Anda di halaman 1dari 25

TERAPI OKSIGEN PRA-RUMAH SAKIT

Jeanet Prisilia, Hj. Andi Hasnah Suaib


A. PENDAHULUAN
Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya unsur ini bagi kehidupan
sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian
adalah penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih berat
dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan
untuk metabolisme tubuh.1
Penggunaan oksigen dalam perawatan pra-rumah sakit bertujuan untuk mengobati atau mencegah
hipoksemia. Namun, pemberian oksigen berlebih memiliki konsekuensi penting pada pasien tertentu, dan
hyperoxia dapat berdampak dengan hasil negatif. Lingkungan yang unik perawatan pra-rumah sakit
menimbulkan tantangan logistik dan pendidikan. Terapi oksigen dalam perawatan pra-rumah sakit harus
diberikan kepada pasien dengan hipoksemia dan dititrasi untuk mencapai normoxemia. Perubahan praktek
saat pengiriman oksigen dalam perawatan pra-rumah sakit diperlukan.
Semakin dirasakan pentingnya manajemen sistim perawatan trauma pra rumah sakit yang
terorganisir dengan baik untuk memastikan penderita yang cedera dapat sampai di instalasi rawat darurat
dengan selamat. Keselamatan penderita yang mengalami cedera parah sangat tergantung pada intervensi
awal, cara transportasi dengan segala fasilitasnya serta waktu yang diperlukan untuk sampai di rumah sakit
yang dituju. Peran dokter dan perawat yang mempunyai kemampuan khusus dengan pendidikan formal
untuk menangani kasus kegawat daruratan baik trauma maupun non trauma telah menjadi kebutuhan yang
sangat mendesak pada saat ini, Filosofi lama yang menyatakan Angkat penderita dan larikan ke rumah
sakit secara pelahan telah berubah menjadi tetap ditempat dan stabilkan penderita terlebih dahulu.3
Oksigen adalah obat kuat yang sering disampaikan dalam pra - rumah sakit perawatan tanpa
indikasi dan variabel dan konsentrasi yang tidak diketahui . Pengiriman oksigen dapat dipantau oleh
oksimetri pulsa , biasanya dengan tujuan membalikkan hipoksemia . Namun, oksigen jarang dititrasi dalam
pra - rumah sakit. Hyperoxia adalah umum ditemukan pada rumah sakit tiba pada pasien yang diberikan
oksigen dalam perawatan pra - rumah sakit . 2
Sebenarnya, hyperoxia dapat sebagai biasa seperti hipoksia . Satu satunya indikasi berbasis bukti
untuk terapi oksigen adalah hipoksemia dikonfirmasi oleh oksimetri , analisis gas darah, atau pengamatan
fisik . Namun, oksigen juga sering disampaikan pada praduga kebutuhan berdasarkan keadaan penyakit
( cedera kepala , stroke , infark miokard , dll ) , untuk meringankan sesak napas , dan untuk mencegah
hipoksemia pada pasien yang sakit beresiko . Asumsi ini tidak didasarkan pada bukti-bukti oksigen yang
berguna dalam situasi ini , melainkan keyakinan bahwa oksigen akan memberikan bantuan dari gejala atau
mencegah efek buruk dari hipoksemia . Namun , oksigen pengiriman ke paten tanpa hipoksemia dapat
menyebabkan memburuknya hasil di hadapan hyperoxia.2
1

B. PEMBAHASAN
1. Definisi
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis, dengan konsentrasi
yang lebih tinggi dibanding yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi
jaringan sangat penting untuk semua fungsi fisiologis normal.4
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama beraktivitas pada penderita
dengan hipoksemia.Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik,
pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman
mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan
oksigen tersebut.4
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernafasan
dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan.Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan
konsentrasiyang lebih tinggi dari yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut
konsentrasi oksigen dalam ruangan adalah 21 %. Sejalan dengan hal tersebut, terapi oksigen adalah suatu
tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengancara:5
a. Meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik )
b. Meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik)
Oksigen adalah obat kuat yang biasa disampaikan dalam perawatan pra-rumah sakit tanpa indikasi
dan dalam konsentrasi bervariasi dan tidak diketahui.Pengiriman oksigen dapat dipantau dengan pulse
oximetry, biasanya dengan tujuan membalikkan hipoksemia. Akan Tetapi,oksigen jarang sekali dititrasi di
pra-sakit seperti perawatan sekali hipoksemia. Hyperoxia adalah temuan umum pada saat tiba dirumah sakit
pada pasien yang diberikan oksigen dalam perawatan pra-rumah sakit. Bahkan, hyperoxia bisa menjadi
sebagai umum sebagai hipoksia.
2. Anatomi Sistem Pernapasan
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga dada atau
toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru
tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial,
bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru
kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi
menjadi dua lobus.4,5

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9. Proses
patologis seperti atelektasis dan pneumonia seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu
lapisan tipis kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan
menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).4,5
Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang
berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru. Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah kolaps paru.
Bila terserang penyakit, pleura mungkin mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke
dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.5
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal ini. Pertama, jaringan elastic
paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru
cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum mengembang. Tetapi,
permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga
tetap ada kekuatan kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai tekanan negatif
dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi
selalu negatif.4
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan osmotik
yang terdapat di seluruh membrane pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di
dalam pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Pergerakan
cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan
bergantung pada selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan
keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih
perbedaan absorbsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan
3

pembentukan cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat
beberapa milliliter cairan.5
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan pompa limfatik.
Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik
dalam pleura parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan keseimbangan
osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan
tekanan negatif intrapleura normal.5
a. Kontrol pernafasan
Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke dalam paru sehingga
pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut
ventilasi dan mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi. Komponen
yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini
mempunyai dua komponen volume-elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding
terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen.
Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk
menghembus pompa.6
Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga dan sternum) merupakan
otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru dan rangka toraks selama inspirasi;
ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.6
Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons
dan medulla oblongata. Pusat pernafasan merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek
pernafasan. Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam
pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan) karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri.
Peningkatan PaCO2 atau penururnan pH merangsang pernafasan.5,6
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga merangsang ventilasi.
Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada bifurkasio arteria komunis dan dalam
badan aorta pada arkus aorta, peka terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan
tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60
mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.6
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru. Pada waktu paru
mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada pusat pernafasan agar menghentikan
pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi
ketika paru dalam keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleks Hering-Breuer, refleks ini tidak aktif pada orang
dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi
4

lebih penting pada bayi baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan dijalankan melalui interaksi
pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons dan medulla oblongata.5,6
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf frenikus yang
mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang ikut ambil bagian adalah saraf
asesorius dan interkostalis torasika yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.6
b. Kontrol pernafasan pada jalan nafas
Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan dikontrol oleh sistem saaraf
otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi
otot polos pernafasan. Persarafan parasimpatis (kolinergik melalui nervus vagus) memberikan tonus
bronkokonstriktor pada jalan nafas.7
Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptorreseptor adrenergic-beta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus,

bronkodilasi, dan

berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun hanya sedikit.7
Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah digambarkan disebut nonkolinergik,
sistem penghambat nonadrenergik. Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida. Reseptor-reseptor jalan nafas
bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras
vagus aferen, dan dapat menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.7
3. Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O 2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan
CO2 dikeluarkan

ke

adalah ventilasi, yaitu

udara

ekspirasi,

masuknya

dapat

campuran

dibagi
gas-gas

menjadi
ke

tiga

dalam

dan

stadium.
ke

Stadium

luar

paru.

pertama
Stadium

kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek7


1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan selsel jaringan
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam
alveolus-alveolus
3. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan
stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO 2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
a. Ventilasi

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer
dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa
otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.8
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan
atmosfer) menjadi sekitar 8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2 mmHg dari 0 mmHg pada
waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke
dalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.5,7
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan
paru. Pada waktu otot interkostalis internus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke
atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat
menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi.
Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan
menekan diafragma ke atas.5,7
Peningkatan volume toraks

ini meningkatkan tekanan intrapleura

maupun tekanan

intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas
tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.8
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi yang efektif :8
1. Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang terkumpul selama
ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung dengan mengalikan nilai VT dengan
kecepatan pernafasan. Dalam keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
2. Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang dilakukan per menit. Pada
keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa sekitar 10-20 kali per menit.
3. Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap
pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik
yaitu bila bernafas dalam.
4. Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak tertukar dengan udara paru;
udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri
dari ruang mati anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1 ml per
pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami ventilasi tapi tidak mengalami
perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi. Perbandingan antara V D dengan VT (VD / VT)
6

menggambarkan bagian dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai
rasio tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini
seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik.
5. Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam alveolus setiap menit,
yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi
alveolar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan VE atau VTkarena
pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara yang terbuang dalam ventilasi VD.

Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas) yang dimilii oleh paru
dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam
keadaan statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians paru saja dapat
ditentukan. Komplians paru normal dan komplians rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2
liter/ cm H2O sedangkan komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.

b. Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran
alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini
adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O 2 (PO2) dalam atmosfer pada
permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O 2 sampai di trakea,
tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan
dilembabkan oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).6
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang diinspirasi
akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam
ruang mati anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan normal
mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal. Hanya udara bersih yang mencapai
alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial O 2 dalam darah vena campuran (PVO2) di
kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg.8
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO 2 = 103 mmHg) sehingga
O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO 2
40 mmHg) yang lebih rendah 6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini

kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO 2 antara
darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi membran
alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.8
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru
dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa
7

penyakit (misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi dapat melambat
sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolah raga ketika waktu kontak
total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap
sebagai faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.8
c. Hubungan antara ventilasi perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi merata
dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan
perfusi unit pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat,
ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks paru.9
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis
paru lebih besar daripada di bagian apeks, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya
cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :9
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit) dibagi
dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan pada penyakit pernafasan.
Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis
penyakit yang dialami, apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau menimbulkan penyakit pada ruang
mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa perfusi, V/Q lebih dari 0,8).9
d. Transpor O2 dalam darah
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam
plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksihemoglobin (HbO 2). Ikatan kimia O2 dengan
Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai
hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah
O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya, jumlah O 2 yang secara fisik larut dalam
plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya sekitar 1% dari jumlah
O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan
hidup walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O 2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon monoksida atau hemolisis
masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam
bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O 2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).9
8

Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam darah laki-laki dewasa
sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O 2(15 x 1,34) bila O2 jenuh
(SaO2) adalah 100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke darah
yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses pengenceran ini menjelaskan mengapa
hanya kira-kira 97 persen darah yang meninggalkan paru menjadi jenuh.8
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari
plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun
kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O 2 pada waktu
Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O 2 dalam darah arteri
yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O 2 pada tingkat jaringan disebut
Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena,
sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.9
e.

Kurva Disosiasi Oksihemoglobin


Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui afinitas Hb terhadap

O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan
tersebut. Jika darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan
Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan.
Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap
O2 pada berbagai tekanan parsial.9
Fakta fisiologis yang sangat penting tentang kurva ini yaitu adanya bagian atas yang datar. Pada
bagian atas kurva yang datar, perubahan yang besar pada tekanan O 2 akibat sedikit perubahan pada
kejenuhan HbO2. Ini berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan
pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini juga berarti bahwa
pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara normal 21%) pada pasien dengan hipoksemia ringan
(PaO2=60-75 mmHg) adalah sia-sia, karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan
O2 ke jaringan dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena yang
curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada HbO 2 merupakan akibat sedikit perubahan pada
PO2.9
Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang menyertai jaringan dan dapat
diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap
O2 dapat dilihat pada tabel di bawah.9
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)7
Pergeseran ke kiri

Kurva disosiasi HbO2


Pergeseran ke kanan
9

(P50 menurun)
(P50 meningkat)
pH
pH
PCO2
PCO2
Suhu
Suhu
2,3 DPG
2,3 DPG
P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%
Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau PCO 2 meningkat. Dalam keadaan ini,
pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap O2 berkurang, sehingga O2 yang dapat diangkut oleh darah
berkurang. Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok (pembentukan
asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic) atau retensi CO 2 (seperti yang ditemukan pada
banyak penyakit paru) akan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan
seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan O 2 ke jaringan. Pergeseran
ini dikenal dengan nama efek Bohr.9
Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu dan 2,3
difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi
afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat.
Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan
Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik
pergeseran kurva ke kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai
kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan O 2,
juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan lebih banyak O 2 yang dilepaskan ke jaringan dari
aliran darah.9
Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan
menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan
peninkatan afinitas Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke kiri,
namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat terjadi hipoksia (insufisiensi
O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila
disertai dengan hipoksemia.9
Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan respirator atau pada tempat
yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah
serebral karena penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala berkunangkunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3DPG, sehingga afinitas Hb terhadap O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima
transfuse darah yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami gangguan pelepasan
O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi HbO2 ke kiri.9

10

Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejenuhan 50%
(P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27 mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke
kanan (pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke kiri, (peningkatan
afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.9
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi. Transpor
CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO 2 secara fisik larut
dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan
dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut
dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :9
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat.Keseimbangan
asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO 2. Pada umumnya
hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan
alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO 2 berlebihan dari paru;
hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan
asidosis akibat retensi CO2oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan
menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH),
dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+(penurunan
pH).7
Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2. Kurva disosiasi CO2 hampir
linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti bahwa kandungan CO2dalam darah berhubungan
lansung dengan PCO2. Selain itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO 2. Karena itu
PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi.9
f. Penilaian Status Pernafasan
Pengetahuan tentang gas darah (PO 2, PCO2, dan pH darah arteri) saja tidak cukup
memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk memastikan apakah oksigenasi jaringan
pasien sudah memadai. Banyak faktor lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah
jantung yang memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan. Karena itu
deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan klinis serta interpretasi gas-gas
darah.8,9
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi pasien adalah
konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase kejenuhan Hb tidak bergantung pada
konsentrasi Hb, sedangkan kandungan O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan
konsentrasi Hb. Volume persen menunjukkan berapa banyak O 2 yang dapat dihantarkan ke jaringan
pada PaO2 tertentu.8,9
11

g. Analisa Gas Darah


Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga mempelajari hal-hal di luar paru
seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi.9
PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu
hipoventilsai alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah.
Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan
alkalosis resiratorik dan kenaikan pH darah.9
Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. Pada gagal pernafasan yang
berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah
satu atau lebih dari mekanisme di bawah ini9
1. Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi (penyebab tersering)
2. Hipoventilasi alveolar
3. Gangguang difusi
4. Pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat
diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomic intrapulmonar (pirau arteriovenosa)
tidak dapat diatasi dengan terapi O2.
Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernafasan
atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar PaO 2tutun di bawah normal,
terjadi insufisiensi pernafasan, dan terjadi kegagalan pernafasan bila PaO 2 turun sampai 50 mmHg.
PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan
pernafasan.8
Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri
Pengukuran Gas Darah

Simbol

Nilai normal
35-45 mmHg

Tekanan CO2
Tekanan O2
Persentase kejenuhan O2
Konsentrasi ion hydrogen
Bikarbonat

PaCO2
PaO2
SaO2
pH
HCO3-

(rata-rata, 40)
80-100 mmHg
97
7,35-7,45
22-26 mEq/L

4. Tujuan dan Kegunaan10


1. Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan untuk memfasilitasi
metabolisme aerob
2. Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :
- Mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mmempertahankan oksigenasi jaringan
-

yang adekuat.
Menurunkan kerja nafas dan miokard.
Menilai fungsi pertukaran gas
12

3. Indikasi
Satu-satunya indikasi berbasis bukti untuk terapi oksigen hipoksemia dikonfirmasi oleh oksimetri,
analisis gas darah, atau observasi fisik. Akan tetapi, oksigen sering disampaikan pada praduga kebutuhan
berdasarkan keadaan penyakit (cedera kepala, stroke, infark miokard, dll), untuk allevi- makan sesak napas,
dan untuk mencegah hipoksemia pada pasien sakit beresiko.Asumsi ini tidak didasarkan pada bukti-bukti
bahwa oksigen berguna dalam situasi ini, melainkan keyakinan bahwa oksigen akan memberikan bantuan
gejala atau mencegah efek buruk dari hipoksemia.Namun, pengiriman oksigen paten tanpa hipoksemia dapat
menyebabkan memburuknya hasil di kehadiran dari hyperoxia.

a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta
merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernafasan lainnya.
Gejala dan tanda hipoksia hipoksik:
1. Pengaruh penurunan tekanan barometer
Penurunan PCO2 darah arteri yang terjadi akan menimbulkan alkalosis respiratorik.
2. Gejala hipoksia saat bernafas oksigen
Di ketinggian 19.200 m, tekanan barometer adalah 47 mmHg, dan pada atau lebih rendah dari
tekanan ini cairan tubuh akan mendidih pada suhu tubuh. Setiaporang yang terpajan pada
tekanan yang rendah akan lebih dahulu meninggal saat hipoksia, sebelum gelembung uap air
panas dari dalam tubuh menimbulkan kematian.

13

3. Gejala hipoksia saat bernafas udara biasa Gejala mental seperti irritabilitas, muncul pada
ketinggian sekitar 3700 m. Pada ketinggian 5500 m,gejala hipoksia berat, dan diatas 6100 m,
umumnya seseorang hilang kesadaran.
4. Efek lambat akibat ketinggian
Keadaan ini ditandai dengan sakit kepala, iritabilias, insomnia, sesak nafas, serta mual dan
muntah.
5. Aklimatisasi
Respon awal pernafasan terhadap ketinggian relatif ringan, karena alkalosis cenderung
melawanefek perangsangan oleh hipoksia. Timbulnya asidosis laktatdalam otak akan
menyebabkan penurunan pH LCSdan meningkatkan respon terhadap hipoksia.
b. Penyakit yang menyebabkan Hipoksia Hipoksik
Penyakit penyebabnya secara kasar dibagi atas penyakit dengan kegagalan organ pertukaran gas,
penyakit seperti kelainan jantung kongenital dengan sebagian besar darah dipindah dari sirkulasi
vena kesisi arterial, serta penyakit dengan kegagalan pompa pernafasan. Kegagalan paru terjadi
bilakeadan seperti fibrosis pulmonal menyebabkan blok alveoli kapiler atau terjadi ketidak
seimbangan ventilasi perfusi. Kegagalan pompa dapat disebabkan oleh kelelahan otot-otot
pernafasan pada keadaan dengan peningkatan beban kerja pernafasan atau oleh berbagai
gangguan mekanik seperti pneumothoraks atau obstruksi bronkhialyang membatasi ventilasi.
Kegagalan dapat pula disebabkan oleh abnormalitas pada mekanisme persarafan yang
mengendalikan ventilasi, seperti depresi neuron respirasi di medula oblongata oleh morfin dan
obat-obat lain.
c. Hipoksia Anemik
Sewaktu istirahat,hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat peningkatan kadar 2,3DPG didalam sel darah merah,kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun
demikian, penderita anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan O2 kejaringan
aktif.
d. Hipoksia Stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok.Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan pada
gagal jantung kongestif.Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan
dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun,
syok paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah paru yang
letaknya lebih tinggi dari jantung.
e. Hipoksia Histotoksik

14

Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh
keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya.Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut
bekerja dengan sianida, menghasilkan sian methemoglobin, suatu senyawa non toksik.
Kemampuan pengobatan menggunakan senyawa ini tentu saja terbatas pada jumlah
methemoglobin yang dapat dibentuk dengan aman.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat bagi.
a. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
b. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
c. Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal.
d. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
e. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 )rendah.
Contoh :
a. Pasien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil AGD
b. Pasien dengan peningkatan kerja napas dimana tubuh terjadi hipoksemia ditandai dengan PaO2
dan SpO2 menurun.
c. Pasien yang teridentifikasi hipoksemiacontohnya syok dan keracunan CO Hipoksemia adalah
suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau
saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285- 100 mmHg), SaO2 95%.
Hipoksemia dibedakan menjad ringan sedang dan berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2.
Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%, hipoksemia
sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89% dan hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40
mmHg dan SaO2kurang dari 75%. Umur juga mempengaruhi nilai PaO2 dimana setiap
penambahan umur satu tahun usia diatas 60 tahun dan PaO2 80 mmHg maka terjadi penurunan
PaO2 sebesar 1 mmHg. Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tingg. Keadaan hipoksemia
menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yan gbertujuan untuk mempertahankan supaya
oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55
mmHg.kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat
dan sebaliknyatekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun.jaringan Vaskuler yang
mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi
yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat
diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk
memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan
sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan
sekresieritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti
15

transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume
sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner. Gagal jan tung kanan bahkan dapat
menyebabkan kematian.
d. Pasien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan
O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Pada Beberapa trauma, terapi ini diberikan dengan orang yang mempunyai gejala :
- Sianosis - Keracunan
- Hipovolemi - Asidosis
- Perdarahan - Selama dan sesudah pembedahan
- Anemia berat - Klien dengan keadaan tidak sadar
Kriteria pemberian terapi oksigen tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara dibawah ini:
1. Pemberian oksigen secara berkesinambungan (terus menerus), Diberikan apabila hasil analisis
gas darah pada saat istirahat, didapat nilai:
a. PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi kurang dari 88%.
b. PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi 89% disertai kor pulmonale, polisitemia (hematokrit
>56%).
2. Pemberian secara berselang
Diberikan apabila hasil analisis gas darah saat latihan didapat nilai:
a. Pada saat latihan PaO2 55 mmHg atau saturasi 88%
b. Pada saat tidur PaO255 mmHg atau saturasi 88%
Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi oksigen perlu dievaluasi gas
darah (AGD) serta terapi untuk menentukan perlu tidaknya terapi oksigen jangka panjang.
4. Terapi Oksigen Pra Rumah Sakit pada berbagai penyakit2
a. Kardiovaskular
1. Infark Miokard Akut
Hampir tiga perempat abad terapi oksigen telah dianjurkan untuk pengobatan Infark Miokard akut
(IMA) dan nyeri dada, yang pertama untuk menggambarkan efek bermanfaat dari terapi oksigen pada pasien
dengan oklusi tuba. Ada 2 tujuan langsung dalam pengobatan pasien dengan trombosis koroner akut, yaitu
dukungan sirkulasi dan menghilangkan nyeri . Efek menguntungkan dari pemberian oksigen yaitu
mempertahankan fungsi kardiorespirasi , terutama ketika derajat signifikan shock atau edema paru. Hal ini
tidak diakui secara luas , namun , bahwa menghirup oksigen dalam konsentrasi tinggi efektif dalam
mengurangi rasa sakit terkait dengan trombosis koroner dan angina pectoris. Boland terus menjelaskan
bahwa, penggunaan opiat sementara biasanya meredakan nyeri angina , dalam kasus di mana opiate tidak
cukup , oksigen adalah "terapi tambahan penting. "Boothby dan rekan , mengembangkan penelitian dari
BLB ( Boothby , Lovelace , Bulbulain ) mask, dibuat
Pengamatan serupa dimana peran oksigen 100 % untuk membantu mengurangi nyeri dada. Namun ,
pada awal 1950 , Russek dan kawan-kawan mulai mempertanyakan alasan untuk penggunaan oksigen
16

konsentrasi tinggi dalam pengobatan angina tanpa adanya edema paru dan shock. Peneliti ini mempelajari 5
pasien selama uji latihan 2 tahap , yang menunjukkan perubahan elektrokardiografi setelah pengujian ulang.
Mereka diberikan nitrogliserin dan konsentrasi oksigen tinggi sebelum berolahraga dan mencatat hasilnya.
Di masing-masing 5 kasus mempelajari pengelolaan terapi oksigen 100 % tanpa efek dalam mencegah
Segmen RS - T dan gelombang T , lalu diamati perubahan yang terjadi dan dilakukan pencatatan dan
membandikan dengan control. Demikian pula , pemerintah terus menerus melakukan peneltian tentang
pemberian terapi oksigen 100 % selama dan pasca latihan. Periode gagal mempercepat hilangnya
elektrokardiografi merupakan manifestasi dari anoksia miokard. Sebaliknya , ketika terapi oksigen 100 %
telah diberikan, perubahan lebih jelas terlihat dan telah terbukti 4 dari 5 kasus . Dalam setiap contoh ,
oksigen gagal mencegah timbulnya nyeri angina atau untuk mempengaruhi durasi . Sebaliknya , pemberian
satu tablet nitrogliserin sebelum pengujian tidak hanya mencegah perkembangan nyeri angina lebih lanjut,
tetapi sangat mempengaruhi respon elektrokardiografi. Meskipun demikian, pada penelitian percobaan
terkontrol menunjukkan tidak adanya efek menyehatkan dari terapi oksigen dalam mengurangi nyeri dada ,
penggunaan rutin oksigen Terapi berikut lebih efektif di berikan pada pasien yang diduga infark miokard
selama 50 tahun.
Sedangkan dampak hipoksia pada aliran darah koroner tertangani, penggunaan konsentrasi oksigen
tinggi juga mengakibatkan penurunan aliran darah koroner sebagai konsekuensinya peningkatan resistensi
vaskuler koroner, dalam percobaan , konsumsi oksigen miokard juga berkurang sekitar 16 % . Peneliti lain
menemukan efek serupa pada pasien dengan dan tanpa gagal jantung kongestif disertai dengan peningkatan
sampai 40 % diresistensi vaskuler koroner . Hal ini penting untuk dicatat bahwa studi ini disediakan oksigen
ketika tekanan oksigen sudah normal. Dalam menghadapi hipoksemia , oksigen administrasi dapat
dibenarkan . Namun, penelitian ini jelas menunjukkan perlunya terapi oksigen yang ditargetkan berdasarkan
saturasi oksigen . Tabel ini menunjukkan perubahan dalam aliran darah koroner , pembuluh darah koroner ,
dan konsumsi oksigen miokard berhubungan dengan pengiriman oksigen ke pasien dan subjek normal tanpa
hipoksemia dasar .

Rawles dan Kenmure acak 200 pasien berturut-turut dengan dugaan AMI untuk menerima udara atau
oksigen melalui masker wajah selama 24 jam pertama rawat inap . Empat puluh tiga pasien tanpa AMI
dikeluarkan , meninggalkan 157 pasien dalam analisis akhir . Mereka tidak menemukan perbedaan
signifikan angka kematian , kejadian aritmia , penggunaan analgesik , atau interval waktu sistolik antara
kelompok . Namun , PaO2 lebih besar pada kelompok oksigen dan kejadian sinus takikardia juga lebih besar
. Penulis menyimpulkan bahwa pemberian oksigen rutin rumit AMI adalah tidak beralasan .
17

Temuan ini telah menyebabkan Beasley dan rekan dan Wijesinghe dan rekan yang menunjukkan
bahwa penggunaan rutin oksigen di AMI dapat menyebabkan peningkatan ukuran infark dan mortalitas yang
lebih besar. Stub dan rekan kerja telah mengusulkan AVOID ( udara melawan Oksigen dalam Myocardial
Infarction) di Victoria dan Melbourne, Australia, ambulans jasa. Uji coba ini akan mendaftar hampir 500
pasien dengan ST-elevasi AMI dalam ketiadaan hipoksia untuk menerima baik oksigen atau udara. Hasil
utama akan ukuran infark miokard. Sampai saat ini, tidak ada data awal yang tersedia.
Akhirnya, tinjauan Cochrane dari 2010 Ulasan penggunaan oksigen untuk AMI. Sayangnya, penulis
dapat mengidentifikasi percobaan hanya 3 terkontrol secara acak di mana satu kelompok pasien menerima
oksigen sementara yang lain menerima udara. Studi ini mencakup 387 pasien. Ada 14 kematian, dan
kematian adalah 3 kali lebih mungkin terjadi pada pasien menerima oksigen. Angka-angka yang kecil tidak
dapat menentukan jika temuan ini adalah penyebab, tapi jelas mendukung kebutuhan untuk penilaian ulang
pengiriman oksigen pada pasien dengan AMI dan normoxia. Untuk bagiannya, Amerika terbaru Pedoman
Asosiasi Jantung Darurat Perawatan Jantung mengambil Temuan ini ke rekening. Rekomendasi saat ini
menunjukkan bahwa layanan medis darurat (EMS) penyedia mungkin memberikan oksigen selama penilaian
awal pasien dengan sindrom koroner akut. Rekomendasi dicatat bahwa tidak ada bukti untuk penggunaan
rutin oksigen pada sindrom koroner akut tanpa komplikasi. Dalam kehadiran dyspnea, hipoksemia
sebagaimana dinilai oleh oksimetri pulsa, atau tanda-tanda gagal jantung, oksigen harus dititrasi ke SpO2
dari 94% .23 kelas I Bukti ini dianggap dengan tingkat bukti C.
Temuan-temuan ilmiah merupakan teka-teki untuk EMS praktisi dan EMS dokter . Penyedia EMS
memegang tanggung jawab menentukan dyspnea atau " tanda-tanda gagal jantung " di lingkungan yang
sibuk dan bergegas . Contoh ini mungkin terbukti lebih efisien untuk memberikan semua pasien oksigen
sampai tiba di rumah sakit . Namun , pulsa oksimetri dapat menyederhanakan masalah ini dengan
mengidentifikasi hipoksemia . Selain itu , pelatihan praktisi EMS untuk menggunakan peralatan aliran
oksigen rendah versus nonrebreathing mask di mana-mana dapat membantu meringankan hyperoxemia.
2. Stroke
Stroke memiliki sejumlah kesamaan dengan AMI , dalam hal baik kehadiran iskemia dan reperfusi ,
begitu banyak sehingga stroke yang dianggap sebagai serangan otak . Pedoman pengobatan stroke pada
awal 1990-an mendorong menggunakan oksigen pada pasien stroke yang memiliki hipoksemia , tapi bukan
untuk penggunaan rutin . Setelah stroke, pasien mungkin menderita aspirasi dan / atau hipoventilasi
mengarah ke hipoksemia . Namun, hyperoxia dikaitkan dengan cerebral vasokonstriksi dengan penurunan
konsekuen dalam aliran darah otak dan dapat meningkatkan kehadiran oksigen radikal bebas pada cedera
iskemia / reperfusi .
Ronning dan Guldvog mempelajari 550 pasien diacak untuk menerima oksigen dengan kanula
nasal untuk pertama 24 jam setelah stroke , atau kelompok kontrol yang tidak oksigen tambahan . Mereka
mengikuti pasien sampai 7 bulan setelah debit , dan mengevaluasi keparahan kecacatan berdasarkan skor
18

stroke. Mereka menemukan bahwa pasien dengan stroke ringan sampai sedang dan tidak ada bukti
hipoksemia memiliki kecenderungan peningkatan mortalitas. Menariknya, pasien dengan stroke berat dan
hipoksemia konsekuen memiliki peningkatan yang tidak signifikan dalam hasil. Para penulis menyimpulkan
bahwa suplementasi oksigen yang diberikan sebagai pengobatan rutin tidak muncul untuk menjadi manfaat
untuk korban stroke .
Pancioli dan rekan mengevaluasi penggunaan oksigen dalam pasien dengan stroke, menggunakan
grafik retrospektif . Mereka mengevaluasi 167 pasien dan menemukan bahwa ada indikasi untuk terapi
oksigen dalam waktu kurang dari setengah pasien . Indikasi ini termasuk sebuah SpO2 92 % , bernapas
frekuensi 24 napas / menit , denyut jantung 100 kali /min , dyspnea , sianosis , kehadiran dyshemoglobins ,
anemia ( hemoglobin 9 g / dL ) , dan adanya AMI atau penyakit paru-paru kronis . Indikasi yang paling
sering untuk terapi oksigen adalah adanya penyakit paru-paru kronis , anemia , takikardia , dan takipnea .
Kelompok ini mencatat bahwa terapi oksigen sering diberikan kepada pasien stroke tanpa indikasi dan
mengurangi penggunaan oksigen bisa menghemat sumber daya dan mengurangi biaya . Penelitian ini tidak
mengevaluasi hasil .
Sebuah percobaan yang lebih baru yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa terapi oksigen
dikendalikan menggunakan masker udara - entrainment , dibandingkan dengan kanula nasal , dikaitkan
dengan lebih sedikit komplikasi . Namun, ini adalah uji coba yang sangat kecil dan termasuk 24 jam pertama
rawat inap. Pedoman baru-baru ini untuk mengobati stroke yang menunjukkan penggunaan rutin oksigen
harus dihindari dan bahwa kehadiran hipoksemia merupakan indikasi terbaik .
3. Cardiac Arrest
Selama resusitasi cardiopulmonary , pengiriman 100 % oksigen selama ventilasi tetap rekomendasi
saat ini. Namun, pedoman berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk mengevaluasi peran campuran oksigen
dititrasi dibandingkan baik standar saat ini atau ruang udara. Hal ini bagian hasil penelitian pada hewan
menunjukkan lagi bahwa hyperoxia Hasil dalam hasil neurologis yang lebih buruk , sebagai konsekuensi
dari iskemia / reperfusi cedera.
Temuan ini lebih jauh didukung oleh besar tinjauan klinis lebih dari 6.000 pasien jantung berikut
menangkap . Kilgannon dan Emergency Medicine Syok Penelitian Peneliti menemukan bahwa jaringan ,
sedangkan hipoksia ( 63 % ) adalah 3 kali lebih mungkin untuk hadir dari kedua normoxia ( 19 % ) dan
hyperoxia ( 18 % ) setelah jantung penangkapan , kematian di rumah sakit pada kelompok hyperoxia adalah
secara signifikan lebih besar . Rasio odds kematian di hyperoxia yang kelompok paparan adalah 1,8 ( 95 %
CI 1,5-2,2 ) . Penulis juga dievaluasi kematian pada pasien ICU dengan hyperoxia dan menemukan bahwa
ada dosis asosiasi tergantung antara tekanan oksigen di atas normal dan risiko kematian di rumah sakit .
Mereka menunjukkan bahwa setiap 100 mmHg peningkatan pasca - resusitasi PaO2 dikaitkan dengan
peningkatan 24 % pada risiko relatif kematian . Namun, mereka tidak menemukan batas bawah atau setiap
hyperoxia itu lebih atau kurang parah.
19

Sementara data ini menarik , risiko hipoksemia bukan tanpa impor . Penelitian lebih lanjut perlu
mengevaluasi yang FIO2 yang tepat pengiriman selama resusitasi cardiopulmonary dan mungkin lebih
penting , apa target tingkat oksigen akan dan bagaimana mengukurnya.
b. Respiratory Disease
Sementara kehadiran hipoksemia dalam menghadapi penyakit paru -paru harus ditangani dengan
oksigen tanpa menunda dalam lingkungan pra - rumah sakit , ada yang spesifik daerah di mana terapi
oksigen harus lebih hati-hati ditangani. Mungkin pedoman yang paling lengkap untuk penggunaan oksigen
dalam situasi darurat diterbitkan oleh British Thoracic Society . Berikut pembahasan akan merujuk ketat
untuk digunakan dalam perawatan pra - rumah sakit penyakit umum .
1. Chronic Ostructive Pulmonary Disease
Bahaya oksigen aliran tinggi dengan adanya COPD digambarkan lebih dari 50 tahun yang lalu oleh
Campbell di kertas tengara di Lancet . Dia menggambarkan 4 kasus di pasien dengan bronkitis kronis ,
emfisema , dan bronkopneumonia . Sementara pengamatan mani adalah bahwa tingkat tinggi oksigen
inspirasi mengakibatkan hiperkapnia karena untuk " depresi pernafasan , " mungkin bahwa pengamatan
adalah benar tetapi atribusi tidak lengkap . Bekerja di tahun 1980-an oleh Milic - Emili dan rekan
menunjukkan bahwa perubahan ventilasi - perfusi pencocokan yang dihasilkan dari hilangnya mekanisme
pengaturan adaptif bertanggung jawab untuk hiperkarbia . Apapun, lebih dari setengah abad yang lalu,
Campbell menyarankan bahwa pasien dengan akut pada kronis penyakit pernapasan harus menerima
oksigen, terus-menerus dengan metode yang memungkinkan konsentrasi terinspirasi untuk dikontrol dalam
batas dari 1 % selama rentang 24-35 % .
Baru-baru ini, sejumlah percobaan telah mengevaluasi peran pra-rumah sakit menggunakan
oksigen pada pasien dengan COPD. Durrington et al mengevaluasi pra-rumah sakit pengiriman oksigen
dalam Norfolk dan Norwich di Inggris, di mana transportasi kali umumnya lebih dari 30 menit. Mereka
berhipotesis bahwa dengan waktu transportasi berkepanjangan dampak pengiriman oksigen berlebih
mungkin dibesar-besarkan. Mereka pasien secara retrospektif mengaku dengan eksaserbasi PPOK lebih dari
2 frame waktu. 108 pasien pertama ditinjau, dan, setelah periode pelatihan, kedua kelompok Ulasan.
Intervensi antara 2 waktu frame adalah pengenalan masker oksigen udara-entrainment diatur pada FIO2 dari
0,28 untuk manajemen awal. Pasien di kelompok pertama dengan FIO2 0,28 memiliki insiden lebih besar
dari asidosis, hiperkarbia, dan hyperoxia (Gbr. 1). Pasien-pasien ini juga lebih mungkin untuk memiliki
rumah sakit yang rumit. Tentu saja, lebih mungkin untuk menerima aminofilin, noninvasive ventilasi, dan
ventilasi invasif, dan memiliki angka kematian lebih tinggi tingkat.

20

Cameron dan lain-lain mengevaluasi hasil pasien dengan COPD eksaserbasi dirawat di Selandia
Baru daerah gawat darurat selama 30 bulan, ada 680 pasien dengan COPD eksaserbasi, dan 254 penerimaan
darurat, yang mewakili 180 pasien, yang tersedia untuk analisis. Mereka menemukan hyperoxemia yang
terjadi hampir seperempat dari seluruh penerimaan , dan bahwa , dibandingkan untuk normoxemia, jumlah
hasil yang merugikan secara signifikan lebih besar ( rasio odds 9,1 , 95 % CI 4.08- 20.6 ). Mereka juga
menunjukkan bahwa hipoksemia dikaitkan dengan hasil yang merugikan ( rasio odds 2,16, 95 % CI 1.114.20 ). Berbicara secara klinis, kelompok hyperoxia disajikan dengan SpO2 96 % , dan kelompok
hipoksemia dengan sebuah SpO2 dari 88 %. Data ini berpendapat kuat untuk penggunaan pengiriman
oksigen dititrasi pada pasien dengan COPD .
Austin dan rekan membandingkan aliran oksigen tinggi dibandingkan pengobatan oksigen dititrasi
dalam kelompok pasien dengan COPD eksaserbasi di Tasmania . Mereka mengevaluasi 214 pasien dengan
diagnosis PPOK eksaserbasi , di antaranya 117 menerima oksigen aliran tinggi dan 97 diterima dititrasi
terapi oksigen . Dalam kelompok ini kematian adalah 9 % ( 11 /117 ) pada kelompok oksigen aliran tinggi ,
dan 2 % ( 2/97 ) di kelompok oksigen dititrasi . Pasien yang menerima dititrasi oksigen jauh lebih kecil
kemungkinannya untuk memiliki asidosis atau hiperkapnia. Penulis lain telah membuat temuan serupa pada
kelompok pasien .
The British Thoracic Society telah menjadi pendukung vocal mengubah praktek untuk mengurangi
paparan oksigen kelebihan patients.6,47. Kunci keberhasilan adalah terjemahan informasi dalam praktek
oleh penyedia EMS. Ini akan mencakup penambahan peralatan khusus untuk memberikan aliran tinggi,
FIO2 rendah untuk pasien dengan risiko. The British Thoracic Masyarakat menunjukkan bahwa semua unit
EMS membawa nonrebreathing sebuah masker untuk aliran pengiriman oksigen yang tinggi, nasal kanula
atau masker sederhana untuk aliran pengiriman oksigen rendah, masker trakeostomi untuk pasien dengan
trakeostomi atau laryngectomy, dan 28% entrainment masker udara. Penting lainnya Masalah yang mendidik
penyedia pra-rumah sakit untuk beroperasi up-rancangan nebulizers dengan ruang udara jika inhaler
21

meteran-dosis tidak tersedia. Selama perawatan nebulizer, oksigen bisa diberikan pada 2 L / menit melalui
kanula nasal. Lain yang menarik Aspek adalah konsep menyediakan pasien dengan Kartu mengidentifikasi
diri mereka sebagai memiliki COPD dan meminta penggunaan FIO2 rendah masker entrainment udara
selama ambulans transportasi. Hal ini telah disarankan oleh Inggris Thoracic Society. Sebuah contoh yang
mungkin ditunjukkan pada Gambar 2.

Terapi oksigen pada pasien dengan PPOK adalah klasik cerita Goldilocks dan Tiga Beruang.
Pemberian oksigen tidak bisa terlalu banyak atau terlalu sedikit , tapi tepat . kompleksitas membuat
pendekatan tepat kenyataan membutuhkan pendidikan substansial , pelatihan , dan kerja sama dari pasien ,
rumah sakit, dan penyedia EMS.
2. Congestive Heart Failure dan Pulmonary Edema
Gagal jantung kongestif dan edema paru merupakan etiologi umum di balik keluhan pra - rumah
sakit dari " sesak napas. Sementara hipoksemia adalah jelas gejala edema paru , pemberian oksigen memiliki
nilai terbatas dalam paru-paru berisi cairan. Penggunaan pra-rumah sakit CPAP dan ventilasi noninvasif
telah meningkat untuk mengobati gagal jantung kongestif dan edema paru. Studi-studi ini telah
menunjukkan kebutuhan berkurang untuk intubasi , tinggal di rumah sakit lebih pendek , dan mengurangi
biaya dengan CPAP dan atau ventilasi noninvasif , dibandingkan dengan oksigen dengan terapi medis yang
sama.
Sehubungan dengan penggunaan oksigen dalam jantung kongestif kegagalan dan edema paru , kertas
oleh Bledsoe et al alamat ini secara langsung . Mereka mengevaluasi 340 pasien dengan gangguan
pernapasan dalam pengaturan pra - rumah sakit . hampir setengah pasien disajikan dengan gejala kongestif
gagal jantung / edema paru akut . Penulis ini ditemukan bahwa CPAP pada FIO2 dari 0,28-0,3 efektif pada
pasien dengan gagal jantung kongestif dan paru edema . Hanya 6 % dari pasien yang diperlukan intubasi pra
- rumah sakit , dan 70 % dari pasien telah membaik setelah tiba di gawat darurat .
3. Penyakit Paru lainnya
22

Penggunaan terapi oksigen pra-rumah sakit pada pasien dengan pneumonia dan asma telah
dilaporkan. Pasien dengan pneumonia cenderung memiliki komponen paru-paru kronis penyakit, dan,
dengan demikian, aliran tinggi pengiriman oksigen dapat mengakibatkan di PaCO2 tinggi. Majumdar et al
telah menunjukkan bahwa di pasien dengan pneumonia yang SpO2 rendah (92%) dikaitkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang lebih besar pada 30 hari. Penelitian ini dievaluasi 2923 pasien yang dirawat
dalam keadaan darurat Kanada departemen. Mereka menemukan bahwa menggunakan ambang batas untuk
masuk dari SpO2 90% mengakibatkan sejumlah mata pelajaran membutuhkan pendaftaran kembali. Para
penulis percaya bahwa meningkatkan ambang batas untuk masuk ke 92% akan lebih aman. Ini dapat
memberikan ambang batas untuk terapi oksigen dititrasi di perawatan pra-rumah sakit.
Pada pasien dengan asma, data menunjukkan bahwa oksigen harus diberikan hanya dalam
menghadapi hipoksemia. Selain itu, pekerjaan oleh Perrin et al menunjukkan bahwa oksigen inspirasi yang
tinggi menyebabkan hiperkapnia dengan cara yang sama dengan yang terlihat selama pengobatan PPOK.
c. Trauma
Penyakit trauma dan cedera mewakili berbagai patologi , umumnya diklasifikasikan secara global
sebagai tumpul atau penetrasi . Spektrum cedera traumatik termasuk ortopedi patah tulang , memar paru ,
pneumotoraks , saluran napas obstruksi , kehilangan darah , cedera otak traumatis , dan cedera organ padat .
Sementara masing-masing dapat berkontribusi untuk hipoksemia dalam beberapa cara , pasien khas trauma
di perawatan pra - rumah sakit didekati dengan cara yang sama berdasarkan pada pedoman Pra - rumah sakit
Trauma Life Support .

1. Traumatic Injury
Persyaratan untuk oksigen dalam pengobatan trauma pasien tidak dijelaskan dengan baik. Data dari
Pra-rumah sakit Trauma Life Support (PHTLS) panduan menunjukkan bahwa oksigen pengiriman harus
diberikan berdasarkan pada pasien Frekuensi pernapasan (Gbr. 3). Metodologi ini, bersama dengan
rekomendasi untuk pengiriman oksigen perangkat, hasil dalam standar umum untuk masker non-rebreathing
di 15 L / min. Tabel di Gambar 3, berasal dari bab yang berbeda di Pra-rumah sakit Trauma Life Support
(PHTLS) manual. Bersama-sama, bagaimanapun, mereka cenderung untuk mendorong penggunaan tinggi
23

FIO2 di kedua pasien spontan pernapasan dan orang-orang memerlukan dukungan ventilasi. Dengan waktu
transportasi pendek dan beberapa tugas yang diperlukan dari penyedia EMS, penggunaan non-rebreathing
mask menyederhanakan perawatan dan mengurangi jumlah perangkat pengiriman oksigen yang diperlukan
dalam saham. Pasien anekdot, kami telah melihat trauma dengan tembakan luka ekstremitas tiba di
departemen darurat berbicara di telepon seluler mereka diadakan di bawah non-rebreather. Anggapan bahwa
FIO2 tinggi tidak beracun dalam ini singkat time frame dan hipoksemia yang jauh lebih berbahaya.
Amerika Serikat Komando Operasi Khusus menyediakan beberapa petunjuk tentang penggunaan
oksigen untuk traumatic cedera di medan perang . Pedoman ini menunjukkan bahwa oksigen harus diberikan
ketika oksimetri mengidentifikasi hipoksemia ( SpO2 92 % ) . Ketika oksimetri tidak tersedia , oksigen
dipertimbangkan dalam korban dengan hilangnya kesadaran , cedera otak traumatis , shock hemoragik , atau
korban di ketinggian.
d. Kondisi Lainnya
Sejumlah kondisi pra - rumah sakit lain menjamin penggunaan terapi oksigen dalam perawatan pra rumah sakit atau telah dipilih untuk digunakan oksigen . Daftar kecil tersedia di bawah ini .
1. Kehamilan
Sementara kehamilan menyebabkan cacat paru restriktif , dan pasien hamil dapat hadir dengan berbagai
kritis penyakit dalam perawatan pra - rumah sakit , tidak ada bukti bahwa kehamilan membutuhkan terapi
oksigen lebih dari kondisi kesehatan yang lain . Terapi oksigen pada kehamilan harus dititrasi dengan
patofisiologi yang mendasari dan dipandu oleh oksimetri atau analisis gas darah.
2. Sesak Napas
Sesak napas yang terlihat pada pasien dengan hipoksemia , tapi juga pada pasien pada akhir
kehidupan , orang-orang dengan kecemasan , dan penyakit lain yang tidak berhubungan dengan hipoksemia.
Tidak ada bukti bahwa pemberian oksigen meredakan sesak napas di pasien non hypoxemic.
3. Keracunan Karon Monoksida
Penyerahan konsentrasi tinggi oksigen untuk pasien dengan keracunan karbon monoksida
merupakan salah satu syarat di mana hyperoxemia diinginkan. Waktu paruh dari karboksihemoglobin adalah
4-5 jam bernapas udara ruangan. pernafasan 100 % oksigen mengurangi ini untuk 40 min.
C. KESIMPULAN
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia, sebentar saja manusia tak
mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan
kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen dapat
24

memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup.Oksigen
dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen, teknik yang akan dipakai,
dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian.
Pemberian oksigen perlu selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO

25

Anda mungkin juga menyukai