Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

Pertusis

Pembimbing:
Letkol Ckm dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Disusun oleh:
Desi Megafini
1410221055

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT TENTARA Tk. II Dr. SOEDJONO MAGELANG

HALAMAN PENGESAHAN
Nama

: Desi Megafini

NIM

: 1410221055

Fakultas

: Kedokteran Umum

Tingkat

: Universitas Pembangunan Nasional Veteran

Jakarta
Bidangpendidikan

: Ilmu Kesehatan Anak

Judul

: Pertusis
: Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Pembimbing

Mengetahui :

Pembimbing
Letkol Ckm dr. Roedi Djatmiko, SpA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun
1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella
pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena
menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi.
WHO menyaranan sebaiknya anak pada usia satu tahun telah
mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan 2 dosis booster. Di
Indonesia, penyakit ini menempati urutan ketiga penyebab kematian pada anak
balita. Pada pelaksanaannya program imunisasi pertusis masih banyak hambatan,
mengingat secara geografis Indonesia terdiri dari beribu pulau dan fasilitas
kesehatan yang kurang memadai, sedangkan syarat mutlak keberhasilan program
adalah tingginya presentase populasi target yang harus dicakup yaitu sebesar 80%
atau lebih, sehingga sirkulasi patogen dapat diputuskan.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang


lebih lanjut.

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. DK

Umur

: 1 tahun

JenisKelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Jetis Pesidi, RT 02/ RW 07, Pesidi, Kec. Grabag

TanggalMasuk Poli

: 19-08-2015

TanggalMasuk Bangsal

: 19-08-2015

ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara alloanamnesis terhadap pasien pada tanggal
19-07-2015, pukul 11.30 wib di Bangsal Flamboyan RST Dr. Soedjono.
a

KeluhanUtama
Pasien datang ke Poliklinik anak RST Dr. Soedjono, dengan
keluhan Batuk berdahak sejak 1 bulan SMRS

KeluhanTambahan
Sesak napas, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan,
pilek (+)

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Berdasarkan alloanamnesis dari Ibu pasien, Pasien anak Perempuan
berusia 1 tahun datang ke Poliklinik Anak RST Dr. Soedjono dengan keluhan
Batuk sejak 1 bulan SMRS, batuk berbunyi keras terdapat banyak dahak tapi sulit
di keluarkan, batuk hilang timbul tetapi sering terjadi, terutama pada malam hari

dan batuk semakin parah sehingga pasien tidak dapat tidur, selama batuk pasien
sering terlihat kesulitan bernafas sampai wajah dan mulut membiru, diakhir batuk
sering disertai muntah berisi susu atau makanan. Saat batuk mereda pasien terlihat
sesak napas. Karena keluhan batuk, nafsu makan pasien menurun sehingga berat
badan pasien menurun. Awalnya keluhan ini bermula seperti batuk pilek biasa
disertai demam yang sembuh bila diberi obat warung dan obat tradisional, tetapi
lama kelamaan batuk semakin sering dan semakin parah. BAB dan BAK normal.
Kejang (-).
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, asma, maupun riwayat batukbatuk dalam jangka waktu yang lama sebelumnya, kejang. Pasien belum pernah
mendapat perawatan di rumah sakit, dan tidak pernah mengalami gejala serupa.
RIWAYAT PENGOBATAN
Diberikan obat penurun panas bodrexyn anak, serta obat tradisional
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada riwayat penyakit yang sama di dalam keluarga. Riwayat asma,
batuk lama maupun alergi disangkal oleh kedua orang tua pasien.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
1

Kehamilan
a Perawatan Antenatal

: Kontrol ke bidan dua kali selama

kehamilan
b Penyakit Kehamilan
: Tidak ada
Kelahiran
a Penolong Persalinan
: Bidan
b Cara Persalinan
: Spontan
c Masa Gestasi
: 40 minggu
d Riwayat Kelahiran
i Berat Badan
: 2800 gram
ii Panjang Badan Lahir : 48 cm
iii Lingkar kepala
: -iv Langsung Menangis
: Ya

v Kelainan Bawaan
: Tidak ada
Riwayat Perkembangan
i Pertumbuhan gigi pertama
: 9 bulan
ii Psikomotor
:
- Tengkurap
: 5 bulan
- Duduk
: 7 bulan
- Berdiri
: 10 bulan
- Berjalan
: 15 bulan
- Bicara
: 12 bulan
iii Perkembangan pubertas: Belum ada
iv Perkembangan sosial : Pasien dapat berespon dan
interaksi denngan kedua orangtua, seperti tersenyum,
berbicara sepatah kata.
v Gangguan Perkembangan: Perkembangan sesuai usia
vi Kesan perkembangan : Baik

A Riwayat Imunisasi
DASAR
VAKSIN
(Umur)
BCG
Lahir
DPT/DT
Polio
Campak
Hep B
PCV
Influenza
MMR
Tifoid
Hep A
Varisela
HPV
Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap
orang tua.

ULANGAN
(Umur)
karena kurangnya pengetahuan

JENIS MAKANAN

FREKUENSI & JUMLAHNYA

Nasi/Pengganti
Sayur
Daging
Telur
Ikan
Tahu
Tempe

3x/hari
2x/hari
Ayam : 2x/minggu
4x/minggu
3-4x/minggu
1x/hari
1x/hari

Susu

B Riwayat Makanan

UMUR
(Bulan)

ASI/PASI

BUAH
BISKUIT

0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12

ASI + PASI
ASI + PASI
ASI + PASI
ASI + PASI
ASI + PASI
ASI + PASI

BUBUR
NASI TIM
SUSU

Kesan:
ASI eksklusif terpenuhi
Makanan sehari-hari baik secara kuantitas namun kurang secara
kualitas.
Data Keluarga
Perkawinan ke
Umur saat menikah
Kosanguinitas
Keadaan kesehatan/penyakit bila ada

AYAH/WALI
1
23
Sehat

IBU/WALI
1
18
Sehat

Data Perumahan
a
b

Kepemilikan rumah : Rumah sendiri


Keadaan rumah
:
Keluarga pasien tinggal di rumah mereka sendiri, dalam satu rumah
terdapat 3 kepala keluarga dengan luas bangunan 100 M2 terdiri 3
kamar tidur dan 1 kamar mandi. Jendela tidak terdapat di setiap
kamar. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah. Didepan
rumah terdapat kolam ikan ukuran 3m x 6m, yang jarang dikuras.
Serta terdapat kandang ayam dibelakang rumah dekat kamar mndi.
Untuk konsumsi air sehari-hari meliputi minum dan mandi,
keluarga

pasien

menggunakan

mengkonsumsi air dari yang dimasak.


Keadaan lingkungan:

air

PDAM.

Keluarga

Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk. Jarak rumah pasien


ke tempat pembuangan sampah tidak terlalu jauh. Didepan rumah
pasien terdapat parit yang kadang sering tersumbat.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal: 19-08-2015
a

Status Generalis
KeadaanUmum :Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
N :156 x/menit, reguler, volume cukup, equalitas sama kanan dan kiri
R : 32 x/menit
S : 36,6o C
BB : 6,6 Kg
TB : 65 cm
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
Palpebra
Konjungtiva
Sklera

: Normocephal
: Kemerahan, tidak mudah dicabut
: Edema /
: Anemis/
: Ikterik/

Telinga
Bentuk :Normal/Normal
Liang : Lapang
Mukosa:Tidakhiperemis

Pupil
: Bulat, isokor
RefleksCahaya : +/+
Cekung: -/-

Serumen
: /
MembranTimpani:Intak/Intak

Hidung
Bentuk
: Normal
Deviasi Septum :
Sekret
: /
Concha
: Hipertrofi/, hperemis/, oedem/

Mulut
Bibir : kering, sianosis saat
batuk (+)
Lidah : DBN

Tonsil
: T1T2tenang
Mukosa Faring: Hiperemis (-)

Leher
KGB
: Tidak terdapat pembesaran
Kel. Thyroid : Tidak terdapat pembesaran
Thoraks
Paru
-

Inspeksi
: Hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan
statis dan dinamis. Retraksi supraklavikula (+)
Palpasi
: Fremitus taktil dan vocal kanansama dengan kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, rhonki +/+, wheezing /

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus cordis tidak terlihat


: Ictus cordis tidak teraba
: Jantung dalam batas normal
: BJ IBJ II reguler, murmur (), gallop ()

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

: kembung, simetris
: Bising usus(+) normal
: Supel, nyeri tekan
: Timpani

Ekstremitas
Atas
Akral
Sianosis

: Hangat
: ()

Bawah
Akral
Sianosis

: Hangat
: (-)

Perfusi
Edema

: Baik
: ()

Perfusi

: Baik

Edema

: (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium 24 08 - 2015 WIB
Parameter

Result

Normal Range

Alarms

WBC
LYM #
MID #
GRA #
LYM %
MID %
GRA %
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV
PCT
PDW

6.4 K/Ul
2.6 K/Ul
0.5 K/Ul
3.3 K/Ul
39.8 %
8.5 %
51.7 %
4.41 M/ul
10.2 g/dl
33.4 %
75.7 Fl
23.1 pg
30.5 g/dl
13.7 %
367 K/ul
7.0 fl
0.26 %
15.7 %

4.0 12.0
1.0 5.0
0.1 1.0
2.0 8.0
25.0 50.0
2.0 10.0
50.0 80.0
4.00 6.20
11.0 17.0
35.0 55.0
80.0 100.0
26.0 34.0
31.0 35.5
10.0 16.0
150 400
7.0 11.0
0.20 0.50
10.0 18.0

L3
L4

R1

Hasil pemeriksaan radiologi


Thorax AP view:
- Infiltrat perihiller dan paracardial bilateral terutama dextra mengarah proses spesifik
- Perselubungan semiopak relatif homogen di suprahiller dextra susp. Pneumonia dd thymus
prominent
- Konfigurasi cor normal
- Sistema tulang intact

DIAGNOSIS KERJA
Pertusis
Pneumonia
DIAGNOSIS BANDING
Bronkiolitis
Tuberkulosis

PLAN TERAPI

Inf D5 NS 600 ml/24 jam


Fixacep 2x1 ml
Mucos 2x1 ml
Nebulizer fartolin 1 + NaCl 1 3x1

PLAN
Cek darah lengkap

FOLLOW UP
Hari/Tanggal/

19/08/2015

+ +
+ +


20/08/2015

HasilPemeriksaan

InstruksiDokter

S : Batuk sejak 1 bulan yll, dahak (+) Therapy:


sulit dikeluarkan, jika batuk kambuh
Inf D5 NS 600
wajah dan mulut membiru, peurunan
berat badan, sesak (+)
ml/24 jam
Fixacep 2x1 ml
O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM
Mucos 2x1 ml
VS :
Nebulizer fartolin 1 +
R : 32 x/menit
NaCl 1 3x1
S : 36,6 C
Cek DL
HR: 156 x/m
Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis&dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+,
Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(+)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()
Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan
(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem
A :Bronkopneumonia
S :Batuk berdahak

masih

seperti Therapy:

kemarin belum mereda. Saat batuk,


mulut dan muka masih sering biru.
Sehabis nebu, keluhan mereda,
kemudian muncul lagi. Sudah 2 kali
nebu. Demam (-), BAB (+) normal,
BAK (+) normal, makan minum
(sulit)

+ +
+ +


21/08/2015

O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM
VS :
R : 28 x/menit
S : 37,1 C
HR: 160 x/m
Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis&dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+,
Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(+)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()
Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan
(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem

Inf D5 NS 600

ml/24 jam
Fixacep 2x1 ml
Mucos 2x1 ml
Nebulizer fartolin 1 +

NaCl 1 3x1
Foto Thorax

A :Bronkopneumonia
S : Batuk belum mereda, batuk terus- Therapy:
menerus sehingga pasien tidak tidur,
Inf D5 NS 600
dhak bisa keluar. Sudah nebu 5 x.
Jika batuk, mulut kebiruan, sesak
ml/24 jam
Fixacep 2x1 ml
saat batuk. Muntah (+), nakan minum
Mucos 2x1 ml
sulit. BAB (+) normal, BAK (+)
Nebulizer fartolin 1 +
normal
O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM
VS :
R : 28 x/menit
S : 37,4 C
HR: 160 x/m
Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /

NaCl 1 3x1

+ +
+ +

Hidung: rinorhe (-)


Thorax : Simetris, statis&dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+,
Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(+)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()
Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan
(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem
Px. Foto thotax:
-

Infiltrat
perihiler
dengan
paracardiac bilateral, terutama
dekstra mengarah ke proses
spesifik
Perselubungn semiopak relatif
homogen di suprahiller dekstra,
susp. Pneumonia dd thymus
prominent

A :Bronkopneumonia
22/08/2015

S :Batuk bekum mereda, terus-menerus, Therapy:


kebiruan, sesak (+), susah tidur, pilek
Inf D5 NS 600
(+). Muntah (-), makan minum (+),
BAB (+), BAK (+)
ml/24 jam
Fixacep 2x1 ml
O: KU/KS : tampak sakit sedang / CM
Mucos 2x1 ml
VS :
Nebulizer fartolin 1 +
R : 28 x/menit
NaCl 1 3x1
S : 36,8 C
HR: 152 x/m
Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis&dinamis,
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(-)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()

+ +
+ +


23/08/2015

+ +
+ +


24/08/2015

Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan


(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem
A :Pertusis
S :Batuk terus-menerus hingga muntah Therapy:
2x. Tidak disertai kebiruan pd mulut
Azomax 1x1,4 ml
saat batuk. Sesak sudah mereda.
Mucos 2x1 ml
Demam (-), BAB (+), BAK (+).
Nebulizer fentolin 1
Makan minum (normal)
ml + NaCl 1 ml 3x1
O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM
VS :
R : 28 x/menit
S : 37,1 C
HR: 140 x/m
Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis&dinamis,
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(-)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()
Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan
(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem
A :Pertusis
S :Batuk terus-menerus hingga muntah Therapy:
1x. Tidak disertai kebiruan pd mulut
Azomax 1x1,4 ml
saat batuk. Sesak (-). Demam (-),
Mucos 2x1 ml
BAB (+), BAK (+). Makan minum
(normal)
O: KU/KS : tampak sakitsedang / CM
VS :
R : 28 x/menit
S : 36,7 C
HR: 144 x/m

+ +
+ +

Kepala : normochepal
Mata : CA /, SI /
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis&dinamis,
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-. Retraksi supraklavikula
(-)
Cor : SI>S2 regular, murmur (),
gallop ()
Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan
(-)
Ekstremitas : akralhangat
edem
A :Pertusis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

PERTUSIS
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun.

B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak
di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun. Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian
kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua
golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun (balita), umur penderita termuda
ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:1. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama
sampai 27%.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis melalui droplet,
manusia merupakan satu satunya pejamu pertusis. Anak akan menjadi infeksius selama 2

minggu sampai 3 bulan setelah terjadi penyakit. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian
dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum
merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak
berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai
digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat
pada tahun 1976.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah
bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari
ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan
pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan
nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan
B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.

C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. Bordotella pertusis ini mengakibatkan
suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anakanak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang batuk rejan.
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil berbentuk
pleomorfik dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Rata-rata masa inkubasi sekitar 6 hari. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah
nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Ada
enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B.
holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling
umum ditemukan pada manusia.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen
virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai
spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP),
protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan

protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan
pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral
tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis.

D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar
ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah
aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan
menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder
sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

E. Gejala Klinis
Masa inkubasi:
5-10 hari, rata-rata 7 hari dan dapat memanjang hingga 21 hari. Gejala timbul dalam waktu 710 hari setelah terinfeksi, yaitu demam, batuk serta kelar cairan hidung yang secara klinik
sulit dibedakan dari bauk pilek biasa. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak
Tahap Kataral (prodormal, preparoksimal):
Gejala umum infeksi saluran napas atas, injeksi dan peningkatan sekret nasal, dapat disertai
demam ringan. Penyakit ini sangat infeksius pada fase-fase awal. Batuk (pada awalnya hanya
timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)
Tahap Paroksismal (spasmodik):
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal). Selama 1-6 minggu
atau > 3 bulan. Batuk keras terus-menerus di awali inspirasi panjang disebut Whoop,
selanjutnya diikuti batuk saat ekspirasi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir
vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di
hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangkaian
kejadian ini dinamakan Whooping cough Syndrome, karena sulitnya membuang mukus tebal
yang menempel pada epitel saluran napas. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan
kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas), sianosis, kejang e.c
hipoksia serta tersedak lebih sering terjadi. Pada keadaan yang parah perdarahan
subkonjungtiva dapat terjadi.
Tahap Konvalesen (penyembuhan):

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah
juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan,
biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. Dengan demikian total lama penyakit 6-10 minggu.

F. Diagnosis
Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya,
faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi. Menurut
Buku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, curiga pertusis jika anak batuk berat lebih
dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling
berguna.
1. Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah
2. Perdarahan subkonjungtiva
3. Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
4. Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya
napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
5. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada
bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga
terjadi pada infeksi lain.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis.
Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum
IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon
imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah

pertussis. Selain pemeriksaan yang telah disebutkan, uji immunofluorescent atau pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) mungkin dapat dijadikan sebagai alat untuk diagnosis
pertusis.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau
emfisema. Pemeriksaan radiologi bermanfaat untuk mendeteksi komplikasi paru atau infeksi
sekunder, bukan untuk diagnosis pertusis.

G. Diagnosis Banding

Infeksi virus RSV (respiratory syncytial virus), parainfluenza, Klebsiella sp. Atau C.
Pneumonia (pada bayi).
Infeksi M. Pneumonia yang menyebabkan bronkitis kronis (pada anak besar atau
remaja).

H. Tatalaksana
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.
Kasus ringan pada anak-anak umur 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan
perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan.

Antibiotik
Beri eritromisisn peroral 12,5 mg/kgBB/kali terbagi menjadi 4 dosis, diberikan selama
10 hari atau diberikan 40-50 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 4 dosis, diberikan selama 14 hari.
Pemberian antibiotik ini apabila diberikan pada stadium kataralis dapat memperpendek
periode penularan tetapi tidak memperpendek lamanya sakit teteapi menurunkan
memperpendek periode infeksius.
Alternatif: trimetoprim-sulfametoksasol (TMP-SMZ) 6-8 mg/kgBB/hari PO, terbagi
menjadi 2 dosis (maksimal 1 gram).
Oksigen

Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter
nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari
mukus agar tidk menghambat aliran oksigen.
Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi
Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi
yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas


Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam
posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret.

Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan lembut dan hati-hati
Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan
pompa ventilasi dan berikan oksigen

Perawatan penunjang

Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk,
seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin
Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu
Jika anak demam 39 oC yang dianggap dapat menyebabkan distres berikan
parasetamol
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik
dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian
anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari
risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang
adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat
badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

Pemantauan
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat
dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnea., serangan sianotik, atau
episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan
perawat dan dekat dengan oksigen. Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri
nadi dimonitor terus. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Juga ajarkan orangtua
untuk mengenali tanda serangan apnea dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan

pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan
pneumonia dan distres pernapasan.
I. Komplikasi

Pneumonia. Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh


infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukan
pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya
distres pernapasan secara cepat. Tatalaksana sesuai pneumonia.
Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apneu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti selama 2
menit, beri antikonvulsan.
Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan
asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
Perdarahan dan hernia. Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada
pertusis. Tidak ada terapi khusus.
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu
dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk
anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

J. Pencegahan
Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu. Saat anak berusia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, dilanjutkan booster saat usia
18-24 bulan serta 5 tahun. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi
dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7
tahun tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi
pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B. pertussis pada
bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol
epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,
dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko
terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per
oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan
neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga

adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi
pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, high
picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak
dapat diterangkan C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. Beri DPT ulang untuk anak yang
sebelumnya telah diimunisasi.
Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu
dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari.
Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin
profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B.
pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi
sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak
tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu
terjadi epidemi.
Beri eritromisin suksinat (12,5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk
setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi
saluran pernapasan dalam keluarga.
K. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.

BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien didiagnosa Pertusis karena berdasarkan anamnesa serta monitoring pasien
selama di bangsal didapatkan gejala batuk keras terus-menerus di awali inspirasi panjang
disebut Whoop, selanjutnya diikuti batuk saat ekspirasi. Batuk bisa disertai pengeluaran
sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai
gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangkaian kejadian ini dinamakan Whooping cough Syndrome, serta terdapat
gejala sianosis pada mulut dan wajah pasien. Keluhan ini merupaka ciri khas dari gejala
pertusis stadium paroksismal, dan menurut ibu pasien sebelumnya anak hanya mengalami
batuk pilek biasa dimana, batuk pilek biasa ini adalah masa inkubasi dari pertusis.
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya respiration rate yang
meningkat, pasien sempt demam ringan, yaitu 37,4 0C, didapatkan rhomki pada kedua lapang
paru serta retraksi supraklavikula yang menandakan kerja dari otot bantu pernapasan, karena
ditemukannya gejala klinis tersebut maka pasien didiagnosis mengalami komplikasi dari
pertusis yaitu Bronkopneumonia,salah satu gejala khas terjadinya komplikasi pneumonia
pada pertusis adalah terdapat takipnea diantara batuk.
Pasien diberikan terapi Inf D5 NS 600 ml/24 jam ini dikarnakan pasien sulit makan
dan minum karena keluhan batuk, untuk mencegah dehidrasi. Selain terapi rehidrasi pasien
juga diberikan terapi simptomatik yaitu, Azomax 1x1,4 ml merupakan antibiotik turunan
ertiromisin yang mengandung azithromicun, bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteridengan mengikat ribosom subunti 50s, efektif untuk pertusis. Mucos 2x1 ml
mengandung ambroxol dengan mekanisme kerjanya yaitu mukolitik(mengurangi viskositas
dahak dan sekretolitik. Nebulizer fartolin 1 + NaCl 1 3x1 ventolin yang mengandung
salbutamol merupakan golongan beta adrenergik agonist meningkatkan jumlah cyclic AMP

yang berdampak pada relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator
penyebab hipersenstivitas.
Kasus ini dapat didiagnosis banding dengan bronkiolitis karena terdapat gejala batuk,
sianosis, muntah setelah batuk serta sesak nafas yang biasanya terjadi pada anak < 2 tahun.
Tetapi bronkiolitis dapat disingkarkan karena pada bronkiolitis terdapat gejala: batuk kering,
wheezing, ekspirasimemanjang serta hiperinflasi inding dada. Kasus ini juga dapat
didiagnosis tuberkulosis karena terdapat gejala batuk kronis, sesak, serta berat badan
menurun. Tetapi diagnosis banding tuberkulosis dapat disingkirkan karena tidak terdapat
riwayat kontak dengan penderita TB, hanya demam ringan, tidak terdapat pembengkakan
kelenjar limfe, foto dada tidak sugestif TB, atau dengan sistem skoring skor 3.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Country Office for Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak
di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia, 2009
2. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. FKUI. Jakarta
3. Poerwanto, Ignatius. A Papua Infant with Severe Pertusis from The Low Coverage of
Imunization. Papua: Medica Hospitalia, 2012
4. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.
5. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
6. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in
Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.
7. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective
therapy 8 (2): 16373.
8. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23
Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
9. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology
of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection.
Pediatrics
:
115:1422-1427.
Diakses
30
Desember
2011
dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.
10. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 19801989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19.
Diakses 23 Desember 2011 dari,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
11. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiologypathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
12. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
13. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
14. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.
15. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure
Prophylaxis
of
Pertussis.
CDC
Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
16. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari
2012
dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
17. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

Anda mungkin juga menyukai