Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus Rumkit TK II Putri Hijau

DEMAM TIFOID

OLEH

: Niza Novrizal
Fannie Rizki Ananda
Winda Wahyuni
Rico Rasaki
M. Luthfi Hsb

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I / BB


MEDAN

2015

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal :
Nilai

Pimpinan Sidang

(dr. H. Parhusip, Sp.PD)

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul Demam Tifoid.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. H. Parhusip, Sp.PD yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,27 November 2015

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................
1.1. Latar Belakang...............................................................................................
1.2. Defenisi..........................................................................................................
1.3. Epidemiologi...................................................................................................
1.4. Etiologi............................................................................................................
1.5. Patogenesis......................................................................................................
1.6. Manifestasi Klinis, Diagnosis, Diagnosis Banding.....................................
1.7. Penatalaksanaan............................................................................................
1.8. Komplikasi....................................................................................................
1.9. Edukasi dan Pencegahan...............................................................................
1.10. Prognosis.....................................................................................................
1.11. Tifoid Karier................................................................................................
BAB 2 STATUS ORANG SAKIT.................................................................................
BAB 3 FOLLOW UP HARIAN DI RUANGAN.........................................................
BAB 4 DISKUSI.............................................................................................................
BAB 5 KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

34

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah
kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa
dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas.1 Diperkirakan
demam tifoid menyerang 22 juta orang pertahun dengan angka kematian
mencapai 200.000 jiwa per tahun. Menurut WHO, pada tahun 2003 terdapat
sekitar 900.000 kasus di Indonesia, dimana sekitar 20.000 penderitanya meninggal
dunia.2
Di Indonesia, ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.3
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enteritica, khususnya serotype Salmonella typhi.4 Bakteri ini
termasuk kuman Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil,
berbentuk batang, berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik
antigen O, H dan Vi. Penyebarannya terjadi secara fekal-oral melalui makanan
ataupun minuman. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.5
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada
yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. 6,7 Komplikasi yang sering dijumpai
adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati
tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman
adalah secara hematogen.7
Oleh karena itu, diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang
tepat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat
mencegah terjadinya komplikasi.8 Pengetahuan mengenai gambaran klinis
penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini dan pada

kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk


membantu menegakkan diagnosis.9
1.2 DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C. Penyakit ini ditularkan
melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin
orang yang terinfeksi.
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi
C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi.10
1.3 EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan jumlah penderita
sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di setiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdsrakan hasil Survei
nKesehatan rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. 3
Namun, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen kesehatan RI
tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola

penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia (41.081
kasus).

1.4 ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
1.5 PATOGENESIS
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.3
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di


dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.3

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental dan koagulasi.3
Di dalam plak peyeri makrofag yang hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapar terjadi akibat erosi pembuluh darah sekita plak peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat menyebabkan perforasi.3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya

komplikasi

seperti

gangguan

pernapasan, dan gangguan organ lainnya.3

neuropsikiatrik,

kardiovaskular,

1.6 Manifestasi Klinis, Diagnosis, dan Diagnosis Banding Demam Tifoid


a. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada minggu
pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat.Sifat demamadalah meningkat perlahanlahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Pada minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia.
b. DIAGNOSA
Anamnesis dan pemeriksaan fisik didapati gejala dan tanda seperti diatas,
maka dianjurkan melakukan pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang
diagnosa.
1. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Laju endap darah dapat meningkat.
SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh.
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur
organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam
penegakan diagnostik.
2. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
typhi.Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen

kuman S. thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin.Antigen yang


digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid, yaitu:
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (Flagella kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin
H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 912 bulan.
Interpretasi Reaksi Widal:12
a. Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masingmasing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan
tergantung hasil penelitiannya.
b. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan
atau perjanjian pada satu daerah dan berlaku untuk daerah tersebut.
Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid.
c. Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid
d. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu:
pengobatan dini dengan antibiotik
gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid
waktu pengambilan darah
daerah endemik atau non-endemik
riwayat vaksinasi

reaksi anamnestik yaitu peningkatan titer aglutinin padainfeksi


bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau

vaksinasi
faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.

3. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti S-typhi
O9 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti
O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic
latex.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat
tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga
deteksi terhadap antigen O9 dapat dilakukan lebih dini yaitu pada hari
ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Tes
ini hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak untuk IgG sehingga tidak
dapat dipergunakan sebagai modalitas mendeteksi infeksi masa
lampau.
4. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji ini
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD,
yang terdapat pada strip nitroselulosa.
5. Uji IgM Dipstick
Uji IgM Dipstick secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood.Uji ini

menggunakan strip yang mengandung antigen liopolisakarida (LPS) S.


typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien,
tabung uji. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan
campuran reagen deteksi dan serum selama 3 jam pada suhu kamar.
Setelah itu, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.Secara
semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus
terwarna dengan baik.
6. Kultur Darah
Hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
biakan negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin
a.
b.
c.
d.

disebabkan beberapa hal sebagai berikut:


Telah mendapat terapi antibiotik
Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah)
Riwayat vaksinasi
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.

d. Diagnosis Banding12
1. Pnemonia, influenza
2. Gastroenteritis, hepatitis akut, dengue
3. Tuberkulosis, malaria, shigellosis
4. Brucellosis, tularemia
5. Leukemia, limfoma
6. Leptospirosis
7. Dll
1.7 PENATALAKSANAAN
Trilogi Penatalaksanaan Demam Tifod
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
2. Diet dan terapi penunjang

10

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan


penyakit demam tifoid karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Pemberian bubur saring pada pasien demam tifoid ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus.Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara
sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam
tifoid.
3. Pemberian Antibiotika
a. Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalah 4x500mg per hari dapat diberikan secara
per oral atau intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan

anemia

aplastik

lebih

rendah

dibandingkan

kloramfenikol.
c. Kotrimoksazol
Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu. Efektitas hamper sama dengan kloramfenikol.
d. Ampsisilin dan Amoksisilin
Dosis yang dianjurkan antara 50-150mg/kgBB dan digunakan selama
2 minggu.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga
Yang dianjurkan adalah Seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 sampai 5 hari.
f. Golongan Fluorokinolon
Norfloksasin dosis 2x400mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2x500mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2x400mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
g. Azitromisin

11

Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang


tinggi walaupun konsetrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika
akan terkonsentrasi di dalam sel sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang
merupakan kuman intraseluler. Keuntungan lain adalah azitromisin
tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.
h. Kombinasi Obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti: toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik.
i. Kortikosteroid
Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3x5mg

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena
dikhawatirkan

dapat

terjadi

partus

premature,

kematian

fetus

intra

uterin.Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama kehamilan karena


kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus.Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien demam tifoid terbagi dua
yaitu:
a. Komplikasi Intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis
b. Komplikasi ekstra-intestinal:
Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, Tromboflebitis
Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis
Paru: pneumonia, empiema, pleuritis
Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis

12

Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis


Tulang: osteomielitis, periostitits, spondilitis, arthritis
Neuropsikiatrik/ tifoid toksik

Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan.Selanjutnya bila luka menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi.Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok.Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas
normal.Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan
yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

Perforasi Usus
Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke
seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus.Bising usus melemah
pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen.Tanda tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus
demam tifoid.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya mengobati kuman
S. typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan
anaerob pada flora usus.Umumnya diberikan antibiotik spectrum luas
dengan

kombinasi

kloramfenikol

dan

ampisilin

intravena.Untuk

13

kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ metronidazol.Cairan harus


diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan
dipasang NGT.Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan
darah akibat perdarahan intestinal.

Komplikasi Hematologi
Trombositopenia terjadi karena menurunnya produksi trombosit di
sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi
trombosit di sistemm retikuloendotelial.
Penyebab Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID) adalah
endotoksin yang mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan
fibrinolisis.Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah,
substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin,
meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian
heparin pada demam tifoid.

Hepatitis Tifosa
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
sistem imun yang kurang.Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan
hepatitis oleh karena virus).

Pankreatitis Tifosa
Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator pro-inflamasi, virus,
bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi.Pemeriksaan enzim amilase
dan

lipase

serta

USG/CT

Scan

dapat

membantu

diagnosis.

Penatalaksanaanya adalah antibiotik intravena seperti seftriakson atau


kuinolon.

Miokarditis

14

Pasien biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa


keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman

S. typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian.


Manifestasi Neuropsikiatrik/ Tifoid Toksik
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (Kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, spoor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak dalam batas
normal.Diduga faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang
rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan yang
masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan
akibatnya meningkatkan kematian.
Semua kasus tifoid toksik langsung diberikan pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4x400mg ditambah ampisilin 4x1 gram dan
deksametason 3x5 mg.

1.9 Edukasi dan Pencegahan


Strategi pokok memutuskan transmisi tifoid:
1. Identifikasi dan eradikasi S typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan
akut
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun
karier
3. Proteksi pada orang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
VAKSINASI
1. Vaksin oral: Ty21a (vivotif Berna) dan belum beredar di Indonesia
2. Vaksin parenteral: ViCPS (typhim Vi/ Psteur Merieux), vaksin kapsul
polisakarida.
Indikasi Vaksinasi:
a. Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personilmiliter, petugas
rumah sakit, laboratorium kesehatan, industry makanan/ minuman.
b. Individual: pengunjung/ wisatawan ke daerah endemic, orang yang kontak
erat dengan pengidap tifoid (karier).

15

Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan


ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90% bertahan
selama 3 tahun.
1.10

PROGNOSIS

Prognosis ditentukan tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis, juga


tatalaksana awal yang benar.Umumnya, demam tifoid yang tidak diobati
mempunyai mortalitas kira kira 10-20%. Pada kasus yang sudah ditatalaksana,
mortality rate kurang dari 1%.13
1.11

TIFOID KARIER

Definisi dan menisfestasi tifoid karier


Definisi pengidap tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S.typhi masih dapat ditemukan
di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan. Pada
penelitian di Jakarta dilaporkan bahawa 16,18% (N=68) kasus demam tifoid
masih didapatkan kuman S.typhi pada kultur fesesnya.1
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal
adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada
tifoid karier sering sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat
peningkatan risiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal,
karsinoma pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan
lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan
populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor
infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi
tifoid akut.1
Proses patofisiologi dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas.
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum jelas. Imunitas

16

selular diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada
penderita sickle cell disease dan systemic lupus eritematous (SLE) maupun
penderita AIDS bila terinfeksi salmonella akan terjadi bakteremia yang berat.
Pada pemeriksaan inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan
respon reaktivitas selular terhadap salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan
penurunan imunitas selular dan humoral.
Diagnose tifoid karier
Diagnosa tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman
Salmonella typhi pada biakan feses atau pun urin pada seseorang tanpa klinis
infeksi atau pada seseorang setelah satu tahun pasca-demam tifoid. Dinyatakan
kemungkinan besar bukan sebagai tifoid karier bilasetelah dilakukan biakan
secara acak serial minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S.typhi.1
Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,
dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan titer
antibody Vi sebesar 160.
Penatalaksanaan tifoid karier
Tanpa disertai kasus kolelitiasis
-Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1
2
3

ampisilin 100mg/kg/BB/hari +probenesid 30mg/kgBB/hari


amoksisilin 100mg/kgBB/hari +probenesid 30mg/kgBB/hari
trimetropin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari

-Disertai kasus kolelitiasis


Kolesistektomi +regimen tersebut di atas selama 28 hari kesembuhan 80% atau
kolesistektomi +salah satu regimen terapi di bawah ini
1
2

-siprofloksasin 750mg/2 kali/hari


-norfloksasin 400mg/2 kali/hari

-Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius

17

1
2

-prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal, atau


-metrifonat 7,5 10mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis interval 2 minggu.
Setelah eridikasi S. Haematobium tersebut baru diberikan regimen terapi
seperti diatas.3

18

BAB 2
STATUS ORANG SAKIT
ANAMNESIS PRIBADI
NAMA

: M Wardia

Umur

: 17 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Status Perkawinan

: Belum menikah

Pekerjaan

: Pelajar

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. William Iskandar No. 116

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan utama

: Demam

Telaah

: - Hal ini dialami pasien sejak dua hari sebelum masuk


rumah sakit. Demam bersifat naik turun, demam naik
terutama pada sore menjelang malam hari dan turun
pada saat pagi hari. Demam trurun dengan obat
penurun panas. Demam sampai mencapai suhu 39.0oC.
-

Mual mutah dialami pasien 3 hari sebelum masuk


rumah sakit, muntah 2-3 kali per hari dengan jumlah
kurang lebih 1 gelas aqua per kali muntah, muntah
berisi makanan yang dimakan pasien. Muntah darah
tidak dijumpai. Penurunan nafsu makan dijumpai,

penurunan berat badan tidak dijupai.


Sakit kepala dijumpai, nyeri dibelakang mata dijumpai,
nyeri sendi dan otot tidak dijumpai, mencret tidak
dijumpai, sakit pada perut tidak dijumpai, mimisan

19

tidak dijumpai, BAB hitam tidak dijumpai, muntah


darah tidak dijumpai, batuk tidak dijumpai, sesak nafas
tidak dijumpai, nyeri menelan tidak dijumpai, sakit
-

saat BAK tidak dijumpai.


Riwayat pasien pernah bepergian ke daerah endemis
malaria dalam beberapa minggu sebelumnya tidak
dijumpai, riwayat saudara ataupun lingkungan sekitar
pasien menderita hal yang sama dengan pasien tidak

dijupai.
BAB dalam batas normal, BAK dalam batas normal

RPT

: Demam berdarah

RPO

: pernah diobati dan diopname utuk DBD yang dialami

pasien.
ANAMNESIS ORGAN
Jantung

Sesak Napas
Angina Pectoris

Saluran Pernapasan Batuk-batuk


Dahak
Saluran
Nafsu Makan

::::: Menurun

Edema
Palpitasi
Lain-lain
Asma, bronchitis
Lain-lain
Penurunan BB

::::::-

Pencernaan

Saluran Urogenital

Sendi dan Tulang

Endokrin
Saraf Pusat

Keluhan Menelan
Keluhan Perut

::

Keluhan Defekasi
nyeri Lain-lain

Sakit Buang Air Kecil

epigastrium
:Buang air kecil : -

Mengandung Batu
Haid
Sakit pinggang

:::-

Tersendat
Keadaan Urin
Lain-lain
Keterbatasan

Keluhan Persendian
Haus/Polidipsi
Poliuri
Polifagi
Sakit Kepala

:::::+

Gerak
Lain-lain
Gugup
Perubahan Suara
Lain-lain
Hoyong

::-

:dbn
:::::::-

20

Darah dan

Pucat

:-

Petechiae

:-

Claudicatio

:-

Lain-lain
Perdarahan

::-

Purpura
Lain-lain
Lain-lain

:::-

Pembuluh darah
Sirkulasi Perifer

Intermitten

ANAMNESIS FAMILI: Tidak dijumpai keluarga dengan keluhan yang sama.


PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
STATUS PRESENS:
STATUS PRESENS
VAS = 2-3
Keadaan Umum
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan

: Composmentis
: 120/70 mmHg
: 88 x/i, reguler, t/v : cukup
: 20 x/i

Keadaaan Penyakit
Pancaran wajah
: Lemah
Sikap Paksa
:Reflek fisiologis
: +/+
Reflek patologis
:Anemia(-), Ikterus (-), Dispnu (-)
Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)

Keadaan Gizi: Gizi normal


BW =

45

168-100

x 100%

Turgor Kulit: Baik/ Sedang / Jelek


TB : 168 cm
BB : 45 kg
dfagaagafag

BW = 66,1%
IMT:15.9
kg/m2
Kesan: Underweight
KEPALA:

21

Mata :konjungtiva

palpepbra

pucat

(-/-),

ikterus

(-/-),

pupil:

isokor/unisokor,ukuran: 3 mm, refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+),


kesan: kesan dbn
Telinga: dalam batas normal
Hidung: dalam batas normal
Mulut : lidah

: atrofi papila lidah (-)

gigi geligi

: gusi berdarah (-), hiperplasia (-)

tonsil/faring

: hiperemis (-)

LEHER:
Struma membesar/ tidak membesar, tingkat: - , nodular / multi nodular / diffuse
Pembesaran kelenjar limfa (-), lokasi: - , jumlah -, konsistensi -, mobilitas: -, nyeri
tekan (-)
Posisi trakea: medial, TVJ: R-2 cm H2O
Kaku kuduk (-), lain-lain: THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk

: Simetris fusiformis

Pergerakan

: Tidak ada ketinggalan napas

Palpasi
Nyeri tekan

: Tidak ada nyeri tekan

Fremitus suara

: SF kanan = SF kiri kesan normal

Iktus

: Tidak terlihat, teraba di ICS V LMCS

Perkusi
Paru

22

Batas Paru-Hati R/A

: R : ICS V LMCD, A : ICS VI LMCD

Peranjakan

: 1-2 cm

Jantung
Batas atas jantung

: ICS II LMCS

Batas kiri jantung

: ICS IV 1 cm medial LMCS

Batas kanan jantung

: LPSD ICS IV

Auskultasi
Paru
Suara pernafasan

: Vesikular

Suara tambahan

: (-)

Jantung
M1 > M2, P2 > P1, T1 > T2, A2 > A1, desah sistolis (-), tingkat (-)
Desah diastolis (-), lain-lain: (-)
HR:88 x/menit, reg / irreg, intensitas: t/v : cukup
THORAX BELAKANG
Inspeksi

: Simetris fusiformis

Palpasi

: SF kanan = kiri kesan normal

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

: SP
ST

: Vesikular
: (-)

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk

: Simetris

Gerakan Lambung/Usus

: Tidak terlihat

23

Vena Kolateral

:-

Caput Medusae

:-

Palpasi
Dinding Abdomen

: soepel, H/L/R tidak teraba

HATI
Pembesaran

:-

Permukaan

:-

Pinggir

:-

Nyeri tekan

:-

LIMPA
Pembesaran

: (-), Schuffner: (-), Haecket: (-)

GINJAL
Ballotement

: (-), Kiri / Kanan, lain-lain : -

UTERUS/OVARIUM : TUMOR

:-

Perkusi
Pekak Hati

: (+)

Pekak Beralih

:-

Auskultasi
Peristaltik usus

: Normoperistaltik

Lain-lain

:-

Pinggang
Nyeri Ketuk Sudut Kosto Vertebra (-), Kiri / Kanan
INGUINAL

: pembesaran kelenjar getah bening (-)/(-)

24

GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan


PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum

: Tidak dijumpai kelainan

Spincter ani

: Ketat

Lumen

: Intak

Mukosa

: Licin, berbenjol-benjol (-)

Sarung tangan : Feses / Lendir / Darah


ANGGOTA GERAK ATAS
ANGGOTA GERAK BAWAH
Deformitas Sendi
:Lokasi
:Kiri
Kanan
Jari tabuh Edema
:Pemeriksaan
:
Tremor Ujung
Jari
:
Arteri Femoralis
:
+
+
Laboratorium
Telapak Tangan
:ArteriSembab
Tibialis Posterior
:
+
+
Sianosis Arteri Dorsalis Pedis: Rutin
:
+
+
Eritema Palmaris
:
KPR
D
a Refleks
r
a
h K: - e : m+ i
h+ T
i
n
j
a
Lain-lain
Refleks
APR
:
+
+
H b : 1 3 , 9 g / d L Warna: Kuning jernih W a r n a : C o k l a t
Refleks Fisiologis
:
+
+
Eritrosit: 5,12
x106Patologis
/mm3
Protein: tdp
Refleks
:
- Konsistensi: Lunak
Leukosit:10,2 x103/mm3

Reduksi: tdp

Eritrosit: tdp

Trombosit: 211 x103/mm3

Bilirubin: tdp

Leukosit: tdp

Ht: 40,9 %

Urobilinogen: tdp

Amoeba/Kista:tdp

Eosinofil: -

Sedimen:

Telur Cacing

Basofil: -

Eritrosit: tdp

Ascaris:tdp

Neutrofil:-

Leukosit: tdp

Ankylostoma: tdp

Limfosit: -

Epitel: tdp

T. Trichiura: tdp

Monosit:-

Cyst: tdp

Kremi:tdp

Hitung Jenis:

Silinder: tdp

RESUME DATA DASAR


ANAMNESIS

Keadaan Umum : Febris

25

Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak dua hari SMRS. Demam
intermiten naik terutama sore hari, demam turun dengan
antipiretik. Nausea dan vomitus dijumpai 3 hari SMRS,
frekuensi vomitus 2-3 x/hari dengan jumlah 1 gelas
aqua/x muntah. Headache dijumpai, malaise dijumpai,
riwayat makan dengan higienitas tidak terjamin
dijumpai.BAB (+) normal, BAK (+) normal.

Keadaan Umum
STATUS PRESENS
PEMERIKSAAN FISIK

: Sedang

Keadaan Penyakit : Sedang


Keadaan Gizi
VAS : 2-3

: Underweight

Tekanan Darah : 120/70 mmHg


Denyut Nadi : 88 x/i, reg/irreg, t/v: cukup
Pernapasan

: 20 x/i

Temperatur

: 39C

Kepala
Kesan: dbn
Thorax
Paru :
Suara pernafasan : vesikuler kesan : Normal
Suara tambahan : Jantung :
Batas atas jantung

: ICS III LMCS

Batas kiri jantung

: 1 cm lateral LMCS, ICS V

Batas kanan jantung

: Linea Parasternalis dekstra

26

Abdomen :
Inspeksi : simetris
Palpasi: soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: Normoperistaltik
Darah
Hb: 13,9g/dL
LABORATORIUM

Eritrosit: 5,12 x106/mm3

RUTIN

Leukosit:10,2 x103/mm3
Trombosit: 211 x103/mm3
Ht: 40,9 %

DIAGNOSA BANDING

DIAGNOSA

1.
2.
3.
4.
5.

Demam Tifoid
Dengue fever
Malaria
ISK
Leptospirosis

Demam Tifoid

SEMENTARA

PENATALAKSANAAN

Aktivitas : Tirah baring


Diet
: Diet MII rendah serat
Tindakan suportif : IVFD IVFD NaCl 0,9% 30 gtt/i makro
Medikamentosa:
Tab chlorampenicole 4 x 500 mg
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Paracetamol 3 x 500 mg (K/P)
Domperidone 3 x 10 mg (K/P)
Rencana Penjajakan

1. Darah rutin, urine rutin, feses rutin


2. Widal Test
3. Typidot/Tubex

27

4. Anemia Profile

28

BAB 3
FOLLOW UP RUANGAN

Tan

ggal
3/12

Dema Sens

A
: -

compos

201

mentis

TD

Demam
Typhoid

P
Terapi
Diagnostik
29
- Tirah baring
- - Diet MB
- IVFD
NaCl
0.9%

110/70

20

gtt/I

makro
Tab

mmHg

chlorampenicole

HR : 88x/ i
-

4x 500 mg
Inj. Ranitidine

50 mg/12 jam
Paracetamol 3 x

500 mg (K/P)
Domperidone 3 x

RR : 20x/ i
Temp

39oC
Hasil lab:Hb:
13,9g/dL
Eritrosit:
5,12
x106/mm3
Leukosit:1
0,2
x103/mm3
Trombosit:
211
x103/mm3
Ht: 40,9 %
Widal :
- S. Thyphi
H : 1/160
-

S.

paratyphi
AH : 1/80
-

S.

Paratyphi
BH : 1/160
-

S.

Paratyphi
CH : 1/160
- S. typhi

10 mg (K/P)

30

BAB 4
DISKUSI KASUS
Teori
Gejala Klinis

Kasus
Pada pasien ini dijumpai:

Pada minggu pertama, gejala klinis

Demam sejak dua hari sebelum masuk

penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala rumah sakit. Demam intermiten naik
serupa dengan penyakit infeksi akut pada

terutama sore hari. Mual dan muntah

umumnya yaitu demam yang meningkat

dijumpai dan nyeri kepala dijumpai.

perlahan-lahan dan terutama pada sore


hingga malam hari., nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epistaksis.
Pemeriksaan Fisik

Pada pasien ini hanya dijumpai

Pada pemeriksaan fisik didapatkan


demam, bradikardia relatif lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis.

demam intermiten naik terutama

Pemeriksaan Penunjang

Pada tes Widal dijumpai:

Pemeriksaan laboratorium seperti

- S. Thyphi H : 1/160

pemeriksaan darah lengkap, liver function

- S. paratyphi AH : 1/80

sore hari.

test lengkap, kultur darah dan kultur feses. - S. Paratyphi BH : 1/160


Pemeriksaan serologi seperti tes Widal,

- S. Paratyphi CH : 1/160

tes Tubex, Typhidot, ELISA dan

- S. typhi O : 1/160

Polymerase Chain Reaction (PRC)

- S Paratyphi AO: 1/80


- S. Paratyphi BO : 1/160
- S. paratyphi CO: 1/80

31

Penatalaksanaan
Trilogi Penatalaksanaan Demam Tifod
-

Istirahat dan Perawatan


Diet dan terapi penunjang
Pemberian bubur saring pada pasien
demam

tifoid

ditujukan

untuk

menghindari komplikasi perdarahan


-

Penatalaksanaan pada pasien ini ialah:


Tirah baring
Diet MII rendah serat
IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/I makro
Tab chlorampenicole 3x 500 mg
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Paracetamol 3 x 500 mg (K/P)


Domperidone 3 x 10 mg (K/P)

saluran cerna atau perforasi usus.


Pilihan antibiotika yang dapat
diberikan diantara nya:
1.Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalah 4x500mg

per hari dapat diberikan secara per oral


atau intravena, diberikan sampai dengan 7
hari bebas panas.
2.Tiamfenikol
3.Kotrimoksazol
4.Ampsisilin dan Amoksisilin
5.Sefalosporin Generasi Ketiga
6.Golongan Fluorokinolon
7.Azitromisin

BAB 5
KESIMPULAN

32

Pasien MW, 17 tahun, menderita demam tifoid dan diberikan


penatalaksanaan yaitu tirah baring, diet MII rendah serat, IVFD NaCl 0.9% 20
gtt/I makro, Tab Chlorampenicole 3 x 500 mg, Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam,
Paracetamol 3 x 500 mg (K/P) dan Domperidone 3 x 10 mg (K/P)

BAB 6
DAFTAR PUSTAKA

33

1. Indriasih, E. Sistem informasi geografis (SIG) dalam bidang kesehatan


masyarakat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Surabaya: 2008;
11(1):99-104.
2. Parry CM. epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever.
In: Pietro mastroeni,ed. Salmonella infection: clinical, immunological and
molecular aspects. UK and New York: Cambridge University Press;2006.
3. Djoko Widodo. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK
UI. Ed-5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. p.2797-806.
4. WHO. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. Switzerland: WHO Publication;2003.
5. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Ed-1. Jakarta:
Salemba Medika; 2005. p.364-7.
6. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever.
Lancet 2005; 366: 749-62.
7. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11
[accessed

on

2015

Sept

].

Available

from:

http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm
8. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006;
14: 266-72.
9. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku
panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000: p.6-12.
10. Braunwald. Harrisons Principles ofInternal Medicine. 16th Edition, New
York, 2005.
11. Wibisono, elita, et. al. Demam Tifoid, InKapita Selekta Kedokteran. Ed. 4.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014. P.721-3.
12. Fadilah, Siti. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006
13. Brusch, John. Typhoid Fever. American College of Physicians. 2015
14. Sukarya, Wawang Setiawan. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta Pusat: Konsil Kedokteran Indonesia. 2012

Anda mungkin juga menyukai