Anda di halaman 1dari 4

Karena Ukuran Kita Tak Sama

17.22 artikel inspirasi, kisah inspirasi dan motivasi, kisah-kisah inspirasi islami, kisah-kisah inspirasi terbaik13
Comments

Oleh Salim A. Fillah


"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi"
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal.
Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari.
Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak
unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, Utsman ibn Affan,
sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki
nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
Masya Allah Utsman berseru, Bukankah itu Amirul Mukminin?!
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah Umar ibn Al Khaththab.
Ya Amirul Mukminin! teriak Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan
menangkapnya. Masuklah hai Utsman! Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema

memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.


Masuklah kemari! seru Utsman,Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!.
Tidak!, balas Umar, Masuklah Utsman! Masuklah!
Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.
Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia
bersandar dibaliknya & bergumam,
Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.
Umar memang bukan Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan
watak khas yang dimiliki.
Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini
memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang
dibawa Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani Umayyah yang kaya raya dan terbiasa
hidup nyaman sentausa. Umar tahu itu. Maka tak dimintanya Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya
mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq
cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai Utsman jadi menyuruh
sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah Umar. Dan inilah Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia Umar
sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
Suatu hari aku melihat Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi, kata
Anas . Aku menghitung tambalan di surban dan jubah Utsman, lanjut Anas, Dan kutemukan tak kurang dari tiga
puluh dua jahitan.
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan.
Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik
tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi
sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi
jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada Umar ibn Abdul Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan
membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya Abdurrahman ibn Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat
dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar
tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban
yang telak dan lucu.
Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan Umar kata lelaki kepada Ali, Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh
berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?
Sebab, kata Ali sambil tersenyum, Pada zaman Abu Bakar dan Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya
bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sad ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap
pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk
berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak
mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu
sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan
memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan
membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang
absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai haq dan bathil. Istilah yang tepat adalah shawab dan khatha.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran
yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafii pernah menyatakan hal ini dengan indah. Pendapatku ini benar, ujar beliau,Tetapi mungkin
mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

ditulis oleh ustadz Salim A. Fillah dalam http://salimafillah.com/karena-ukuran-kita-tak-sama/

ilustrasi foto unta dari http://nanjaandjelle.50webs.com/WestAfrica.html

Anda mungkin juga menyukai