Anda di halaman 1dari 3

Sang Penolong

Malam semakin larut. Jalanan mulai sepi. Udara makin lama makin dingin. Gerimis turun
semakin lama semakin lebat. Petir sesekali menyambar diikuti suara gemuruh yang
menggelegar.
Hoaam, tidur dibawah selimut pasti nyaman. Aku segera naik ke tempat tidur dan mulai
memejamkan mata. Suara hujan yang jatuh di atas genting semakin lama semakin keras.
Tiba tiba glegagarrr! suara petir sangat keras terdengar. Di ikuti padamnya lampu listrik.

Ibuuu! teriak kaget . Oh, aku baru ingat kalau kemarin Ibu ke rumah Nenek di desa.
Dalam sekejap, semuanya tampak gelap. Dalam kegelapan seperti itu rasanya bernafas
pun jadi sesak. Tanganku meraba-raba pinggiran tempat tidur, mencoba berdiri lalu jalan
merayap.
Sejak kecil, aku paling tidak menyukai kegelapan. Bahkan saat tidur pun, aku tetap
menyalakan lampu tidur.
Plak! Kakiku tersandung kaki kursi yang tidak terlihat karena gelap.
Alangkah leganya, ketika aku melihat sedikit cahaya menuju kamar. Rupanya, Bapak
datang membawa lilin untuk menerangkan ruangan.

Sudah tidak usah takut, kata Bapak. Ayo tidur, besok kamu kan harus sekolah.
Baru saja aku akan menjawab, tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk keras-keras. Bapak
dan aku segera keluar kamar menuju ke pintu depan.
Bapak segera membukakan pintu. Seorang laki- laki berdiri di depan pintu, bajunya basah
dan tubuhnya menggigil.

Tolonglah kakak saya dan keluarganya,Pak.... mereka tidak sempat mengungsi sebelum
banjir menerjang rumahnya, kata orang tadi tersendat-sendat.
Di perkampungan sebelah memang datarannya sangat rendah, di dekatnya ada kali yang
kalau hujan sedikit saja air langsung naik dan rumah-rumah warga di perkampungan itu
pasti langsung diserbu air-air dari kali. Untungnya rumahku berada di dataran yang tinggi.

Tenang Pak saya akan memanggil anggota Tim SAR yang lain, kata Bapak seraya
membimbing orang itu masuk ke rumah.
Hah? Bapak harus pergi malam-malam begini. Padahal, hujan sangat lebat. Dingin dan
gelap, pikirku dalam hati. Aku berharap anggota Tim SAR yang lain saja yang

menolong,tapi ternyata pikiranku salah, bapak sebagai ketua Tim SAR haruslah ikut
menolong.
Bapak pun segera mempersiapkan peralatan-peralatan yang akan dibutuhkannya nanti.
Hujan semakin lebat. Listrik belum menyala. Tiba-tiba, aku merasa kesal! Dalam cuaca
seperti ini, aku merasa lebih aman kalau Bapak ada di rumah. Apalagi disaat Ibu tidak ada.
Malam-malam hujan lebat begini Bapak tetap mau pergi? Biar anggota Tim SAR yang
lain sajalah Pak! Rayuku agar Bapak tidak pergi.
Orang yang sedang dalam kesulitan harus segera ditolong, bayangkan kalau kamu yang
berada di posisi orang tadi, pasti kamu sangat membutuhkan pertolongan orang lain, ya
kan? kata Bapak sambil bersiap-siap.
Kenapa tidak anggota lain saja yang berangkat,biar ayah tinggal di rumah saja menemani
aku, setengah merajuk. Aku takut sendirian, pak!

Kan ada Mbok Min, jawab Bapak pendek.


Bapak tidak sempat berkata-kata lagi padaku. Dengan cepat Bapak beranjak ke ruang
depan menemui orang tadi. Lalu mereka segera keluar.

Huh! Aku benar-benar merasa terabaikan. Kekesalanku memuncak pada orang tadi dan
juga kepada Bapak. Aku segera pergi menuju ke kamarku.
Aku jadi sulit tidur. Mungkin karena aku belum terbiasa tidur dengan cahaya yang hanya
berasal dari lilin. Tetapi yang jelas, kekesalan dalam hatiku yang membuatku sulit
memejamkan mata.
Pagi itu aku sengaja bangun pagi-pagi, aku ingin lebih awal tiba di sekolah. Aku sudah tidak
sabar untuk bertemu Keisha, sahabatku. Aku ingin meluapkan uneg-uneg dan kekesalan
hatiku. Aku yakin, Keisha pasti akan membelaku dan sependapat denganku.
Seperti biasanya, aku berjalan kaki ke sekolah. Sekolahku terletak tidak jauh dari rumahku.
Ternyata di sekolah masih sepi. Teman-teman juga belum banyak yang datang. Keisha juga
belum datang.
Tak lama kemudian Keisha muncul. Sahabatku yang satu ini memang suka datang pagipagi. Aku segera menemuinya. Aku sudah tidak sabar untuk menceritakan kekesalan yang
sudah memuncak dalam hati. Tetapi baru saja aku akan ngomong, eh Keisha sudah
menyerobot.

Rumahku kan semalam kebanjiran, kata Keisha cepat. Wajahnya agak kusut, tetapi
Keisha berkata dengan penuh semangat. Ibuku panik, aku juga ikut panik dan takut! Kami
sekeluarga tidak sempat mengungsi sebelum banjir datang karena itu terjadi saat tengah

malam, aku segera menghubungi pamanku yang rumahnya tidak terkena banjir untuk
meminta bantuan.
Keisha mengatur nafasnya sejenak.

Wah, kalau Tim SAR tidak datang menolong, mungkin hari ini aku tidak masuk sekolah,
lanjutnya perlahan.
Aku tersentak, kata-kata yang sudahku siapkan mendadak buyar.

Jangan-jangan... Aku menduga sesuatu. Aku teringat peristiwa tadi malam. Aku diam
sejenak. Sementara Keisha terus memuji-muji Tim SAR yang telah menolong ia dan
keluarganya.
Untunglah, kemarin malam Bapak tetap pergi, aku membayangkan seandainya tadi malam
Bapak menuruti keinginanku untuk tetap di rumah. Bisa-bisa sahabatku itu tidak masuk
sekolah dan... itu karena kesalahanku!. Oh, aku tidak berani meneruskan pikiranku.
Sungguh aku malu dan menyesal.
Keisha berceloteh lagi, Kalau sudah besar aku ingin menjadi anggota Tim SAR. Aku ingin
menolong orang-orang yang sedang ditimpa musibah.
Aku juga, ucapku dalam hati. Keisha akan kuberitahu kalau salah satu anggota Tim SAR
adalah bapakku, tapi memberitahunya nanti saja... pasti Keisha kaget!
Kekesalan di hatiku sudah lenyap. Yang ada sekarang adalah rasa bangga. Ya, bangga pada
bapakku, sang penolong.

Anda mungkin juga menyukai