Anda di halaman 1dari 15

A.

Kasus
Seorang anak datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari SMRS.
Pasien dalam keadaan sadar dan dapat berjalan sendiri. Kemudian dilakukan tindakan
nebulizer, setelah dirasa membaik pasien disarankan pulang. Ketika sudah berada di
rumah, beberapa jam kemudian kambuh lagi dan sekitar jam 10.00 di bawa ke UGD.
Pada pukul 12.00 pasien dibawa ke bangsal. Demam (-), batuk (+), pilek (-), mual (-),
muntah (-), diare (-).
KU : pasien tampak kesulitan bernafas, kesadaran komposmentis. RR:
26x/menit, N: 122x/menit, TD: 110/70 mmHg, T: 37 oC, BB: 24 kg, TB: 118 cm. Pada
pemeriksaan fisik kepala konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), air mata (+/+). Leher limfonodi tidak teraba. Thorak simetris, S1-S2 reguler,
wheezing (+), retraksi intercosta (+), retraksi suprasternal (+). Abdomen supel,
peristaltic (+), hepar lien tidak teraba. Ekstremitas akral hangat, nadi kuat, perfusi
jaringan baik, edema (-). Pemeriksaan sturasi oksigen 98%. DI bangsal pasien di
berikan tindakan nebulizer ventolin 2 jam sekali.
B. Masalah yang dikaji
Pada pasien ini tindakan yang dilakukan di bangsal adalah diberikan nebulizer
ventolin 2 jam sekali, apakah tindakan ini sudah tepat ?
C. Analisis masalah
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan
episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada

malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan
jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional
asma yaitu dengan mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma
atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
a) Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
allergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom, jalur imunologis
didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi laergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibody IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada intertisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkioulus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup allergen, terjadi fase
sensitisasi, antibody IgE orang tersebut akan meningkat. Allergen kemudian berikatan
dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan antara lain: histamine, leukotrien, factor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus

kecil, sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas.pada reaksi alergi fase cepat obstruksi saluran napas terjadi
segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan allergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cells (APC) merupakan sel-sel kunci dalam pathogenesis asma.
Proses peradangan yang terjdi pada reaksi asthma dapat menyebabkan
kerusakan epitel bronkus. Sehingga ujung saraf eferen vagal mudah tereksitasi. Ujung
saraf

eferen

vagal

mukosa

yang

terangsang

mengakibatkan

terjadinya

bronkhokontriksi.
b) Faktor resiko
Faktor risiko asama dipengaruhi oleh beberapa factor :
1. Atopi/ alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronchial jika terpajan dengan
faktor pencetusnya.
2. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan
3. Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak, sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali disbanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

4. Ras/etnik
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan factor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas

dan

meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

asma.

Meskipun

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan


asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
c) Faktor pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma udah
sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma
mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya
dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan
oleh allergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan
oleh reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor
pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :

1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah ,misalnya tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain
b. Alergen luar rumah ( serbuk sari dan spora jamur )

2. Faktor Lain
a. Alergen makanan..
Contoh susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritromisin,
tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lain-lain.
c. Bahan yng mengiritasi
Contoh : Parfum, household spray dan lain-lain
d. Ekspresi emosi berlebihan
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
f. Polusi udara dari luar maupun dalam ruangan
g. Exercise induced asthma
h. Perubahan cuaca
i. Status ekonomi

d) Klasifikasi
GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma
persisten, ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.

e) Diagnosis

1. Anamnesis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di
seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak
khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat
episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis
asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan
faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit atau gejala :
1.

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2.

Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3.

Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.

4.

Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.

5.

Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit


1.

Riwayat keluarga (atopi).

2.

Riwayat alergi/atopi.

3.

Penyakit lain yang memberatkan.

4.

Perkembangan penyakit dan pengobatan.


Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari

atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian
cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada
malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan
sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat
dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya
sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan
obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat
bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang
tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
b. Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang,
terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga.
Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga
melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
c. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah
posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

d. Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah.
Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi
bronkus banyak.
e. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat
disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan obat bantu napas.
f. Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya
dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang
dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya
terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat
badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat
dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan
penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1,
PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada
tiap kunjungan. peak flow meter adalah yang paling sederhana, sedangkan
dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas
paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang >
15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya
ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi
yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan
meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu.
Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma
yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan.
Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi
bronkus dapat dilakukan dengan :
1.

Histamin

2.

Metakolin

3.

Beban lari

4.

Udara dingin

5.

Uap air

6.

Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas

positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan
setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan
FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti
hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. Foto
rontgen toraks

Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering


ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik.
Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.
Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat
menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal CharcotLeyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan
leukositosis polimormonuklear.
Uji kulit alergi dan imunologi
1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah
alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif
palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen
yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan.
Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat,
yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji
kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit

tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit


pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma . Diakses
dari

http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/756/4/BK2009-

G127.pdf tanggal 3 November 2012.


2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : BukuAjar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 87
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention,

revised

2006.

Accessed

June

15,

2007.

Available

from

http://www.ginasthma.com/GuidelinesResources.asp
4. Elizur A, Bacharier LB, Strunk RC. 2007. Pediatric Asthma Admissions: Chronic
Severity And Acute Exacerbations. J Asthma 2007; 44(4):285-9.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2002. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika :
Jakarta.
Dokter Pembimbing

dr. Sri Aminah, Sp.A

Anda mungkin juga menyukai