Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI

Disusun oleh:
Sheilla Elfira San Pambayun
G99142107

KEPANITERAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukann pada
semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat
sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012). Populasi epilepsi
aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan
pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di
negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk (PERDOSSI,
2014). Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat (Budiarto, 2007).
Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada
negara maju. Data terbaru menunjukkan bahwa negara yang memiliki sumber
daya yang rendah terutama di daerah pedesaan menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi (Bell et al., 2014). Prevalensi epilepsi berkisar 0,5 4%, sehingga
pada jumlah penduduk Indonesia 240 juta, diperkirakan jumlah penyandang
epilepsi 1,1 1,8 juta (Subandi dan Danuaji, 2014). Prevalensi epilepsi pada usia
lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9%, pada usia > 75
tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara
berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut
(PERDOSSI, 2014). Dalam kebanyakan studi di negara-negara berkembang,
prevalensi epilepsi tetap stabil dalam dekade 3 4 dan biasanya menurun setelah
dekade ke-5 kehidupan. Dalam beberapa penelitian, prevalensi meningkat lagi
setelah usia 60 tahun. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita (Benarjee et al., 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tidak ada definisi epilepsi yang seragam. Bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinik (gejala dan tanda-tanda) yang
serupa

dan

berulang

secara

paroksismal

yang

disebabkan

oleh

hiperaktivitas listrik abnormal sekelompok neuron korteks serebral yang


spontan, akibat gangguan fungsi otak secara intermiten bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sedangkan definisi epilepsi
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang,
berulang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Manifestasi klinik
ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara, berupa perubahan perilaku
stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, motorik, sensorik,
otonom, maupun psikis (Subandi dan Danuaji, 2014).
Definisi operasional epilepsi menurut Fisher et al., (2014), sebagai
berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24
jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa
profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi
1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang
disertai lesi struktural dan epileptiform dischargers).
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi
oleh faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitf, dan somatomotor (Rudofl et al., 2004).
B. ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut
(Subandi dan Danuaji, 2014; PERDOSSI, 2014):

1. Epilepsi primer atau diopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau
defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis

tetapi

penyebabnya

belum

diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom LennoxGastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi aktivitas listrik. Suatu epilepsi terjadi bila terlalu banyak neuron
otak meletup bersamaan (sinkron) begitu cepat, menyebabkan badai listrik
akibat imbalans antara eksitasi dan inhibisi (eksitasi > inhibisi). Jadi otak
adalah sumber epilepsi (Subandi dan Danuaji, 2014).
Ada dua teori yang menjelaskan terjadinya bangkitan epilepsi,
yaitu:
1. Teori kanal ion: yang berperan adalah kanal ion natrium, ion kalsium,
dan ion klorida. Na+ influk dan Ca++ influk berperan dalam proses
eksitasi, sedang Cl- influk berperan dalam proses inhibisi.
2. Teori neurotransmiter: dilihat dari aspek neuro kimia, epilepsi dapat
terjadi akibat perubahan GABA, glutamate, katekolamin, opioid, dan
peptid. Glutamat berperan sebagai neurotransmiter eksitasi yang
mengakibatkan influk Ca++ ke dalam sel post synaptic, sehingga terjadi
proses

depolarisasi

yang

menyebabkan

bangkitan

epilepsi.

Neurotransmiter GABA (gamma amino butyric acid) berperan sebagai


inhibisi, mengakibatkan influk Cl- padan membran sel post synaptic,
sehingga terjadi proses hiperpolarisasi yang menyebabkan hambatan
rangsang (inhibisi), mencegah bangkitan epilepsi (Subandi dan
Danuaji, 2014).

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against
Epilepsi (ILAE) terdiri dari:
Bangkitan parsial / fokal, lokal
o Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu).
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensoris somatosensoris
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis (PERDOSSI, 2014)
Umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit. Jika terjadi >
30 menit, dinamakan status epileptikus fokal sederhana (Arifputra
dan Sumantri, 2014).
o Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
Awitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
Dengan penurunan kesadaran sejak awitan (PERDOSSI,
2014)
Umumnya berlangsung 60 90 menit dan diikuti kebingungan
post-iktal singkat (Arifputra dan Sumantri, 2014).
o Bangkitan parsial yang berkembang menaajdi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
Bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum
Bangkitan parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum

(PERDOSSI, 2014)
Bangkitan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
o Bangkitan lena (absence): lena tipikal dan lena atipikal.
Dapat mengalami gangguan kesadaran sesaat, tanpa perubahan
tonus otot, tanpa aura, tanpa kebingungan atau nyeri kepala tetapi
setelah kebangkitan sering disertai automatism. Penderita tampak
bengong, berlangsung 2 15 detik (Subandi dan Danuaji, 2014).
o Bangkitan mioklonik
Berupa kontraksi sekelompok otot secara tiba-tiba dan sejenak,
seringwaktu bangun tidur. Penderita tidak mengalami gangguan

kognitif dan tanpa defisit neurologic fokal (mendadak jatuh dan


melempar benda yang dipegang) (Subandi dan Danuaji, 2014).
o Bangkitan klonik
o Bangkitan tonik
o Bangkitan tonik klonik
Sering terjadi jeritan, sentakan mioklonik yang didahului sinfrom
prodormal, dan aura. Biasanya bangkitan dimulai dengan
kekakuan anggota gerak, kesadaran menghilang, dan sering

terjatuh (Subandi dan Danuaji, 2014).


o Bangkitan atonik (PERDOSSI, 2014)
Bangkitan tidak tergolongkan
Tidak semua bangkitan merupakan bangkitan epilepsi, seperti:
o Bangkitan pertama kali yang terjadi sebagai reaksi terhadap
anestesi atau obat kuat
o Kejang demam adalah bangkitan yang terjadi selama perjalanan
penyakit mengalami peningkatan suhu tubuh
o Bangkitan psikogenik dapat merupakan ketergantungan atau
kebutuhan untuk diperhatikan, dalam melawan situasi yang penuh
ketegangan atau kondisi psikiatrik khusus
o Eklamsia adalah gejala-gejala termasuk adanya peningkatan
tekanan darah dan bangkitan (Subandi dan Danuaji, 2014)

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit paling baik jika didapatkan dari orang yang melihat
langsung kejadian kejang. Akan tetapi pasien juga dapat memberikan
keterangan tentang aura, kesadaran, dan keadaan post-iktal. Beberapa hal
yang perlu diketahui untuk mengklarifikasi jenis kejang:
-

Pertanda / peringatan sebelum kejang


Pencetus kejang
Ingatan pasien mengenai kejangnya, respons pasien terhadap

lingkungan selama kejang


Durasi dan frekuensi kejang
Respon terhadap terapi (Arifputra dan Sumantri, 2014)

Pemeriksaan Fisik

Pada bayi

Pada pemeriksaan diselidiki apakah ada kelainan bawaan, asimetri


pada badan, ekstremitas, dicacat ukuran dan bentuk kepala dan
keadaan fontanel. Auskultasi dan transluminasi kepala. Kelainan yang
mungkin ditemukan : makrosefali, mikrosefali, hidrosefalus. Fontael
akan menonjol bila tekanan dalam rongga kepala meningkat. Pada
pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks moro, hisap, pegang,

dan tonik leher.


Pada anak dan dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa; mencari
kelainan bawaan, asimetri kepala, muka, tubuh, ekstremitas. Pada
kulit dicari adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak coklat,
putih, dan adenoma sebaseum pada muka pada sklerosi tuberose.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda penyakit Sturge-Weber.
Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda
korio renitis.

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,


misalnya:

Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan kongenital
Kecanduan alcohol atau napza
Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
Tanda-tanda keganasan
Perhatikan tanda-tanda riwayat kejang lama, seperti luka-luka pada
ekstremitas akibat kejang umum yang berulang (PERDOSSI, 2014)

Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal
yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

Paresis Todd
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pascaiktal (PERDOSSI, 2014)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)


Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
-

Membantu menunjang diagnosis

Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi

Membatu menentukan menentukan prognosis

Membantu penentuan perlu atau tidaknya pemberian OAE


(PERDOSSI, 2014)

Apabila hasil rekaman EEG normal, padahal persangkaan epilepsi


berdasar anamnesis tinggi, perlu dilakukan EEG ulang dengan
persyaratan khusus. Abnormalitas EEG interiktal lebih sering terjadi
pada bangkitan parsial daripada bangkitan umum (Subandi dan
Danuaji, 2014).

Pemeriksaan pencitraan otak


Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. MRI beresolusi
tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma,

ganglioma,

malformasi

kavernosus,

DNET

dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss.


Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Magnetic 22

Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam

memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan


metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan
kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang
unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan
neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi
structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat.

Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila


ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi structural, maka
MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala (PERDOSSI,
2014).
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
-

Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan


diagnosis banding dan pemilihan OAE

Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping


OAE

Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE,


atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE
(PERDOSSI, 2014)

Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien (PERDOSSI, 2014)

F. DIAGNOSIS BANDING
Bangkitan epilepsi perlu dibedakan dengan sinkop, kejang demam,
kejang psikogenik. Pada sinkop biasanya ada faktor pencetus seperti
emosi, pada suasana tegang, panas, padat orang dan stress emosi. Diawali
berangsur-angsur, dari posisi tegak berdiri, merasa penglihatan buram,
gelap dan berkeringat, tampak pucat, mual, dan muntah, sangat jarang
penderita sinkop mengalami lidah tergigit atau inkontinensia urin. Tampak
penderita lemas, tanpa gerakan seperti epilepsi, pernafasan dangkal dan

lambat, sehingga jarang cedera. Sinkop berlangsung 10 detik dan cepat


siuman tanpa kebingungan (Subandi dan Danuaji, 2014).
Pada kejang psikogenik juga ada faktor pencetus (emosi), bersama
banyak orang dan jarang waktu tidur. Kesadaran penderita tidak hilang,
sehingga jarang ada inkontinensia, lidah tergigit ataupun cedera. Selama
bangkitan biasanya ada vokalisasi (merintih), mata terpejam, dan melawan
saat pemeriksa mencoba membuka. Pola gerakannya bervariasi tidak
stereotipik. Siuman berangsur-angsur, seringkali dengan emosi dan sadar
tanpa rasa bingung (Subandi dan Danuaji, 2014).
Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang ditemukan
pada anak usia > 6 bulan 5 tahun, berhubungan dengan kenaikan suhu
tubuh dan tidak disebabkan infeksi intracranial maupun kejadian akut
lainnya. Ada KD kompleks (defisit neurologik fokal dan frekuensi sering)
dan KD sederhana (Subandi dan Danuaji, 2014).
Selain di atas, bangkitan epilepsi perlu dibedakan dengan TIA
(transient ischemic attack), iskemik vertebrobasiler, serangan panic,
vertigo, dan hipoglikemia serta gangguan metabolik lain (Subandi dan
Danuaji, 2014).
G. PENATALAKSANAAN
Apabila menghadapi penyandang epilepsi yang sedang mengalami
bangkitan: bertindak secara tenang, jangan panik, jangan mengekang tetapi
dibantu agar tidak mengalami cedera yang membahayakan, seperti
menjaga kepala, diposisikan menoleh dengan mulut ke samping, lepas
kacamata, lepas ikat pinggang atau dasi, dan tunggu sampai siuman penuh
dan dibantu reorientasi. Jangan melakukan hal-hal yang membahayakan
seperti menaruh sesuatu dalam mulut, jangan mencoba mengekang, jangan
mencoba member OAE dan jangan membiarkan telungkup selama
konvulsi. Apabila bangkitan berlangsung > 5 menit atau tidak diketahui
bahwa ia telah mengalami bangkitan sebelumnya, panggilah ambulance,
segera bawa ke rumah sakit untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Juga
apabila penyandang mengalami kecelakaan atau hamil, mempunyai

diabetes, recovery lambat, atau disusul bangkitan lain sebelum kesadaran


pulih kembali, perlu dirawat inap (Subandi dan Danuaji, 2014).
Apabila penyandang epilepsi tidak diberi pengobatan adekuat akan
menimbulkan:
Bangkitan yang mengancam jiwa, karena gagal otak, jantung, dan

paru, trauma dan kecelakaan


Sudden unexpected death in epilepsi
Bangkitan yang tersembunyi dapat menyebabkan kerusakan otak
Permasalahan jangkan panjang seperti IQ menurun, depresi,
percobaan bunuh diri, masalah sosial dan kesulitan hidup (Subandi
dan Danuaji, 2014).

Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari serangan


epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat
menjalani kehidupannya tanpa gangguan.
Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan (Utama dan Gan, 2007):

Terapi kausal
Terapi kausal dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya
dapat ditemukan (sekunder), misalnya:
a) Pada meningoensefalitis, diberikan antibiotik
b) Pada neoplasma dan perdarahan intrakranial diperlukan tindakan
operatif
c) Pada gangguan vaskularisasi otak diberi oksigen untuk mengatasi

hipoksia
Terapi medikamentosa antikonvulsan
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor, antara lain blok kanal natrium,
kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan
menginhibisi

transmisi

eksitatorik

glutamat.

Beberapa

obat

antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain:


a) Golongan hidantoin
Dikenal 3 senyawa antikonvulsi yaitu fenitoin (difenilhidantoin),
mefenitoin, dan etotoin. Dari golongan obat ini, fenitoin
merupakan yang sering dipakai.
Fenitoin

10

Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum


SSP. Bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium yang
berperan dalam memblok loncatan listrik sehingga mencegah
penjalaran ke bagian otak yang lain. Indikasinya untuk epilepsi
umum khusunya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal, dan dapat
juga untuk epilepsi lobus temporalis. Dosis awal dewasa 300 mg,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan antara 300 400 mg,
maksimum 600 mg sehari. Anak di atas 6 tahun, dosis awal sama
dengan dosis dewasa; sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun,
dosis awal 1/3 dosis dewasa; dosis pemeliharaan ialah 4 8
mg/kgBB sehari, maksimum 300 mg. Dosis awal dibagi 2 3 kali
pemberian. Dosis pemeliharaan dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
b) Golongan barbiturat
Golongan obat ini yang biasanya digunakan sebagai antikonvulsi
adalah barbiturang kerja lama (long acting barbiturates). Yang
termasuk golongan obat ini adalah fenobarbital dan primidon.
Fenobarbital
Kerja obat ini dengan membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Merupakan agonis
reseptor GABA, sehingga meningkatkan transmisi inhibitori
dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Indikasinya untuk
epilepsi umum khusus epilepsi grand mal tipe sadar, epilepsi
fokal. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi
kejang demam pada anak. Dosis dewasa biasanya dua kali 120 250 mg/hari, anak 30 - 100 mg/hari.
Primidon
Potensi konvulsinya lebih lemah karena oksigen-karbonil bagian
urea diganti dengan hidrogen. Dalam badan sebagian mengalami
oksidasi menjadi fenobarbital, sebagian mengalami dekarboksilasi
oksidatif pada atom D2 menjadi feniletil malonamid (FEMA)
yang tetap aktif. Obat ini efektif digunakan untuk semua bentuk
bangkitan, kecuali bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan

11

tonik-klonik yang telah refrakter terhadap terapi yang lazim, dan


lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin. Untuk
bangkitan parsial komplek dan bangkitan akinetik minor (suatu
varian bangkitan lena), primidon merupakan obat terpilih;
sedangkan bangkitan lena sendiri efeknya tidak memuaskan.
Dosis dewasa dimulai dengan 3 kali 50 mg/hari; kemudian
dinaikkan sampai 0,75 1,5 gram sehari, untuk 3 kali pemberian.
c) Golongan Oksazolidindion
Trimetadion merupakan obat anti epilepsi tipe absence, namun
sudah jarang digunakan.
d) Golongan suksinimid
Yang digunakan adalah
fensuksimid.
Etosuksimid
Mempunyai efek

sama

etosuksimid,

dengan

metsuksimid,

trimetadion.

dan

Etosuksimid

diabsorpsi lengkap melalui saluran certa, distribusi lengkap


keseluruh jaringan dan kadar cairan liquor sama dengan kadar
plasma. Indikasinya untuk obat pilihan pada bangkitan lena,
epilepsi petit mal murni. Dosis 20 - 30 mg/kgBB/hari.
e) Karbamazepin
Karbamazepin menutup saluran Na pada konsentrasi terapi dan
dapat

menstabilkan

membran

neuron

yang

hiperaktif,

menghalangi kerusakan neuron berulang dan mengurangi


perambatan sinaptik impuls yang berasal dari luar. Kecepatan
absorbsi berbeda-beda antar pasien, tetapi umumnya dapat
terabsorbsi secara sempurna. Obat lambat diabsorpsi jika
diberikan setelah makan. Kadar puncak tercapai setelah 6-8 jam,
waktu paruh 36 jam untuk pasien dosis tunggal pertama,
kemudian turun 20 jam untuk yang mendapatkan terapi berlanjut.
Indikasinya untuk epilepsi parsial dengan gejala kompleks dan
sederhana. Dosis anak di bawah 6 tahun, 100 mg sehari; 6 12
tahun, 2 kali 100 mg/hari. Dosis dewasa: dosis awal 2 kali 200
mg/ hari pertama, selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap.

12

Dosis pemeliharaan berkisar antara 800 1200 mg sehari untuk


dewasa atau 20 30 mg/kgBB untuk anak.
f) Golongan benzodiazepin
Diazepam
Diazepam dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat
pilihan utama pada status epileptikus. Bermanfaat juga untuk
terapi bangkitan parsial sederhana dan efektif pada bangkitan
lena. Memiliki cara kerja yang sama dengan golongan barbiturat.
Untuk mengatasi status epileptikus pada dewasa disuntikkan 0,2
mg/kgBB dengan kecepatan 5mg/menit diazepam IV secara
lambat. Dosis ini dapat di ulang seperlunya dengan tenggang
waktu 15 20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20
30 mg. Sedangkan pada anak dapat diberikan IV 0,15 0,3
mg/kgBB selama 2 menit dan dosis maksimal 5 10 mg.
Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kgBB dapat
digunakan untuk bayi dan anak di bawah 11 tahun, sedangkan
pada anak yang lebih besar dan dewasa tidak bermanfaat
mengatasi kejang akut.
Klonazepam
Penggunaannya tersendiri atau sebagai tambahan bersama anti
epilepsi lain, untuk terapi bangkitan mioklonik, bangkitan
akinetik, dan spasme infantil. Efektif untuk semua tambahan
terapi kecuali pada kejang tonik-klonik. Dosis awal 1,5 mg/hari,
dibagi untuk 3 kali pemberian. Jika diperlukan dosis dinaikkan
0,5 1 mg/3 hari; tetapi tidak lebih dari 20 mg/hari. Dosis anak
sampai 10 tahun atau BB 30 kg, adalah 0,01 0,2 mg/kgBB/hari.
g) Asam valproat
Merupakan obat antikonvulsan yang diindikasikan untuk epilepsi
petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refrakter, sebagai kombinasi dengan obat lain. Dosis dewasa
0,8 - 1,4 g/hari dimulai dengan 600 mg/hari, pada anak 20 - 30
mg/kgBB/hari
h) Golongan lain
- Asetazolamid

13

Merupakan obat yang dikenal sebagai diuretik, tetapi pada


pengobatan epilepsi mempunyai cara kerja menstabilkan
keluar masuknya Na pada sel otak. Indikasinya untuk epilepsi
petit

mal,

grand

mal,

dimana

serangannya

sering

berhubungan dengan siklus menstruasi. Dosis dewasa 5 15


-

mg/kgBB/hari sedangkan untuk anak 12 25 mg/kg/BB/hari.


Vigabatrin
Merupakan inhibitor GABA amino-transferase, mekanisme
kerjanya melalui peningkatan efek GABA. Dosis oral 500 mg
dua kali sehari, agar efektif dibutuhkan dosis total 2 3

gr/hari.
Lamotrigin
Mekanisme kerjanya melalui inaktivasi kanal Na+, Ca+ dan

mencegah pelepasan neurotransmitter glutamate dan aspartat.


Gabapentin
Merupakan analog GABA, tidak bekerja pada reseptor
GABA namun berperan dalam metabolismenya. Digunakan
sebagai terapi tambahan untuk kejang parsial dan kejang
umum tonik-klonik. Pemberian untuk anak < 12 tahun tidak
dianjurkan dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dosis harus disesuaikan. Dosis gabapentin (dewasa dan anak

> 12 tahun) 900 1800 mg/hari.


Topiramat
Mekanisme kerjanya melalui blok kanal Na +, inhibisi efek
GABA. Untuk terapi parsial dan bangkitan umum tonikklonik, juga untuk Sindrom Lennox-gestaut, sindroma West
dan bangkitan lena. Dosis 200 600 mg/hari yang dimulai

dengan dosis kecil dan ditingkatkan perlahan-lahan.


Tiagabin
Inhibitor GABA sehingga meningkatkan kadar GABA dalam
otak. Untuk terapi tambahan bangkitan parsial dan umum

tonik-klonik. Dosis 16 56 mg/hari terbagi dalam 4 dosis.


Zonisamid
Mekanisme kerjanya melalui blok kanal Na+ dan Ca+. Untuk
terapi bangkitan parsial dan umum tonik-klonik serta spasme

14

infantil dan mioklonus. Dosis dewasa 100 - 600 mg/hari,


-

anak 4 12 mg/hari.
Levetirasetam
Analog pirasetam, diindikasikan untuk tambahan pada terapi
bangkitan parsial dan umum tonik-klonik sekunder.

Berikut adalah pemilihan OAE berdasarkan jenis epilepsinya:


Jenis Bangkitan

Pilihan Pertama

Pilihan Kedua

Parsial
Sederhana
Kompleks
Umum Sekunder

Fenitoin
Karbamazepin
Fenobarbital

Klobazam,Gabapentin,
Lamotrigin,Primidon,
Tiagabin,Topiramat,
Vigabatrin,Valproat

Serangan Umum
Tonik-klonik

Fenitoin
Fenobarbital
Valproat
Karbamazepin

Vigabatrin,Klobazam,
Gabapentin,Lamotrigin,
Primidon,Tiagabin,
Topiramat

Absans/Lena

Valproat
Etosuksimid

Asetazolamid,
Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat

Tonik,
atonik,klonik

Valproat

Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat.

Mioklonik

Valproat

Asetazolamid,
klobazam,klonazepam,
felbamat,lamotrigin,
topiramat.

15

Juvenile
Myoclonic

Valproat

Topiramat,lamotrigin

Sindrom
Lennox-Gestaut

Topiramat
Felbamat
Lamotrigin
Hormonal
Valproat
Vigabatrin

Valproat,fenobarbital,
BZDs,ZNS

Sindrom West

Topiramat,lamotrigin,
ZNS,BZDs,piridoksin

(Ropper, 2005)
H. PROGNOSIS
Bangkitan epilepsi dapat dikendalikan dengan OAE dan 70%
terkontrol oleh OAE tunggal. < 50% yang lain sewaktu-waktu dapat
berhenti minum obat. Bangkitan general / lena dan kejang tonik klonik
primer mempunyai prognosis paling baik. Bangkitan pertama yang terjadi
usia > 30 tahun atau disertai defisit neurologik dan retardasi mental
mempunyai prognosis relative jelek (Subandi dan Danuaji, 2014).

16

BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Suku
Agama
Status Perkawinan
Pekerjaan
No. RM

: Tn. R
: 19 tahun
: Laki - laki
: Sambirejo, Sragen
: Jawa
: Islam
: Belum Menikah
: Mahasiswa
: 00 24 11 92

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Kejang berulang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli saraf RSUD Dr. Moewardi bersama
ibunya dengan keluhan kejang berulang sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien telah mendapat serangan kejang untuk yang ketiga kalinya
sejak 3 bulan ini, kira-kira kejang terjadi 1 kali setiap bulan dengan
pola kejang serupa. Serangan biasanya terjadi saat pasien sedang
duduk menonton televisi. Sebelum kejang pasien mengaku tidak
merasakan gejala apapun. Ibunya mengatakan, saat serangan
pandangan anaknya kosong ke depan, kedua lengan tertekuk dan
bergetar, dan tidak dapat merespon. Kemudian anaknya akan terjatuh
miring ke kiri atau ke kanan, sementara kedua lengan kelojotan, kedua
mata mendelik ke atas, durasi 2 3 menit. Kepala tidak menoleh,
mulut tidak mengeluarkan busa, lidah tidak tergigit. Setelah serangan
anaknya tertidur sekitar 10 menit, kemudian terbangun dan sadar
seperti biasa. Pasien mengaku ingat saat serangan berlangsung, namun
tidak dapat menjelaskan atau menirukan serangan.
Sejak 2 tahun sebelumnya keluarga dan teman memperhatikan
bahwa pasien sering bengong. Terkadang pasien harus dikagetkan
agar terbangun, setelah bangun pasien tidak ingat apa-apa mengenai

17

kejadian saat pasien bengong. Pasien pernah mengalami kejang


demam 1x saat usia 9 bulan, durasi 10 menit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma kepala
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat sakit jantung

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat menderita kejang berulang

: disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok

: disangkal

Riwayat minum minuman keras : disangkal


Riwayat olah raga teratur

: disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital

3.
4.
5.
6.

Tensi

: 110/80 mmHg

Nadi

: 76 x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan cukup

Respirasi

: 18x/menit, reguler

Suhu

: afebris

Mata
Leher
Thoraks
Cor

: anemis (-), ikterik (-)


: limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat
: retraksi (-), pelebaran sela iga (-)
: Bunyi jantung I II intensitas normal, reguler, ictus cordis

di SIC IV-V, bising (-)


7. Pulmo : pengembangan dada kanan/kiri sama, fremitus taktil
kanan/kiri sama, perkusi sonor/sonor, suara tambahan (-), ronchi (-)
8. Abdomen :
Inspeksi

: dinding perut // dinding dada, venektasi (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal


Perkusi

: timpani, shifting dullness (-)


18

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

9. Ekstremitas
Akral dingin

Edema

Sianosis

- - -

- Status Neurologis
Kesadaran

: GCS E4V5M6

Fx luhur

: dalam batas normal

Fx vegetatif : dalam batas normal


Fx sensorik :
N
N

N
N

A.

Fx motorik
Kekuatan

Tonus

+2 +2
+2 +2

5 5
5 5

Ref. Fisiologis

Ref. Patologis

- - -

Nervus Cranialis
N. II

: dbn

N. III

: RC (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)

N.VII

: dbn

N.XII

: dbn

Tanda meningeal
Fx koordinasi

: (-)
: dismetria (-), disdiadokokinesia (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektroensefalografi (EEG)

19

Didapatkan hasil : latar belakang berupa irama alfa 10 - 11 spd, amplitudo


sedang, bereaksi dengan buka dan tutup mata. Tampak seringkali muncul
kompleks paku ombak 3 spd amplitudo tinggi bilateral sinkron terutama
terlihat di daerah frontal kanan depan (Fp2 - F4) dan didahului di kanan
depan. Tampak pula gelombang tajam diikuti gelombang lambat delta teta 3 - 4 spd, amplitudo tinggi di daerah frontal kanan depan (Fp2 - F4).
Kesan : EEG abnormal berupa aktivitas epileptiform bilateral sinkron
dengan fokus di frontal kanan depan
E. DIAGNOSIS KERJA
Epilepsi lobus frontal
F. PLAN
Cek darah rutin, gula darah, kolestrol, ureum, kreatinin, elektrolit
CT scan kepala
G. PENATALAKSANAAN
Terapi
Saat status epileptikus : diazepam disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan
kecepatan 5mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat di ulang
seperlunya dengan tenggang waktu 15 20 menit sampai beberapa jam.
Dosis maksimal 20 30 mg.
Fenitoin

100 mg

3x1 kapsul

Resep
R/ inj. Diazepam mg 5 amp. No. I
Cum dispsosible syringe cc 3 no I
imm
R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI
3 dd cap I
Pro : Tn. R (19 tahun)

20

H. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad malam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

21

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
Prinsip farmakoterapi pada epilepsi

OAE (Obat Anti Epilepsi) diberikan bila:


o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.
o Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
o Pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan

tersebut.
Terapi dimulai dengan monoterapi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap

samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara

perlahan.
Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik

sekali dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu
tidak membuat orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose
yang fatal dan bila dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus.
Bila serangan grand mal masih belum dapat diatasi dengan obat-obat
tersebut di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan
primidon (Sidharta, 2009). Primidon efektif untuk semua bangkitan kecuali
bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter
terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin
(Utama dan Gan, 2007). Dosis untuk anak dibawah umur 6 tahun ialah 10 - 25
mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300 - 600 mg/hari. Dosis permulaan
harus rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping primidon dapat berupa

22

ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta, 2009). Di bawah ini
merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan fenitoin:

Fenobarbital
Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran
aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital
merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah.
Dosis efektifnya relatif rendah. Efek samping yang terjadi adalah efek
sedatif. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang
dan kejang demam pada anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari

sedangkan dewasa dua kali 120-250 mg/hari (Utama dan Gan, 2007).
Fenitoin
Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin.
Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk
hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena.

Fenitoin

diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik klonik dan bangkitan parsial.


Farmakodinamik:

Sifat

antikonvulsi

fenitoin

didasarkan

pada

penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.


Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel,
dalam hal ini, khususnya menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan
mengubah neurotranmitor NEPI, asetilkolin, dan GABA.
Farmakokinetik: Pemberian secara per oral mengalami absorpsi secara
lambat dan sesekali tidak lengkap. Pemberian secara IM menyebabkan
fenitoin mengendap ditempat suntikan kira-kira 5 hari dan absorpsi
berlangsung lambat. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga
kerjanya bertahan lebih lama, tetapi mula kerjanya lebih lambat daripada
fenobarbital. Metabolit fenitoin akan di ekskresi melalui ginjal.
Interaksi obat: Interaksi fenitroin dengan fenobarbital atau karbamazepin
akan menyebabkan fenitoin menurun kadarnya karena fenobarbital atau
karbamazepin menginduksi enzim mikrosom hati, tetapi kadang-kadang
kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif dalam
metabolisme.

23

Efek samping: Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah
keracunan pada SSP, saluran cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang lebih
berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum tulang.
Dosis: Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20g/ml.
Ketika terapi oral sudah dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari
tanpa memperlihatkan berat badan. Jika kejang berlanjut, dosis yang lebih
tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar plasma dalam batasbatas terapi yang lebih tinggi (Utama dan Gan, 2007).
Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk
epilepsi tonik klonik

Diazepam
Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status
epileptikus. Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang
dewasa disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam
IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang
waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Efek
samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan diazepam IV
ialah obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot. Disamping
itu dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung,
dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)
Mekanismenya:
Potensiasi inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya
diazepam berikatan dengan reseptor GABA
Pembukaan kanal klorida
Cl- masuk ke dalam sel
meningkatnya potensial elektrik sepanjang membran
sel sukar tereksitasi
Sediaan : 10 mg/ml (injeksi) valium

24

5 mg/ml (injeksi) valdimex

ampul

Asam Valproat
Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif
terhdap

epilepsi

fokal.

Efek

antikonvulsi

valproat

didasarkan

meningkatnya kadar GABA di dalam otak. Valproat efektif terhadap


epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh bangkitan tonik
klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang
memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis awal 3x 200 mg/hari dengan
dosis harian berkisar 0,8-1,4 g. Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai
obat untuk bangkitan lena, tetapi bukan merupakan obat terpilih karena

efek toksiknya terhadap hati. (Utama dan Gan, 2007)


Karbamazepin
Karbamazepin efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan
tonik klonik. Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. Efek
samping yang terjadi setelah pemberian obat jangka lama berupa pusing,
vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi bangkitan
dapat meningkat akibat dosis berlebih. Dosis anak di bawah 6 tahun 100
mg/hari, 6-12 tahun 2x 100 mg/hari, dewasa: dosis awal 2x 200 mg sehari
pertama, selanjutnya dosis ditinggkat secara bertahap. Dosis pemeliharaan
800-1200 mg.hari. (Utama dan Gan, 2007)

25

BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1 Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan
listrik abnormal, berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks
serebri, yang berupa serangan paroksismal berulang dan timbul tanpa
2

provokasi.
Pengobatan epilepsi terdiri atas pengobatan kausatif (terapi penyebab
primer) dan antikonvulsi. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang
(tergantung kondisi dan kepatuhan pasien) dan dihentikan setelah 2-5
tahun pasien bebas kejang. Terapi farmaka harus dipantau karena efek
samping dan reaksi hipersensitivitas obat yang dapat terjadi pada
pasien yang sensitif.

B. SARAN
1.
Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan CT scan kepala
untuk mengetahui penyebab kejang (menyingkirkan penyebab
sekunder karena penyakit lain, misalnya neoplasma, perdarahan
intrakranial, metabolik)
2.
Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, dan
3.
4.

prognosis
Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur
Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tes fungsi hepar
karena efek samping pengobatan dapat menyebabkan gangguan hepar
dan kelainan darah.

26

DAFTAR PUSTAKA
Arifputra Andi dan Sumantri FO (2014). Epilepsi. Dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, dan Pradipta EA (eds). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius, pp: 961-963.
Bell Gail, Neligan Aidan, dan Sander Josemir (2014). An unknown quantity The
worldwide prevalence of epilepsy. Epilepsia, 55 (7), 958-965.
Banerjee PN, Filipi D, dan Hauser WA (2009). The descriptive epidemiogy of
epilepsi- a review. Epilepsi Res, 85(1): 31-45.
Budiarto I (2007). Beberapa karateristik kejang demam sebagai faktor risiko
terjadinya epilepsi. Semarang, Universitas Diponegoro. Tesis.
Fisher S.G, Acevedo C, Arzimanoglou A, et.al. (2014). A Practical Clinical
Definition of Epilepsi. Epilepsia, 1-8
PERDOSSI (2014). Pedoman tatalaksana epilepsi edisi ke-5. Surabaya: Airlangga
University Press.
Ropper AH, Brown RH (2005). Epilepsy and other seizure disorders In Adams
and Victors principles of neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill.
Rudolf G, Valenti MP, dan Hirsch E (2004). Genetic Reflex Epilepsies. Orphanet
Encyclopedia.
http//www.orpha.net/data/patho/GB/ukGeneticReflexEpilepsies.pdf Diakses Agustus 2015.
Sidharta P (2009). Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat
Subandi dan Danuadji Rivan (2014). Neurologi untuk dokter umum. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi
dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI
WHO (2012). Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. http://
www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/ Diakses Agustus 2015.

27

Anda mungkin juga menyukai