Anda di halaman 1dari 6

KETIMPANGAN PENDAPATAN DI INDONESIA

LITERATURE REVIEW
KONDISI KETIMPANGAN DI INDONESIA
Kondisi ketimpangan di Indonesia baru-baru ini menjadi perhatian banyak pihak . Hal
ini dikarenakan koefisien Gini telah meningkat ke titik tertinggi seperti yang dilaporkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Yusuf dkk (2014:248) menyebutkan, pada berbagai indikator
yang berbeda, telah menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia meningkat pesat dalam
10 tahun terakhir, setelah sempat stabil dan bahkan menurun sedikit sebelum krisis 1997.
Ketimpangan merupakan perbedaan yang signifikan antara suatu hal dengan hal lain,
dalam hal ini berarti perbedaan pendapatan antara individu dengan individu lainnya. Atau
dalam skala yang lebih luas dapat diartikan sebagai perbedaan pendapatan antara suatu
daerah dengan daerah lainnya.
Yusuf dkk (2014:243) mengatakan Kami berpendapat bahwa Indonesia mengalami
divergensi dan konvergensi pada saat yang sama, besarnya kenaikan ketimpangan adalah
signifikan (divergence), tetapi kenaikan terbesar yang terjadi di provinsi atau kabupaten itu
dimulai dengan tingkat awal ketidaksetaraan yang rendah (konvergensi).
Tingkat kemiskinan di Indonesia telah jatuh dengan cepat sejak tahun 2000 namun
masih lebih tinggi dari sebagian besar negara tetangga Indonesia. Pada tahun 2008, proporsi
penduduk yang hidup dengan kurang dari $ 2 per hari (harga internasional 2005) di Indonesia
adalah 54,4%, dibandingkan dengan 53,3% di Kamboja dan 43,4% di Vietnam (Bank Dunia
2012). Untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan distribusi pendapatan, perlu untuk
memulai dengan ukuran yang tepat dari ketimpangan pendapatan (Nugraha dan Lewis.
2014:111)

KETIMPANGAN PADA MASA DESENTRALISASI


Hartono dan Irawan (2008) dalam Miranti dkk (2014:462) menyimpulkan
bahwa desentralisasi di Indonesia belum menurunkan ketimpangan. Hal ini mungkin terjadi
karena kurangnya koordinasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan
pemerintah daerah hanya fokus pada menghasilkan pendapatan lokal daripada berkontribusi
untuk program nasional pengurangan kemiskinan

Miranti dkk (2013) dan Yusuf dkk (2014) dalam Miranti dkk (2013:465) menyebutkan
bahwa pada masa desentralisasi, terjadi penurunan tingkat kemiskinan, namun ketimpangan
konsumsi meningkat. Selanjutnya terlihat juga bahwa ketimpangan lebih tinggi di daerah
perkotaan, dibandingkan daerah pedesaan.
Selanjutnya untuk melakukan penilaian yang efektif dari dampak yang mendasari
pertumbuhan konsumsi dan ketimpangan kemiskinan dalam provinsi, penting untuk
mengendalikan beberapa faktor seperti kondisi lokal (Miranti dkk. 2013:467)
Miranti dkk (2013:469) menyatakan Kami menggunakan tingkat penduduk miskin,
atau proporsi orang miskin dalam populasi, dan koefisien Gini untuk mewakili kemiskinan
provinsi dan ketimpangan (yaitu, sebagai ukuran statistik dari penyebaran distribusi
pendapatan). Keduanya merupakan alat yang paling sederhana untuk memahami
dibandingkan dengan alat pengukur kemiskinan dan ketidaksetaraan lainnya.
Fakta bahwa peningkatan ketimpangn telah disanggah oleh

kelompok pro-

pertumbuhan kemiskinan memiliki beberapa implikasi kebijakan yang relevan. Indonesia


mungkin perlu memiliki kebijakan yang lebih spesifik untuk memerangi ketidaksetaraan dan
kemiskinan bukan hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pengentasan
kemiskinan. Mengurangi kemiskinan di Indonesia akan lebih efektif di bawah kebijakan yang
mengacu pada pola geografis lokal pertumbuhan dan ketimpangan antarprovinsi Miranti dkk
(2013:479)
Pada studi yang dilakukan oleh Miranti (2010) dalam Miranti dkk (2013:469)
menyatakan bahwa pertumbuhan konsumsi dan ketimpangan bertindak bersama-sama untuk
mempengaruhi tingkat kemiskinan provinsi. Dengan hubungan negatif antara kemiskinan dan
konsumsi rata-rata dan hubungan positif antara kemiskinan dan ketidaksetaraan (yang diukur
menggunakan koefisien Gini).
Melihat tren dalam ketimpangan pengeluaran antara provinsi dan antara daerah
perkotaan dan pedesaan, data menunjukkan bahwa kontribusi ketimpangan antara provinsi
dan

antara

daerah

perkotaan

dan

pedesaan

telah

menurun

secara konsisten sejak tahun 1993. Sebaliknya, kontribusi ketimpangan rumah tangga
individu dalam provinsi dan di daerah perkotaan dan pedesaan telah meningkat secara
konsisten Yusuf dkk (2014:249).

Miranti dkk (2013:469) menggunakan rata-rata konsumsi per kapita (dalam hal
pengeluaran)

dari Susenas sebagai proxy dari pendapatan rumah tangga daripada

menggunakan data PDB per kapita dari rekening nasional atau regional. Hal ini sejalan
dengan literatur sebelumnya di bidang ini

(Deaton 2001, Ravallion dan Chen 1997,

Ravallion dan Chen 2003, Adams 2004, dan Miranti 2010) dalam Miranti et al (2013) dan
dibenarkan karena empat alasan: (a) hanya ada korelasi yang lemah antara tingkat kemiskinan
provinsi dan pertumbuhan ekonomi baik di nasional maupun daerah; (b) belum ditentukan
apakah peningkatan rata-rata standar hidup berarti terjadi pengurangan kemiskinan (efek
menetes ke bawah); (c) rata-rata konsumsi per kapita disarankan dapat mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang lebih akurat daripada pendapatan dari nasional Ravallion (1995) dalam
Miranti et al (2013) (d) regresi ini membutuhkan time series yang konsisten yang dapat
melengkapi yang digunakan oleh Miranti (2007, 2010 ).
Tingkat kemiskinan meningkat selama krisis, mencapai 24% pada tahun 1998 yang
merupakan level tertinggi sejak tahun 1984. Kemiskinan masih mencapai 18% pada tahun
2001 ketika desentralisasi dimulai. Pertumbuhan ekonomi lebih lambat selama desentralisasi
dibanding sebelum krisis, sedangkan data survei rumah tangga menunjukkan bahwa
pertumbuhan konsumsi lebih lambat selama 2002-20110 daripada masa pemulihan awal
(Miranti dkk. 2013:464)
PENGUKURAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
Nugraha dan Lewis (2013) menerangkan bahwa terdapat dua cara yang paling umum
untuk mengukur ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini dan persentil relatif.
Cameron 2002; Lanjouw dkk, 2002;. Chung 2004 dalam (Nugraha dan Lewis.
2013:104) telah menggunakan konsumsi rumah tangga untuk mengukur ketimpangan
pendapatan, karena data konsumsi umumnya lebih dapat diandalkan dibandingkan data
pendapatan dan indikator yang lebih baik dari pendapatan permanen sebuah rumah tangga
(Deaton 1997 dalam Nugraha dan Lewis. 2013:104)
Nugraha dan Lewis (2013:107) menggunakan empat cara dalam menghitung dampak
dari

semua

kategori

pendapatan

atas

distribusi

pendapatan:

Istilah Nominal dan Saham: Secara nominal, digunakan nilai US dolar untuk
memungkinkan perbandingan internasional dan menggunakan PPP untuk

menjelaskan perbedaan harga. Rata-rata nilai tukar PPP tahun 2008 adalah Rp
5.410 = $ 1. Perbedaan harga antar daerah adalah hal penting, terutama di
Indonesia, namun mereka sulit untuk mengukur, karena hanya data tingkat
inflasi (dan tidak indeks harga) yang tersedia untuk masing-masing daerah.
Dalam istilah saham, kami membagi pendapatan masing-masing kelompok

dengan pendapatan agregat penduduk.


Kelompok Pendapatan: Dengan membuat peringkat sampel rumah tangga
dari yang terendah sampai yang tertinggi, atas dasar pendapatan yang
disesuaikan milik mereka, dan kemudian dibagi ke dalam desil. Setiap desil
terkandung 5.754.867 rumah tangga tertimbang. Membandingkan pangsa desil

pendapatan ini dapat memberikan dispersi pendapatan rumah tangga.


Koefisien Gini dan rasio persentil: Koefisien Gini adalah indikator yang
terkenal untuk mengukur ketimpangan pendapatan. Rumusnya adalah sebagai
berikut:

di mana Yi dan Yj adalah pendapatan individu dengan rata-rata , dan di


mana n adalah jumlah total pengamatan (Rosen dan Gayer 2008). Sebuah
angka yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari

ketimpangan pendapatan.
Laba desil dibandingkan dengan pendapatan rata-rata: Membandingkan
pendapatan terendah dan tertinggi desil relatif terhadap pendapatan rata-rata
memberikan dispersi produktif (Lewis et al 2010 dalam Nugraha and Lewis
2013: 107). Rumusnya adalah:
D= P10/P50 dan D=P90/P50
di mana D adalah dispersi dari penghasilan, P10 adalah persentil terendah laba,
P50 adalah pendapatan rata-rata dan P90 adalah persentil tertinggi pendapatan.

Hasil penelitian (Nugraha dan Lewis. 2013: 111) menunjukkan bahwa dalam
pengukuran ketimpangan pendapatan di Indonesia tanpa menilai pendapatan non-pasar
memberikan hasil yang tidak relevan, dan bahwa pendapatan non-pasar memberikan
kontribusi signifikan terhadap tingkat yang lebih rendah dari ketimpangan pendapatan.

Menurut (Yusuf dkk. 2014:248) dimensi akhir dari disparitas pendapatan di Indonesia
yang kita anggap adalah ketimpangan antardaerah. Dimana indeks Theil adalah salah satu
langkah yang paling umum. Penghitungan di sini dilakukan untuk mengukur kedua
ketimpangan baik antarprovinsi maupun ketimpangan antar kabupaten.

Perkiraan

menunjukkan untuk setiap tahun, ketimpangan antar wilayah selalu lebih tinggi ketimpangan
antar kabupaten daripada antar provinsi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENGELUARAN


Yusuf dkk (2014:250) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi ketimpangan pengeluaran. Salah satu cara untuk mengelompokkan faktorfaktor ini adalah dengan menentukan mana faktor eksogen dan yang mana faktor endogen.
Salah satu contoh dari faktor eksogen itu adalah perdagangan.

Misalnya, Indonesia

mengalami booming komoditas batubara dan minyak sawit pada era tahun 2000-an, yang
mungkin telah meningkatkan ketidaksetaraan pengeluaran. Produksi batubara meningkat
lebih dari tiga kali lipat dan produksi minyak sawit meningkat empat kali lipat selama 200011 Burke dan Resosudarmo (2012: 318) dalam Yusuf et al (2014:250).
Selanjutnya faktor

endogen yang mempengaruhi ketimpangan pengeluaran di

Indonesia adalah perubahan pada pasar tenaga kerja dan kebiakan fiskal. Yusuf dkk (2013)
dalam Yusuf dkk (2014)

berpendapat bahwa perubahan di pasar tenaga kerja formal,

termasuk perubahan yang saling terkait dalam peraturan-pasar tenaga kerja yaitu peningkatan
pembayaran pesangon, penguatan serikat buruh, naiknya upah minimum, mengurangi
permintaan untuk tenaga kerja tidak terampil, dan informalitas yang lebih besar dalam
pekerjaaan yang berupah rendah dapat meningkatkan ketimpangan Yusuf dkk (2014:251)

Anda mungkin juga menyukai