Anda di halaman 1dari 15

Tugas Makalah Manajemen Sumberdaya Perikanan

BAU NYALE SEBAGAI TRADISI MASYARAKAT LOMBOK


NUSA TENGGARA BARAT

OLEH:
HUSNUL KHOTIMAH
13 410 027

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN BAUBAU
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kita sehingga penulis berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Bau Nyale
Sebagai Tradisi Masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat
Makalah ini berisikan tentang informasi Kearifan lokal masyarakat atau yang
lebih khususnya membahas tentang bau nyale sebagai tradisi masyarakat lombok.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
sistem Sosial yang ada di masyarakat lombok.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Baubau, Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1...............................................................................................Latar
Belakang...............................................................................

1.2...............................................................................................Rumusan
Masalah................................................................................

1.3...............................................................................................Tujuan
..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1...............................................................................................Pengertian
Bau Nyale.............................................................................

2.2...............................................................................................Asal Usul
Tradisi Bau Nyale.................................................................

2.3...............................................................................................Tradisi Bau
Nyale....................................................................................

2.4...............................................................................................Peranan
Bau Nyale Bagi Masyarakat.................................................

2.4.1. Pendapatan Penduduk Lokal................................................

2.4.2. Pendapatan Ekonomi Jangka Panjang..................................

BAB III PENUTUP


3.1...............................................................................................Kesimpula
n............................................................................................

11

3.2...............................................................................................Saran
..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan
oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dan
terangkum dari pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan
hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan
lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau. Setiap
pulau yang ada ditempati oleh suku yang berbeda. Perbedaan suku yang ada
Indonesia sangat beragam dengan kebudayaan yang beragam pula. Kebudayaan
menjadi sesuatu yang sangat melekat dari setiap suku sehingga menjadi identitas
diri dari suku tersebut, seperti kebudayaan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan
sumber daya alam pesisir dan lautan. Suku yang berbeda memiliki kebudayaan
dan tradisi yang berbeda pula dalam pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan
lautan.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam pesisir dan lautan pada
hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat
di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan
secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian lingkungan
(Supriharyono dalam Stanis et al.,:2007, 7). Kearifan lokal atau tradisi masyarakat
pesisir dalam pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan lautan salah satunya,
yaitu tradisi Bau Nyale pada masyarakat pesisir suku sasak.

Bau Nyale merupakan tradisi suku sasak yang tinggal di Lombok Selatan
sepanjang pantai selatan pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kata sasak itu
sendiri berasal dari bahasa sanskerta, sahsaka. Sahartinya pergi, saka artinya
asal. Sahsaka artinya pergi meninggalkan tanah asal, dan mengumpul di pulau
Lombok dengan memakai rakit bambu sebagai kendaraan (Damanik: 2008, 3).
Pesta atau upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan tradisi yang
sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli
Pulau Lombok. Keberadaan pesta bau nyale ini berkaitan erat dengan
sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Dimana dalam makalah ini akan dibahas tentang bau nyale di pulau lombok.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan bau nyale ?
b. Bagaimana asal usul tradisi bau nyale ?
c. Bagaimana tradisi bau nyale ?
d. Apa saja peran bau nyale bagi masyarakat ?
1.3. Tujuan
a. Mengetahui pengertian bau nyale
b. Menegetahui asal usul muncul tradisi bau nyale
c. Mengetahui bagaimana tradisi bau nyale
d. Mengetahui peran bau nyale bagi masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN
5

2.1. Pengertian Bau Nyale


Kata bau nyale berasal dari bahasa Sasak. Nyale merupakan jenis cacing
laut dengan nama latin eunice Fucata. Cacing ini hidup di dasar air laut seperti di
lubang batu karang. Bau dalam masyarakat Sasak berarti menangkap. Jadi, secara
harfiah tradisi bau nyale berarti tradisi menangkap cacing laut. Cacing laut ini
muncul di 16 titik di sepanjang pantai yang terdapat pantai selatan kabupaten
Lombok Tengah. Namun, lokasi yang paling ramai didatangi oleh pengunjung
adalah Pantai Kuta dan Pantai Seger yang letaknya memang berdekatan.
Bau Nyale merupakan kegiatan yang berkaitan dengan nilai sakral yang
dipercaya oleh masyarakat Lombok, kepercayaan ini sudah berlangsung sejak
dulu karena bau nyale merupakan warisan dari generasi kegenerasi, dan masih
eksis sampai saat ini. Bahkan atraksi bau nyale dewasa ini selain bernilai sakral,
juga merupakan salah satu bentuk silaturrahmi warga masyarakat secara tidak
langsung, dalam arti; antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain
tidak mengenal satu sama lain, namun bertatap muka dan bisa saling mengenal
satu sama lain.
Tradisi Bau Nyale merupakan tradisi masyarakat Sasak, khususnya di
Kecamatan Pujut Lombok Tengah. Bau Nyale merupakan tradisi berburu cacing
laut yang hanya keluar di tepi pantai pada waktu-waktu tertentu saja. Bau nyale
diselenggarakan setiap tanggal 20 pada bulan ke 10 berdasarkan penanggalan
masyarakat Sasak, biasanya sekitar bulan februari atau maret. Tradisi ini sekarang
telah dijadikan sebagai festival tahunan yang bisa dijadikan sebagai salah satu
kegiatan yang menarik untuk dilihat. Berbagai acara dilaksanakan sebelum
kegiatan inti berburu cacing laut dilakukan.
Tradisi bau nyale sudah berurat akar di dalam keyakinan masyarakat Sasak.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat sasak, cacing yang disebut juga dengan
cacing palolo ini berhubungan dengan kesejahteraan serta keselamatan. Mereka
percaya bahwa cacing ini bisa menyuburkan tanah sehingga bisa mendapatkan
hasil panen memuaskan. Jika banyak cacing yang keluar dari laut, berarti
pertanian mereka berhasil. Cacing yang telah ditangkap di pantai kemudian

biasanya akan ditaburkan di sawah. Cacing nyale ini pun bisa dijadikan sebagai
lauk, bahkan bisa dijadikan sebagai obat kuat.
2.2. Asal Usul Tradisi Bau Nyale
Pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah
kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri
Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan
kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya
Dewi Seranting.
Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang
putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik
jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang.
Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal
ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri
menjadi kebanggaan para rakyatnya.
Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana yang
ingin membantu rakyatnya yang kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat
negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan
keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat
pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para
pangeran-pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing - masing
dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para
pangerannya pada jatuh cintar. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan
keanggunan sang putri.
Mereka saling mengadu peruntungan, siapa bisa mempersunting Putri
Mandalika. Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika
menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima
kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang.
Masing - masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus
Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya

kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang


mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.
Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan
senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra.
Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika,
wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur,
sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.
Kenapa sang putri menolak lamaran? Karena, selain rasa cintanya mesti
bicara, ia juga merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul
bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang
pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua
pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 (bulan Sasak) menjelang
pagi-pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh
seluruh rakyat masing-masing. Semua para undangan diminta datang dan
berkumpul di pantai Kuta. Tanpa diduga-duga enam orang para pangeran datang,
dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini
bagaikan dikerumuni semut.
Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri.
Anak - anak sampai kakek-kakek pun datang memenuhi undangan sang putri
ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan
menentukan pilihannya. Pengunjung berduyun-duyun datang dari seluruh penjuru
pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang
putri.
Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang.
Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini
hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit
kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh
pengawalan yang ketat. Semua undangan yang menunggu berhari-hari hanya bisa
melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun
yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus.

Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan


batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia
menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya
padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru Wahai
ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang
aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku
tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki
agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan
tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.
Bersamaan dan berakhirnya kata-kata tersebut para pangeran pada bingung
rakyat pun ikut bingung dan bertanya-tanya memikirkan kata-kata itu. Tanpa
diduga-duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri
ke dalam laut yang langsung di telan gelombang disertai dengan angin kencang,
kilat dan petir yang menggelegar.
Tidak ada tanda-tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada
kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini
disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka
binatang itulah jelmaan dari sang putri. Lalu beramai-ramai mereka berlomba
mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta
kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.
2.3. Tradisi Bau Nyale
Tradisi Bau Nyale diadakan setahun sekali dan dijadwalkan setiap bulan
Febuari-Maret. Kegiatan tradisi ini dipusatkan di dua kabupaten, yakni Lombok
Tengah, tepatnya di Desa Kuta dan Seger, serta Lombok Timur, tepatnya di Desa
Kaliantan dan Jerowaru (Fatah: 2011, 3). Alat yang digunakan untuk menangkap
nyale adalah alat penangkap (jaring) dan wadah. Untuk menangkap nyale dapat
juga menggunakan tangan. Untuk mendapatkan nyale yang lebih banyak dapat
juga menggunakan sampan. Dengan sampan maka dapat menangkap nyale sampai
jauh ketengah. Bagi mereka yang datang dari jauh harus membawa bekal, karena

menangkap nyale membutuhkan waktu sekurang-kurangnya satu malam


(Damanik: 2008, 8).
Dalam sebuah buku Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan yang ditulis
oleh Dr. Hans J. Daeng, menggabarkan bahwa: upacara Nyale mulai diadakan
setelah penghitungan enam malam terlihat bulan purnama. Dalam melaksanakan
upacara Nyale, sejak dahulu setiap kabisu (Klen) sudah diberikan kepercayaan
untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Menjelang hari yang
telah ditetapkan, masyarakat mempersiapkan ketupat beras ketan yang berbentuk
kerucut. Di samping ketupat ketan yang juga akan dibagikan kepada para
pengunjung, perlengkapan-perlengkapan lainnya, pinang, ayam dan tongkat.
Pada pagi hari yang telah ditetapkan untuk Nyale, berangkatlah Rato (tua-tua
adat) Kabisu Ubeweni lebih dahulu ke tepi pantai. Dalam perjalanan kesana,
diletakkan ketupat ketan, sirih dan pinang dan di tempat-tempat yang
dikeramatkan: mungkin sebagai tanda kulo nuwun kepada roh-roh yang berada
disana. Setiba disana, para Rato berkumpul di bawah sebatang pohon ketapang
untuk memperhatikan keadaan cuaca dan menantikan saat yang tepat untuk
memanggil Nyale. Jika saatnya tiba, sang rato kebisu Ubeweni menuju ke bibir
pantai lalu dengan suara nyaring memanggil Nyale yang kemudian berdatangan
muncul ke tepi pantai.
Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat
pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai
kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan
segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale.
Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam
sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.
Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari
diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang
sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam
menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintikrintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai
menampakkan diri bergulung-gulung bersama ombak yang gemuruh memecah

10

pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur-angsur lenyap dari permukaan laut
bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur.
Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas
dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan
karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional. Keajaiban Nyale bagi
suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar
hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat
menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan
orang-orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.
2.4. Peranan Bau Nyale Bagi Masyarakat
2.4.1. Pendapatan Penduduk Lokal
Kehadiran budaya sebagai salah satu identitas penting masyarakat dalam
mengupayakan masyarakat mandiri melalui pengembangan budaya, dalam arti;
esensi budaya yang ada tidak terlepas dari sebuah nilai ekonomi yang tinggi,
budaya menghadirkan keuntungan yang signifikan bagi masyarakat setempat,
apabila;pertama, budaya yang ada harus dilestarikan sebagai wujud kepedulian
masyarakat akan warisan budaya. Kedua, budaya harus dilihat dari sisi kearifan
lokal yang tinggi, tidak boleh tercampur dengan budaya-budaya lain yang akan
berdampak pada hilangnya nilai sacral budaya. Ketiga, masyarakat setempat
mampu bersaing dan menyuguhkan ke-lokal-an budaya, misalnya; makanan, kain
atau sarung lokal, dan yang lainnya, agar budaya yang ada tidak monoton.
Bau nyale misalnya; atraksi budaya ini menghadirkan daya tarik yang
tinggi, kehadirannya dalam dua kali setahun menjadi momen yang tak bisa
ditinggalkan oleh masyarakat setempat, apalagi nilai jual nyale sangat tinggi.
Masyarakat dari luar datang berbondong-bondong menuju pesisir pantai untuk
memeriahkan, hampir mencapai ribuan disetiap pantai tempat adanya atraksi bau
nyale. Hal ini, mendatangkan keuntungan senidri bagi penduduk setempat
maupun penduduk lain untuk berbisnis, mulai dari menjual kerajinan tangan
sampai pada hal-hal yang dibutuhkan.

11

Proses kedatangan masyarakat untuk menangkap nyale sendiri terbagi


menjadi dua kategori, pertama, dengan cara menginap (pra-acara). Dan yang
keuda, dengan cara masyarakat datang sebelum subuh (acara).
Pertama; menginap; masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang jauh,
biasanya menginap dipesisir pantai dengan cara membuat tenda, hal ini dilakukan
selain untuk menanti acara bau nyale pada keesokan harinya, juga dilakukan
untuk menikmati pemandangan pantai dan acara yang digelar oleh pemrintah
setempat. Kedua, pergi pagi; sebelum acara penangkapan nyale dimulai, biasanya
masyarakat berangkat sebelum subuh, baik yang rumahnya jauh maupun tidak
terlalu jauh dari pantai. Hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua yang tidak
terlalu suka dengan keraiman, namun lebih kepada esensi penagkapan bau
nyale tersebut.
Pendapatan Ekonomi Jangka Panjang

2.4.2.

Dalam hal ini, pekerja sosial yang memiliki tugas sebagai penolong dan
memiliki jiwa kemanusiaan sebagai identitas. Maka ada peran-peran penting
yang harus dimasuki oleh pekerjaan sosial sebagai tuntutan profesi, antara lain;
a.

Juru Bicara (Penyambung Lidah)


Mandat sosial yang dimiliki oleh para pekerjaan sosial selain membantu

masyarakat secara individu maupun kelompok, juga memiliki peran strategis


dalam berbgai hal. Misalnya; sebagai penyambung lidah antara masyarakat
dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, maupun masyarakat dengan
pemodal. Hal ini, sebagai upaya mengkondisikan keberfungsian sosial agar
tatanan sosial berfungsi dengan baik. Dalam hal budaya, pro-kontra terhadap
nilai-nilai lama dan baru yang muncul beriringan dengan zaman modern dewasa
ini, begitu sering terjadi yang berdampak pada konflik horizontal maupun vertical.
b.

Pendukung dan Pelestari Nilai-Nilai Budaya


Budaya sebagai ekonomi jangka panjang membutuhkan dedikasi yang

tinggi untuk mendukung dan melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat, dedikasi


tersebut teraplikasi melalui tindakan nyata dalam bentuk;
1.

Promosi.
12

Promosi menjadi bagian penting dalam memberikan gambar tentang


identitas suatu budaya, baik melalui media masa, media online, maupun
dalam bentuk; spanduk, pamplet tentang budaya.
2.

Penyuluhan.
Dalam hal ini, pekerja sosial tidak hanya bertatap muka dengan masalahmasalah klien secara pribadi maupun kelompok, pekerja sosial juga harus
bisa berpikir kreatif dalam memberikan solusi kepada masyarakat agar
kemiskinan yang menyebabkan berbagai macam dampak sosial tidak terjadi,
salah satunya adalah menjadikan budaya sebagai salah satu wisata budaya.

3.

Seminar Tentang Budaya.


Seminar budaya dengan berbagai tema yang berkaitan dengan pelestarian
budaya adalah salah satu solusi untuk mengakarkan budaya pada
masyarakat, apalgi kehadiran budaya barat pada masyarakat awam akan
mengakibatkan perubahan drastic terhadap nilai-nilai budaya.

13

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Bau Nyale merupakan tradisi berburu cacing laut yang hanya keluar di
tepi pantai pada waktu-waktu tertentu saja.
b. Asal usul munculnya tradisi bau nyale yaitu dimana seorang putri
yang menceburkan dirinya kelaut sehingga muncullah cacing laut
yang disebut dengan nyale.
c. Tradisi Bau Nyale diadakan setahun sekali dan dijadwalkan setiap
bulan Febuari-Maret. Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan
turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar
disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang.
d. Peranan bau nyale bagi masyarakat yaitu tradisi bau nyale sebagai
nilai ekonomi pendapatan penduduk lokal dan pendapatan ekonomi
jangka panjang.
3.2. Saran
Sebaiknya sebelum disusunnya makalah ini penulis melakukan survei untuk
mengetahui lebih lanjut tentang kearifan lokal tesebut seperti yang kita
ketahui banyak sekali masyarakat yang melupakan budaya/tradisi yang ada
diindonesia.

14

DAFTAR PUSTAKA
Hans,J.Daeng.2012. Manusia,Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan
Antropologis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Cetakan IV.
Daminik, N.G. 2008. Lombok No Bau Nyale No Dentou. Kertas Karya. Program
Studi Nahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dean, H.K. 2008. The Use of Polychaetes (Annelida) as Indicator species of
Marine Pollution: a Review.Rev. Biol. Trop Int J. Trop. Biol. ISSN-00347744) 36 (Suppl.4): 11-38.
Fatah, L.A. 2011. Travelicious Lombok. B-First: Yogyakarta.
Stanis, S., Supriharyono, dan N.B. Azis. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut 2 (2) : 67-82.

15

Anda mungkin juga menyukai