaupulau Langerhans yang langsung mensekresikan insulin dan glukagon
ke dalam darah.
Pulau Langerhans mengandung 3 jenis sel utama yakni sel alfa, sel beta, dan sel
delta, yang dapat dibedakan satu sama lain melalui cirri morfologi dan pewarnaannya.
Sel Beta kira kira mencakup 60 persen dari semua sel pulau, terutama berada pada
bagian tengah dari setiap pulau dan menyekresikan insulin dan amilin, yaitu suatu
hormon yang sering disekresikan bersama dengan insulin, meskipun fungsinya masih
belum jelas. Sel Alfa, yang kira kira mencakup 25 persen dari seluruh sel,
menyekresikan glukagon. Sel Delta, yang kira kira mencakup 10 persen dari sleuruh
sel, menyekresikan somatostatin. Selain itu, paling sedikit terdapat satu jenis sel lain,
yang disebut Sel PP, terdapat dalam jumlah kecil di Pulau Langerhans dan
menyekresikan hormon yang fungsinya masih diragukan yakni polipeptida pankreas.
(Guyton: 2008)
B. Hormon yang Berkaitan dengan Gula Darah

Hormon penurun gula darah: insulin yang dibuat di sel pankreas

Hormon yang menaikan gula darah: glukagon dibuat di sel pankreas,


epinefrin yang dibuat di medula adrenal, glukokortikoid yang dibuat di korteks
adrenal, dan hormon pertumbuhan yang dibuat di hipofisis anterior.

Keseimbangan antara hormon yang menaikan dengan menurunkan kadar gula


darah sangat penting bagi tubuh. Kesetimbangan tersebut akan menimbulkan
homoeiostasis. (Sylvia, Lorraine, 2005)

C. Macam-macam Penggolongan Diabetes

(American Diabetic Association, 2004)


D. Diabetes Insipidus
Diabetes insipidus adalah satu dari beberapa jenis poliuria yang volume urinnya
melebihi 3 liter per hari, menyebabkan dehidrasi, rasa haus yang hebat dan lapar
hebat yang dapat disebabkan oleh faktor hormonal atau ginjal (Dorland, 2010).

Pada pasien dengan DI, gangguan ini dapat terjadi akibat destruksi nucleus
hipotalamik yaitu tempat vasopressin disintesis (DI sentral) atau sebagai akibat tidak
responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopressin (DI nefrogenik) walaupun kadar
hormon ini sangat tinggi.
Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan diabetes insipidus, termasuk
tumortumor besar hipofisis yang meluas ke luar sela tursika dan menghancurkan
nucleus hipotalamik, trauma kepala, cedera hipotalamus pada saat operasi, oklusi
pembuluh darah intraserebral, dan penyakit penyakit granulomatosa.
Pasien dengan DI mengalami polidipsia dan poliuria dengan volume urin antara 5
hingga 10 ml/hari. Kehilangan cairan yang banyak melalui ginjal ini dapat
dikompensasi

dengan

minum

banyak

cairan.

Bila

pasien

tidak

mampu

mempertahankan masukan air minum, pasien akan mengalami dehidrasi, berat


badannya menurun, kulit dan membrane mukosa menjadi kering. Pasien akan
mengeluh penuh pada perut dan anoreksia karena terlalu banyak meminum air untuk
mempertahankan hidrasi tubuh.
Osmolalitas serum meningkat, seringkali melebihi 300 mOsm/kg H 2O. Sejalan
dengan itu, osmolalitas urin rendah yaitu antara 100 200 mOsm/kg H 2O. Dehidrasi
yang dialami pasien menyebabkan fungsi ginjal terganggu dan kemungkinan akan
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin serum.
Pemberian vasopressin cair secara subkutan pada pasien dengan DI sentral,
berkaitan dengan antidiuresis. Volume urin menurun dan berat jenis urin meningkat
segera setelah pemberian vasopressin. Pasien pasien ini mengalami defisiensi
vasopressin namun memiliki respons ginjal yang normal terhadap hormon.
Sebaliknya, pasien dengan DI nefrogenik gagal untuk merespon AVP (Vasopresin
arginin).
DI Sentral diobati dengan AVP. Preparat yang paling sering dipakai adalah 1desamino-8D-arginin vasopressin (DDAVP), diberikan intranasal atau oral dan
memiliki jangka waktu kerja dari 12 jam sampai 24 jam. AVP tidak efektif pada
pasien dengan DI nefrogenik.
DI Nefrogenik ditangani dengan penggantian cairan, pengobatan penyakit ginjal
yang mendasarinya, dan penghentian terapi lithium bila memungkinkan. Pengobatan
dengan kombinasi hidroklorotiazid dan amilorid dapat menurunkan beratnya poliuria.
Pada anak anak dengan DI nefrogenik, keadaan tersebut akan membaik sesuai umur.
(Price: 2006)
E. Diabetes Mellitus

Dibetes Melitus adalah sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat,


protein, dan lemak akibat insufisiensi sekresi insulin atau resistensi insulin pada
jaringan yang dituju (Dorland,2010).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit-penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disgungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. (Sudoyo, 2009).
1. Ciri khas
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
(pria), dan pruritus vulva (wanita). (Sudoyo, 2009).
2. Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Ada perbedaan antara uji
diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai
risiko DM. (Sudoyo, 2009).
HbA1c merupakan Hemoglobin Glikat yaitu salah satu fraksi hemoglobin di
dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik.
Mekanisme pembentukan HbA1c ini terjadi di karenakan kadar glukosa yang
berlebih di dalam darah akan selalu berikatan dengan hemoglobin. Pengukuran
kadar HbA1c sendiri merupakan pengukuran kadar hemoglobin yang berikatan
dengan glukosa, sehingga pengukurannya mencerminkan kadar glukosa dalam
kurun waktu 2-3 bulan yang lalu karena sesuai dengan umur eritrosit yaitu 120
hari.
Pengukuran kadar HbA1c digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit
diabetes, hal ini dikarenakan HbA1c memberikan hasil pengukuran kadar glukosa
dalam darah dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan
pengukuran gula darah ataupun gula darah puasa. Hasil pengukuran kadar HbA1c
selanjutnya juga dapat digunakan untuk memantau kepatuhan pasien diabetes
dalam meminum obat dan kepatuhan dalam melakukan terapi. Pengukuran kadar
HbA1c ini memiliki ukuran normal bila hasilnya

4-6%, dan 6,5-8% yang

mengindikasikan resiko diabetes dan >8% yang mengindikasikan resiko


komplikasi pada Diabetes mellitus.
Selain pengukuran HbA1c, dapat dilakukan pula pemeriksaan gula darah.
Kriteria gula darah puasa > 126 mg/dl atau gula darah sewaktu >200 mg/dl.
(Depkes RI, 2005)

3. Penatalaksanaan
Pasien-pasien dengan gejala DM tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar
glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik
saja. Namun, obat antidiabetik oral tetap dianjurkan mengingat DM tipe 2
merupakan penyakit progresif (Price and Wilson, 2003). Tujuan jangka pendek
penatalaksanaan DM adalah untuk menghilangkan keluhan/gejala, tujuan jangka
panjangnya untuk mencegah komplikasi sehingga mampu menurunkan morbiditas
dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup penderita DM. (Katzung, 2002).
4. Komplikasi
Kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic
non-poliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih
lanjut lagi dapat menyebabkan kebutaan. (Waspadji, 2009). Diabetes juga
merupakan penyebab paling umum stadium akhir gagal ginjal yang memerlukan
dialisis atau transplantasi dan penyebab paling umum amputasi non-traumatik.
Serta merupakan factor peting dalam etiologi serangan jantung dan stoke.
(Nussey, 2001)
Komplikasi makrovaskular seperti jantung koroner, penyakit pembuluh darah
otak, dan penyakit pembuluh darah perifer juga sangat dominan pada penderita
DM tipe 2, walaupun juga terjadi pada DM tipe 1. Kombinasi komplikasi
makrovaskular tersebut dikenal dengan beberapa nama, antara lain syndrome X,

Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin


Resistance Syndrome.
5. Perbandingan antara Diabetes Melitus (DM) dan Dibetes Insipidus (DI)
No
Perbandingan
1. Gelaja utama
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.
10
.

Tipe kelainan
Hormon yang
mengalami
kelainan
Tipe

Target hormon
Frekunsi kejadian
Pemeriksaan
Kadar gula darah
Kadar Urin
penyebab

11. Komplikai

12
.

Terapi

Diabetes Melitus (DM)


Poliuria
Podipsia
Polifagia
Kelainan endokrin
Hormon insulin

Diabetes Insipidus (DI)


Poliuria
Polidipsia

Diabetes Melitus tipe I


Dibetes Melitus tipe 2

Diabetes Insipidus Sentral


(DIS)
Diabetes Insipidus
Nefrogenik (DIN)
Ginjal
Jarang ditemukan
Urin
80-110 mg/dl
Urin, glukosa dan protein
Kerusakan pada hipofise

Hati, otol,
Sering ditemukan
Urin dan darah
>200 mg/dl
Urin dan urea
Genetik
Infeksi virus pada
pankreas
Otak : stroke
Mata : katarak
Jantuk : penyakit jantung
koroner
Ginjal : gagal ginjal
Kaki :gangreng
Impotensi pada laki-laki
Diet
Olahraga
Penambahan insulin
Obat anti dibetik

Kelainan endokrin
Hormon Antidiuretik
Hormon (ADH)

Dehidrasi
Kematian

Penambahan hormon ADH,


Menyeimbangkan kadar
cairan dalam tubuh

F. Perbandingan antara DM Tipe 1 dan DM Tipe 2


Perbedaan
Mula muncul

Patogenesis
Keadaan klinis saat
diagnosis
Kadar insulin darah

DM Tipe 1
Umumnya pada usia muda
<40 tahun

DM Tipe 2
Umumnya pada usia tua
>40 tahun
Faktor genetik, terjadi
Tidak ada/kurang produksi resistensi insulin atau
insulin karena kerusakan
reseptor sel target tidak
sel pankreas
dapat merespon insulin
secara normal
Berat

Ringan

Rendah atau tidak ada

Cukup tinggi atau normal

Berat badan
Genetika
Sel Langerhans

Biasanya kurus
Konkordan pada kembar
40%
Insultis dini
Atrofi dan fibrosis
mencolok
Deplesi berat sel

Gemuk atau normal


Konkordan pada kembar
60%-80%
Tidak ada insultis
Atrofi fokal dan endapan sel
amiloid
Deplesi ringan sel

BAB III
PEMBAHASAN
Skenario di atas berisi tentang pasien dengan keluhan poliuria, kesemutan
pada kedua kakinya, dan penurunan berat badan. Hasil laboratorium menunjukkan
adanya kuantitas lebih dari normal dari kadar HbA1c, gula darah puasa, LDL
cholesterol, trigliserid, ureum, dan kreatinin, serta ditemukannya protein positif,
reduksi positif, dan jumlah Esbach lebih dari normal dalam urin pasien. Berdasarkan
beberapa data di atas, pasien dapat didiagnosis menderita penyakit Diabetes Mellitus
(DM) tipe 2 dengan Diabetes Insipidus (DI) sebagai diagnosis banding sebab pasien
mengalami gejala utama yaitu poliuria.
Poliuria (pengeluaran urin berlebihan), polidipsia (minum air berlebihan),
polifagia (makan berlebihan), dan penurunan berat badan merupakan gejala awal dari
DM. Pasien dikatakan menderita DM tipe 2 sebab DM tipe 2 memiliki ciri khas
berupa resistensi insulin, sedangkan jumlah produksi insulin dari pankreas normal
sebab tidak ada kelainan pada kelenjar pankreas pasien. DM tipe 2 dapat bersifat
genetik. Selain itu, peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat berkurangnya
glukosa dalam sel target insulin (sel otot, hepar, dan adiposa) menyebabkan terjadinya
proses glukoneogenesis untuk menghasilkan energi.
Pasien tidak dikatakan menderita DI sebab DI terjadi bila ada kelainan pada
hormon

ADH

dan

tidak

berhubungan

dengan

meningkatnya

HbA1c

glikohemoglobin dan gula darah.


Penegakkan yang diderita pasien tersebut juga dapat dijelaskan melalui
patofisiologi penyakit DM tipe 2 berdasarkan gejala sebagai berikut:
1. Poliuria
Poliuria terjadi akibat hiperglikemi. Glukosa yang masuk tubulus ginjal
melampaui ambang ginjal sehingga diekskresikan bersama urin. Hal tersebut
menyebabkan diuresis karena efek osmotik (hiperosmolaritas) glukosa sehingga
volume urin yang dikeluarkan berlebih.
2. Polineuropati (cenderung ke parestesia)
Hiperglikemi

menyebabkan

terganggunya

jalur

poliol

sehingga

terjadi

penimbunan sorbitol dan fruktosa dalam jaringan saraf sehingga terjadi gangguan
metabolik sel-sel Schwan dan hilangnya akson. Hal tersebut mengakibatkan

berkurangnya

kecepatan

konduksi

motorik

sehingga

terjadi

kesemutan/

polineuropati (Price dan Wilson, 2005).


Sedangkan patofisiologi penyakit DM tipe 2 berdasarkan pemeriksaan laboratorium
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Gula darah puasa 256 mg/dL (kriteria diabetes: 126 mg/dL)
Pada penderita DM tipe 2 terjadi hiperglikemi akibat reseptor sel target tidak
dapat merespon insulin secara normal sehingga glukosa dalam darah tidak dapat
diubah menjadi glikogen.
2. Kolesterol total dalam darah 250 mg/dL (ambang batas normal berdasarkan
Murray et al. (2003): 150-220 mg/dL)
Salah satu fungsi insulin adalah menghambat terjadinya lipolisis. Apabila insulin
tidak dapat berfungsi secara normal, maka
2. Creatinine darah 2,0 mg/dL (ambang batas normal berdasarkan Murray et al.
(2003): 0,7-1,5 mg/dL)
Kreatinin dalam darah yang melebihi ambang batas normal tersebut menunjukkan
kerusakan fungsi ginjal sebagai komplikasi DM yang disebut nefropati diabetik.
Dalam hal ini, kreatinin darah tidak dapat diekskresikan secara normal melalui
ginjal.
3. Protein urin (+ +)
Proteinuria yang terjadi juga merupakan komplikasi DM berupa nefropati
diabetik. Pada keadaan tersebut, terjadi kerusakan pada glomerulus akibat
hiperglikemik sehingga mengganggu reabsorbsi protein yang diekskresikan
melalui urin (Guyton and Hall, 2007).
4. Gula reduksi urin (+ + +)
Glukosuria tersebut menunjukkan terjadinya hiperglikemi dan nefropati diabetik.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan DM, yaitu
pendekatan tanpa obat dan dengan obat. Langkah pertama yang harus dilakukan
adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Diet yang
dianjurkan adalah diet DM 1700 kalori (diet tipe IV untuk perawatan DM kepada
penderita dengan berat badan normal) untuk mempertahankan berat badan ideal
(Liswarti, 2008). Sedangkan olahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga
kadar gula darah tetap normal, memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh, serta meningkatkan penggunaan glukosa. Beberapa
contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,

berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama
total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit.
Selain langkah diet, pasien tersebut juga harus dikombinasikan dengan
langkah farmakologis berupa terapi obat hipoglikemik oral golongan tiazolidindion
yang berfungsi untuk meningkatkan kepekaan sel tubuh terhadap insulin dan
menurunkan resistensi insulin. Selain obat tersebut ada juga, sulfonylurea,
meglitinid, biguanid, penghambat A-glikosidase. Pemberian obat tersebut harus
terus dipantau secara terkontrol mengingat pasien juga mengalami kalsifikasi
pankreas sehingga produksi insulin terganggu. Apabila kadar insulin tidak mencukupi,
maka terapi obat antidiabetik tersebut dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Berdasarkan perbandingan dengan nilai normal laboratorium dan gejala klinis,
dapat disimpulkan pasien menderita Diabetes Melitus tipe 2.
2. Hiperglikemia ( >200 mg/lt ) disertai dengan gejala khas (poliuris, polifagia,
polidipsia, polineuropati) dapat menjadi dasar diagnosis Diabetes Melitus.
3. Patogenesis genetika Diabetes Melitus belum ditemukan dengan jelas, tetapi
seluruh referensi yang penulis dapatkan merujuk pada adanya kaitan Diabetes
Melitus dengan genetika.
4. Patogenesis poliuris terjadi karena diuretik osmotik dari urin yang
mengandung glukosa berlebih. Polineuropati terjadi akibat akumulasi fruktosa
dan sorbitol sebagai salah satu efek dari hiperglikemia persisten. Sedangkan
berat badab menurun karena lemak dalam jaringan adiposa digunakan untuk
menggantikan glukosa sebagai sumber energi yang tidak dapat masuk ke
reseptor akibat resistensi insulin.
5. Penatalaksanaan pasien diabetes melitus tipe 2 harus memperhatikan kondisi
dan kesehatan serta komplikasi pasien, agar dapat ditemukan terapi yang tepat
untuk pasien. Diutamakan terapi non-farmakologis dahulu, apabila hasilnya
kurang baik maka dapat dapat dibantu dengan terapi farmakologis.

B. Saran
1. Poin terpenting dalam penatalaksanaan penderita diabetes melitus adalah
menjaga agar kadar glukosa darah pasien berada dalam kondisi atau mendekati
normal, dengan demikian dapat menjauhi risiko timbulnya komplikasi.
2. Obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan keadaan pasien
tersebut dan tidak mempunyai kontra indikasi
3. Latihan jasmani yang dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi pasien.
4. Sebaiknya pasien dan keluarganya diberi edukasi untuk tetap menjaga
kesehatan pasien, dengan pola hidup sehat dan patuh terhadap anjuran dokter.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen kesehatan RI.2003. Peran diit dalam penanggulangan Diabetes dalam


rangka seminar pekan Diabetes. Depkes RI.
Guyton, Arthur C dan John E Hall.2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.11 ed.Jakarta
: EGC Medical Publisher.
Sudoyo, Aru W.,Bambang S, Idrus A, Marcellius S K, Siti Sehati.2009.Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam.5 ed.Jakarta : Interna Publishing
Wilson, Lorraine M dan Sylvia A Price.2003.Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit. 6 ed. Jakarta : EGC Medical Publisher.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed I. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, pp : 32-35.

Ligaray

KPL.

2010.

Diabetes

Mellitus,

Type

2.

http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview (20 Februari 2011)


Manaf A. 2009. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid III Edisi V. Jakarta: Departemen Ilmu

Penyakut Dalam FKUI. Hlm: 1896-9.


Nussey S, Whitehead S. 2001. Endocrinology: An Integrated Approach. Oxford:
BIOS Scientific Publishers. BAB II
Purnamasari D. 2009. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Hlm: 1880-3.
Price SA, Wilson LM. 2003. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.
Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Hlm: 1259-65.
Waspadji S. 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis
dan Strategi Pengelolaan. Jilid III Edisi V. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakut
Dalam FKUI. Hlm: 1922-5.
WHO. 2006. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate
Hyperglicemia.http://www.idf.org/webdata/docs/WHO_IDF_definition_diagno
sis_of_diabetes.pdf (19 Februari 2011)

Anda mungkin juga menyukai