PENDAHULUAN
Juvenile angiofibroma nasofaring adalah sebuah tumor jinak nasofaring
yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada
laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14 - 18 tahun dan jarang pada usia
diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan
0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher 1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 :
5.000 1 : 60.000 pada pasien THT.
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan
leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara
histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku
destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan
mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang
berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.3,4
Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun
arteriografi. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya massa di nasofaring,
destruksi tulang, dengan gambaran bowing di dinding posterior sinus maksilaris
(Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras tampak penyangatan kuat dan
homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding vessel dari tumor,
dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5
Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan.
Tetapi, pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat
tingginya vaskularisasi tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai
prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga
memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu
tumor.1,3
Latar belakang diangkatnya kasus ini karena juvenile angiofibroma
nasofaring merupakan kasus yang jarang, dengan tujuan agar ahli radiologi dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara
histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai
dengan komponen vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah
dengan kaliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan
fibroblas. Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan
serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada,
sehingga mudah terjadi perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang
dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun
tumor kurang berifat vaskuler dan kurang agresif daripada juvenile angiofibroma
nasofaring.1,2,6
2.2. Patofisiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan
mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang
dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai
basis kranii.7,8
Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan
submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan
menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat
diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke dalam
nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke
lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infratemporalis, melalui fissura
pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior
dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikator dan
jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis
interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan
apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus
terjadi jika fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi
melalui dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates ke
dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior
berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi
tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran
fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,6,9
2.3. Anatomi
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang
terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior
maksilla. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini
penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi diantara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke
superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior.
Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi superior, menghubungkannya
dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan
secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa pterigopalatina
berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat
tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla.
Fossa pterigopalatina berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima,
yang berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fissura
orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari
arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan memberikan dari cabang
ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan
faring.10
Arteri karotis eksternal biasanya muncul pada setinggi vertebra servikalis ke
tiga (VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri
karotis eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri
faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris
interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek
anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri
faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotid
eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari arteri karotis
komunis dekat bifurkasio, arteri oksipitalis atau faringealis asenden, dapat timbul
dari karotis interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul
dekat sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri
maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan pentingnya arteri
meningea media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan daerah
infraorbita.9
2.4. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun.2,5,6
2.5. Etiologi
Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga
berhubungan dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara
khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah
perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti pengaruh
hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti peningkatan reseptor androgen
dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen.1,4,7
2.6. Gejala Klinis
Gejala dan tanda juvenile angiofibroma nasofaring terkait dengan perluasan
tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala yang khas adalah
obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90 %) dengan rhinorrhea dan
epistaksis unilateral berulang (45-60 %).
Gejala yang lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media
unilateral, rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala
dan nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis
media unilateral disebabkan gangguan pada
masuk ke pembuluh darah di dalam tumor, yang paling baik dicapai dengan
partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol.
Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan
efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi
langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke
dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis
kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan adalah
polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60-70% perdarahan
intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.1,3,5,9
Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal
arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan
maksilaris interna.
Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah refluks ke arteri
karotis interna. Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri juga dapat
mengakibatkan refluks ke trunkus arteri proksimal dan bisa terjadi embolisasi
intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24
jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid.
Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini
dapat diatasi dengan injeksi atropin.3,5 Penggunaan terapi radiasi masih
diperdebatkan karena adanya risiko transformasi sarkomatoid. Beberapa penulis
merekomendasikan terapi radiasi sebagai terapi ajuvan pada unresectable tumor,
terdapat residu tumor atau terdapat perluasan intrakranial yang luas.1,5,7
Teknik Kateterisasi Arteriografi
Sebelum tindakan, pasien sebaiknya dipuasakan untuk mencegah risiko
aspirasi bila terjadi reaksi terhadap bahan kontras, tetapi masih dibolehkan untuk
minum. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pulsasi arteri femoralis,
arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior dan status neurologis, pemeriksaan
kreatinin serum dan parameter koagulasi, pemasangan infus dan kateter foley.
Perhatian harus diberikan pada pasien dengan terapi antikoagulan, gangguan
pembekuan darah, hipertensi, dengan riwayat alergi sebelumnya, bayi, penyakit
jantung, gagal hepar atau ginjal dan gangguan metabolik lainnya.11,12
rendah terjadinya diseksi intima ketika memasukkan guidewire melalui jarum bila
dibandingkan dengan teknik single-wall.11
Kateter dibilas dengan larutan garam terheparinisasi pada seluruh prosedur
untuk mencegah pembekuan. Pembilasan lebih baik dilakukan sebentar-sebentar,
daripada pemberian secara kontinyu. Teknik ini tidak hanya memberikan ujung
proksimal kateter bebas dari manipulasi tetapi juga lebih efektif, karena infus
lambat hanya dapat membersihkan lubang proksimal kateter, gumpalan di ujung
dan sisi lubang lebih distal, dan kemudian pecah ke dalam sistem vaskular ketika
suntikan kontras dengan tekanan dilakukan.
Setelah selesai tindakan, dilakukan penekanan manual 1-2 cm di sebelah
atas dari tempat puncture selama 15 menit, kemudian dipasang pressure dressing.
Pasien diharuskan tetap berbaring selama 5 jam sebelum diperbolehkan
mobilisasi.11,12
2.9. Stadium dan Prognosis
Sistem stadium yang banyak digunakan adalah dari Andrews et al. dan
Radkowski et al. berdasarkan perluasan tumor, sebagaimana dapat dilihat pada
lampiran.
Juvenile
angiofibroma
nasofaring
merupakan
tumor
dengan
kekambuhan yang tinggi, rata-rata sebesar 32%, sampai setinggi 40-50% pada
kasus dengan invasi basis kranii. Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah
operasi. Angka kekambuhan tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii
sperti sinus sphenoid, basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.
Sehingga, pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan untuk
setidaknya 3 tahun setelah operasi.1,4,7,8
2.10. Diagnosis banding
1. Polip angiomatosa
Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai
komponen vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupaka tumor jinak dan mirip
dengan angiofibroma nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin.
Kemungkinan adanya polip angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum
mempertimbangkan diagnose angofibroma, pada pasien dewasa dan perempuan.
Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan sering mimisan.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 15 tahun,
dengan gejala hidung sering tersumbat disertai mimisan. Selain keluhan tersebut,
pasien juga merasakan gangguan telinga. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior
tidak tampak massa di rongga hidung. Pada rhinoskopi posterior tampak massa di
nasofaring. Khoanae dan muara tuba eustachius tertutup oleh massa. Adenoid sulit
dinilai. Keadaan umum pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88
x/menit, suhu tubuh 37 C dan pernafasan 22 x/menit.
Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun
angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda
yang mirip dengan angiofibroma. Perbedaan antara keduanya terletak pada
predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak serta perluasan lesi. Polip nasi
angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal ini berbeda dengan
angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin laki-laki dan
umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan
angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di
nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke
intra kranial.13,14
Dari sifat destruktifnya, kemungkinan diagnosa yang lain adalah keganasan,
yang paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada
semua usia, walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam.
Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller,
hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan
preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal. dapat disingkirkan.
Adanya gambaran oedema serebri kemungkinan merupakan perluasan lesi ke
basis kranii.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai
vaskularisasi yang banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi
tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
yang
terjadi
sekitar
1700
ml.3,7
Embolisasi
preoperatif
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11
2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J
Gen Med. 2010;7(4): 419-25
3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of
Juvenile Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63
4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma:
Radiologic evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1):
58-61
5. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. AJR. 1987;148: 209-18
6. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com [updated: Feb 7, 2013]
7. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan
Journal of Surgery. 2009; 25 (3): 185-9
8. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early
Postoperative CT Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection
of Residual Disease. AJNR. 2005; 26: 82-8
9. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In:
Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008
: 1544-83
10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed.
Elsevier; 2004
11. Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and
Complication, In: Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill
Livingstone. 2008 : 227-31
12. Harrigan MR, Deveikis JP. Handbook of Cerebrovascular Disease and
Neurointerventional Technique. Springer Science. 2013