Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Juvenile angiofibroma nasofaring adalah sebuah tumor jinak nasofaring
yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada
laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14 - 18 tahun dan jarang pada usia
diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan
0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher 1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 :
5.000 1 : 60.000 pada pasien THT.
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan
leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara
histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku
destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan
mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang
berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.3,4
Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun
arteriografi. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya massa di nasofaring,
destruksi tulang, dengan gambaran bowing di dinding posterior sinus maksilaris
(Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras tampak penyangatan kuat dan
homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding vessel dari tumor,
dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5
Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan.
Tetapi, pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat
tingginya vaskularisasi tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai
prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga
memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu
tumor.1,3
Latar belakang diangkatnya kasus ini karena juvenile angiofibroma
nasofaring merupakan kasus yang jarang, dengan tujuan agar ahli radiologi dapat

mempelajari aspek- aspek penegakan diagnosa juvenile angiofibroma nasofaring,


terutama dari modalitas arteriografi dan penatalaksanaannya dengan embolisasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara
histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai
dengan komponen vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah
dengan kaliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan
fibroblas. Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan
serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada,
sehingga mudah terjadi perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang
dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun
tumor kurang berifat vaskuler dan kurang agresif daripada juvenile angiofibroma
nasofaring.1,2,6
2.2. Patofisiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan
mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang
dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai
basis kranii.7,8
Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan
submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan
menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat
diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke dalam
nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke
lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infratemporalis, melalui fissura
pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior
dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikator dan
jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis
interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan
apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus
terjadi jika fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi

melalui dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates ke
dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior
berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi
tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran
fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,6,9
2.3. Anatomi
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang
terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior
maksilla. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini
penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi diantara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke
superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior.
Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi superior, menghubungkannya
dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan
secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa pterigopalatina
berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat
tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla.
Fossa pterigopalatina berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima,
yang berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fissura
orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari
arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan memberikan dari cabang
ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan
faring.10
Arteri karotis eksternal biasanya muncul pada setinggi vertebra servikalis ke
tiga (VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri
karotis eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri
faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris
interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek
anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri
faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotid

eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari arteri karotis
komunis dekat bifurkasio, arteri oksipitalis atau faringealis asenden, dapat timbul
dari karotis interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul
dekat sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan pentingnya arteri
meningea media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan daerah
infraorbita.9
2.4. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun.2,5,6
2.5. Etiologi
Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga
berhubungan dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara
khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah
perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti pengaruh
hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti peningkatan reseptor androgen
dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen.1,4,7
2.6. Gejala Klinis
Gejala dan tanda juvenile angiofibroma nasofaring terkait dengan perluasan
tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala yang khas adalah
obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90 %) dengan rhinorrhea dan
epistaksis unilateral berulang (45-60 %).
Gejala yang lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media
unilateral, rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala
dan nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis
media unilateral disebabkan gangguan pada

tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan


rinosinusitis kronis. Proptosis dan gangguan penglihatan mengindikasikan
keterlibatan orbita. Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman
dan otalgia juga dapat terjadi.1,5,6
2.7. Diagnosis
Diagnosis juvenile angiofibroma nasofaring terutama didasarkan pada
riwayat penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan pencitraan. Secara endoskopi
dapat terlihat massa lobulated besar di belakang khonka nasalis media, mengisi
khoana dengan permukaan halus dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara
epidemiologi dan temuan endoskopi adalah 7 khas, maka biopsi mutlak
merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan masif yang cukup besar.1
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam
menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sphenoid
karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan, sebuah gambaran yang
jelas menunjukkan asal dari angiofibroma.
Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring dapat dilakukan
dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi. Gambaran foto polos pada
Waters atau submental view dapat menunjukkan erosi di sinus sphenoidalis dan
penonjolan dinding posterior sinus maksilaris atau Holman-Miller sign. 6,7
CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan massa
inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa nasofaring, dengan
penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis kranii atau perluasan
intrakranial.1,4 CT scan berperan dalam follow-up setelah pembedahan untuk
mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah radioterapi atau menilai pengecilan
tumor.7 CT scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang paling penting
karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran foramen dan
fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan
penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan
tipis. CT scan aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi.
Temuan termasuk massa nasofaring, penonjolan ke anterior dari dinding posterior
sinus maksilaris (Holman-Miller sign) dengan massa di fossa pterigopalatina,

pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal, erosi tulang


sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum, erosi dinding medial sinus
maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.5,6
Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan melakukan
embolisasi feeding vessel tumor. Keduanya dapat dilakukan terpisah atau bersama.
Pola retikuler yang khas biasanya terlihat pada awal fase arteri, dengan blush
homogen padat yang menetap sampai fase vena. Adanya awal draining vein
jarang terjadi.5,7
Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting untuk
menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun magnetic resonance
angiography (MRA) dapat membantu dalam penilaian vaskular, gambaran
lengkap dari semua pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel
juvenile angiofibroma nasofaring berasal sistem karotis eksternal terutama dari
cabang arteri maksilaris interna distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina
desenden, dan alveolar posterior superior.
Terkadang arteri faringealis asenden ikut mensuplai tumor.2,4,9 Arteriografi
sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luasnya lesi, jumlah
vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam menentukan batas tumor, penilaian
perluasan intrakranial sangat penting karena operasi dapat menyebabkan bahaya
lain. Gambaran angiografi merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif
biasanya memungkinkan dikerjakan sebelum biopsi.3
2.8. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi,
elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak
diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya
vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml.3,7
Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk
mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi
total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah
mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat

masuk ke pembuluh darah di dalam tumor, yang paling baik dicapai dengan
partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol.
Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan
efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi
langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke
dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis
kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan adalah
polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60-70% perdarahan
intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.1,3,5,9
Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal
arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan
maksilaris interna.
Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah refluks ke arteri
karotis interna. Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri juga dapat
mengakibatkan refluks ke trunkus arteri proksimal dan bisa terjadi embolisasi
intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24
jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid.
Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini
dapat diatasi dengan injeksi atropin.3,5 Penggunaan terapi radiasi masih
diperdebatkan karena adanya risiko transformasi sarkomatoid. Beberapa penulis
merekomendasikan terapi radiasi sebagai terapi ajuvan pada unresectable tumor,
terdapat residu tumor atau terdapat perluasan intrakranial yang luas.1,5,7
Teknik Kateterisasi Arteriografi
Sebelum tindakan, pasien sebaiknya dipuasakan untuk mencegah risiko
aspirasi bila terjadi reaksi terhadap bahan kontras, tetapi masih dibolehkan untuk
minum. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pulsasi arteri femoralis,
arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior dan status neurologis, pemeriksaan
kreatinin serum dan parameter koagulasi, pemasangan infus dan kateter foley.
Perhatian harus diberikan pada pasien dengan terapi antikoagulan, gangguan
pembekuan darah, hipertensi, dengan riwayat alergi sebelumnya, bayi, penyakit
jantung, gagal hepar atau ginjal dan gangguan metabolik lainnya.11,12

Arterial puncture merupakan bagian terpenting dari prosedur angiografi.


Pembuluh darah yang paling sering dilakukan puncture adalah arteri femoralis.
Tempat tusukan harus dibius dengan cukup. Setelah kulit dibersihkan, dilakukan
anestesi lokal dengan injeksi infiltrasi 5-10 ml lignokain 0,5-1 % di sekitar arteri,
baik di anterior maupun posterior arteri.
Kemudian dibuat insisi dengan skalpel. Cara yang dapat diandalkan adalah
dengan meraba arteri dengan jari tengah dan telunjuk tangan kiri dan memasukkan
jarum (yang dipegang dengan tangan kanan) di antara kedua jari tersebut. Jarum
dipegang miring ke depan dan melewati dinding anterior saja atau keduanya
melalui arteri tergantung pada pilihan angiografer. Pada teknik single-wall
puncture, aliran darah akan terjadi segera setelah jarum memasuki lumen
pembuluh darah. Ketika menggunakan teknik double-wall puncture, setelah
melewati pembuluh darah, stilet sentral dicabut, jarum ditarik perlahan, kemudian
dibengkokkan sedikit lebih ke arah horisontal dan dibantu oleh gerakan berputar
lembut untuk menghindari hentakan tiba-tiba. Ketika ujung jarum berada di dalam
lumen arteri, arus balik darah akan memancar dari hub. Sementara jarum dipegang
mantap dengan satu tangan, ujung lembut guidewire dimasukkan melalui jarum ke
dalam arteri. Jika wire sudah masuk cukup dalam, jarum dicabut dan tekanan
manual yang kuat dipertahankan pada tempat tusukan sampai jarum telah
digantikan kateter atau dilator. Guidewire dilepas ketika ujung kateter berada
dalam posisi yang baik dan kateter kemudian dibilas dengan larutan garam
terheparinisasi agar bersih bebas dari jendalan darah. Pada akhir prosedur insersi
yang dilakukan dengan benar seharusnya tidak ada perdarahan di sekitar kateter,
dimana kateter akan bergerak bebas dan tanpa rasa sakit ketika dimanipulasi.11
Ada beberapa argumen yang mendukung baik single maupun double-wall
arterial puncture. Beberapa ahli radiologi lebih memilih untuk menusuk hanya
dinding anterior saja, untuk meminimalkan trauma ke pembuluh darah, meskipun
tusukan ke kedua dinding tidak meningkatkan risiko komplikasi, karena
komplikasi biasanya disebabkan oleh manipulasi guidewire dan kateter.
Pendukung teknik double-wall puncture mempertahankan bahwa metode ini lebih
aman, terutama ketika pertama kali belajar angiografi, dengan risiko yang lebih

rendah terjadinya diseksi intima ketika memasukkan guidewire melalui jarum bila
dibandingkan dengan teknik single-wall.11
Kateter dibilas dengan larutan garam terheparinisasi pada seluruh prosedur
untuk mencegah pembekuan. Pembilasan lebih baik dilakukan sebentar-sebentar,
daripada pemberian secara kontinyu. Teknik ini tidak hanya memberikan ujung
proksimal kateter bebas dari manipulasi tetapi juga lebih efektif, karena infus
lambat hanya dapat membersihkan lubang proksimal kateter, gumpalan di ujung
dan sisi lubang lebih distal, dan kemudian pecah ke dalam sistem vaskular ketika
suntikan kontras dengan tekanan dilakukan.
Setelah selesai tindakan, dilakukan penekanan manual 1-2 cm di sebelah
atas dari tempat puncture selama 15 menit, kemudian dipasang pressure dressing.
Pasien diharuskan tetap berbaring selama 5 jam sebelum diperbolehkan
mobilisasi.11,12
2.9. Stadium dan Prognosis
Sistem stadium yang banyak digunakan adalah dari Andrews et al. dan
Radkowski et al. berdasarkan perluasan tumor, sebagaimana dapat dilihat pada
lampiran.

Juvenile

angiofibroma

nasofaring

merupakan

tumor

dengan

kekambuhan yang tinggi, rata-rata sebesar 32%, sampai setinggi 40-50% pada
kasus dengan invasi basis kranii. Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah
operasi. Angka kekambuhan tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii
sperti sinus sphenoid, basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.
Sehingga, pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan untuk
setidaknya 3 tahun setelah operasi.1,4,7,8
2.10. Diagnosis banding
1. Polip angiomatosa
Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai
komponen vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupaka tumor jinak dan mirip
dengan angiofibroma nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin.
Kemungkinan adanya polip angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum
mempertimbangkan diagnose angofibroma, pada pasien dewasa dan perempuan.
Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan sering mimisan.

Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi tulang, pendesakan


struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan eksofthalmus.13,14
Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di
nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke
intra kranial. Pada angiografi polip angiomatosa mempunyai tampilan
hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT scan polip tidak menyangat atau hanya
menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan jarang terjadi
kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.13,14,15
2. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan
epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai
nasofaring.
Karsinoma nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal
sebagai neoplasma agresif lokal dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi
leher. Tumor primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, rongga hidung,
orofaring dan basis kranii. Gejala klinis yang paling sering dirasakan adalah
adanya benjolan di leher.
Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga
berdenging dan tuli. Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan
karakteristik variasi distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara.
Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller,
hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang dan penebalan
preoccipital space.16,17,18

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 15 tahun,
dengan gejala hidung sering tersumbat disertai mimisan. Selain keluhan tersebut,
pasien juga merasakan gangguan telinga. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior
tidak tampak massa di rongga hidung. Pada rhinoskopi posterior tampak massa di
nasofaring. Khoanae dan muara tuba eustachius tertutup oleh massa. Adenoid sulit
dinilai. Keadaan umum pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88
x/menit, suhu tubuh 37 C dan pernafasan 22 x/menit.
Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun
angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda
yang mirip dengan angiofibroma. Perbedaan antara keduanya terletak pada
predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak serta perluasan lesi. Polip nasi
angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal ini berbeda dengan
angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin laki-laki dan
umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan
angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di
nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke
intra kranial.13,14
Dari sifat destruktifnya, kemungkinan diagnosa yang lain adalah keganasan,
yang paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada
semua usia, walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam.
Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller,
hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan
preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal. dapat disingkirkan.
Adanya gambaran oedema serebri kemungkinan merupakan perluasan lesi ke
basis kranii.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai
vaskularisasi yang banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi
tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.

Angiofibroma nasofaring mempunyai predileksi yang khas pada remaja laki-laki


sehingga disebut juvenile angiofibroma nasofaring.3,4 Pada pemeriksaan
arteriografi tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan
nasofaring sinistra. Gambaran blushing merupakan ciri khas angiofibroma.3
Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luas lesi,
jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Identifikasi suplai darah preoperatif
merupakan hal yang penting untuk menentukan strategi pembedahan yang
tepat.3,4
Kemudian, pada pasien ini dilakukan tindakan operasi ekstirpasi. Setelah
operasi pasien dipasang tampon hidung. Pembedahan merupakan penatalaksanaan
yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya
vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml seperti pada pasien ini
perdarahan

yang

terjadi

sekitar

1700

ml.3,7

Embolisasi

preoperatif

direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah


selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan
meminimalkan residu tumor.1,3 Pasien dalam laporan kasus ini tidak mengalami
komplikasi dari tindakan operasi yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11
2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J
Gen Med. 2010;7(4): 419-25
3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of
Juvenile Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63
4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma:
Radiologic evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1):
58-61
5. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. AJR. 1987;148: 209-18
6. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com [updated: Feb 7, 2013]
7. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan
Journal of Surgery. 2009; 25 (3): 185-9
8. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early
Postoperative CT Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection
of Residual Disease. AJNR. 2005; 26: 82-8
9. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In:
Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008
: 1544-83
10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed.
Elsevier; 2004
11. Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and
Complication, In: Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill
Livingstone. 2008 : 227-31
12. Harrigan MR, Deveikis JP. Handbook of Cerebrovascular Disease and
Neurointerventional Technique. Springer Science. 2013

13. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition


Difficult to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal.
2011; 3(2): 93-7
14. Kumar B, Pant B, Jeppu S. Infarcted Angiectatic Nasal Polyp with Bone
Erosion and Pterygopalatine Fossa Involvement-Simulating Malignancy. Case
Report and Literature Review. The Internet Journal of Pathology. 2012;13(2): 1-10
15. Som PM, Curtin HD. Head and Neck Imaging. Elsevier. 2011
16. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal
Carcinoma, In: Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for
Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari
http://www.intechopen.com
17. Hoe J. CT of Nasopharyngeal Carcinoma: Significance of Widening of the
Preoccipital Soft Tissue on Axial Scans. AJR. 1989; 153:867-72
18. Abdel Razek AAK, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma. AJR.
2012;198:11-8
19. Hansen JT. Netters Clinical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010
20. Yousem DM, Grossman RI. Neuroradiology: The Requisite, 3rd ed. Mosbylsevier; 2010

Anda mungkin juga menyukai