Bab 1 Anastesi
Bab 1 Anastesi
PENDAHULUAN
Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan menjalani
tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi
(pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Featherstone, 2011).
Dalam ilmu anestesi terdapat tiga hal yang mendasari, yang biasa disebut dengan trias
anestesi, yaitu analgesia, hypnosis dan areflexia atau relaksasi. Analgetik adalah suatu
senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri
timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis,
kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu
pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya
mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum
analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik
narkotik (opioid) (Muhardi dan Susilo, 1989).
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan
pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau
opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir
dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus.
Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks
kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM (Muhardi dan Susilo, 1989).
Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang
dapat menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. Istilah opiat digunakan untuk
semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada
reseptor opioid.
Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk
menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan
kodein diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara
Timur Tengah dan Asia (Sardjono, 1995).
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi
dengan sediaan yang sudah ada kiranya penanganan nyeri yang membutuhkan obat
opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat (Sunatrio, 1994).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Opioid adalah semua zat baik alami atau sintetik yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
paska pembedahan (Latief et al, 2001).
2.2 Klasifikasi Opioid
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opiummorfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti
morfin. Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi
relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi
yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak
dibandingkan dengan opioid lemah (Sardjono, 1995). Penggolongan opioid lain
adalah :
a). Natural opiates alkaloid
- Morfin
- Kodein
- Theibaine
- Papaverine
- Noscapine
b). Semisintetik opioid
- Hidromorphone
- Hidrocodone
- Oxycodone
- Oxymorphone
- Desomorphone
- Diacetylmorphine (heroin)
- Nocimorphine
- Dexrtomethorphan
c). Sintetik opioid
- Fentanyl
- Petidhine
- Methadone
- Tramadol
- Meperidine
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid
dapat digolongkan menjadi (Latief et al, 2001 ; Sardjono, 1995):
1. Agonis opioid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
terutama pada reseptor , dan mungkin pada reseptor . Contoh morfin, papaveretum,
petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin.
2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan
pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh: nalokson.
3. Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis
pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain,
contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
2.3 Mekanisme Kerja
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf
pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus,
hipothalamus corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu
substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) yang berinteraksi dengan
reseptor morfin akan menimbulkan efek.
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat
diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain (Sardjono, 1995 ; Samekto,
2002):
a. Reseptor (mu) :
-1, analgesia supraspinal, sedasi.
-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik,
kekakuan otot.
(efek analgesi).
Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien
a.
b.
c.
d.
e.
f.
spastik).
Kontraksi sfingter saluran empedu.
Menaikkan tonus otot kandung kencing.
Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan
histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.
b.
c.
nyeri meningkat.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai
dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia,
sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk
stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH) (Sardjono, 1995 ;
Katzung, 2007).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit
yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi
usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada
efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang
sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi
morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
tinja dan keringat (Sardjono, 1995).
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik
non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin
(2)
Neoplasma (3) Kolik renal atau kolik empedu (4) Oklusi akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau koroner (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak
spontan (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca
bedah (Sardjono, 1995 ; Muhardi dan Susilo, 1989).
Efek Samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi
Petidin
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metilfenilpiperidin-4-karboksilat (Sardjono, 1995).
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya
yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin (Sardjono, 1995 ;
Samekto, 2002).
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml,
25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian
besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x
morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin.
Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan (Latief,
2001 ; Sardjono, 1995).
Farmakodinamik
Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 13 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan
pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis
rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin,
dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya
peredaran
obat
tersebut
tidak
terlepas
pada
kekhawatiran
terjadinya
penyalahgunaan obat.
2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara
lain adalah morfin, petidin, fentanil.
3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin, opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan
nyeri paska pembedahan.
4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid
dapat digolongkan menjadi : agonis opioid, antagonis opioid, agonis-antagonis
(campuran) opioid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.
2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni. 2001. hal
: 77-83, 161.
3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian
Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.