Anda di halaman 1dari 9

JUDUL

KATA PENGATAR

Penulis

DAFTAR ISI
HAMALAM JUDUL .................................................................................................
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ..............................................................................................................


BAB I FILSAFAT

BAB II DESKRIPSI KEGIATAN.............................................................................


BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
BAB III RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN............................................
PENUTUP

12

LAMPIRAN

13

(BISA DISESUAIKAN)

BAB I
FILSAFAT
Secara etimologis kata filsafat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa
Arab: falsafah. Kata falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, philosophia.
Sebenarnya kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata, yaitu philos
yang berarti suka, senang, dan cinta, dan sophia yang berarti arif, bijaksana,
dan hikmah (kebenaran yang mendalam). Dengan demikian, arti philosophia,
antara lain, adalah suka kearifan, senang kebijaksanaan, atau cinta kebenaran.
(Lamuddin Finoza, 2001)

Pada abad IVVI SM pengetahuan filsafat dipakai oleh bangsa Yunani


kuno untuk memahami alam semesta. Pada masa itu bangsa Yunani kuno percaya
bahwa yang mengatur dan menguasai alam semesta adalah para dewa. Dewadewa itu dipuja dan disembah oleh bangsa Yunani kuno. Mereka mencoba
menggambarkan dewa dengan berbagai bentuk yang direkayasa melalui mitosmitos, yaitu dongeng, khayalan, atau rekaan untuk memenuhi rasa ingin tahu
manusia pada masa itu. Banyak mitos tentang bumi, bulan, matahari, dan alam
semesta lengkap dengan dewa-dewanya yang mereka ciptakan. Hasil pemikiran
berdasarkan mitos tentang alam semesta muncul pada zaman Babylonia, sekitar
700600 SM. Orang Babylonia berpendapat bahwa alam semesta berwujud
seperti ruang setengah bola dengan bumi yang datar sebagai lantainya dan langit
dengan bintang-bintang sebagai atapnya.
Puncak pengetahuan pada masa yang disebut geosentrisme (karena
bumi dianggap sebagai pusat tata surya) adalah pendapat dari para pemikir
bangsa Yunani tentang unsur dasar kehidupan. Seorang pemikir pertama yang
bernama Thales (500 SM) mengatakan bahwa unsur dasar kehidupan (yang

membentuk benda-benda) sebenarnya tunggal, yaitu air. Pemikir berikutnya,


Anaximenes, berpendapat bahwa unsur dasar kehidupan ada tiga, yaitu air, tanah,
dan api. Setelah itu, Pythagoras, seorang pemikir yang kemudian terkenal dengan
Dalil Pythagoras-nya menyatakan unsur dasar kehidupan ada empat, yaitu air,
tanah, udara, dan api (Jasin, 1994:45 dan 45).
Era geosentrisme bertahan lebih dari 2000 tahun, terhitung mulai dari
zaman Thales. Kemudian, pada tahun 1600-an (M), Galileo Galilei (1564
1642), seorang pemikir terkemuka berhasil membuat teleskop. Dengan teropong
jarak jauhnya itu Galileo mematahkan klaim geosentrisme tentang bumi sebagai
pusat tata surya. Galileo membenarkan pendapat Nicolaus Copernicus (1473
1543) yang hampir satu abad sebelumnya menyatakan bahwa bumi adalah planet
yang beredar mengelilingi matahari bersama planet lainnya. (Namun, pendapat
ini tidak diakui oleh penguasa yang otoriter pada masa itu.) Galileo menegaskan
dan mengukuhkan pendapat penting Copernicus bahwa pusat tata surya adalah
matahari. Sejak waktu itulah (abad XVII) paham geosentrisme digantikan oleh
paham heliosentrisme yang menganggap matahari sebagai pusat peredaran
benda-benda ruang angkasa.
Ilustrasi tentang unsur dasar kehidupan, mulai dari pendapat Thales dan
Anaximenes, sampai dengan Dalil Phytagoras yang sudah kita kenal dan kita
pakai, sampai dengan dipatahkannya paham geosentrisme oleh Galileo, adalah
contoh hasil pemikiran filsafati. Pendapat yang dikemukakan dan penemuan yang
dipersembahkan sungguh merupakan karya spektakuler yang tidak dihasilkan
secara instan, tetapi pastilah sudah melalui proses panjang dan perenungan yang
dalam.
Pertanyaan yang selalu menggelitik para pencinta ilmu pengetahuan
adalah, Apakah filsafat, dan bagaimana cara berfilsafat itu? Cukup banyak
definisi yang telah dibuat oleh para penulis buku filsafat untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Pada umumnya mereka sepakat mengatakan bahwa

berfilsafat adalah kegiatan berpikir secara radikal, sistematik, dan universal. Perlu
dicamkan bahwa dalam operasionalisasi filsafat (berfilsafat), berpikir secara
radikal, sistematik, dan universal itu harus muncul bersama, kemudian
berkolaborasi, lalu menghasilkan suatu kebenaran (walaupun kebenaran itu masih
dapat berubah jika ditemukan kebenaran yang baru).
Pengetahuan filsafat lahir di Yunani pada era geosentrisme sekitar 600
500 SM. Geosentrisme tumbuh karena keterbatasan peralatan pada masa itu.
Seiring dengan pertumbuhan filsafat, ilmu pengetahuan lain juga makin
berkembang. Penemuan baru yang penting untuk kehidupan manusia banyak
bermunculan setelah ada filsafat. Filsuf yang sangat terkenal dari era
geosentrisme selain Thales adalah Phytagoras, Plato, Aristoteles, dan Ptolomeus.
Kemudian, dari masa awal heliosentrisme filsuf yang sangat terkenal adalah
Copernicus, Galileo, dan Socrates.
Filsafat dengan cepat berkembang ke seluruh Eropa, ke Afrika Utara (Mesir), dan
ke negeri Arab yang terletak di benua Asia. Ke arah timur filsafat merambat ke
Pakistan, India, Cina, dan sampailah ke Indonesia. Pengetahuan filsafat dibawa
oleh imigran dan kaum pedagang, terutama etnik Arab dan Cina. Pada abad IX
XI oleh orang Arab memang semua ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
diterjemahkan dan dikembangkan dalam bahasa Arab (Jasin, 1994: 9). Pada masa
itulah bermunculan filsuf berdarah Arab, antara lain Al Batani (abad IX); Al
Farabi dan Omar Kayam (abad X); Al Gazali dan Avicenna atau Ibnu Sina (abad
XI). Pemikiran para filsuf bangsa Arab yang umumnya terkenal sebagai filsuf
Islam itu kemudian tersebar ke Indonesia, dibawa oleh para pendatang (imigran)
etnik Arab. Dari antara pendatang itu banyak yang kemudian tinggal menetap di
Indonesia.
Kembali ke masalah kebenaran, termasuk yang telah dan yang masih akan
diupayakan oleh filsafat, sesungguhnya kebenaran yang ditemukan manusia
semuanya bersifat sementara (tentatif), tidak pernah merupakan kebenaran
mutlak atau abadi.1 Setiap kebenaran masih dapat berubah jika ditemukan

kebenaran baru yang diakui dunia. Sebelum ada kebenaran yang baru, kebenaran
yang dipegang adalah kebenaran yang berlaku sebelumnya dan disepakati di
seluruh dunia.
Perhatikanlah kasus perubahan dari paham geosentrisme ke paham
heliosentrisme tersebut di atas. Perubahan lain yang tergolong mutakhir adalah
yang menyangkut status Pluto yang selama 70 tahun dianggap sebagai planet.
Pluto yang ditemukan tahun 1930 dan ditetapkan sebagai planet kesembilan
dalam galaksi bima sakti (milky way), tempat bumi kita berada, pada tahun 2006
harus turun pangkat menjadi planetioda, yaitu julukan untuk benda langit
yang mirip planet. Perubahan status itu terjadi tentulah setelah para ahli
astronomi melakukan penyelidikan secara saksama dan menemukan kenyataan
bahwa Pluto tidak memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai planet.
Definisi filsafat yang dilansir di atas tadi bertolak dari kata kerja
berfilsafat. Berfilsafat adalah kegiatan mencari kebenaran, dari kebenaran untuk
kebenaran, tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan dengan berpikir secara
radikal, sistematik, dan universal. Apabila seseorang berpikir seperti itu dalam
menghadapi masalah yang berhubungan dengan kebenaran, maka orang itu sudah
memasuki filsafat. Dalam bentuk nomina, filsafat dapat diartikan sebagai suatu
sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir
secara radikal, sistematik, dan universal (Gazalba, 1979:41)

Pengertian berpikir yang disebut radikal adalah berakar atau mendasar,


siap merombak tempat berpijak secara fundamental (termasuk merombak total
suatu teori) bila diperlukan atau sudah merupakan keharusan. Berakar atau
mendasar berarti mendalam (deep thinking). Berpikir yang disebut mendalam itu
pastilah menuntut pelakunya bersikap kritis, hati-hati, teliti, serta jeli. Inti
berpikir yang disebut sistematik atau bersistem adalah logis, yaitu berpikir
dengan menggunakan logika yang memakai premis-premis (kalimat atau
proposisi yang dijadikan landasan penarikan kesimpulan) secara benar (rasional)
sebelum menyimpulkan sesuatu. Logis juga berarti prosedural, proses pergerakan

langkahnya teratur, selangkah demi selangkah, berjenjang, dengan penahapan


yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir yang disebut universal berarti luas,
menyeluruh, mendunia, bersifat semesta (berlaku untuk semua orang), tidak
picik, dan tidak terbatas pada suatu bangsa, negara, lingkungan, kelompok, atau
masyarakat tertentu saja.
Ciri Pikiran Kefilsafatan
Berpikir filsafati berarti merenung yang bukan mengkhayal atau
melamun. Merenung yang dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir
mendalam, kritis, dan universal dengan konsentrasi tinggi yang terfokus atau
menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu. Seorang filsuf bernama
Jacques Maritain mengatakan, Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya
pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. paling tegas, yaitu mengetahui dengan
kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang sesuatu itu seperti
keadaannya, tidak bisa lain dari itu (Kattsoff, 2004:65).
Usaha mengetahui yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir,
harus mengikuti kriteria yang sekaligus merupakan ciri berpikir filsafati yang
disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Perenungan
kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang
rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri
kita sendiri. Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara
bertanya kepada diri sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan
dialog yang bersifat analitis dan kritik secara timbal balik.
Keinginan kefilsafatan ialah pemikiran secara ketat. Kegiatan kefilsafatan
itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya
meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan
yang satu dengan yang lainnya, menanyakan mengapa, dan mencari jawaban
yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan
kefilsafatan harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung
pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)).
Dua pernyataan yang saling bertentangan (contradictory), tidak mungkin kedua-

duanya benar. Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian


konsepsional yang merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal-hal serta proses-proses, satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu
adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia
mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya manusia
terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi,
seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya,
dunia yang ada dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat
tidak boleh ada misteri. Misteri adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan,
bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan karena gaib. Misteri yang telah
terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah sesuatu masalah
yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek
filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat
menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah
yang dipikirkan itu harus jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:15.)

Anda mungkin juga menyukai