EPILEPSI
Disusun oleh:
Sheilla Elfira San Pambayun
G99142107
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukann pada
semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat
sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012). Populasi epilepsi
aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan
pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di
negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk (PERDOSSI,
2014). Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat (Budiarto, 2007).
Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada
negara maju. Data terbaru menunjukkan bahwa negara yang memiliki sumber
daya yang rendah terutama di daerah pedesaan menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi (Bell et al., 2014). Prevalensi epilepsi berkisar 0,5 4%, sehingga
pada jumlah penduduk Indonesia 240 juta, diperkirakan jumlah penyandang
epilepsi 1,1 1,8 juta (Subandi dan Danuaji, 2014). Prevalensi epilepsi pada usia
lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9%, pada usia > 75
tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara
berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut
(PERDOSSI, 2014). Dalam kebanyakan studi di negara-negara berkembang,
prevalensi epilepsi tetap stabil dalam dekade 3 4 dan biasanya menurun setelah
dekade ke-5 kehidupan. Dalam beberapa penelitian, prevalensi meningkat lagi
setelah usia 60 tahun. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita (Benarjee et al., 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tidak ada definisi epilepsi yang seragam. Bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinik (gejala dan tanda-tanda) yang
serupa
dan
berulang
secara
paroksismal
yang
disebabkan
oleh
1. Epilepsi primer atau diopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau
defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis
tetapi
penyebabnya
belum
diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom LennoxGastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi aktivitas listrik. Suatu epilepsi terjadi bila terlalu banyak neuron
otak meletup bersamaan (sinkron) begitu cepat, menyebabkan badai listrik
akibat imbalans antara eksitasi dan inhibisi (eksitasi > inhibisi). Jadi otak
adalah sumber epilepsi (Subandi dan Danuaji, 2014).
Ada dua teori yang menjelaskan terjadinya bangkitan epilepsi,
yaitu:
1. Teori kanal ion: yang berperan adalah kanal ion natrium, ion kalsium,
dan ion klorida. Na+ influk dan Ca++ influk berperan dalam proses
eksitasi, sedang Cl- influk berperan dalam proses inhibisi.
2. Teori neurotransmiter: dilihat dari aspek neuro kimia, epilepsi dapat
terjadi akibat perubahan GABA, glutamate, katekolamin, opioid, dan
peptid. Glutamat berperan sebagai neurotransmiter eksitasi yang
mengakibatkan influk Ca++ ke dalam sel post synaptic, sehingga terjadi
proses
depolarisasi
yang
menyebabkan
bangkitan
epilepsi.
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against
Epilepsi (ILAE) terdiri dari:
Bangkitan parsial / fokal, lokal
o Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu).
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensoris somatosensoris
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis (PERDOSSI, 2014)
Umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit. Jika terjadi >
30 menit, dinamakan status epileptikus fokal sederhana (Arifputra
dan Sumantri, 2014).
o Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
Awitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
Dengan penurunan kesadaran sejak awitan (PERDOSSI,
2014)
Umumnya berlangsung 60 90 menit dan diikuti kebingungan
post-iktal singkat (Arifputra dan Sumantri, 2014).
o Bangkitan parsial yang berkembang menaajdi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
Bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum
Bangkitan parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum
(PERDOSSI, 2014)
Bangkitan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
o Bangkitan lena (absence): lena tipikal dan lena atipikal.
Dapat mengalami gangguan kesadaran sesaat, tanpa perubahan
tonus otot, tanpa aura, tanpa kebingungan atau nyeri kepala tetapi
setelah kebangkitan sering disertai automatism. Penderita tampak
bengong, berlangsung 2 15 detik (Subandi dan Danuaji, 2014).
o Bangkitan mioklonik
Berupa kontraksi sekelompok otot secara tiba-tiba dan sejenak,
seringwaktu bangun tidur. Penderita tidak mengalami gangguan
E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit paling baik jika didapatkan dari orang yang melihat
langsung kejadian kejang. Akan tetapi pasien juga dapat memberikan
keterangan tentang aura, kesadaran, dan keadaan post-iktal. Beberapa hal
yang perlu diketahui untuk mengklarifikasi jenis kejang:
-
Pemeriksaan Fisik
Pada bayi
Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan kongenital
Kecanduan alcohol atau napza
Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
Tanda-tanda keganasan
Perhatikan tanda-tanda riwayat kejang lama, seperti luka-luka pada
ekstremitas akibat kejang umum yang berulang (PERDOSSI, 2014)
Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal
yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
Paresis Todd
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pascaiktal (PERDOSSI, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
ganglioma,
malformasi
kavernosus,
DNET
Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
-
F. DIAGNOSIS BANDING
Bangkitan epilepsi perlu dibedakan dengan sinkop, kejang demam,
kejang psikogenik. Pada sinkop biasanya ada faktor pencetus seperti
emosi, pada suasana tegang, panas, padat orang dan stress emosi. Diawali
berangsur-angsur, dari posisi tegak berdiri, merasa penglihatan buram,
gelap dan berkeringat, tampak pucat, mual, dan muntah, sangat jarang
penderita sinkop mengalami lidah tergigit atau inkontinensia urin. Tampak
penderita lemas, tanpa gerakan seperti epilepsi, pernafasan dangkal dan
Terapi kausal
Terapi kausal dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya
dapat ditemukan (sekunder), misalnya:
a) Pada meningoensefalitis, diberikan antibiotik
b) Pada neoplasma dan perdarahan intrakranial diperlukan tindakan
operatif
c) Pada gangguan vaskularisasi otak diberi oksigen untuk mengatasi
hipoksia
Terapi medikamentosa antikonvulsan
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor, antara lain blok kanal natrium,
kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan
menginhibisi
transmisi
eksitatorik
glutamat.
Beberapa
obat
10
11
sama
etosuksimid,
dengan
metsuksimid,
trimetadion.
dan
Etosuksimid
menstabilkan
membran
neuron
yang
hiperaktif,
12
13
mal,
grand
mal,
dimana
serangannya
sering
gr/hari.
Lamotrigin
Mekanisme kerjanya melalui inaktivasi kanal Na+, Ca+ dan
14
anak 4 12 mg/hari.
Levetirasetam
Analog pirasetam, diindikasikan untuk tambahan pada terapi
bangkitan parsial dan umum tonik-klonik sekunder.
Pilihan Pertama
Pilihan Kedua
Parsial
Sederhana
Kompleks
Umum Sekunder
Fenitoin
Karbamazepin
Fenobarbital
Klobazam,Gabapentin,
Lamotrigin,Primidon,
Tiagabin,Topiramat,
Vigabatrin,Valproat
Serangan Umum
Tonik-klonik
Fenitoin
Fenobarbital
Valproat
Karbamazepin
Vigabatrin,Klobazam,
Gabapentin,Lamotrigin,
Primidon,Tiagabin,
Topiramat
Absans/Lena
Valproat
Etosuksimid
Asetazolamid,
Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat
Tonik,
atonik,klonik
Valproat
Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat.
Mioklonik
Valproat
Asetazolamid,
klobazam,klonazepam,
felbamat,lamotrigin,
topiramat.
15
Juvenile
Myoclonic
Valproat
Topiramat,lamotrigin
Sindrom
Lennox-Gestaut
Topiramat
Felbamat
Lamotrigin
Hormonal
Valproat
Vigabatrin
Valproat,fenobarbital,
BZDs,ZNS
Sindrom West
Topiramat,lamotrigin,
ZNS,BZDs,piridoksin
(Ropper, 2005)
H. PROGNOSIS
Bangkitan epilepsi dapat dikendalikan dengan OAE dan 70%
terkontrol oleh OAE tunggal. < 50% yang lain sewaktu-waktu dapat
berhenti minum obat. Bangkitan general / lena dan kejang tonik klonik
primer mempunyai prognosis paling baik. Bangkitan pertama yang terjadi
usia > 30 tahun atau disertai defisit neurologik dan retardasi mental
mempunyai prognosis relative jelek (Subandi dan Danuaji, 2014).
16
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Suku
Agama
Status Perkawinan
Pekerjaan
No. RM
: Tn. R
: 19 tahun
: Laki - laki
: Sambirejo, Sragen
: Jawa
: Islam
: Belum Menikah
: Mahasiswa
: 00 24 11 92
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Kejang berulang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli saraf RSUD Dr. Moewardi bersama
ibunya dengan keluhan kejang berulang sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien telah mendapat serangan kejang untuk yang ketiga kalinya
sejak 3 bulan ini, kira-kira kejang terjadi 1 kali setiap bulan dengan
pola kejang serupa. Serangan biasanya terjadi saat pasien sedang
duduk menonton televisi. Sebelum kejang pasien mengaku tidak
merasakan gejala apapun. Ibunya mengatakan, saat serangan
pandangan anaknya kosong ke depan, kedua lengan tertekuk dan
bergetar, dan tidak dapat merespon. Kemudian anaknya akan terjatuh
miring ke kiri atau ke kanan, sementara kedua lengan kelojotan, kedua
mata mendelik ke atas, durasi 2 3 menit. Kepala tidak menoleh,
mulut tidak mengeluarkan busa, lidah tidak tergigit. Setelah serangan
anaknya tertidur sekitar 10 menit, kemudian terbangun dan sadar
seperti biasa. Pasien mengaku ingat saat serangan berlangsung, namun
tidak dapat menjelaskan atau menirukan serangan.
Sejak 2 tahun sebelumnya keluarga dan teman memperhatikan
bahwa pasien sering bengong. Terkadang pasien harus dikagetkan
agar terbangun, setelah bangun pasien tidak ingat apa-apa mengenai
17
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
: disangkal
: disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
3.
4.
5.
6.
Tensi
: 110/80 mmHg
Nadi
Respirasi
: 18x/menit, reguler
Suhu
: afebris
Mata
Leher
Thoraks
Cor
Palpasi
9. Ekstremitas
Akral dingin
Edema
Sianosis
- - -
- Status Neurologis
Kesadaran
: GCS E4V5M6
Fx luhur
N
N
A.
Fx motorik
Kekuatan
Tonus
+2 +2
+2 +2
5 5
5 5
Ref. Fisiologis
Ref. Patologis
- - -
Nervus Cranialis
N. II
: dbn
N. III
N.VII
: dbn
N.XII
: dbn
Tanda meningeal
Fx koordinasi
: (-)
: dismetria (-), disdiadokokinesia (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektroensefalografi (EEG)
19
100 mg
3x1 kapsul
Resep
R/ inj. Diazepam mg 5 amp. No. I
Cum dispsosible syringe cc 3 no I
imm
R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI
3 dd cap I
Pro : Tn. R (19 tahun)
20
H. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
21
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
Prinsip farmakoterapi pada epilepsi
tersebut.
Terapi dimulai dengan monoterapi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara
perlahan.
Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik
sekali dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu
tidak membuat orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose
yang fatal dan bila dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus.
Bila serangan grand mal masih belum dapat diatasi dengan obat-obat
tersebut di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan
primidon (Sidharta, 2009). Primidon efektif untuk semua bangkitan kecuali
bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter
terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin
(Utama dan Gan, 2007). Dosis untuk anak dibawah umur 6 tahun ialah 10 - 25
mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300 - 600 mg/hari. Dosis permulaan
harus rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping primidon dapat berupa
22
ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta, 2009). Di bawah ini
merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan fenitoin:
Fenobarbital
Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran
aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital
merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah.
Dosis efektifnya relatif rendah. Efek samping yang terjadi adalah efek
sedatif. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang
dan kejang demam pada anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari
sedangkan dewasa dua kali 120-250 mg/hari (Utama dan Gan, 2007).
Fenitoin
Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin.
Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk
hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena.
Fenitoin
Sifat
antikonvulsi
fenitoin
didasarkan
pada
23
Efek samping: Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah
keracunan pada SSP, saluran cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang lebih
berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum tulang.
Dosis: Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20g/ml.
Ketika terapi oral sudah dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari
tanpa memperlihatkan berat badan. Jika kejang berlanjut, dosis yang lebih
tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar plasma dalam batasbatas terapi yang lebih tinggi (Utama dan Gan, 2007).
Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk
epilepsi tonik klonik
Diazepam
Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status
epileptikus. Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang
dewasa disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam
IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang
waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Efek
samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan diazepam IV
ialah obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot. Disamping
itu dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung,
dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)
Mekanismenya:
Potensiasi inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya
diazepam berikatan dengan reseptor GABA
Pembukaan kanal klorida
Cl- masuk ke dalam sel
meningkatnya potensial elektrik sepanjang membran
sel sukar tereksitasi
Sediaan : 10 mg/ml (injeksi) valium
24
ampul
Asam Valproat
Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif
terhdap
epilepsi
fokal.
Efek
antikonvulsi
valproat
didasarkan
25
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1 Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan
listrik abnormal, berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks
serebri, yang berupa serangan paroksismal berulang dan timbul tanpa
2
provokasi.
Pengobatan epilepsi terdiri atas pengobatan kausatif (terapi penyebab
primer) dan antikonvulsi. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang
(tergantung kondisi dan kepatuhan pasien) dan dihentikan setelah 2-5
tahun pasien bebas kejang. Terapi farmaka harus dipantau karena efek
samping dan reaksi hipersensitivitas obat yang dapat terjadi pada
pasien yang sensitif.
B. SARAN
1.
Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan CT scan kepala
untuk mengetahui penyebab kejang (menyingkirkan penyebab
sekunder karena penyakit lain, misalnya neoplasma, perdarahan
intrakranial, metabolik)
2.
Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, dan
3.
4.
prognosis
Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur
Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tes fungsi hepar
karena efek samping pengobatan dapat menyebabkan gangguan hepar
dan kelainan darah.
26
DAFTAR PUSTAKA
Arifputra Andi dan Sumantri FO (2014). Epilepsi. Dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, dan Pradipta EA (eds). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius, pp: 961-963.
Bell Gail, Neligan Aidan, dan Sander Josemir (2014). An unknown quantity The
worldwide prevalence of epilepsy. Epilepsia, 55 (7), 958-965.
Banerjee PN, Filipi D, dan Hauser WA (2009). The descriptive epidemiogy of
epilepsi- a review. Epilepsi Res, 85(1): 31-45.
Budiarto I (2007). Beberapa karateristik kejang demam sebagai faktor risiko
terjadinya epilepsi. Semarang, Universitas Diponegoro. Tesis.
Fisher S.G, Acevedo C, Arzimanoglou A, et.al. (2014). A Practical Clinical
Definition of Epilepsi. Epilepsia, 1-8
PERDOSSI (2014). Pedoman tatalaksana epilepsi edisi ke-5. Surabaya: Airlangga
University Press.
Ropper AH, Brown RH (2005). Epilepsy and other seizure disorders In Adams
and Victors principles of neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill.
Rudolf G, Valenti MP, dan Hirsch E (2004). Genetic Reflex Epilepsies. Orphanet
Encyclopedia.
http//www.orpha.net/data/patho/GB/ukGeneticReflexEpilepsies.pdf Diakses Agustus 2015.
Sidharta P (2009). Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat
Subandi dan Danuadji Rivan (2014). Neurologi untuk dokter umum. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi
dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI
WHO (2012). Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. http://
www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/ Diakses Agustus 2015.
27