Presus DHF
Presus DHF
DISUSUN OLEH :
ANTHONY MARTHIN
PEMBIMBING :
dr. Tuty Rahayu, Sp. A
BAB II
LAPORAN KASUS
ILMU KESEHATAN ANAK
I. A. Identitas Pasien
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Alamat
Suku Bangsa
Tanggal Masuk
No. RM
: An. RFS
: Jakarta, 22 September 2010
: 3 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Jl. T. Merdeka RT 10/RW 04 No.27 Kelurahan Rambutan,
Kecamatan Ciracas. Jakarta Timur
: Jawa
: 4 Januari 2013 Pukul : 17.21 WIB
: 2013-454630
Ibu
Nama
Tn. S
Ny. T
Umur
43 tahun
32 tahun
Agama
Islam
Islam
Pendidikan
SMA
SMP
Pekerjaan
Wiraswasta
3. Riwayat Penyakit
obat
Umur
Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Peny. Jantung
Difteri
Cacingan
Diare
6 bln
Peny. Ginjal
Demam
Kejang
Peny. Darah
Kecelakaan
Radang Paru
Otitis
Morbili
TB
Parotitis
Operasi
Bronchitis
atau
makanan
berdarah
Demam
Typhoid
Perawatan Antenatal
Morbiditas
Kehamilan
KEHAMILAN
obat
untuk
penambah
darah)
Tidak merokok
Tidak mengkonsumsi minuman
keras
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
KELAHIRAN
Masa gestasi
Keadaan bayi
o Berat lahir
: 3900 gr
o Panjang badan
: 53 cm
o Lingkar kepala
: Lupa
o Langsung menangis : Ya
o Nilai APGAR
: 9/10
o Kelainan bawaan
: Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap
Duduk
Berdiri
Berjalan
Berbicara
Dasar (umur)
HEPATITIS B
Lahir
1 bulan
6 bulan
DPT / DT
2 bulan
4 bulan
6 bulan
POLIO
2 bulan
4 bulan
6 bulan
BCG
2 bulan
CAMPAK
Keterangan data dibawah ini, diambil dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
7 Januari 2013 (bangsal anak RSUD Pasar Rebo).
A. Status Lokalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
B. Status gizi
Gizi
BB = 15 kg
TB = 105 cm
LK = 47 cm
C. Status Generalis
1) Kepala
: Normocephal
Rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut (rontok), tumbuh teratur
2) Mata
: Konjungtiva
: Anemis -/-
Sklera
: Ikterik -/-
Pupil
: bulat, isokor 2 mm
Refleks Cahaya
: Langsung +/+
Tidak langsung +/+
Periorbita
3) THT
: Telinga
: -/-
: T1-T1 hiperemis
Hidung
: Bentuk normal
Tidak ada deviasi septum nasi
Sekret +/+
Hiperemis +/+
Pharing
: hiperemis
Mulut
Leher
4) Kulit
: Warna
: baik
Ikterus
: Tidak ada
Petechie : ada
5) Thorax
Pulmo
:
: Inspeksi : Kedua hemithorax kanan-kiri simetris pada keadaan statis dan
dinamis
Tidak terdapat sikatrix ataupun jejas
Palpasi
Perkusi
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: BJ 1- BJ 2 normal reguler
Murmur (-)
Gallop (-)
6) Abdomen : Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Oedema
Tonus otot : tonus normal pada tangan dan kaki kanan kiri
Kekuatan otot
8) Aspek Kejiwaan
: Tingkah laku
Proses berfikir
: Baik
: Cukup
Hemoglobin
Hematokrit
: 26 % ( n : 32, 47 )
Leukosit
Trombosit
V. Resume
Pasien datang dengan diantar kedua orang tuanya ke
Pasien mengeluh demam tinggi dan hanya turun jika diberi obat penurun panas,
keadaan pasien seperti orang mengigau. Sebelumnya pasien sudah pernah
berobat dan hanya mendapatkan obat penurun panas dari klinik. Saat dibawa ke
IGD keadaan pasien delirium dengan tanda tanda vital KU : tampak sakit berat,
kes : delirium, TD : 90/70, HR : 150x/mnt dan RR : 48x/mnt.Ditemukan akral
dingin pada ekstremitas pasien dengan hasil lab pada tgl 4/1/2013 yaitu
14.6/42/9930/37000. Terdapat diare pada hari pertama dan pasien mual disertai
muntah pada hari kedua. Selain itu pasien juga sulit untuk makan, tidak ada
makanan yang dikonsumsi pasien, hanya minum sedikit. Pasien sempat
mengalami mimisan pada saat demam dengan disertai juga bintik bintik merah
pada tubuh pasien dan pasien mengalami batuk yang disertai dengan lendir.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil hiperemis T1 T1, faring hiperemis, pada
askuktasi paru terdengar ronki +/+, palpasi abdomen teraba hepar 6cm.
RF 1000cc/hari
Inj . cefotaxim 2 x 750mg
Lasix extra 15mg
Observasi tanda tanda vital setiap 30 jam
Koreksi ada tanda tanda syok atau tidak
X. Prognosis
Ad Vitam
: Dubia ad
Ad Fungtionam
: Dubia ad
Ad Sanactionam
: Dubia ad
Penyakit virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe I,II III
dan IV golongan arthropod borne virus group B (arbovirus) yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968 penyakit ini ditemukan di Surabaya
dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seantero wilayah
Republik Indonesia. Oleh karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang awalnya banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran
menyerang dewasa.
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong
(Dengue Shock Syndrome / DSS). Sampai saat ini masih sering dijumpai penderita Demam
Berdarah Dengue (DBD) yang semula tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris,
namun mendadak syok sampai meninggal dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD
yang klinis maupun laboratoris nampak berat namun ternyata selamat dan sembuh dari
penyakitnya. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di
dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap, walaupun sampai saat ini
tidak sedikit peneliti yang mendalami bidang tersebut, namun hasil yang memuaskan belum
terlihat secara jelas di dalam mengungkapkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan hal
tersebut di atas.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 insiden
per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di banyak negara kawasan Asia
Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Program pencegahan
DBD yang tepat guna harus dilaksanakan secara integral mencakup surveilans laboratory
based, penyuluhan dan pendidikan pengelolaan penderita bagi dokter dan paramedis, dan
pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di
Indonesia
pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak
adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan
sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun
laboratoris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1
Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. 1
II. 2
Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya
pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta,
kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah
dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun
1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang
melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%
pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991.2
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara simultan
atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik, dimana suhu panas dan
praktek penyimpanan air di rumah menyebabkan populasi aedes aegypti besar dan pemanen.
Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue dari semua tipe sering ada, dan infeksi kedua
dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1 tahun, hampir semua penderita dengan
sindrom syok dengue mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang
menunjukan infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat. Wabah tahun 1981 di Kuba,
dimana anak dan dewasa terpajan sama, telah menunjukan bahwa sindrom permeabilitas
vaskuler akut, terjadi hampir selalu pada anak usia 14 tahun dan yang lebih muda. Pada orang
dewasa penyakit berat lebih sering disertai dengan fenomena perdarahan. Demam berdarah
dengue dapat terjadi selama infeksi dengue primer, paling sering pada bayi yang ibunya imun
terhadap dengue. 3
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih
banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di
sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus
golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai
Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari. 2
II. 3
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. 1
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. 1,2
Vektor
Virus Dengue dapat ditularkan oleh:
1. Nyamuk Aedes aegypti
2. Nyamuk Aedes albopictus
II. 4
Patofisiologi
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan
131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,
nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.
Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya
cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema. 2
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan
yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat
dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang
bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau
luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau
dibuat keadaan trombositopenia. 2
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens
dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme
lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan
hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 2
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur
klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas
kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF),
interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1). 2
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1)
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun
yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat,
(3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 2
Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara
seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara
limfosit B dan limfosit T. 2
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti
atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar,
endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada
infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel
dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit,
virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma
sel.
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan
diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke
empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip
virus yang lain.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi
virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan
Antibody Dependent Enhancement.
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat
infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi
sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90
hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik
antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG
meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang
cepat.
II. 5
Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu 4:
Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi
2
1.
2.
3.
4.
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat bifasik
yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali
(hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis
lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar
pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik. 2
Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut:
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm
dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan
penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri
tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai
ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan
adanya perdarahan. 2
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang
hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan
derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. 2
II. 6
Diagnosis
Kriteria Klinis
1. Panas mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik
(saddleback) yaitu:
a. Hari 1-2 : naik
b. Hari 3-4 : turun
c. Hari 5-6 : naik
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
II. 7
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang
dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi
perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.
dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah
petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena
cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam
lingkaran tadi.
Pemeriksaan Serologi
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
Uji Netralisasi
II. 8 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung
terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan
yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar
ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran
cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah
cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan
nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak
dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
2. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. Dalam
keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah benarbenar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar
ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous
pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
3. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan
perdarahan paru.
II. 9
Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).
Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue
Perbedaan
patofisiologik
utama
antara
Demam
Dengue/Demam
Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan
fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat
simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Masa kritis
ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung
trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan,
Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12
jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch) sebanyak 10-30ml/kgBB/jam.setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali
dengan kristaloid. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok
masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan
kristaloid dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah
terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan
manfaatnya juga tidak banyak.
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka
pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung
faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan
kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar
hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya
menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan
transfusi.
Bagan 2.1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
Bagan 2.4. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang
termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk
modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan
vektor dan kontak manusia-vektor-patogen.
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
BAB III
KESIMPULAN
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya
satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali
periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. FKUI. Jakarta: 2006
2. Sumarmo PS. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi kedua. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta: 2010
3. Nelson waldo E. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2. Edisi 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 1999
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1, Jakarta: 2010